Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu.
Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku."Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani.'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal."Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang."Bungkus aja, Bang."Setelah beres membayar, Mas Joko terlonjak kaget saat berbalik dan melihatku yang berada tepat di belakangnya sambil berkacak pinggang."E-eh, Dek Lastri. Kok, kamu ada di sini?" tanya Mas Joko gelagapan."Sengaja, mau nyusulin Mas yang ternyata enak-enakan beli nasi padang, sedangakan istrinya di rumah kelaparan," ucapku agak kencang. Para pengunjung sampai menatap ke arahku dengan heran.Mas Joko refleks membekap mulutku dengan tangannya kemudian menggiringku keluar dari warung padang tersebut dengan wajah yang terlihat malu."Kamu itu apa-apaan, sih, Dek? Malu-maluin aja tau gak? Kok, kamu malah ngomong kayak tadi? Di depan banyak orang pula!" gerutu Mas Joko kesal."Loh, aku ngomong yang sebenernya, toh?Mas di sana enak-enakan beli nasi padang, mana rendangnya dua pula. Sedangkan aku? Aku di rumah kelaparan!" Kesalku sambil melipat kedua tangan di depan dada."Kamu udah salah paham, Dek. Kamu udan su'udzon sama Mas.""Su'udzon gimana? Itu! Jelas-jelas buktinya ada di tanganmu, Mas. Masih mau ngelak gimana lagi, hah? Nyebelin!""Ini bukan buat Mas, Dek. Ini buat pegawai Mas."Aku mengernyit heran. Buat pegawai katanya? Masa buat pegawai cuma beli satu? Pasti ini alasan Mas Joko saja supaya aku tak jadi marah."Baik banget pegawainya di kasih nasi padang. Tapi istri di rumah cuma di kasih telor dadar seuprit sama nasi seuprit. Lagian, kalo emang buat pegawai, kenapa cuma beli satu?" selidikku."Dek, gak usah ngeluh bisa, gak? Ini tuh, emang buat pegawai, soalnya kemarin banyak pelanggan jadi Mas mau kasih bonus. Nasinya kan banyak, jadi mas bikin sebungkus aja.""Bonus kok, cuma sebungkus berdua. Aneh. Lagian, gimana aku gak ngeluh, Mas. Kamu itu udah gak adil sama aku. Lebih mentingin pegawai daripada perut istrimu ini. Tiap hari suruh ngirit. Jangan-jangan selama ini kamu sering makan di luar, makanya kuat makan sedikit di rumah." Aku mengeluarkan semua uneg-unegku pada akhirnya."Ya, enggak lah, Dek. Kamu ini kok, curigaan sekali sama suamimu sendiri? Udah ah, Mas mau balik kerja. Kamu pulang aja sana." Seperti biasa, setiap aku sedang marah, Mas Joko pasti menghindar dengan berbagai macam alasan.Bukannya pulang, aku malah mengekori Mas Joko yang terlihat tak nyaman aku ikuti. Gelagatnya sangat mencurigakan. Orang tadi jelas-jelas karyawannya bilang kalau Mas Joko beli nasi padang gara-gara belum sarapan. Sekarang, Mas Joko malah mau kasih nasinya sama pegawainya. Mana cuma sebungkus. Masa mereka disuruh makan nasi padang sebungkus berdua? So sweet banget udah ngalahin pengantin baru aja."Ton, ini nasi padang buat sarapan, berdua aja makannya sama Deni, ya? Nasinya juga banyak itu. Rendangnya ada dua." ucap Mas Joko. Suaranya agak berat seakan tak ikhlas memberikan nasinya pada kedua pegawainya tersebut.Mas Toni dan Mas Deni yang sedang mengotak-atik motor pelanggan langsung terlihat saling berpandangan heran."Tumben banget, Bos. Ada acara apa? Bukannya tadi Bos yang bilang kalau bos belum sarapan?" sahut Mas