“Mas Reno, ada sesuatu yang harus aku bilang ke kamu,” ujar Tsabitha dengan kedua bola matanya yang berkabut. “Kamu mau bilang apa, Sayang? Aaah, aku tahu … kamu pasti mau bilang ‘kan di mana anak kita. Iya, ‘kan?” sela Moreno dengan senyumnya yang mengembang, hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi dan putih. Laki-laki itu terlihat sangat bersemangat, karena sebentar lagi dia merasa akan segera bertemu dengan putranya. “Mas Reno, dengarkan dulu! Jangan sela perkataanku ….” Tsabitha mulai merajuk. “Oooh, oke, oke. Baiklah, aku akan diam dan menjadi pendengar yang baik, kamu mau bilang apa? Hmm …?” tanyanya sambil menatap kedua bola mata perempuan itu yang bulat, lekat. Tsabitha jadi salah tingkah dan cemas, Dia takut kabar buruk yang akan disampaikannya ini akan membuat Moreno murka, karena laki-laki ini sangat menginginkan anak mereka. “Begini ….” Tsabitha menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, dikuatkan hatinya untuk mengatakan berita bohong ini ke sang suami. Dia t
Di Paris … Sejak hari itu Tsabitha hanya fokus memikirkan kesehatan bayi kecilnya. Dari hari ke hari dia selalu memantau perkembangan Fabian yang dirawat dalam sebuah tabung incubator. Jari-jari mungilnya selalu menggenggam jari telunjuk sang ibu erat, saat Tsabitha memberikan ASI melalui pipet plastic yang diteteskan perlahan-lahan ke mulutnya, seolah-olah dia tahu kalau ibunya lah yang menyuapinya. Perempuan itu hanya bisa menangis haru setiap kali merawat bayi mungil itu, tubuhnya yang begitu kecil dan lemah dengan kabel-kabel yang menempel di sana sini, membuatnya selalu bertekad agar selalu kuat, kuat untuk putranya, agar si anak juga kuat dan bisa melampui semua rintangan ini. *** Sementara itu di Jakarta … Moreno lebih suka menyibukkan diri di kantor, pulang selalu larut malam. Sikapnya pun banyak berubah, tidak ceria atau jahil seperti dulu, laki-laki itu lebih banyak merenung dan tidak banyak bicara. Perubahan sikapnya ini mulai dirasakan oleh Mabella, apalagi sang suami
Beberapa hari kemudian ... "Dewi, jadi mulai hari ini. Ini adalah ruang kerjamu dan kunci mobil ini juga untuk kamu, karena saat ini kamu menjabat sebagai manajer operasional di kantor ini!" ujar Mabella sambil menyerahkan sebuah kunci mobil ke tangan Dewi—salah satu staff kantor yang naik promosi jabatan menjadi manajer operasional. "Ini bener, Bu Bella?" Mabella mengangguk sambil tersenyum manis. "Terima kasih, Bu! Sekali lagi terima kasih untuk promosi jabatan ini!" kedua bolamata Dewi berkilat terang. "Dari kemarin, saya kira ini semua cuma mimpi!" sahutnya sambil menyapu tatapannya ke seluruh ruangan yang dulu ditempati oleh Mabella. "Kamu nggak mimpi, Wie! Ini beneran, kamu berhak mendapatkan promosi ini, karena kamu telah loyal dan membuktikan kinerjamu selama bekerja di sini selama kurang lebih 6 tahun. Aku yakin, perusahaan keluarga kami jadi akan semakin maju dengan kiprah kamu di dalamnya!" "Bu Bella terlalu memuji, say--…" "Selamat siang!" Suara Dewi pun terhenti begit
Tiga bulan kemudian … “Pak Reno, selamat malam. Pak Reno belum pergi?” tanya Dewi dari balik pintu ruang kerja laki-laki itu, ketika dilihatnya ruang kerja pimpinannya itu masih menyala terang. “Yah, sebentar lagi aku pulang, kamu sendiri kenapa belum pergi? Kamu juga diundang, ‘kan?” Moreno balik bertanya sambil menyandarkan kepalanya di kursi kerja. “Saya sengaja berangkat dari sini, Pak! Karena lebih dekat, kalau saya harus balik ke rumah saya dulu, harus bolak-balik jauh banget! Makanya saya pas-in jam-nya berangkat dari sini,” ujar Dewi sambil masuk ke ruang kerja itu dan duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Boss-nya. “Saya boleh ‘kan duduk di sini?” tanyanya sambil menghempaskan pantatnya di kursi itu. “Silahkan!” jawab Moreno datar. Sejak pagi tadi sebenarnya Mabella sudah mewanti-wanti Moreno untuk pulang lebih cepat, karena malam ini mereka akan merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 2 tahun. Mabella senga
