Hari-hariku menjadi lebih berbunga sejak aku memantapkan hati untuk serius menjalin hubungan dengan Nicholas. Aku tak sadar bahwa di depan mata, sebetulnya ada ancaman badai yang siap menerjang kapan saja. Dan, badai itu rupanya datang lebih cepat.
Saat baru akan istirahat makan siang, Om Baskoro datang ke ruang kerjaku dan Nicholas. "Mayang, bisa kita bicara sebentar?" sapanya tanpa basa-basi.
Nicholas langsung pasang badan. "Mau ngomongin apa, Pa? Di sini aja. Biar aku juga tau," katanya sinis.
"Tapi ini bukan tentang kamu Nicholas," tegas Om Baskoro.
Kepala Nicholas sedikit tertunduk mendengar suara ayahnya sedikit menajam. Aku tak punya pilihan selain ikut bersama Om Baskoro. Kami sampai di ruangan rapatnya, ada Theo dan Tante Baskoro pula di sana. Aku dan Theo masih saling kikuk. Sejak ribut kemarin, kami belum juga berdamai.
"Ada apa ya, Om?" tanyaku gugup. Ketika aku melirik Theo, dia lekas membuang muka.
Om Baskoro berdeham sebentar,
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Posisi dudukku kubenarkan beberapa kali, karena makin gelisah. Bokong mulai terasa panas. Gara-gara apa lagi kalau bukan Theo yang tak kunjung datang? Lagi dan lagi, terlambat! Padahal dia sendiri yang mengajak untuk bertemu hari ini. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan. Aku cukup skeptis soal itu, apa hal menarik yang bisa disampaikan seorang anak orang kaya seperti dia? Dapat hadiah mobil baru? Perjodohan? Liburan ke luar negeri? Semua itu sudah usang. Tidak. Aku tahu Theo bukan orang yang suka pamer. Bisa kubilang, Theo itu unik dan berbeda untuk ukuran anak orang kaya. Hal itu terbukti benar, nyatanya, dia mau berteman denganku, seorang cewek dari kelas menengah ke bawah yang sekarang bekerja di Toko Buku. Tidak ada yang istimewa dariku. Biar aku cerita sedikit bagaimana aku bisa bertemu dengan Theo. Kami bertemu saat kuliah, dan masuk komunitas yang sama, komunitas teater! Terdengar membosankan ya, aku tahu. Theo dan aku punya segudang kesamaan dan kesu
Oke, Mayang. Kalem. Tenang. Ini bukan soal besar, bersikap sewajarnya, jangan lupa senyum!Aku pikir aku pasti sudah gila karena sejak tadi terus bicara dalam hati dengan diriku sendiri. Mendatangi acara keluarga Theo bukan perkara mudah. Sungguh, tidak segampang itu. Keluarga besar Theo adalah keluarga terpandang, mereka termasuk keluarga paling kaya di kota dengan gurita bisnis yang tersebar di mana-mana. Kakeknya pemilik rumah produksi film ternama yang kini dikelola ayahnya, sedang ibunya? Dia punya butik pakaian, dan merek perhiasan yang terdaftar atas namanya sendiri. Mereka juga mengelola restoran dan hotel bintang lima, resort, mal, dan entah apa lagi.Jangan lupa sepupu-sepupunya yang selalu pamer di Instagram, mereka juga sering diliput TV, masuk berita nasional, tak kurang seperti keluarga pebisnis selebriti yang selalu disorot wartawan, selalu membuat orang-orang penasaran dengan gaya hidup mereka yangjetset,namun juga bikin iri. Sepert
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.
Hari-hariku menjadi lebih berbunga sejak aku memantapkan hati untuk serius menjalin hubungan dengan Nicholas. Aku tak sadar bahwa di depan mata, sebetulnya ada ancaman badai yang siap menerjang kapan saja. Dan, badai itu rupanya datang lebih cepat.Saat baru akan istirahat makan siang, Om Baskoro datang ke ruang kerjaku dan Nicholas. "Mayang, bisa kita bicara sebentar?" sapanya tanpa basa-basi.Nicholas langsung pasang badan. "Mau ngomongin apa, Pa? Di sini aja. Biar aku juga tau," katanya sinis."Tapi ini bukan tentang kamu Nicholas," tegas Om Baskoro.Kepala Nicholas sedikit tertunduk mendengar suara ayahnya sedikit menajam. Aku tak punya pilihan selain ikut bersama Om Baskoro. Kami sampai di ruangan rapatnya, ada Theo dan Tante Baskoro pula di sana. Aku dan Theo masih saling kikuk. Sejak ribut kemarin, kami belum juga berdamai."Ada apa ya, Om?" tanyaku gugup. Ketika aku melirik Theo, dia lekas membuang muka.Om Baskoro berdeham sebentar,
Saat aku dan Nicholas terbuai dalam cinta yang memabukkan, kami sama-sama tak mengetahui kalau saat itu juga Theo lagi-lagi menemui Om Baskoro. Namun, kali ini dia tak datang untuk meminta sesuatu, justru untuk berpamitan.***"Hah? Kamu yakin sama keputusan kamu itu?" Om Baskoro menutup buku yang tadinya asyik dia baca di ruang keluarga.Theo mengangguk samar. "Ya, aku akan pergi, Pa. Kalau memang Papa nggak bisa tegas sama Bang Nicho, aku yang akan mundur. Aku akan pergi ke Jepang," ulangnya agak ragu.Om Baskoro melepas kaca mata baca yang dia pakai. Matanya mengerjap-erjap, kedua tangan dilipat di depan bibirnya. "Ada apa sih, Theo? Coba ..., ngomong sama Papa apa masalahmu. Kemarin minta pindah kantor, sekarang malah mau cabut ke Jepang. Kalau emang itu kemauan kamu, pasti Papa restui, tapi kalau ternyata ada sesuatu ..., cerita sama Papa.""Aku merasa udah cukup selama ini aku jadi bayang-bayang Bang Nicholas."Tepat saat Theo berkata
Nicholas mengeluh masih agak sakit kepala akibat mabuk berat semalam. Dia pinta kami berdua tak usah berangkat kerja hari ini. Khayalku melambung saat dia ajak untuk pergi berkencan.Ber-Ken-Can!Untuk pertama kalinya sejak kami sama-sama mengutarakan perasaan, dia ajak aku untuk pergi berdua. Aku ingin ke macam-macam tempat. Wahana hiburan, mal, kafe, nonton film, semua ingin aku coba!Lantaran tak membawa mobil, Nicholas berinisiatif menyewa sebuah motor besar. Katanya memang di rumah ada sepeda motor tapi terlalu malas untuk pulang mengambil. Aku ikut saja apa maunya, pokoknya yang penting, hari ini hanya milik kami berdua!Selepas tengah hari, kami berangkat. Mula-mula keliling sebentar mencari makan siang. Habis makan siang, dia bawa aku ke mal. Bukan mal kecil seperti yang aku kira, tapi mal besar, tempat barang-barang bermerek dan mahal dijajakan. Sempat aku tolak waktu Nicholas mengajakku ke sebuah toko perhiasan. Namun karena dia ngotot, tak enak