"Sudah ku bilang jangan terlalu dekat dengannya!" Teriakan seorang perempuan dari dalam sebuah kamar terdengar begitu menggema sampai ke luar, membuat seorang wanita yang hendak mengetuk pintu mengurungkan niatnya. Ia memilih diam untuk mencuri dengar apa yang tengah sepasang manusia yang ada di dalam tersebut perdebatkan.
"Jangan egois, Fika!" Teriakan si lelaki pun tak kalah nyaringnya dari perempuan yang di panggilnya Fika itu.
"Pokoknya aku gak mau kamu dekat dengan wanita itu, Arfan!" Kekeuh Fika
"Untuk apa kau memintaku menikah dengannya, jika kau melarang aku dekat dengan dia?" Tanya Arfan yang sudah melunakkan suaranya
"Aku memang memintamu menikah dengan dia, tapi bukan berarti aku mau melihat kamu bermesraan dengan wanita itu, Arfan. Mengertilah, aku sakit melihat kalian begitu dekat!" Kata wanita yang bernama Fika itu dengan lirih sambil terduduk lesu di pinggir tempat tidur dengan air mata yang mengalir dengan derasnya
"Maumu apa, Fika? Kamu mau aku gimana? Aku pusing hampir setiap saat bertengkar dan semua berhubungan dengan Hilmi!" Arvan ikut duduk di pinggir ranjang dengan mengusap kasar wajahnya.
"Ya, semua ini gara-gara wanita itu. Kita sering bertengkar setelah kehadirannya!" Suara Fika kembali menggelegar bahkan menatap nyalang ke arah pintu seolah dirinya melihat Hilmi di sana.
"Jangan menyalahkan dia, kamu sendiri yang memaksanya menikah denganku!" Sanggah Arfan akan tuduhan Fika kepada wanita yang sejak tadi mereka sebut-sebut namanya.
"Aku ingin anak dari keturunanmu, Arfan. Ini semua juga karena keluargamu yang selalu menuntut cucu dari kita. Sedangkan aku, kamu tahu sendiri aku mandul, Fan." Kata Fika dengan sendu.
"Kalau memang mau keturunan dari darah dagingku, ya jangan halangi aku untuk mengenal lebih jauh dengan Hilmi,"
"Tidak akan ku biarkan, Arfan!" Ujar Fika dengan tatapan sinis.
Arfan menggelengkan kepalanya, lelaki itu membuang napas kasar, "Kau aneh, Fika. Kau perempuan aneh. Bagaimana Hilmi bisa hamil kalau aku saja kau larang untuk menyentuhnya,"
Air mata sudah mengalir deras di pipi wanita yang berada di balik pintu di depan kamar sepasang suami istri yang tengah bertengkar itu. Dadanya terasa amat sakit, saat dirinya disalahkan atas pertengkaran yang terjadi pada mereka. Ya, wanita itu adalah Hilmi, istri kedua Arfan semenjak empat bulan yang lalu.
Kenapa takdir begitu jahat kepadanya? Takdir membuatnya menjadi seorang istri kedua, yang membuat beribu hinaan terlontar untuknya. Seandainya ada pilihan, tentu tak mungkin ia mau menjadi istri kedua. Demi adik, keluarga satu-satunya yang dimiliki Hilmi kini tengah terbaring di rumah sakit dan membutuhkan biaya besar, sehingga Hilmi mau menjadi istri kedua dengan balasan semua pengobatan adiknya di tanggung oleh Fika. Namun, sampai detik ini, Rian -- adik Hilmi -- belum juga sadar dari komanya. Sudah empat bulan lebih Rian terbaring koma akibat kecelakaan yang menimpanya.
Tadinya, Hilmi ingin meminta izin kepada Arfan untuk menjenguk adiknya di rumah sakit. Namun, mendengar pertengkaran tadi Hilmi mengurungkan niatnya dan menunda hingga Arfan sendiri yang keluar dai kamar tersebut.
