“Bith, thanks ya! Your husband emang perfect husband and suami siaga!” puji Havika tulus, setelah mereka berdua menempati apartemen baru yang disewa oleh Moreno. Sebuah apartemen besar dengan tiga kamar, area ruang tamu, ruang makan dan dapur juga tampak besar dan luas, membuat Tsabitha bisa lebih leluasa bergerak ke sana kemari. “Kamu ini ada-ada aja! Tapi dibilang suami siaga, boleh juga. Suamiku itu, cuma nggak pengin aku kecapekan selama hamil, makanya dia nyari apartemen yang besar seperti ini, sekaligus dia juga nyariin temen buatku, biar aku nggak kesepian!” “Plus pembantu bule yang namanya mirip ama artis Indonesia, siapa namanya, Bith? Syahrini?” “Shahnoza! Kok jadi Syahrini, sih?” “Yaa abis namanya pake Shah gitu, ‘kan mirip ama Syahrini! Emang dia orang mana sih? Namanya kok unik gitu?” tanya Havika penasaran. “Dia dari Usbekiztan! Tapi dia belum bisa bahasa Indonesia, dia bisanya bahasa Perancis, nggak masalah, ‘kan?” “No problem, honey! Selama kita bisa berkomunikas
“Tsabitha! Moreno!”Kedua pasangan yang sedang berbahagia ini segera menghentikan tawa mereka dan menoleh ke arah sumber suara yang memanggil nama mereka dengan jelas. Di depan mereka telah berdiri Tante Rossa bersama dua laki-laki yang berpakaian hitam, yang mungkin bisa disebut sebagai bodyguard atau pengawal.“Tante Rossa? Kok, Tante ….”“Bisa kita ngobrol sekarang? Tante ingin ngobrol sama kamu, Bith. Sama kamu juga Reno!” sela Tante Rossa sambil memperhatikan mereka berdua secara bergantian.Moreno dan Tsabitha saling menatap satu sama lain, laki-laki itu lalu mengangguk sambil menarik napas. “Baiklah, mari, Tante. Kita ngobrol di apartemen kami,” sahut Moreno sambil berdiri, diikuti oleh Tsabitha pun hanya bisa menurut dan ikut berdiri lalu mengikuti langkah suaminya.“Tante Rossa pasti udah curiga, sepertinya dia menyimpan sesuatu,” batin Tsabitha cemas sambil
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Tante Rossa, Tsabitha hanya bisa terdiam, membisu sambil menahan tangis di dalam dada. Dadanya terasa sakit, begitu pula perutnya yang tiba-tiba sering mengencang dengan sendiri. Dia berharap si kecil yang berada dalam kandungannya baik-baik saja, mungkin cuma karena kelelahan, sehingga perutnya mengencang, harapnya cemas. Sepanjang perjalanan itu pula, Shanty dan Rossa silih berganti memberikan nasehat yang tiada henti ke Tsabitha, berkali-kali Shanty mengingatkan putrinya itu akan janji yang dibuatnya dulu yang tidak akan berhubungan lagi dengan Moreno dan membiarkan sang kakak merajut tali pernikahan dengan mantan pacarnya itu. “Bitha, berikan ponsel kamu ke Tante Rossa! Mulai hari ini kamu pakai ponsel yang baru dan nomer yang baru!” ujar Shanty dengan nada ketus sambil menyodorkan sebuah kotak handphone keluaran merk terbaru, ketika mereka baru saja tiba di rumah Tante Rossa. Tsabitha kaget dan tercengang. “Tapi, Bu. Semua nomer ponsel teman-
Di rumah sakit … “Mbak, menurut dokter yang menangani Tsabitha, dia harus segera dioperasi caesar, karena selain air ketubannya yang sudah pecah duluan, bayi yang ada di dalam rahimnya posisinya sungsang, terjerat tali plasentanya sendiri. Kalau nggak segera diambil, dikhawatirkan nyawa keduanya tidak selamat. Apalagi cairan ketubannya sudah hampir habis,” ujar Rossa cemas, setelah mendapatkan informasi dari team dokter yang menangani Tsabitha. “Kalau memang itu yang terbaik, lakukan saja, Ros! Aku setuju! Yang penting mereka selamat!” sahut Shanty pasrah. “Oh iya, Ros. Sama satu lagi, tolong beritahu pihak rumah sakit agar merahasiakan identitas Bitha, aku nggak mau kalau tiba-tiba Reno datang ke rumah sakit ini lalu membawa kabur anak dan cucuku!” “Iya, Mbak! Akan aku lakukan!” “Yaa sudah sana, aku mau nelpon suamiku dulu!” Rossa mengangguk mantap dan bergegas berlalu dari sana meninggalkan kakak sepupunya. Tak lama kemudian, setelah mendapatkan persetujuan dan tanda tangan dar
