Rini dan Tanto tengah duduk berdua sambil menonton televisi sembari memperhatikan Ari yang tengah serius membantu Bagus menyusun permainan lego. Biasanya di akhir pekan seperti sekarang ini rumah mereka ramai karena kedatangan kakak juga semua keponakan Tanto, tapi saat ini mereka tak datang karena ada acara masing-masing. Apalagi akhir-akhir ini Ibu sering menginap di rumah Eka yang membuat kumpul keluarga beralih ke rumahnya.“Kamu betah, kan, tinggal di sini?” tanya Tanto yang beralih duduk di sebelah Ari.“Betah, Om.”“Kalo ada apa-apa bilang sama Om, ya!”“Iya, Om.”Hingga saat ini Ari memang belum mau memanggil Tanto dengan sebutan Ayah, seperti janjinya, Ari masih tetap menganggap Tanto sebagai teman hingga ia siap menerimanya sebagai seorang Ayah. Hal itu juga diikuti adiknya yang ikut memanggil ayah sambungnya dengan sebutan ‘om’.Saat Tanto beranjak karena harus menerima telepon kini giliran Rini yang mendekat pada kedua anaknya. “Kamu beneran udah kerasan tinggal di sini?”
“Enggak bisakah kamu melupakan Rini sebentar saja? Aku juga butuh perhatian, Mas,” Ningsih terus berbicara disamping Budi yang akhir-akhir ini terus disibukkan dengan ponselnya.“Enggak usah berlebihan, kita ini udah tua!” jawab Budi yang terus fokus pada ponselnya dan tak memedulikan wanita berperut buncit di sampingnya.Ningsih memberengut kesal kemudian memutuskan pergi. Lagipula percuma saja ua mengemis perhatian sedangkan kepala suaminya hanya digunakan untuk memikirkan mantan istrinya. Sebenarnya Ningsih ingin sedikit diperhatikan, di kehamilan yang sudah memasuki bulan akhir, membuat tubuhnya cepat merasa lelah. Tak meminta hal aneh, ia hanya ingin Budi sering duduk bersama sambil mengelus perutnya. Itu sudah cukup memberinya kekuatan untuk menghadapi persalinan yang mungkin akan terjadi kurang dari sebulan lagi. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, sedangkan Budi selalu terlihat risih saat Ningsih mendekatinya. Alih-alih diperhatikan, tak jarang ia mendapat makian serta kata-k
“Hay nyonya Hartanto, sombong sekarang, ya? Mentang-mentang udah tinggal di kota langsung lupa sama teman yang di desa. Awas aja kalo nanti kamu ada masalah terus kepengin curhat, enggak bakal aku dengerin. Ora sudi!” Rini menjauhkan ponselnya dari telinga. Baru saja mengangkat telepon ia langsung di suguhi pidato orasi dari Wulan. Semenjak Rini pindah mengikuti suaminya, hubungan kedua orang itu bisa di katakan menjadi semakin jauh, walaupun masih sering berbalas pesan, Rini yang disibukkan oleh statusnya sebagai istri membuatnya tak banyak mempunyai waktu untuk ngobrol dengan sahabatnya.“Apa kabar Bu Wulan?” “Ya seperti inilah, semenjak aku ikutan jualan online kayak kamu, aku jadi sering pergi-pergi COD gitu. Mayan hasilnya bisa buat beli make up sama buat nyumpel mulut pedes tetangga,” jawab Wulan asal. Rini terkekeh, sahabatnya satu ini memang tak ada duanya, selalu saja merepet saat berbicara. Kalo saja sekarang Rini berada di depannya, sudah pasti ia sumpal mulutnya itu deng
Terik matahari sudah mulai terasa ditubuh wanita lansia yang sedari tadi asyik berjemur sembari menikmati beberapa potong kentang rebus kesukaannya. Ia meletakkan piring yang sudah kosong itu ke meja yang terletak disampingnya dan beralih mengambil susu hangat yang masih tersisa separuh. Semenjak anak bungsunya menikah dengan Rini, hidupnya benar-benar terurus. Saat sebagian para mertua mengeluh dengan tinggal menantunya yang keterlaluan, Bu Riyati malah bahagia dengan kedatangan Rini dan kedua anaknya ditengah-tengah keluarga mereka. Bagaimana tidak, ia yang biasanya hanya mengandalkan ketiga anaknya yang juga mempunyai kesibukan masing-masing, sekarang bak memiliki perawat khusus yang akan menemaninya dua puluh empat jam.“Bu, masuk dulu, yuk!” ajak Rini sembari mendorong kursi yang Bu Riyati duduki.“Iya, bawa Ibu ke depan televisi ya, Nduk. Ibu mau nonton film india terusan kemarin.”Rini mengangguk sembari tersenyum geli dengan sikap mertuanya yang senang sekali menonton film in