Seraya menunggu Arfan keluar, Hilmi memilih berdiam diri di kamarnya yang berada di lantai bawah sambil menghubungi pihak rumah sakit bahwa dirinya akan datang nanti malam.
Hilmi merenungi nasibnya yang dipikirnya selalu menderita. Ia menjadi yatim piatu sejak usianya lima belas tahun dan sang adik baru berusia tujuh tahun. Dari sekian nasib buruk yang terjadi padanya, tak pernah ia menduga bahwa dirinya akan memiliki nasib menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang.
Makan malam tiba, pelayan memanggil para majikannya untuk melaksanakan makan malam. Fika, Hilmi dan Arfan kini sudah ada di meja makan. Seperti biasa, Fika melarang Hilmi untuk melayani suami mereka seolah-olah Hilmi hanya orang asing yang tak boleh ikut campur dalam hal urus mengurus Arfan.
"Apa gunanya aku disini?" Gumam Hilmi dalam hati berusaha menahan rasa perih di hatinya.
"Mas, aku izin mau menjenguk adikku malam ini, dan aku akan menginap di rumah sakit," pamit Hilmi setelah menyelesaikan makannya.
"Boleh. Tunggu mas ambil kunci mobil dulu, ya. Mas yang akan ngantarin kamu,"
"Iya, Mas," jawab Hilmi seraya mengangguk.
"Nggak usah! Mas Arfan temani aku ajah ke rumah mama, aku kangen mama," Fika menyahuti perkataan Arfan dan melarang suami mereka untuk mengantar Hilmi.
"Kalau mau ke rumah mama, nanti setelah aku mengantar Hilmi. Lagian ini udah malam, kalau naik taksi aku takut Hilmi kenapa-kenapa," jawab Arfan menunjukkan kekhawatirannya kepada istri keduanya.
"Mas, kamu mengkhawatirkannya? Kamu berani menolak keinginanku demi wanita itu?" air mata menetes dari manik coklat milik Fika, karena memang sejujurnya Fika merupakan tipe wanita pencemburu berat.
"Sudahlah, Fika. Jagan egois, Hilmi juga tanggung jawabku."
Arfan meraih tangan Hilmi dan membawanya ke luar menuju mobil yang ada di garasi.
"Mas, Mas Arfan jangan pergi! Aku gak ngizinin kamu pergi, Mas!"
Teriakan Fika tak di hiraukan oleh Arvan. Ia memilih terus melangkah ke luar ruangan guna mengantar istri mudanya ke rumah sakit.
"Mas, nggak usah antar aku. Aku bisa pesan taksi online kok," Kata Hilmi yang merasa tak enak hati dengan Fika, kakak madunya.
"Nggak usah hiraukan si Fika, aku hanya ingin menjadi suami yang adil buat kalian,"
"Tapi, Mas ...."
"Udah, yuk masuk!" kata Arfan setelah mengeluarkan mobil dari garasi.
Setibanya di rumah sakit, mereka melangkah beriringan menuju kamar rawat Rian. Sesampainya disana mereka bertemu dengan suster yang memang di tugaskan menjaga Rian saat tidak ada keluarga yang menjaga lelaki tujuh belas tahun tersebut.
Keduanya duduk di sofa yang ada di ruangan rawat tersebut. Ya, beginilah mereka menjenguk Rian, hanya diam karena pasien masih belum juga sadarkan diri.
"Mas nggak pulang?" tanya Hilmi yang melihat suaminya masih anteng duduk di sampingnya.
"Bentar lagi,"
"Hilmi,"
"Ya, Mas?"
"Mas minta maaf sudah sering nyakitin kamu selama ini. Maaf juga selama ini mas belum tuntaskan kewajiban mas sama kamu,"
Hilmi di buat terbungkam oleh perkataan Arfan. Selama ini belum pernah sekalipun Arfan meminta maaf kepada Hilmi.
"Tak apa, Mas,"
"Mas janji, akan berbuat adil kepadamu dan kepada Fika. Juga akan memberikan semua hak dan kewajiban kamu lahir batin,"
"Iya, Mas."