Toni. Wajah Mas Joko kembali terlihat gelagapan."Em, enggak. Siapa bilang? Ta-tadi ... Aku cuma mau kasih kalian bonus. Ya, bonus. Soalnya bengkel rame terus dari kemarin-kemarin. Udah, kalian makan aja." Mas Joko buru-buru melengos pergi ke dalam. Aku mengekorinya hingga ke dalam."Ngasih bonus, kok, cuma sebungkus berdua, ya? Pelitnya emang kebangetan Joko itu, pasti ini cuma gara-gara ketauan bininya aja jadi nasinya di kasih ke kita," gerutu Mas Toni yang masih bisa kudengar. Saat sadar aku masih ada di dekat mereka, Mas Toni langsung terlihat salah tingkah, "eh, Neng Lastri," ucapnya sambil tersenyum paksa.Aku menggeleng heran dan langsung melengos pergi.'Apa Mas Joko pelit juga, ya, sama pegawainya?' batinku."Mas?""Apalagi sih, Dek? Kenapa kamu gak pulang aja, sih?" Dia malah mengusirku lagi."Gak mau, kasih dulu Adek uang, Mas! Adek juga mau beli nasi padang!" Aku mengulurkan tangan dihadapannya."Hah?! Jangan ngaco, ah! Mas, kan, udah bilang, kita harus hemat." Mas Joko malah menepis tanganku dengan kasar. Lagi-lagi kata hemat itu keluar dari mulut Mas Joko. Rasanya aku udah jengah. Berat badanku malah turun sekilo gara-gara diminta hemat terus."Beli nasi padang sebungkus gak bakal bikin tabunganmu abis, Mas. Lagian, bukannya kamu bilang bengkelmu ini lagi rame? Masa beliin nasi padang buatku aja gak sanggup! Cepetan minta uang! Adek mau 50ribu." Aku tetap memaksa."50ribu? Nasi padang cuma 20ribu, Dek! Buat apa sisanya?""Terserah Adek, dong! Adek mau beli bedak juga. Bedak Adek abis.""Helleh, kamu gak bedakan juga udah cantik, Dek. 20ribu aja, ya?" tawarnya."Gak mau! Pokoknya 50ribu! Kalo enggak, nanti malem, Mas gak usah minta jatah!"Mas Joko langsung refleks menepuk keningnya pelan."Cepetaaannn!! Duit segitu gak bakalan bikin kamu bangkrut, Mas!"Kulihat, Mas Joko dengan terpaksa mengeluarkan selembar uang 50ribu dari dompetnya dan menyodorkannya padaku dengan ragu. Buru-buru aku mengambilnya secepat kilat lalu pergi begitu saja.'Rasain! Siapa suruh jadi suami pelit amat!' batinku.Minggu kedua .... "Mas, apa gak berlebihan kita makan kayak gini terus? Emm ... maksud Adek, kalau beras sekilo buat tiga hari mungkin masih wajar, Mas. Tapi, ini sekilo buat seminggu ... mana ada yang sanggup, Mas," ucapku hati-hati saat kami selesai sarapan pagi ini. "Kenapa? Adek gak terima kalau Mas kasih makan sedikit? Lihat, buktinya Adek seminggu kemarin aja, sanggup makan sedikit tiap hari. Dan Mas lihat-lihat, berat badan Adek malah kayaknya makin bertambah." Mas Joko menatapku penuh selidik. Aku langsung menggigit bibir gelagapan. 'Ya, gimana gak kuat aku seminggu kemarin, Mas. Wong tiap hari aku jajan terus kalo situ gak di rumah. Hihi. Untung aku masih ada sisa uang dari ibuku kemarin. Kalo enggak? Hmm ... Mungkin aku udah kabur dari seminggu yang lalu.' Aku membatin sendiri mendengar ucapan Mas Joko yang mengatakan aku makin gemuk. Padahal berat badanku turun satu kilo. "Sanggup, sih. Tapi aku pengennya kita biasa aja kayak orang lain, Mas. Jangan terlalu hemat sampai