Lima tahun kemudian … “Waah, Bitha, terima kasih, ya, Sayang. Kita ini selalu puas sama hasil desainmu. Kamu itu emang selalu ngerti banget apa yang kita mau. Makasih banget, ya, Bith!” ujar salah satu perwakilan dari ibu-ibu KBRI yang tugas di Perancis. Siang itu mereka berkunjung ke rumah mode di mana Tsabitha bekerja.“Sama-sama, Bu! Senang bisa melayani ibu-ibu semua!”“Kita bener-bener puas lho, Bith! Awalnya kita nggak nyangka, lho. Kalau ada desainer asal Indonesia yang kerja di rumah mode Constantine ini! Memangnya sudah berapa lama kerja di rumah mode Constantine?” tanya ibu yang lain.“Sudah dua tahun, Bu!” tukas Tsabitha sambil mengulas senyum manisnya. Siang itu gadis itu sedang melayani pelanggan setia rumah mode Constantine yang merupakan ibu-ibu staff KBRI untuk Perancis, baik karyawan maupun para istri karyawan.“Saya juga suka sama desainnya Mbak Bitha, kelihata
“Tantee Bithaaa …!”Sesaat Tsabitha terpaku dan tubuhnya terasa membeku, ketika Fabian berteriak lantang memanggil namanya sambil berlari ke arahnya yang baru turun dari mobil bareng Lidya dan Surya di tengah halaman depan. Secara naluri, perempuan itu segera merendahkan tubuhnya, hingga berlutut agar tingginya sama persis seperti buah hatinya yang telah lama berpisah darinya. Tsabitha pun memeluk bocah kecil itu erat, ketika tangan-tangan mungil sang anak memeluknya pertama kali. Lama dia merapatkan tubuhnya ke tubuh Fabian, seakan-akan dia tidak ingin melepaskan pelukkan itu. Pelukkan yang selalu dirindukannya selama kurang lebih beberapa tahun ini.“Apa kabar, Sayang. Sudah besar kamu sekarang, ya. Semakin tinggi aja!” ujar Tsabitha sambil semakin merapatkan pelukkannya di tubuh mungil Fabian, saat itu Dedeh, babysitter yang merawat bocah kecil itu berdiri di belakang sang anak, sedangkan Lidya dan Surya berdiri di belakang Tsabi
“Ooh, hai, Vika! Masuklah!” ujar Moreno sambil melongok dari balik tubuh Dewi, saat mendengar suara pintu dibuka. Havika dan Tsabitha hanya tersenyum masam, lalu masuk ke dalam ruang meeting tersebut. Sementara Dewi beralih ke kursinya sendiri, setelah selesai merapikan dasi sang Big Boss tadi. Tsabitha pun bernapas lega, begitu tahu kalau perempuan itu hanya merapikan dasi mantan suaminya. “Untung cuma merapikan dasi!” batinnya dalam hati sambil menghempaskan pantat di kursi, diikuti oleh Havika yang duduk di sebelahnya. “Selamat pagi, semua! Apa kabar?” sapa Moreno sambil merapatkan kursinya ke meja yang ada di depan, lalu menatap ke arah Havika dan Tsabitha secara bergantian. “Selamat pagi, Pak!” sahut Havika sambil mengulas senyum, sedangkan Tsabitha hanya terdiam dan menenggelamkan wajahnya ke bawah, menghindari kontak langsung dengan sang penakluk hati. “Oh iyaa, saya perkenalkan dulu ini Bu Dewi! Vika sudah kenal, ‘kan?” Havika pun mengangguk. “Bu Dewi ini adalah Direktur P
“Haii, udah lama ya, nunggunya?” tanya Tsabitha pagi itu sambil menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu, ketika Khrisna berkunjung ke rumahnya.“Nggak juga, santai aja lagi, aku cuma mau laporan aja,” sahut Khrisna sambil mengeluarkan sebuah map plastik dari tas ransel.“Oh iya, sorry banget, ya selama seminggu ini aku nggak mampir ke butik, karena minggu-minggu ini kerjaan lagi padat banget di kantor. Belum lagi aku harus ngecek baju-baju yang aku desain untuk keperluan pernikahan adikku itu sudah jadi apa belum. Hhh, benar-benar melelahkan ….”“Memangnya kamu jahit di mana?” tanya Khrisna penasaran.“Aku jahit di langganan jahitku sejak dulu, dia udah hafal banget mauku apa, tapi tetep harus cek and ricek, karena itu ‘kan banyak banget. Mulai dari baju keluarga pengantin, baju pengiring pengantin, belum lagi baju pengantinnya sendiri!”“Semu
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern