"Kamu habis dari mana aja sih, May? Aku cari dari tadi!" protes Theo.
Aku tidak mungkin jujur kepadanya soal kejadian absurd yang tadi terjadi di toilet perempuan. "Nggak ada. He he."
"Ayo, udah waktunya makan." Untung Theo tidak bertanya lebih jauh.
Semua orang sudah duduk, makanan disajikan dengan meja troli yang dibawa oleh para pelayan. Masalah selanjutnya adalah aku tidak mengerti soal etika makan! Pisau yang mana untuk makanan yang mana, sendok yang mana untuk makanan yang mana. Ada banyak tipe dan ukuran sendok-garpu dan pisau. Demi Tuhan, ternyata makan bersama orang kelas atas itu tidak semudah bayanganku.
Siku Theo menyenggolku pelan, aku menoleh. "Ikuti aja cara makan aku," bisiknya. Syukurlah Theo selalu pengertian. Kami makan diiringi penampilan penyanyi opera, kurang mewah bagaimana lagi. Habis menyantap dessert, anggota keluarga Theo kembali bercakap-cakap, katanya sebentar lagi mereka akan mendengar pidato dari kakek Theo lalu mengocok arisan.
Nasib baik Theo meminta izin, kami tak akan mengikuti acara sampai habis, dengan alasan aku harus pulang tepat waktu.
"Tapi kamu belum ketemu abangnya Theo!" kata Tante Baskoro menahan kepergian kami. "Tunggu bentar, oke? Minimal kamu harus ketemu dulu sama Nicholas!" Tante Baskoro berdiri, mengendarkan pandangannya. "Nicholas! Nicholas!" Dia memanggil seseorang yang duduk di meja yang lain.
Aku bertatapan dengan Theo, mata kami saling berkomunasi. Tadi Theo belum sempat menjelaskan kenapa aku sebaiknya menjauh dari Nicholas. Terus terang, aku belum pernah bertemu dengan Nicholas. Dia juga tak pernah terlihat di media, atau barangkali memang karena aku tidak mengenalinya.
"Mayang, ini Nicholas, kakak laki-laki Theo satu-satunya," ucap Om Baskoro setelah orang yang mereka maksud datang mendekat.
Aku menoleh ke belakang, ke arah datangnya kakak laki-laki Theo. Mataku terbelalak, pria yang ada di hadapanku sekarang adalah pria yang tadi ada di toilet, pria yang mukanya tampan. Gadis berambut pirang bernama Cherry berada di belakangnya, matanya juga mendelik melihatku.
"Nicholas, ini Mayang, pacar adik kamu," ucap Tante Baskoro memperkenalkan aku kepadanya. "Mayang, ini Nicholas. Dan ini Cherry, eh ..., temennya Nicholas." Tante Baskoro memasang muka aneh saat memperkenalkan Cherry, hanya Tuhan yang tahu seperti apa hubungan mereka sebenarnya.
Nicholas masih memasang muka datarnya. Kusambut uluran tangannya, lumayan kaget ketika kugenggam tangannya yang dingin tapi lembut.
"Ternyata selera Theo yang kayak kamu, ya. Ini pertama kali aku liat dia bawa pacarnya." Cherry menggenggam tanganku dengan muka sinisnya.
Apa maksudnya 'selera'? Memangnya aku ini semacam makanan?
"Kerja di mana?" tanya Nicholas tiba-tiba.
Mata Om dan Tante Baskoro langsung terpaku padaku, mereka sepertinya menunggu jawaban dari mulutku juga, sebab sejak tadi mereka belum bertanya soal hidupku, justru Nicholas yang pertama bertanya.
Aku melirik Theo, Theo memberi isyarat agar kujawab dengan cerita bohong.
"Toko buku!" jawabku cepat.
Terkutuklah DNA keluargaku, aku memang tidak terlahir dengan kemampuan berbohong yang baik. Aku tidak bisa berbohong. Orang bilang, makin jujur seseorang, maka akan semakin sulit hidupnya, mungkin karena itu keluargaku tidak pernah kaya raya.
Tante Baskoro terbatuk, lalu melirik Theo dengan tajam. Jelas dia tidak akan menyangka kalau teman kencan puteranya adalah seorang karyawan di toko buku. Air muka Om Baskoro pun berubah. Suasana jadi berubah sangat canggung. Cherry pun tampak terkejut. Sementara Theo menepuk jidatnya, mungkin dia sekarang ingin sekali menoyor kepalaku.