PoV JOKO'Duh, gara-gara kesel sama Lastri, aku sampe lupa ngunci bufet, kan. Jangan sampe dia ngabisin makanan di sana. Bisa-bisa dia kembali boros. Udah bagus seminggu ini dia bisa tahan makan sedikit.' Aku menggerutu sepanjang jalan saat terpaksa kembali ke kontrakan. Berdoa semoga saja Lastri tak kalap dan menghabiskan makanan yang ada di sana. Sungguh merepotkan. Padahal, baru saja aku ingin menyuap nasi padang yang kubeli, aku malah teringat dengan pintu bufet yang tadi tak sempat kukunci. Terpaksa kusimpan dulu nasi padangku di meja kerja, daripada nanti nasi yang di rumah habis di makan Lastri. Ah, jadi ingat kejadian kemarin saat Lastri memergoki aku membeli nasi padang, hampir saja aku ketahuan. Untung saja tiba-tiba ada ide yang muncul di kepalaku untuk memberikan nasi itu pada kedua pegawaiku meskipun Lastri sedikit tak percaya dan aku harus keluar uang 50ribu. Tak apalah, toh, hanya sekali itu saja. Aku memang sedang mengajarkan istriku itu untuk berhemat. Kalau istilah
PoV LastriSungguh aku geram dengan kelakuan Mas Joko. Bisa-bisanya dia mengancamku agar menyembunyikan kelakukannya di depan ibuku sendiri. Terlihat sekali kalau dia sangat takut jika ibuku itu murka, sampai-sampai dia tega mencubit pinggangku diam-diam. Oke, kali ini aku akan menurut. Tapi, kita lihat saja kedepannya. Siapa yang lebih pintar di antara kita, Mas! Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan memperlakukan aku seperti ini. Jika memang semua pengorbanan dan kesabaranku selama ini tak ada hasilnya, maka aku akan pastikan bahwa semua akan berakhir dengan semestinya."Permisiii ...." Suara seseorang terdengar memanggil dari depan rumah. Bergegas aku ke depan. Tapi, Mas Joko tiba-tiba di tahan oleh ibukku untuk membetulkan keran air yang tadi bocor saat di pakainya di toilet. Saat berjalan ke depan, netraku tertuju pada kantong kresek yang masih teronggok di lantai. 'Duh, pake lupa nyimpen segala ini belanjaan dari Ibu. Mas Joko tadi ngintip dalemnya gak, ya? Gawat kal
Ternyata agak susah juga mencari alasan agar membuat ibu percaya dengan apa yang kukatakan. "Aku takut ketahuan Mas Joko Bu," ucapku. "Loh, emangnya kenapa kalo Joko tau?" Nah, kan. Pasti banyak nanya. "Emm ... aku kan, lagi diet, Bu." Berdusta lagi akhirnya. "Ya ampun ... Ibu kira kenapa. Kamu itu pake diet-diet segala. Nanti sakit magh. Lagian, Joko juga pasti paham kalo kamu suka nyemil. Pake takut ketahuan segala.""Udah deh, pokoknya Ibu diem aja. Terserah Lastri mau gimana juga. Kan itu makanan udah jadi milik lastri. Oke?" "Iya, deh. Tapi, inget kata Ibu. Jangan diet-diet!""Bu, aku harus tetep langsing dan jaga penampilan buat suami. Jangan mau kalah sama pelakor di luar sana dong.""Biiisaaaaa ... aja kamu jawabnya, ya? Gak nyangka anak Ibu ini udah nikah aja. Padahal Ibu ngerasa kamu itu masih kecil.""Ck! Ibu ini!"Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu bersama Ibu seharian. Herannya, saat waktunya makan siang, Mas Joko ternyata pulang dengan membawa tiga bungkus
"Kamu ngapain?" Suara Mas Joko mengagetkanku yang sedari tadi malah fokus mengira-ngira berapa jumlah uang yang ada di tas Mas Joko tersebut. "Hah, em ... nggak ngapa-ngapain," jawabku gelagapan. Mas Joko langsung menjauh dan memasukkan tasnya ke dalam lemari pakaian. Dia seperti tahu kalau aku sedang memperhatikan isi tasnya sedari tadi. 'Tadi aku udah punya tiga ratus ribu dari Ibu, nah ... kayaknya kalau aku ambil dua ratus ribu lagi dari tas Mas Joko, kayaknya dia gak bakalan tahu juga, deh. Apa mungkin ... itu uang simpanan dia selama ini, ya? Ah, nanti aku coba ambil diam-diam, deh. Kalo minta, kan, pasti gak bakalan di kasih. Jadi, nanti uangku bakalan pas 500ribu buat beli skincare. Kalau kurang, tinggal ngambil lagi aja nanti ya, itu pun kalo gak ketahuan. Hihi.' Aku tertawa dalam hati mengingat rencanaku sendiri. 'Bukankah kalau suami tak memberikan uang nafkah karena pelit, kikir, kedekut, qorun dan sejenisnya, maka sang istri boleh mengambilnya sendiri tanpa sepengetah
"Sedang apa Mas Joko dengan ulat bulu itu di sini? Apa mereka janjian?" gumamku sambil mendekat dan duduk di bangku yang ada persis dibelakang Mas Joko. Aku yakin, mereka takkan mengenaliku dengan dandanan seperti ini. 'Liat aja kamu, Mas. Kalau sampe kamu ketahuan macem-macem sama tu ulat bulu. Aku potong sampe abis kepunyaanmu itu!' batinku kesal. Kuambil buku menu dan pura-pura memilih sambil mendengarkan apa yang mereka bicarakan. "Tumben makan di sini, Mas? Biasanya siang-siang gini, Mas Joko pulang ke rumah." Aku mendengar suara Mbak Surti yang seperti kucing minta ka-win itu, begitu dibuat-buat di hadapan Mas Joko. Aku yakin, kini badannya itu sedang meliuk-liuk seperti ulat bulu kepanasan. 'Dasar janda gatel!'"Iya, Dek. Lagi bosen aja makan di rumah, sekali-sekali kayaknya gak apa-apa makan bakso begini. Biar otak jadi seger lagi."'Huh! Matamu yang seger kali, Mas! Iya, gak seger gimana? Bisa liat jendes kegatelan itu. Dan apa katamu? Kamu bosen makan di rumah? Di pikir a
PoV Joko. Joko rasanya kesal sekali hari ini pada Lastri. Karena istrinya itu, Joko jadi harus membayarkan semua bakso yang di makan oleh para pengunjung kedai tadi. Dia harus menghabiskan uang sebanyak 300ribu. Semua melayang begitu saja. Padahal, tadinya Joko berniat untuk minta di bayarkan baksonya oleh Surti, karena Surti tadi sempat mengatakan bahwa akan mentraktir Joko. Tapi, karena ulah Lastri, Joko ujung-ujungnya malah harus keluar uang lebih banyak hari ini. "Mas Joko, makasih traktirannya. Semoga makin berkah rejekinya.""Mas Joko, sering-sering aja traktir kita, ya. Biar rejekinya makin ngalir deres kalo rajin traktir orang.""Mas Joko, lain kali lagi, ya?"'Cih! Enak saja. Gak lagi-lagi aku mentraktir mereka cuma-cuma,' batin Joko kesal. Joko langsung melengos sebal mendengar ucapan dari mereka yang hari ini terpaksa ia traktir. Wajahnya terlanjur malu jika tak membayarkan semua pesanan yang ada, karena Lastri sudah sesumbar dan membuat pengumuman kalau Joko lah yang ak
Lastri terus tertawa cekikikan melihat suaminya ternyata sangat takluk jika dihadapkan dengan sang ibu. Tadinya, dia pikir sang mertua akan lebih membela anaknya sendiri daripada dirinya. "Ampun, Buk'e .... Ampuuun ...." Joko memohon sambil memeluk lutut ibunya yang kini berdiri di hadapannya. "Ampun ampun! Pas koe bikin istri koe menderita, opo ora mikir itu otakmu, Le?! Buk'e gak nyangka aja kamu bisa sekikir itu sama istrimu sendiri! Siapa yang ajarin kamu begitu, hah?! Siapa?!" Darmi terus saja memukul-mukul pundak anak lelakinya yang kini masih betah memeluk lututnya dengan erat sambil meminta ampun. "Joko cuma mau ajarin Lastri hemat loh, Buk'e. Bukan mau bikin dia menderita." Joko mencoba melakukan pembelaan diri. "Heleeeehh ... masih bisa njawab koe! Hemat sama medit versi koe tu kok, yo podo wae! Sama-sama bikin istrimu menderita. Pokok'e mulai hari ini sampai ke depannya kalo Buk'e tahu koe pelit lagi sama istri koe, hmm ... jangan harap Buk'e mau ngakuin koe anak Buk'e
