“Kalo ngamplopnya cuma sepuluh ribu enggak usah ambil sate, nanti yang punya hajat rugi,” bisik Wulan pada wanita bergamis merah yang tengah menambahkan dua tusuk sate pada piring yang telah terisi nasi, lauk pauk dan tujuh tusuk sate.Wanita itu berbalas melirik kemudian berlalu sambil memasukkan satu tusuk sate ke dalam mulutnya.Wulan mengentak-entakkan kakinya saat perkataannya tak diindahkan oleh Sari. Wanita itu terus bersafari memakan semua menu yang di sediakan. Wulan beralih menatap tajam pada wanita berbaju batik yang tengah mengambil makanan sembari menggandeng seorang anak perempuan yang juga memegang piring. Dia lebih parah lagi karena ia mengisi piring anaknya sama penuh dengan makanan di piringnya seolah porsi mereka sama. Padahal Wulan yakin perut anaknya yang kecil itu tak akan muat menampung makanan sebanyak itu. Benar-benar tak tahu malu!Sadar tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Wulan pasrah, ia membiarkan tetangganya berpesta sesukanya. Ia yakin jika semua orang ya
[Hei, tukang cungkil kelapa. Jangan ganggu aku terus. Aku mau tidur]Ari tersenyum setelah membaca pesan yang Juwita kirimkan, ia tersenyum geli karena meskipun marah-marah, tapi teman sekelasnya itu tetap membalas pesannya sejak siang. Sebagai remaja belasan tahun yang baru saja merasakan cinta monyet membuat keduanya hampir setiap hari berbalas pesan. Ada saja topik pembicaraan yang mereka obrolkan setiap hari.Juwita yang mempunyai wajah cantik dan kulit putih sangat kontras dengan Ari yang berkulit sawo matang dan wajah sedikit garang. Menjadi pekerja keras sejak kecil membuat penampilan remaja yang baru menginjak kelas dua SMP itu terlihat lebih dewasa dari usianya. Apalagi sejak pindah ke rumah kakeknya ia ikut bekerja sebagai tukang cungkil kelapa di rumah tetangganya yang mempunyai usaha pembuatan kopra putih. Walaupun awalnya hanya bermain-main saja, namun setelah mendapatkan upah yang menurutnya lumayan, hal itu menjadi kegiatan rutin yang Ari lakukan selain membantu mama d
“Kamu gila ya, Mas! Ini tabungan buat lahiran anak kita, kenapa kamu pake enggak bilang-bilang, hah?” bentak Ningsih pada lelaki yang kini tengah lahap memakan makanannya.“Duit-duit aku, terserah aku dong mau ngabisin,” jawab Budi santai sembari terus memasukkan makanannya ke dalam mulut.“Aku enggak pernah ngelarang kamu ngirim uang ke anak-anak kamu, tapi enggak perlu sebanyak itu, kan? Ingat, sebentar lagi anak kita lahir.”“Aku kan kerja, besok juga dapat uang lagi. Enggak usah sok drama kayak aku enggak pernah kasih duit, deh! Lagian selama ini duitku kan sama kamu semua. Kamu enggak lupa, kan?”“Iya, tapi sekarang berbeda, sekarang kita butuh uang lebih banyak. Kamu tahu, kan, kalo biaya lahiran di sini mahal? Lagian di tempat terpencil kayak gini, apa-apa serba duit. Kamu mikir enggak, sih?”Ningsih menghentak-hetakkan kakinya, ia geram pada suaminya karena telah lancang memakai uang yang susah payah ia kumpulkan untuk mengirimi anaknya. Selama ini mereka jarang sekali berten
Dua anak lelaki duduk berdampingan sembari melihat televisi yang sedang menayangkan film kartun agen rahasia. Hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka setelah pulang sekolah. Tak seperti saat di kampung yang mempunyai ruang gerak yang luas, di tempat baru, mereka baru mempunyai sedikit teman yang tak memungkinkan bisa diajak main di luar. Kalaupun mereka bosan berdiam diri di rumah, atau acara televisi tak lagi menarik, mereka akan turun untuk bermain bola di garasi atau halaman rumah. [Sebentar lagi Bapak pulang, Nak]Ari dengan serius membaca pesan yang baru saja dikirimkan Budi. Ia tersenyum kecut, merasa jika Bapak kandungnya seolah berniat merecoki keluarga barunya. Bagaimana tidak, setelah lama tak pernah memedulikan keluarganya, kini Budi seolah sedang gencar mendekati anak-anaknya.[Tak usah pulang, Pak. Lagian kita enggak akan bertemu. Jika perlu jangan pernah pulang] Dengan cepat Ari membalas pesan lelaki yang menurutnya semakin hari semakin tak tahu diri. Ia bukan anak keci
Rini dan Tanto tengah duduk berdua sambil menonton televisi sembari memperhatikan Ari yang tengah serius membantu Bagus menyusun permainan lego. Biasanya di akhir pekan seperti sekarang ini rumah mereka ramai karena kedatangan kakak juga semua keponakan Tanto, tapi saat ini mereka tak datang karena ada acara masing-masing. Apalagi akhir-akhir ini Ibu sering menginap di rumah Eka yang membuat kumpul keluarga beralih ke rumahnya.“Kamu betah, kan, tinggal di sini?” tanya Tanto yang beralih duduk di sebelah Ari.“Betah, Om.”“Kalo ada apa-apa bilang sama Om, ya!”“Iya, Om.”Hingga saat ini Ari memang belum mau memanggil Tanto dengan sebutan Ayah, seperti janjinya, Ari masih tetap menganggap Tanto sebagai teman hingga ia siap menerimanya sebagai seorang Ayah. Hal itu juga diikuti adiknya yang ikut memanggil ayah sambungnya dengan sebutan ‘om’.Saat Tanto beranjak karena harus menerima telepon kini giliran Rini yang mendekat pada kedua anaknya. “Kamu beneran udah kerasan tinggal di sini?”