"Mungkin udah seharusnya kamu antar dia pulang, Theo. Mungkin sebentar lagi dia juga harus kerja shift malam, kan kita nggak tau-tau," kata Tante Baskoro yang tak lain adalah sebuah sindiran.
"Ya, bye, Ma! Ayo Mayang, aku antar kamu pulang!" Theo langsung menarik tanganku cepat.
Sampai aku dan Theo berada di pintu, Nicholas masih terus menatap kami pergi. Entah apa maksud tatapannya itu, tapi yang pasti aku tahu, aku sekarang berada dalam masalah. Aku tahu itu.
Keluarga Theo sudah berlalu, aku tak semestinya memikirkan mereka lagi. Tapi tidak, mereka masih menggentayangi kepalaku bahkan setelah seminggu berlalu sejak acarafamily gatheringsialan itu. Apa lagi kakak laki-laki Theo, Nicholas. Mukanya seringkali tiba-tiba muncul di benakku, aku tidak tahu kenapa. Mungkin aku butuh liburan, mungkin aku butuh rehat sejenak dari toko buku ...,"Mayang!"Aku yang sedang menyusun buku terperanjat bukan main. Berbalik dengan muka mutung. Kulihat manajer toko, Ryan, berkacak pinggang sambil memegang beberapa buku di tangan kanannya. Dia membenarkan kacamatanya sembari berjalan ke arahku. Dia cuma dua tahun lebih tua tapi perawakannya tampak seperti pria hampir berkepala empat, jangan tanya kenapa."Belakangan saya liat kamu suka bengong, nggak heran buku-buku disusun nggak sesuai abjad! Ini buku juga nggak sesuai genre!"Yup, dia lebih cerewet dari nenekku, tapi aku paham, itu adalah pekerjaannya.
Harusnya sejak lima menit yang lalu aku sudah bisa pulang, berhubung jam ganti shift tepat pukul 5, dan sekarang telah pukul 5 lewat 5 menit. Tapi gara-gara si Ryan sibuk mengomeli anak baru yang bekerja di shift malam, aku terpaksa harus menunggu.Langkahku gontai keluar dari toko buku, akhirnya aku bisa pulang. Kepalaku pening. Kuseret langkah malas, saking tak berkonsentrasi hingga tersandung teras toko buku yang tak rata. Untung sebuah tangan dengan sigap menarik tanganku sebelum mukaku mencium teras batu!"Maka-- Kamu lagi?!"Kalimatku terputus, berganti muka jengkel sekaligus kaget. Lagi-lagi Nicholas! Mau apa dia di depan toko buku?! Jangan bilang ..., sejak kuusir tadi siang sampai sekarang, dia menunggu aku?!"Kamu nggak punya kerjaan, ya?! Hah?! Ngapain masih di sini?! Tadi udah kusuruh pergi, kan?!""Kenapa kamu galak banget, sih? Kamu lupa ..., posisi aku ini apa? Sebaiknya, kalau kamu butuh restu dari aku, kamu harus tau jaga sikap, ca
Dari ekor mataku, bisa kulihat ekspresi muka Nicholas sekarang. Bibirnya sedikit terangkat, sedang alisnya mengerut. Singkat kata, dia jijik melihat indekos tempat aku tinggal. Menurutku pribadi tidak buruk. Ada jendela kayu dengan warna favoritku, biru langit. Di halaman yang sempit, beberapa pot bunga mawar pemberian Ibu mekar. Memang kecil, berada tepat di tengah rumah bedeng, diapit dua indekos lainnya, tapi manis dan cantik. Sesuai seleraku."Ayo masuk." Kubuka pintu kayu yang juga dicat biru langit.Nicholas masuk. Matanya langsung menyisir ke kiri dan kanan, dari dapur yang cuma ada satu kompor kecil dan kulkas satu pintu, ke pintu kamar mandi yang juga dicat biru langit, lemari pakaian, TV, lalu berakhir di tempat tidur berseprai putih. Sisanya, hanya lantai kosong di tengah ruangan untuk duduk atau makan."Nggak ada sofa untuk duduk?" tanya Nicholas."Kalau pun ada sofa mungkin cuma muat di atap," balasku sinis. "Duduk aja di lantai. Kamu mau mak
"Kamu kira nyari kerjaan itu mudah? Ya ..., untuk orang sekaya kamu, pastinya mudah. Itu bukan masalah, tapi beda sama aku," ucapku agak tersinggung.Nicholas terdiam lagi, sepertinya sedang berpikir akan menyahut apa selanjutnya. Sedang masakanku sudah siap. Sembari aku menyajikan makanan, dia berkata lagi, "Kalau kamu mau, aku bisa carikan kamu kerja yang lebih layak dan bagus."Apa maksudnya, sih? Apa yang ada di pikiran manusia ini? Tadi dia seolah ingin menyingkirkan aku dari kehidupan Theo, namun sekarang dia malah bersikap manis. Mungkin ini jebakan, pikirku. Kalau aku langsung setuju, barangkali dia akan langsung mengira aku memang sengaja ingin memanfaatkan Theo dan keluarganya."Kerja apa maksudnya? Maaf ya, aku tau aku ini bukan orang kaya, tapi aku bukan pengemis. Aku juga nggak mau ngerepotin keluarga Theo.""Kenapa langsung ke arah sana ngomongnya? Aku kan nggak bilang kamu pengemis. Cuma ..., kalau kamu mau jadi bagian keluarga kami, seengg