Bisa berkata apa Hilmi selain berkata 'iya'. Tak mungkin ia banyak protes kepada suaminya, karena ia sadar posisinya hanya istri kedua. Pun ia memilih diam karena Hilmi takut salah ucap yang menimbulkan mereka tersinggung dan akhirnya berdampak pada biaya pengobatan sang adik. Di biayai saja ia sudah syukur. Tak mungkin ia menuntut banyak hal pada keluarga yang sudah begitu berjasa dalam kelangsungan hidup sang adik. Tak apa ia tak mendapat keadilan, setidaknya pengobatan untuk orang tersayang tetap berjalan.
Telpon Arfan berbunyi pertanda ada panggilan masuk, Arfan merogoh ponsel yang ada di saku celananya dan melihat nama Fika tertera di layar ponselnya. Gegas Arfan mengangkat panggilan tersebut, tanpa basa-basi Fika langsung mengutarakan keinginannya yaitu meminta Arfan untuk segera pulang.
Setelah berpamitan kepada Hilmi, Arfan pun bergegas pulang memenuhi permintaan istri pertamanya tersebut. Hilmi hanya memandang dengan diam kepergian Arfan.
Hilmi melangkahkan kakinya mendekati brankar sang adik, ia duduk di kursi tunggal di samping tempat tidur Rian, Hilmi menggenggam tangan Rian yang terbebas dari infus.
"Re, kapan bangunnya? Mbak kangen kamu, sayang. Bangunlah! Mbak nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Re. Mbak butuh kamu sebagai penguat hati mbak. Cepatlah bangun, agar mbak ada teman berjuang untuk melawan segala cobaan hidup ini. Mbak butuh kamu, Re. Mbak lelah sendirian, Dek!"
"Empat bulan lebih kamu hanya terbaring disini. Tidakkah kamu lelah, adikku? Tidakkah kamu merindukan mbakmu ini? Tidakkah kamu mengkhawatirkan mbak yang kamu tinggal tidur berkepanjangan?"
"Apakah dalam tidurmu ini kamu bertemu ayah dan ibu? Apa kamu bahagia bersama mereka sehingga kamu melupakan mbak yang sendirian disini?"
"Bangunlah, Re. Mbak kangen kamu, mbak kesepian tanpa kamu, Dek."
"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon."Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti."Aku minta tolong boleh?""Boleh, Mas,""Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana."Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?""Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Diam, adalah caranya menyikapi semuanya. Hilmi selalu mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa dia harus sadar posisinya saat ini."Baik, Mas,""Bawa dua porsi, ya. Kita makan siang bersama," pinta arfan"I-iya, Mas." ada ras
Langkahnya ia bawa menuju lift untuk karyawan, menekan tombol lantai satu bersama para karyawan lainnya yang hendak turun untuk makan siang. Semua yang ada di dalam lift sedikit menepi melihat istri bos mereka memasuki lift. Hilmi menebar senyum memberitahu bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi yang melihat kejadian barusan mereka tahu bahwa senyum itu hanya sebagai penutup luka lara yang ada di hatinya."Hati-hati, Bu," ucap salah seorang karyawan perempuan yang ada di samping Hilmi saat Hilmi sudah mulai melangkah keluar dari lift tersebut."Iya, terimakasih, saya permisi dulu." jawab Hilmi sambil memberikan senyum singkat."Maaf, Bu, bapak meminta saya untuk mengantar ibu," pak Kasim, supir perusahaan menghampiri Hilmi yang sudah berdiri di pintu lobi perusahaan."Nggak usah, saya sudah pesan taksi," jawab Hilmi menolak."Tapi, Bu, ini perintah bapak!""Maaf, taksi saya sudah datang, saya permisi."Tanpa menghiraukan pak Kasim, Hilmi melangkah menuju taksi yang ada di depan gerbang
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesembuhan untuk adikku."Pernyataan Hilmi membuat Arfan diam t