“Enggak bisakah kamu melupakan Rini sebentar saja? Aku juga butuh perhatian, Mas,” Ningsih terus berbicara disamping Budi yang akhir-akhir ini terus disibukkan dengan ponselnya.“Enggak usah berlebihan, kita ini udah tua!” jawab Budi yang terus fokus pada ponselnya dan tak memedulikan wanita berperut buncit di sampingnya.Ningsih memberengut kesal kemudian memutuskan pergi. Lagipula percuma saja ua mengemis perhatian sedangkan kepala suaminya hanya digunakan untuk memikirkan mantan istrinya. Sebenarnya Ningsih ingin sedikit diperhatikan, di kehamilan yang sudah memasuki bulan akhir, membuat tubuhnya cepat merasa lelah. Tak meminta hal aneh, ia hanya ingin Budi sering duduk bersama sambil mengelus perutnya. Itu sudah cukup memberinya kekuatan untuk menghadapi persalinan yang mungkin akan terjadi kurang dari sebulan lagi. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, sedangkan Budi selalu terlihat risih saat Ningsih mendekatinya. Alih-alih diperhatikan, tak jarang ia mendapat makian serta kata-k
“Hay nyonya Hartanto, sombong sekarang, ya? Mentang-mentang udah tinggal di kota langsung lupa sama teman yang di desa. Awas aja kalo nanti kamu ada masalah terus kepengin curhat, enggak bakal aku dengerin. Ora sudi!” Rini menjauhkan ponselnya dari telinga. Baru saja mengangkat telepon ia langsung di suguhi pidato orasi dari Wulan. Semenjak Rini pindah mengikuti suaminya, hubungan kedua orang itu bisa di katakan menjadi semakin jauh, walaupun masih sering berbalas pesan, Rini yang disibukkan oleh statusnya sebagai istri membuatnya tak banyak mempunyai waktu untuk ngobrol dengan sahabatnya.“Apa kabar Bu Wulan?” “Ya seperti inilah, semenjak aku ikutan jualan online kayak kamu, aku jadi sering pergi-pergi COD gitu. Mayan hasilnya bisa buat beli make up sama buat nyumpel mulut pedes tetangga,” jawab Wulan asal. Rini terkekeh, sahabatnya satu ini memang tak ada duanya, selalu saja merepet saat berbicara. Kalo saja sekarang Rini berada di depannya, sudah pasti ia sumpal mulutnya itu deng
Terik matahari sudah mulai terasa ditubuh wanita lansia yang sedari tadi asyik berjemur sembari menikmati beberapa potong kentang rebus kesukaannya. Ia meletakkan piring yang sudah kosong itu ke meja yang terletak disampingnya dan beralih mengambil susu hangat yang masih tersisa separuh. Semenjak anak bungsunya menikah dengan Rini, hidupnya benar-benar terurus. Saat sebagian para mertua mengeluh dengan tinggal menantunya yang keterlaluan, Bu Riyati malah bahagia dengan kedatangan Rini dan kedua anaknya ditengah-tengah keluarga mereka. Bagaimana tidak, ia yang biasanya hanya mengandalkan ketiga anaknya yang juga mempunyai kesibukan masing-masing, sekarang bak memiliki perawat khusus yang akan menemaninya dua puluh empat jam.“Bu, masuk dulu, yuk!” ajak Rini sembari mendorong kursi yang Bu Riyati duduki.“Iya, bawa Ibu ke depan televisi ya, Nduk. Ibu mau nonton film india terusan kemarin.”Rini mengangguk sembari tersenyum geli dengan sikap mertuanya yang senang sekali menonton film in
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men