"Oh ya, Mbak udah dapat arsitek untuk renovasi gedung dan pembangunan kantor cabang. Minggu depan dia ke sini. Untuk masalah renovasi ini, kamu yang ngehendel, El. Biar Ranty yang pegang untuk promosi desain baru kita. Oke, kalian istirahat dulu. Mbak mau makan." Angel meninggalkan mereka.Mendapatkan masukan panjang lebar dari Angel, membuat Elvira tenang. Mungkin memang benar, dia harus bersabar untuk sekarang ini. Toh pernikahannya baru masuk bulan ketiga. Masih butuh penyesuaian diri. Tapi soal Herlina, dipantau saja dulu. Jika memang sudah tidak bisa bertahan, menyerah bukan pilihan yang salah."El, Mama mertuamu wanita yang sangat bijaksana. Beliau nggak mungkin segampang itu merendahkan orang. Kalau sampai menolak Herlina yang cantik, cerdas, anak orang kaya, dokter pula itu, pasti ada sesuatu yang nggak bisa dianggap sepele." Ranty bicara setelah beberapa saat mereka diam."Dan kesannya, Mas Hendy melindungi rahasia Herlina supaya kehidupannya nggak kuketahui. Menyedihkan, Ran
"El, apa yang kamu bilang waktu Herlina telepon hari Sabtu kemarin?" tanya Hendy sepulang kerja malam itu."Maksudnya?""Kamu nggak memberitahuku kalau Herlina menghubungi karena ada operasi." Hendy memandang lekat istrinya.Elvira terkesiap mendengar ucapan Hendy. Pasti ini cerita dari perempuan itu. "Operasi? Dia nggak ngomong begitu. Mas, percaya dengan omongan dokter Herlina? Sumpah, telepon pagi itu hanya membahas simposium. Nggak sedikit pun menyinggung soal operasi. Waktu itu aku langsung cerita pada Mas Hendy, kan?""Tidak ada yang lain?" tanya Hendy curiga."Memangnya ada apa, Mas?""Sabtu itu pasien yang kutangani pendarahan dan harus di operasi segera. Dokter Zani sudah meneleponku tapi tidak kujawab. Saat itu ada dokter Herlina tengah menunggui pasiennya yang hendak bersalin. Jadi dia yang nyoba nelepon aku lagi. Tapi kamu yang terima teleponnya, kan. Karena tidak ada respon dariku, akhirnya di handle dokter Edy."Elvira tersenyum getir. "Pinter ngomong teman terbaikmu itu
SEBELUM BERPISAH - Sang Mantan Hendy keluar dari ruang operasi dengan langkah gontai. Seragam operasi warna hijau yang dikenakannya masih rapi meski telah melewati beberapa jam yang intens di ruang bedah. Masker biru muda tergantung di lehernya dan sarung tangan lateks yang baru dilepas meninggalkan bekas samar di kulit tangannya. Dia masuk ke ruangan seraya melepas penutup kepala. Pergi ke wastafel untuk mencuci tangan lagi. Dari pantulan cermin, tampak kegalauan yang tak dapat ia tutupi. Hendy duduk di kursi dan membuka pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Elvira saat di ruang operasi tadi. Belum ada balasan. Sejak malam itu, Elvira benar-benar memilih diam. Bicara seperlunya meski mereka masih tinggal sekamar.Semuanya bermula dari satu perdebatan. Sebuah percakapan yang seharusnya sederhana, tapi berkembang menjadi luka dalam hubungan mereka. Elvira menyebut nama Dokter Herlina dengan nada yang sulit disembunyikan. Cemburu.Benarkah Elvira cemburu? Kalau benar, tentu sudah ad
"Rizal dengan versi terbaiknya sekarang ini, nggak pantas dapat bekas, Ran. Apalagi selingkuh dengan istri orang. Sebab untuk mendapatkan perempuan single begitu mudah baginya sekarang. Dia layak mendapatkan perempuan sholihah." Memposisikan diri sebagai wanita tak layak begini, rasanya juga sedih bagi Elvira. Karena dulu dia sangat dihargai dan diratukan oleh pria itu. Diprioritaskan perasaannya."Kalau cinta, dia nggak akan peduli kamu siapa.""Aku tahu diri kok. Mana mungkin aku merusak citra lelaki baik seperti dia."Hening. Ranty melihat Elvira berusaha menyembunyikan embun di matanya. Dalam keadaan rumah tangga yang tidak baik-baik saja, Elvira masih berpikiran waras. Jika wanita lain, mungkin akan mencari pelarian. Apalagi Ranty sendiri masih bisa melihat, cinta Rizal untuk Elvira masih besar. Mungkin masih ada sekelumit harapan, bisa mendapatkan Elvira kembali. Ah, itu hanya dugaan Ranty saja.Sungguh cinta yang indah. Sayang tidak sampai pada tujuannya."Kurasa Rizal nggak pu
"Maaf, Mas. Mbak Elvira sama Mbak Ranty pulang pas gerimis tadi. Nggak lama kemudian turun hujan deras. Mungkin mereka masih mampir berteduh." Satpam yang berjaga menjawab."Apa Bapak tahu di mana alamatnya Mbak Ranty?""Alamat pastinya saya nggak tahu, Mas. Dia kos di sini. Tapi kos di mana saya juga nggak tahu.""Mereka pulang biasa lewat mana, Pak?""Ambil jalan ke kiri, Mas. Tapi setelah itu lewat mana saya nggak tahu.""Baiklah, Pak. Terima kasih banyak.""Sama-sama, Mas."Hendy kembali ke mobilnya. Ia memutuskan lewat jalan utama. Melaju pelan sambil memperhatikan tepian jalan. Melihat ke halte dan emperan toko, siapa tahu mereka mampir berteduh.Sementara Ranty yang baru selesai salat, meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada Elvira. Ingin tahu sahabatnya itu sudah sampai rumah apa belum. Namun hingga beberapa menit kemudian tidak ada balasan. Ya Allah, apa Elvira belum sampai rumah. Mengingat masih hujan deras begini. Ingin menghubungi Hendy, tapi dia tidak tahu nomernya.
SEBELUM BERPISAH - Rasa yang Aneh "Siapa yang telepon, El?" Hendy yang baru keluar kamar mandi bertanya pada sang istri yang tengah menyisir rambut setelah dikeringkan. Dari dalam tadi ia mendengar ponselnya berdering."Aku nggak tahu." Seperti yang sudah diucapkan kemarin. Elvira tidak akan sibuk lagi dengan ponsel sang suami. Walaupun benda itu berdering tepat berada di depannya. Melihat siapa yang menelepon saja Elvira enggan.Hendy meraih ponsel di meja rias istrinya. Kemudian menelepon balik dokter Zani. Bicara tentang operasi besok, setelah itu meletakkan kembali ponselnya."Mau ke mana?" tanya Hendy saat Elvira bangkit dan hendak keluar kamar. "Mau ngecek kerjaan sebentar. Besok mau memulai memproduksi desain baru kami. Sekalian mau ngecek siapa yang live malam ini." Elvira biasa memantau siapa yang tengah live di akun media sosial Nirvana Elegance. Setiap hari ada model yang dikontrak untuk mempromosikan sekaligus melakukan penjualan secara online produksi mereka. Tentu saj
"Jam dua belas sampai rumah. Aku masih nunggu Pak Amang bertemu bosnya untuk ngambil bayaran. Makanya kutraktir kamu hari ini.""Biar aku saja yang bayar.""Nggak usah. Kamu punya uang karena dikasih ayahmu, gunakan untuk kebutuhanmu sendiri. Aku punya uang karena aku bekerja."Elvira melihat raut bahagia di wajah khas mas-mas Jawa yang manis, berahang tegas, memiliki sorot mata yang tenang tapi tajam. Tanpa olahraga, tubuh Rizal sangat terjaga karena terbiasa bekerja keras."Suatu hari, aku akan datang melamarmu dengan versi yang jauh lebih dari sekarang ini. Disaat aku sudah pantas berhadapan dengan keluargamu untuk meminangmu sebagai pendamping hidupku. Kuharap kamu sabar menunggu saat itu."Air mata tidak tertahan dan akhirnya luruh juga saat mengingat semua kenangan bersama Rizal. Ternyata semuanya kandas ditelan kenyataan. Sampai sekarang dia tidak tahu apa yang dikatakan Arman pada Rizal, sampai Bu Salima sendiri menangis dan meminta putranya untuk mundur.Sekejam dan sehina ap
Elvira yang baru saja menyuap nasi, tiba-tiba mengeluarkan lagi di telapak tangannya. Ingin muntah saja rasanya. Hendy buru-buru menyodorkan air minum. "Kenapa Mas nggak mau bilang kalau sambalnya semanis ini." Elvira memandang piring sang suami yang nasinya hampir habis."Ini cara suami menghargai istrinya. Yang sudah repot-repot bikin sarapan," jawab Hendy santai."Nggak gitu juga kali.""Mas pikir kamu emang sengaja. Jadi Mas diam saja.""Ya nggak mungkin kalau kusengaja.""Kenapa jadi kamu yang marah. Apa yang kamu pikirkan sampai salah naruh gula bukan garam.""Entahlah, kupikir tadi toples yang kuambil sudah benar." Suara Elvira merendah."Ini akhibat tadi malam.""Ada apa dengan tadi malam?""Kamu buru-buru menggulung diri dengan selimut. Studi menunjukkan bahwa berhubungan secara teratur, mampu menjaga daya ingat dan konsentrasi. Bisa memelihara fungsi otak supaya tidak mudah pikun."Elvira mencebik. Menikah dengan dokter, semua hal dijelaskan dan dikaitkan dengan ilmu kedokt
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san