Budi memandang bayi merah yang sedang menggeliat dalam dekapannya. Ia tersenyum sebari mengelus lembut bayi perempuan yang baru berumur sepuluh hari. Budi merasa wajah bayi itu tak asing baginya, bukan mirip ayah atau ibunya, tapi lebih mirip dengan Bagus saat terakhir kali ia tinggalkan.Setelah dirasa sudah tenang, Budi meletakkan bayi itu di atas ranjang kemudian menyelimutinya dan menutupnya dengan kelambu. Pandangan mata Budi beralih pada sosok wanita yang tengah tidur meringkuk disampingnya. Sejak melahirkan, tubuh Ningsih memang sangat lemah. Pendarahan hebat yang dialaminya sebelum persalinan membuatnya harus berjuang lebih keras untuk melahirkan bayi dalam kandungannya. Awalnya Budi sudah pesimis jika keduanya memang bisa bertahan, mengingat Ningsih hanya bersalin di klinik kecil dengan alat sederhana. Tempat tinggal mereka yang berada di tengah hutan, membuatnya sulit membawanya ke rumah sakit. Namun Tuhan berkata lain, dengan perjuangan yang luar biasa akhirnya keduanya bi
Seorang wanita berjalan cepat melewati beberapa deret pintu kamar kos yang ia tempati sembari terus menahan bulir bening yang jatuh dari matanya. Ia membanting pintu kamarnya sangat keras sebelum mengambur ke ranjang untuk melepaskan rasa sesak didadanya. Ia tak peduli dengan suara panggilan dari teman-temannya diluar yang mungkin melihatnya masuk dalam keadaan kacau karena yang diinginkan saat ini hanya menangis hingga puas untuk meluapkan amarahnya.“Aghhh,,, sialan kau janda gatal!” geram Sila sembari terus membenamkan wajahnya ke bantal.Ia benar-benar menyesal pernah bermain-main dan menyia-nyiakan Tanto saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Walaupun berkali-kali ia memohon hingga rela menjadi hanya dekat sebagai teman, nyatanya saat ini Sila telah kalah dengan seorang janda beranak dua yang kini benar-benar menguasai seluruh mantan kekasihnya.Awalnya Sila mengira Tanto hanya menikahi Rini karena terpaksa sebagai pelampiasan atas kandasnya hubungan mereka. Karena pada ken
Budi mendudukkan bayi mungil yang baru saja menginjak hampir tujuh bulan pangkuannya. Badannya sedikit deman karena perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya. Terhitung hampir lebih dari seminggu ia dan Budi habiskan dalam perjalanan pulang baik jalur laut ataupun darat. Setelah lama menunggu Budi akhirnya mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah. Dengan menumpang perahu pembawa kayu milik kenalannya akhirnya ia sampai di kampung halamannya dua hari yang lalu.Memandang hiruk pikuk kampung yang sudah lama ia tinggalkan membuat Budi kembali mengingat kenangan masa lalunya saat ia masih berkeluarga dengan Rini. Sekelebat bayangan betapa menderitanya hidup Rini dan keluarganya terlintas saat ia melihat rumah yang dulu ia tempati yang sekarang dibiarkan tak terurus.“Mas, sini Rio biar aku yang pegang, katanya mau bersihkan rumah. Enggak enak kalo terus menumpang di rumah Mbak Farida,” ucap Ningsih mengambil alih bayinya.Tanpa menjawab Budi segera beranjak berjalan ke rumah lama ya
“Apa kabar, Rin?” tanya Budi gemetar.“Ba-baik, Mas,” jawab Rini ragu. Sejenak mereka hanya terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Kenangan indah juga kejadian buruk yang telah mereka lalui seolah melintas di depan mereka. Kejadian demi kejadian dimulai dari awal bertemu, menjadi sepasang kekasih, menikah hingga kandasnya keluarga mereka seolah di putar kembali.“Boleh aku mau ketemu Ari dan Bagus, Rin?” Suara Budi memecahkan lamunan Rini.“Silakan, Mas. Nanti aku panggilkan. Silakan duduk dulu, Mas.” Rini berbalik meninggalkan Budi dan Bapak di teras.Walaupun ada banyak kata yang telah Rini persiapkan jika bertemu Budi, namun tak ada satupun yang bisa keluar dari mulutnya. Rasa sakit yang selama ini ia pendam untuk dilampiaskan pada lelaki yang telah tega menyakitinya itu perlahan hilang seiring dengan rasa bahagia yang didapatkan dari Tanto. Rini malah ingin berterima kasih pada Budi karena dengan ia selingkuh, kini Rini mendapatkan lelaki yang benar-benar membuatnya bahagia.
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men