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu. "Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya," Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan. Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi ap
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin merapatkan selimut!" Arfan semakin menggoda Hilmi membuat wanita yang baru saja direnggut madunya itu memalingkan wajahnya dan tangannya semakin mengeratkan pegangan pada selimut yang di kenakannya."Mas,
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba mun
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, tapi ini di luar kota dan lumayan jauh. Aku belum menyetujui, nunggu izin
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t
Tiba-tiba Rian keluar dari kamar Hilmi dan meminta tolong pada Zidan membuat Zidan berhenti merenung. Penampilan Rian sudah acak-acakan, bocah remaja itu tampak berpenampilan semarawut dengan wajah yang terlihat begitu kusut."Sama ibu saja, ibu akan mengantarkan kalian ke rumah sakit." tawar mama Agni yang memang sejak tadi tidak pulang.Jangankan menjawab, menoleh saja Rian enggan pada wanita paruh baya yang matanya terlihat begitu sembab itu.Zidan dan Ummi Zakia menoleh ke arah mama Agni, lalu bergantian pada Rian yang masih menatap Zidan seolah keberadaan mama Agni tak kasat mata bagi Rian."Ayo!" Jawab Zidan menyetujui ajakan Rian.Setelahnya, mereka berangkat ke rumah sakit dengan Zidan yang mengemudi motor, dan Rian berada di jok belakang dengan menggendong Hilmi. Rian benar-benar mengabaikan tawaran mama Agni untuk menggunakan mobil milik mantan mertua Hilmi tersebut.Meskipun mendapat penolakan dan mendapati sikap dingin dari Rian,mam Agni tetap mengikuti mereka menuju rumah
"Fan, kenapa kamu diam? Jawab pertanyaan Mama!" Bentak mama Agni pada putranya tersebut."Maaf, Ma. Arfan minta maaf." Arfan menjeda ucapannya, "Awalnya Arfan tak menyetujui niatan Fika, tapi mendengar usulan Mama waktu di restoran tadi pagi membuat Arfan yakin untuk menyetujui permintaan Fika. Ini demi kebaikan kita bersama, Ma." penjelasan Arfan membuat Hilmi mematung."Ja-jadi, kamu sudah tahu maksud kedatangan Fika, Mas? Kamu mau misahin aku dari Naila?" Tanya Hilmi dengan suara yang gemetar.Arfan duduk berjongkok di hadapan Hilmi, kemudian ia memegang kedua tangan Hilmi sambil menatap lekat pada manik mata yang kembali mengeluarkan cairannya itu, "Dengerin aku dulu, percayalah padaku, Naila akan lebih baik bersamaku dan Fika. Naila akan terjamin kebahagiaannya dengan di asuh oleh orang tua yang lengkap sebagaimana saran mama. Aku akan ... ""Arfan! Orang tua yang lengkap maksud mama itu kamu dan Hilmi, orang tua Naila, bukan kamu dan Fika!" Bentak mama Agni memotong ucapan Arfan
Kemudian pandangan Fika berpusat pada Hilmi, "Ini adalah kompensasi yang akan di terima olehmu sebagai ganti dari bayi itu. Jumlah keseluruhan uang yang ada di dalam koper ini senilai 1 Miliar sesuai yang tertera dalam lembaran perjanjian itu. Jadi, dengan uang ini kamu akan hidup lebih layak lagi dan kamu pasti bisa membeli rumah yang jauh lebih bagus dari rumah yang bagaikan kandang kambing ini." ujarnya dengan kalimat ejekan di akhirnya membuat ibu pemilik kontrakan yang juga ada disana menahan geram akan ucapan Fika yang sangat merendahkan rumah kontrakan miliknya."Cih!" Hilmi meludah ke hadapan Fika, "Sekalipun seluruh isi dunia ini kamu berikan sebagai pengganti bayiku, jangan harap aku akan memberikannya!""Sebaiknya lekas berikan bayi itu, atau aku telepon polisi sekarang, tak hanya dirimu, mereka semua," tunjuk Fika pada orang-orang selain para pengikutnya, "Akan ikut terseret ke dalam penjara!" Lanjutnya menakuti Hilmi.Braakkk!!!Suara pintu yang di dobrak oleh salah satu