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
PoV Lastri"Aarrgghh!! Sial!!" Mas Joko terlihat mengumpat lalu turun dari atas tubuhku. Mungkin karena aku terus menghindarinya yang berniat menjamahku, belum lagi aku terus menerus menangis dan meminta tolong, dia jadi terlihat kesal sekaligus menyesal.Setelah dia turun, lekas aku menyilangkan tangan di depan dadaku sambil meringkuk dan terus terisak.Rasanya memang sangat sakit dan sesak. Bukan hanya sakit di badanku, tapi juga hatiku. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang dia lakukan saat ini. Padahal aku sudah mencoba berdamai dengan masa lalu kami dan memaafkan semuanya. Tapi, dengan perlakuannya yang seperti ini justru membuat aku semakin terluka dan membencinya. Na'asnya, ternyata tak satu orangpun yang datang menolongku. Entah ke mana orang-orang di hotel ini. Apakah suaraku kurang keras sehingga tak ada yang menolongku sama sekali? Ataukah memang kamar ini kedap suara. Aku sama sekali tak paham. Netraku kini tertuju pada telepon yang ada disamping tempat tidur. Bi
PoV Lastri. Perasaan gembira kini memenuhi hatiku karena tiga hari lagi, aku dan Mas Putra akan segera melangsungkan akad nikah dan mengikat hubungan kami dalam sebuah ikatan suci yang bernama pernikahan. Sedari pagi, rasanya senyum selalu mengembang di wajahku jika mengingat kalau sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri dari lelaki yang sangat kucintai.Hari ini rencananya akan di adakan pengajian untuk kelancaran pernikahanku dengan Mas Putra. Dan aku sudah bersiap sedari sore, dan kini aku sibuk memoles make up tipis di wajahku depan meja rias. Saat sedang asyik memakai make up, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku tanpa permisi maupun mengetuk pintu. Dia memakai topi dan masker hitam. Memang kumaklumi jika banyak orang saat ini di luar, dan dia katanya masuk karena di minta untuk mendekorasi kamarku, padahal acara hari ini yang di dekor hanya bagian luarnya saja. Tidak dengan kamarku. Kupikir, setelah mengatakan hal tersebut, dia akan pergi, anehnya dia
PoV JOKOHari ini aku akan pergi menyusul Lastri ke kotanya. Aku dengar dari Buk'e jika besok, mantan istriku itu akan mengadakan acara pengajian karena tiga hari setelahnya, dia akan menikah dengan si Putra sialan itu! Sungguh duniaku terasa jungkir balik semenjak bercerai dengan Lastri. Aku sudah berusaha untuk mencoba menerima Surti dan memaklumi setiap tingkah lakunya yang selalu membuat kepalaku pusing setiap hari. Tapi, saat aku merasa perlakuan Surti padaku itu seperti karma untukku atas apa yang kulakukan pada Lastri dulu, aku mencoba untuk bersabar. Hanya saja, kesabaranku ternyata hanya setipis selembar tisu yang di bagi dua. Surti terus saja merongrongku dengan banyak permintaan, sedangkan apa yang kuharapkan darinya tak pernah dia dengar. Dia selalu seenaknya sendiri. "Tolong lah, Dek. Mas bisa nurutin semua keinginan kamu itu. Tapi, hargailah aku sebagai suamimu. Jangan selalu menghina dan merendahkanku setiap hari. Aku juga punya hati. Bisakah kamu lemah lembut sedikit