Sebetulnya, semalam setelah aku mengadu soal Nicholas kepada Theo, dia melarangku untuk pergi ke kantor Nicholas hari ini. Namun, ego yang menumpuk di dada rasanya memaksaku untuk tetap pergi sebagai tanda bahwa aku siap untuk perang yang sebenarnya. Aku akan membuktikan kalau aku bukan cewek payah seperti yang Nicholas kira.Aku menerima tantangannya.Maka di sinilah aku sekarang, di kantor tempat Nicholas bekerja. Lengkap dengan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut. Rambut diikat rapi, muka dipoles riasan ringan dan lembut."Tunggu di sini aja, Mbak. Pak Nicholas belum datang," kata resepsionis yang mengantarku ke depan ruangan direktur.Perusahaan ini milik ayahnya, ruangan ayahnya berada di lantai paling atas, sewajarnya seorang CEO. Setahuku Theo bekerja di anak perusahaan yang lain. Mengingat kalau aku akan bekerja di tempat yang sama dengan Nicholas dan Om Baskoro, mendadak jantungku berdebar kencang.Mayang tolol! Sekarang lebih baik a
Satu ciri kalau tubuhku sudah terlalu lelah adalah aku baru bisa bangun dengan bantuan Alarm. Dan sejak bekerja dengan Nicholas, aku memang membutuhkan alarm untuk terjaga. Kalau lupa menyetel alarm, bisa-bisa aku baru terjaga pukul 10 pagi.Selama seminggu pertama, tiap hari aku harus mengisi asupan energi dengan kopi, padahal sebelumnya aku bukan tipe peminum kopi. Beberapa kali aku tertidur di atas meja kerja. Mau bagaimana lagi, tubuhku tidak bisa kompromi.Seperti siang ini pun, saat Nicholas sedang rapat mendadak, aku mencuri waktu untuk tidur siang sebentar di atas meja.Aku terjaga sekitar dua puluh menit kemudian. Anehnya, tubuhku kini diselimuti dengan jas hitam. Aku terperangah bukan main."Jas siapa nih?!" teriakku parno.Kucium aroma jas hitam itu, jelas ini bau aroma parfum mahal Nicholas. Ini jasnya! Aku memekik dalam hati. Ini pertama kali Nicholas menyelimuti aku saat tertidur di atas meja, dengan jasnya sendiri!Kutarik nap
Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai ke peternakan milik keluarga Theo. Pantatku terasa panas akibat begitu lama duduk di kursi mobil milik Theo. Tak peduli mobilnya mewah dan jok-nya empuk, lima jam duduk di atasnya tetap saja bikin pantat super panas dan kebas.Selama menuju ke sana, tiga kali kami harus istirahat di warung kelontong pinggir jalan. Sekadar untuk melepas dahaga dan juga membeli camilan. Theo bilang, keluarganya sudah lebih dulu berangkat dengan naik bis keluarga. Entah apa itu maksudnya, aku tidak peduli, yang penting aku ingin secepatnya bisa lepas dari jalanan yang yang panjang ini.Makin dekat dengan area peternakan, jalan kian sepi, kami sudah meninggalkan kawasan pemukiman, yang tersisa hanya hutan di kanan dan kiri, untung saja jalannya tidak sejelek yang aku duga. Kami sampai saat aku sudah tertidur selama sepuluh menit akibat kantuk yang tak bisa dilawan.Terasa pipiku ditepuk-tepuk oleh Theo dibarengi suara sapaannya yang lembut, "Ma
Kuda hitam yang dikendalikan Nicholas masih terus bergerak. Dan aku masih berada di hadapannya, duduk dengan perasaan gugup campur takut. Ada ribuan kata di dalam kepalaku, mulai dari permohonan sampai makian, tapi tak satu pun yang terucap keluar. Semuanya tertahan di tenggorokan. Sementara kuda Nicholas masih terus berjalan ke area yang lebih luas, mulutnya juga tak mengucap sepatah kata pun. Suasana jadi makin tak nyaman.Ngomong, dong, Nicholas! Ngomong apa, kek!gerutuku dalam hati.Sebab dia tak juga memulai percakapan, akhirnya aku yang lebih dulu membuka mulut. "Aku mau turun! Aku takut! Kita mau sampe kapan kayak gini?!" kataku sambil berusaha menjauhkan diriku dari lengannya yang berada di bawah ketiakku, mengapit tubuhku agar tak jatuh."Nanggung. Tunggu kita nyampe!" tolaknya tak acuh.Ini orang emang, ya! Udah tadi aku hampir mati gara-gara dia, malah dengan seenaknya aja terus jalan!Aku bersungut-sungut dalam hat
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.
Hari-hariku menjadi lebih berbunga sejak aku memantapkan hati untuk serius menjalin hubungan dengan Nicholas. Aku tak sadar bahwa di depan mata, sebetulnya ada ancaman badai yang siap menerjang kapan saja. Dan, badai itu rupanya datang lebih cepat.Saat baru akan istirahat makan siang, Om Baskoro datang ke ruang kerjaku dan Nicholas. "Mayang, bisa kita bicara sebentar?" sapanya tanpa basa-basi.Nicholas langsung pasang badan. "Mau ngomongin apa, Pa? Di sini aja. Biar aku juga tau," katanya sinis."Tapi ini bukan tentang kamu Nicholas," tegas Om Baskoro.Kepala Nicholas sedikit tertunduk mendengar suara ayahnya sedikit menajam. Aku tak punya pilihan selain ikut bersama Om Baskoro. Kami sampai di ruangan rapatnya, ada Theo dan Tante Baskoro pula di sana. Aku dan Theo masih saling kikuk. Sejak ribut kemarin, kami belum juga berdamai."Ada apa ya, Om?" tanyaku gugup. Ketika aku melirik Theo, dia lekas membuang muka.Om Baskoro berdeham sebentar,
Saat aku dan Nicholas terbuai dalam cinta yang memabukkan, kami sama-sama tak mengetahui kalau saat itu juga Theo lagi-lagi menemui Om Baskoro. Namun, kali ini dia tak datang untuk meminta sesuatu, justru untuk berpamitan.***"Hah? Kamu yakin sama keputusan kamu itu?" Om Baskoro menutup buku yang tadinya asyik dia baca di ruang keluarga.Theo mengangguk samar. "Ya, aku akan pergi, Pa. Kalau memang Papa nggak bisa tegas sama Bang Nicho, aku yang akan mundur. Aku akan pergi ke Jepang," ulangnya agak ragu.Om Baskoro melepas kaca mata baca yang dia pakai. Matanya mengerjap-erjap, kedua tangan dilipat di depan bibirnya. "Ada apa sih, Theo? Coba ..., ngomong sama Papa apa masalahmu. Kemarin minta pindah kantor, sekarang malah mau cabut ke Jepang. Kalau emang itu kemauan kamu, pasti Papa restui, tapi kalau ternyata ada sesuatu ..., cerita sama Papa.""Aku merasa udah cukup selama ini aku jadi bayang-bayang Bang Nicholas."Tepat saat Theo berkata
Nicholas mengeluh masih agak sakit kepala akibat mabuk berat semalam. Dia pinta kami berdua tak usah berangkat kerja hari ini. Khayalku melambung saat dia ajak untuk pergi berkencan.Ber-Ken-Can!Untuk pertama kalinya sejak kami sama-sama mengutarakan perasaan, dia ajak aku untuk pergi berdua. Aku ingin ke macam-macam tempat. Wahana hiburan, mal, kafe, nonton film, semua ingin aku coba!Lantaran tak membawa mobil, Nicholas berinisiatif menyewa sebuah motor besar. Katanya memang di rumah ada sepeda motor tapi terlalu malas untuk pulang mengambil. Aku ikut saja apa maunya, pokoknya yang penting, hari ini hanya milik kami berdua!Selepas tengah hari, kami berangkat. Mula-mula keliling sebentar mencari makan siang. Habis makan siang, dia bawa aku ke mal. Bukan mal kecil seperti yang aku kira, tapi mal besar, tempat barang-barang bermerek dan mahal dijajakan. Sempat aku tolak waktu Nicholas mengajakku ke sebuah toko perhiasan. Namun karena dia ngotot, tak enak