Mata Marissa membulat terkejut, dia tak menyangka akan terjadi hal semacam itu. Apalagi Naren tak sadarkan diri, semua orang tahu jika kebanyakan akan berkata jujur saat mereka sedang mabuk. Hal tersebut membuat Marissa merasa tak bisa menjelaskan apa pun.
"Dia mabuk berat, jadi mungkin yang dia ingat hanya beberapa jam saja sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri. Sebelum pergi, bukankah kita berdua yang dia temui?" jelas Tristan."Hm," balas Marissa sedikit lega."Papa," lirih Naren yang sudah membuka matanya.Marissa segera pergi setelah Naren bangun, dia memilih untuk tak menampakkan diri karena takut terjadi hal-hal yang tak dia inginkan. Tristan yang dilewati istrinya segera ikut pergi mengikuti langkah kaki Marissa. Dia turun dan melanjutkan sarapan bersama sang istri. Kejadian semalam tentang telepon itu membuat Tristan merasa harus berhati-hati pada Marissa. Dia juga memendam ketakutan akan hubungannya dengan Naomi."KeluaDi sisi lain, Tristan yang sudah terlanjur berjanji pada Naomi melupakan pesan istrinya. Dia yang seharusnya langsung ke perusahaan ternyata memilih untuk berbelok ke rumah Naomi. Hatinya tak bisa dibohongi ketika terus ingin menjumpai wanita simpanannya itu. Saat mobil Tristan masuk halaman rumah, nampak seorang wanita dengan pakaian minumnya berada di depan pintu. Agaknya dia sudah merasa jika Tristan akan datang pagi itu. "Astaga, masuk!" Tristan bicara dengan nada kesal. Dia segera turun dari mobil dan mendorong masuk wanita itu karena pakaiannya yang terlalu terbuka. Sepertinya Naomi masih menggunakan gaun tidurnya yang tipis dan kurang bahan itu untuk menanti Trisan di depan pintu. Hal itu sontak membuat Tristan menjadi kesal dan marah."Kamu bisa memancing satpammu masuk rumah dengan pakaian itu," ujar Tristan. "Biar saja, siapa yang menyuruhmu tak datang kemarin?" protesnya ketus. "Jangankan datang, kamu justru memblokir nomorku," lanju
Naren berhasil mengikat Marissa semakin jauh, hubungan kali itu membuat mereka semakin terjebak dalam hubungan yang tak main-main. Jika semula Naren adalah pria yang begitu Marissa harapkan untuk membuatnya lebih baik, sekarang sudah berbeda. Naren menjadi banyak menuntut dan lebih gila dari awalnya setelah mengenal lebih dalam tubuh wanita itu.Hari berlalu dan segala sesuatu tentang Naren kerap membuat Marissa merasa tertekan. Walau tak bisa dipungkiri jika Naren jauh lebih perhatian daripada Tristan, tapi sikapnya sekarang lebih berbahaya. Naren tak segan melempar kalimat-kalimat yang menjurus ke sebuah kenyataan jika mereka memiliki hubungan walau kadang dia patahkan dengan kata bercanda, tapi hal itu membuat Marissa sering merasa khawatir."Kita dapat undangan makan malam ke rumah paman kalian, datanglah, Papa tidak bisa datang karena ada urusan," ujar Tuan Baruna saat sarapan.
"Kamu diam saja?" tanya Naren karena Marissa terlihat tak bicara sama sekali. "Hm," balasnya singkat. "Kenapa, Rissa. Akhir-akhir ini kamu sepertinya berubah," tanya Naren lagi. "Karena kamu berubah, Naren. Apa ada sesuatu yang kamu rasakan berubah dari dirimu sendiri sebelum menanyakan mengapa aku berubah?" desak Marissa memberanikan diri. Naren memikirkan apa yang adik iparnya itu katakan. Dia mencerna baik-baik kalimat yang dikemukakan Marissa. Jelas Naren tahu arah kalimat itu, karena dia melakukan semuanya dengan sengaja, sehingga tak heran jika sedikit banyak Naren menerima balasan yang sebenarnya tak dia inginkan. "Aku lebih sering kasar dan memaksa, aku juga beberapa kali membuatmu merasa takut berada di sisiku, benarkan?" kata Naren mengakui. "Bukan hanya itu, Naren. Aku semakin tak tahan karena kamu sering mengataka kalimat-kalimat berbahaya saat ada Papa dan Tristan. Kamu membuat beban di hatiku bertambah berat
Pembawaan Sisca sudah cukup membuat Marissa mengerti seperti apa keluarga itu. Dia hanya mengulas senyum dan sesekali menjawab pertanyaan saja, tak banyak yang bisa dia lakukan sekarang, mengingat apa yang terjadi bukan hal yang dia senangi. "Marissa tak makan seafood," kata Naren saat melihat Sisca menawarkan makanan olahan laut pada Marissa. "Wah, kamu ini suaminya atau kakak iparnya? Tahu sekali tentang Marissa," jawab Sisca. "Kita makan semeja hampir setiap hari, bukankah itu saja cukup membuat kita hafal dan tahu apa yang bisa dan tidak bisa dia makan?" sahut Naren. Melihat hal itu, Marissa merasa Naren menunjukkan sikap yang dia inginkan. Biasanya Naren akan cenderung mengungkap sedikit hubungan mereka walau tak secara langsung seperti yang dia lakukan akhir-akhir ini. "Ah, kamu pria yang sangat perhatian," kata Tuan Rudolf. "Paman, bukankah kita keluarga? Setiap hari kita saling berinteraksi, kita bahkan hidup seatap