Tengah malam … Moreno baru terbangun ketika jam dinding yang ada di ruang tamu berdentang dua kali, “Oooh, shit! Sudah jam dua pagi rupanya, kenapa aku bisa ketiduran, sih? Seharusnya dari tadi aku mulai mencari informasi tentang Bitha! Bodohnya aku ini!” rutuknya dalam hati sambil turun dari ranjang dan bergegas mengecek ponsel. “Tapi lapar juga perutku ini, si Sharini bikin masakan apa, ya?” batinnya sambil berjalan ke luar kamar dan membawa ponsel.“Haii, sudah bangun? Sepertinya kamu capek banget, ya hari ini?” tanya Havika yang saat itu masih terjaga dengan sketsa desain-desain model baju buatannya yang berserakan di meja makan.“Kenapa nggak bangunin dari tadi sih, Vik?” sahut Moreno sambil melangkahkan kakinya ke dapur lalu mengecek isi lemari pendingin.“Sorry, aku tadi sebenarnya mau bangunin kamu, tapi sepertinya kamu capek banget, jadi aku biarin aja kamu t
Tiga hari kemudian … “Kak, kenapa kita ke pemakaman sih?” tanya Evan bingung. Saat itu, Evan memang sengaja datang ke Paris untuk menemani sang kakak menemui Tsabitha. “Aku juga nggak tahu, Van! Informasi yang aku dapat dari Tante Rossa kemarin, dia bilang kalau aku bisa menemui Bitha di pemakaman ini,” sahut Moreno sambil menyapu tatapannya ke seluruh area pemakaman. Di sana terhampar padang rumput yang luas dan datar dengan ribuan batu nisan yang tertancap dan berbaris rapi. Sementara mereka berdua berdiri di tepi jalan yang merupakan jalan pemisah antara area pemakaman yang satu dengan yang lainnya. Jalan itu sendiri berupa jalan beraspal yang halus, yang membentang di tengah-tengah area pemakaman, yang menghubungkan antara gerbang utama depan dan belakang. “Kak! Sepertinya itu mereka datang!” ujar Evan lantang sambil menunjuk ke sebuah mobil besar hitam yang berjalan ke arah mereka lalu berhenti di tepi jalan, di sebrang jalan, agak di belakang mobil yang di parkir Moreno tadi
“Mas Reno, ada sesuatu yang harus aku bilang ke kamu,” ujar Tsabitha dengan kedua bola matanya yang berkabut. “Kamu mau bilang apa, Sayang? Aaah, aku tahu … kamu pasti mau bilang ‘kan di mana anak kita. Iya, ‘kan?” sela Moreno dengan senyumnya yang mengembang, hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi dan putih. Laki-laki itu terlihat sangat bersemangat, karena sebentar lagi dia merasa akan segera bertemu dengan putranya. “Mas Reno, dengarkan dulu! Jangan sela perkataanku ….” Tsabitha mulai merajuk. “Oooh, oke, oke. Baiklah, aku akan diam dan menjadi pendengar yang baik, kamu mau bilang apa? Hmm …?” tanyanya sambil menatap kedua bola mata perempuan itu yang bulat, lekat. Tsabitha jadi salah tingkah dan cemas, Dia takut kabar buruk yang akan disampaikannya ini akan membuat Moreno murka, karena laki-laki ini sangat menginginkan anak mereka. “Begini ….” Tsabitha menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, dikuatkan hatinya untuk mengatakan berita bohong ini ke sang suami. Dia t
Di Paris … Sejak hari itu Tsabitha hanya fokus memikirkan kesehatan bayi kecilnya. Dari hari ke hari dia selalu memantau perkembangan Fabian yang dirawat dalam sebuah tabung incubator. Jari-jari mungilnya selalu menggenggam jari telunjuk sang ibu erat, saat Tsabitha memberikan ASI melalui pipet plastic yang diteteskan perlahan-lahan ke mulutnya, seolah-olah dia tahu kalau ibunya lah yang menyuapinya. Perempuan itu hanya bisa menangis haru setiap kali merawat bayi mungil itu, tubuhnya yang begitu kecil dan lemah dengan kabel-kabel yang menempel di sana sini, membuatnya selalu bertekad agar selalu kuat, kuat untuk putranya, agar si anak juga kuat dan bisa melampui semua rintangan ini. *** Sementara itu di Jakarta … Moreno lebih suka menyibukkan diri di kantor, pulang selalu larut malam. Sikapnya pun banyak berubah, tidak ceria atau jahil seperti dulu, laki-laki itu lebih banyak merenung dan tidak banyak bicara. Perubahan sikapnya ini mulai dirasakan oleh Mabella, apalagi sang suami