Elvira yang baru saja menyuap nasi, tiba-tiba mengeluarkan lagi di telapak tangannya. Ingin muntah saja rasanya. Hendy buru-buru menyodorkan air minum. "Kenapa Mas nggak mau bilang kalau sambalnya semanis ini." Elvira memandang piring sang suami yang nasinya hampir habis."Ini cara suami menghargai istrinya. Yang sudah repot-repot bikin sarapan," jawab Hendy santai."Nggak gitu juga kali.""Mas pikir kamu emang sengaja. Jadi Mas diam saja.""Ya nggak mungkin kalau kusengaja.""Kenapa jadi kamu yang marah. Apa yang kamu pikirkan sampai salah naruh gula bukan garam.""Entahlah, kupikir tadi toples yang kuambil sudah benar." Suara Elvira merendah."Ini akhibat tadi malam.""Ada apa dengan tadi malam?""Kamu buru-buru menggulung diri dengan selimut. Studi menunjukkan bahwa berhubungan secara teratur, mampu menjaga daya ingat dan konsentrasi. Bisa memelihara fungsi otak supaya tidak mudah pikun."Elvira mencebik. Menikah dengan dokter, semua hal dijelaskan dan dikaitkan dengan ilmu kedokt
SEBELUM BERPISAH- Panas Dingin Hendy menarik napas panjang. Dia mulai gerah melihat pemandangan di samping sana. Bukan seperti dua orang yang baru kenal, tapi sudah demikian akrab. Sudah cukup dewasa untuk Hendy memahami bahasa tubuh seperti itu.Mereka berbincang serius, tapi tatapan itu berbeda. Tidak hanya sebagai partner kerja. Lebih dari itu. Hendy tidak tenang menunggu.Diambilnya ponsel di dasbor untuk menghubungi istrinya."Hallo.""Mas sudah di dekat pintu keluar."Dari dalam mobil, Hendy bisa melihat Elvira sedang memandang ke arahnya. "Ya. Sebentar lagi," jawab Elvira langsung menutup teleponnya. Dia kembali bicara dengan pria di depannya.Dilihatnya jam tangan yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Setengah jam lagi. Oke ditunggu saja.Dibukanya ponsel. Mencari profil Powerhouse Architects di sebuah media sosial. Di sana banyak sekali foto kegiatan perusahaan itu. Beberapa kegiatan rapat, foto bersama, juga di upload. Dan ia menemukan satu foto seorang laki-lak
Elvira manggut-manggut. Kemudian menyalami Rizal. "Jaga kesehatan. Semoga kerjasama ini berjalan lancar. Semoga kamu sukses.""Aamiin." Rizal tersenyum tulus.Keduanya kemudian melangkah menuruni tangga. Rizal ke mobilnya yang terparkir di area parkiran kantor, sedangkan Elvira menuju ke mobil sang suami. "Maaf, lama menunggu," kata Elvira setelah duduk di samping suaminya. "Oke. Kita langsung berangkat. Baju yang kamu siapkan tadi pagi sudah Mas bawa.""Ya."Mobil melaju meninggalkan kantor. Cuaca mulai mendung siang itu. Lalu lintas menuju Gerbang Tol Gempol juga padat. Seperti yang dikatakan Hendy tadi pagi. Mereka akan ke Tretes.Elvira tidak menyadari, suami di sebelah yang sedang mengemudi tengah kegerahan meski AC menyala maksimal. "Laki-laki tadi yang bernama Rizal?" akhirnya bertanya juga."Ya. Dari Powerhouse Architects."Hendy menghela nafas pelan. Mengendalikan rasa yang menyesaki dada. Dia memilih diam dan tidak membahasnya. Bukan sekarang waktunya. Mereka harus sampai
"Kalau Mas menyukainya, kenapa nggak memperjuangkannya?" Elvira berusaha tetap setenang mungkin. Ketenangan yang sejak tadi membuat suaminya begitu khawatir. Namun Elvira tidak tahu akan hal itu."Apa yang harus aku perjuangkan. Sedangkan kami tidak terikat sebuah hubungan. Perasaanku lebih condong ke simpati padanya. Kalau mama dan papaku tidak setuju, aku lebih memilih berteman baik saja.""Pantesan Mas selalu membelanya. Sadar nggak kalau dia sudah berusaha mencari simpati pada Mbak Ema karena telepon hari Sabtu itu?"Hendy mengangguk pelan. "Ya. Mas minta maaf. Herlina tidak pernah begini sebelumnya. Mas bukan membela, El. Tapi begitulah Herlina yang mas kenal selama ini. Kaget juga saat dia ....""Karena dia mencintaimu," potong Elvira. Mereka saling pandang. Kemudian Hendy tersenyum samar. "Kita sudah menikah, El.""Belum terlambat untuk mengakhiri, kalau sebenarnya kalian saling mencintai." Suara Elvira bergetar. Meski bagaimanapun buruknya hubungan mereka, tapi pernikahan itu
SEBELUM BERPISAH- Kenyataan itu MenyakitikuMendengar pengakuan istrinya, Hendy yang semula sudah resah kini tambah tegang luar biasa. Degup jantungnya berpacu hebat. Wajah itu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut sekaligus kekhawatiran yang dalam. Tatapannya tajam dan tidak bergeser sedikit pun dari wanita cantik di sebelahnya.Perasaannya yang tidak tenang sejak kemarin siang, saat melihat interaksi antara Elvira dan arsitek itu kini terjawab sudah. "Aku harus jujur daripada timbul fitnah di kemudian hari. Lebih baik aku yang ngasih tahu Mas Hendy daripada Mas mengetahuinya dari orang lain. Sepertinya sekarang ini, ada orang yang sibuk mencari tahu tentangku."Gestur tubuh Hendy tidak bisa menyembunyikan betapa ia tidak tenang saat itu."Kalian putus setelah kamu dipaksa menikah denganku?" Suara Hendy terdengar berat."Kami memang sudah putus, beberapa bulan sebelum pernikahan kita. Tapi kami masih berkomunikasi sebagai teman. Persis seperti kisah Mas dan dokter Herlina. Kami k
Mungkin lebih baik ia melihat Elvira yang mengomel, menatap tajam sebagai bentuk protes akan sesuatu. Ketenangannya kini meresahkan. Apa karena bertemu lagi dengan mantan kekasihnya yang membuat Elvira kian percaya diri. Elvira perempuan independen yang tidak takut jika terpaksa harus sendiri. Sadar sedang diperhatikan, Elvira tetap tenang memandang kejauhan. Jalani saja ke depan bagaimana. Tidak perlu ia menceritakan pada Hendy bagaimana big effort Rizal padanya selama ini. Bagaimana ia dihargai dan diprioritaskan oleh lelaki itu. Mendung kembali mengepung. Mengalahkan sinar sang surya yang baru muncul dari peraduannya. Gerimis halus turun. Hawa makin dingin. Hendy berdiri dan meraih lengan istrinya. "Kita ke dalam," ajaknya.Di kamar hotel suasana jelas lebih hangat. Hendy duduk di atas ranjang yang sudah dirapikan seprainya oleh Elvira.Dia masih terkejut dengan kenyataan yang baru saja diakui oleh istrinya. Staycation yang direncanakan untuk membahas tentang hubungan mereka dan
"Dress code-nya warna apa, Ma?""Biru. Ema bilangnya victoria blue. Tapi mama nyebutnya biru aja. Ribet mengingatnya, El.""Iya, Ma. Nanti saya lihat dulu di butik. Kalau misalnya nggak ada yang pas, nanti kita bikin sendiri saja.""Oke." Bu Putri tersenyum senang seraya menerima secangkir teh yang diangsurkan sang menantu. Elvira kemudian ke depan mengantarkan teh untuk papa mertua dan suaminya. Bu Putri ikut bergabung.Mumpung ada kesempatan, ada keinginan Elvira untuk bertanya tentang Herlina pada sang mama mertua. Namun niat itu ia urungkan. Sekarang harus berhati-hati mengambil tindakan. Jika sampai ditegur oleh Bu Putri, Elvira khawatir jika diputar balikan faktanya oleh dokter itu. Playing victim. Cerita ke semua orang untuk mencari simpati dan menjatuhkannya secara halus.Mungkin sekarang ini, diam saja lebih baik. Fokus pada diri untuk bekerja dan menjaga kehormatannya sebagai seorang istri.***L***Pagi yang dingin setelah hujan semalaman. Bahkan masih menyisakan mendung se
SEBELUM BERPISAH- Resah"Nggak usah mandang aku begitu." Elvira membalas tatapan tajam suaminya. "Kenapa baru cerita sekarang?""Karena baru sekarang waktu yang tepat. Aku nggak mau Mas tahu dari orang lain dengan cerita yang berbeda. Yang bisa saja ditambah-tambahi."Hendy menghela nafas panjang."Setelah menikah, kami nggak pernah lagi komunikasi. Di Jakarta waktu itu, adalah pertemuan pertama setelah kami berpisah. Terakhir kami bertemu, saat aku memberitahunya kalau aku akan menikah." Buru-buru Elvira mengalihkan pandangan dengan sibuk mengelap tangannya. Dia selalu sedih jika ingat pertemuan terakhirnya dengan Rizal."Lihat Mas, El." Hendy meraih lengan Elvira supaya menghadap ke arahnya. Dia bisa menangkap kesedihan di wajah istrinya."Sudah jam berapa ini. Aku harus siap-siap," elak Elvira. Dia harus menyembunyikan matanya yang berkabut. Dia tidak ingin seperti itu, tapi susah mengendalikannya. Kemudian tergesa hendak masuk kamar. "Tunggu!" Hendy meraih lengan istrinya. "Ri
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san