Naren melajukan mobilnya ke arah lain, mereka tak menuju jalan pulang. Namun, Marissa nampak diam saja karena dia sudah tahu kemana pria itu akan membawanya. Arah jalannya sangat familiar baginya setelah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Naren. Tak ada yang asing sama sekali, sehingga Marissa tak melakukan protes apa pun."Ayo turun," ajak Naren pada adik iparnya.Marissa juga segera melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil. Sebuah dermaga yang tak jauh dari pusat kota itu adalah tempat favorit mereka berdua. Tempat yang sunyi sepi itu memiliki pemandangan lampu kota yang gemerlap dan juga pemandangan air laut yang indah. Angin malam berhembus cukup intens malam itu. Sehingga gaun yang Marissa gunakan berayun seiring dengan arah hembusan angin."Dingin?" tanya Naren dengan penuh perhatian."Hm, kamu tahu gaun ini terlalu terbuka untuk malam dingin seperti sekarang," ujar Marissa.Nada bicaranya sudah lebih baik, tak terdengar su
"Kalian baru pulang? Apa yang terjadi?" cecar Tuan Baruna saat Marissa dan Naren baru sampai rumah. Mereka berdua saling berpandangan, seolah menunggu salah satu dari keduanya memberikan alasan. Dalam batin merasa ragu karena takut mengeluarkan dia alasan yang berbeda."Maaf, Pa. Kami keasyikan mengobrol," kata Marissa yang serempak dengan alasan Naren yang mengatakan jika mereka mengalami ban bocor. "Astaga, apa ini?" Marissa merasa takut karena mereka mengemukakan dua alasan berbeda. Mereka tak bicara apa pun di jalan karena Marissa yang merasa kesal Naren meninggalkan kissmark di area dadanya. Bahkan saat ini Marissa berusaha menutup bekas itu dengan rambutnya yang dibiarkan terurai ke depan. Tuan Baruna merasa terkejut, alasan keduanya sangat berbeda. Sehingga membuatnya menjadi bingung. "Apa ini? Kenapa alasannya berbeda?" tanyanya tegas sekali lagi. "Pa, kami mengobrol dengan santai sampai lupa waktu setelah makan malam. Kemudian di perja
Di sisi lain, Tristan baru saja bangun dari tidurnya. Dia berada di rumah Naomi sejak semalam. Makan malam dengan klien hanya sebuah alibi untuk membuang jejaknya yang memang menghabiskan malam dengan Naomi. Katanya terbuka dan mendapati wanita simpanannya itu sudah berdandan cantik di depan meja riasnya. "Selamat pagi, Sayang," sapa Naomi dengan senyum manis. "Pagi, Sayang. Kamu sudah rapi," sahut Tristan sembari meregangkan otot tubuhnya dengan menggeliat. "Tentu saja, bukankah hari ini kita akan ke showroom," katanya. Tristan nampak kaget, baru semalam mereka membicarakan tentang mobil yang Naomi inginkan dan sekarang wanita itu sudah ingin pergi ke tempat jual beli mobil. "Aku sudah tak sabar untuk melihat mobil yang aku inginkan," jelas Naomi. "A-apakah kamu yakin mobil yang kamu inginkan itu sudah ada di showroom? Bukankah itu tipe yang jarang ada dan harus pesan terlebih dahulu?" tanya Tristan. "Tidak, Sayang. Aku sudah berhubungan langsung dengan orang showroom, mobilnya
"Aku berhenti karena keinginan Tristan, Pa." Marissa memberikan alasan. "Dia memang aneh, karir suksesmu membuatnya merasa tertekan," sahut Tuan Baruna. Marissa hanya diam, dia sudah hampir tergelincir dengan pertanyaan kedekatannya dengan Naren. Tuan Baruna memandangnya dengan cukup intens. Dia merasa ada yang salah antara Marissa dan Naren saat itu. "Rissa, Papa tak mau berspekulasi. Papa merasa ada sesuatu antara kamu dan Naren. Bagaimana menurutmu?" tanya Tuan Baruna. Marissa yang semula mengira kalimat tanya itu tak akan muncul lagi, ternyata justru ditanyakan lagi oleh ayah mertuanya itu. "Apa maksud Papa?" elak Marissa mencoba menghindari. "Rissa, kita sama-sama orang yang sudah dewasa. Aku melihat apa yang kalian berdua tunjukkan. Apa yang terjadi semalam sampai Naren masuk kamarmu saat suamimu tidak ada?" jelasnya. "Pa, ka-kami tidak melakukan apa pun." Marissa berdusta. "Apa mungkin?" desak Tuan Baruna. "Rumah tangga itu sering kali hancur karena adanya cinta lain di
Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,