PoV Lastri
Sungguh aku geram dengan kelakuan Mas Joko. Bisa-bisanya dia mengancamku agar menyembunyikan kelakukannya di depan ibuku sendiri. Terlihat sekali kalau dia sangat takut jika ibuku itu murka, sampai-sampai dia tega mencubit pinggangku diam-diam.Oke, kali ini aku akan menurut. Tapi, kita lihat saja kedepannya. Siapa yang lebih pintar di antara kita, Mas!Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan memperlakukan aku seperti ini. Jika memang semua pengorbanan dan kesabaranku selama ini tak ada hasilnya, maka aku akan pastikan bahwa semua akan berakhir dengan semestinya."Permisiii ...." Suara seseorang terdengar memanggil dari depan rumah. Bergegas aku ke depan. Tapi, Mas Joko tiba-tiba di tahan oleh ibukku untuk membetulkan keran air yang tadi bocor saat di pakainya di toilet.Saat berjalan ke depan, netraku tertuju pada kantong kresek yang masih teronggok di lantai.'Duh, pake lupa nyimpen segala ini belanjaan dari Ibu. Mas Joko tadi ngintip dalemnya gak, ya? Gawat kalau dia ngintip! Ah, mending sekarang aku sembunyiin dulu, keburu Mas Joko liat.'Aku mengambil kantong kresek besar tersebut lalu memasukkannya ke bawah kolong tempat tidur. Beruntung sekali ranjang yang Ibuku belikan ini sangat besar dan ada kolongnya, jadi aku bisa menyembunyikan makanan di bawah sana. Mudah-mudahan gak ada tikus yang masuk ke rumah dan Mas Joko juga gak tahu soal kantong kresek ini.Selesai menyembunyikan makanan, aku langsung ke depan, karena sedari tadi tamu itu tak berhenti memanggil."Eh, Mbak Surti, ada apa, ya?" tanyaku ketika melihat seorang perempuan berdiri di depan rumahku sambil celingukan. Mbak Surti adalah seorang janda kembang. Kabarnya, dia itu sama-sama baru pindah ke kampung ini. Kalau aku lihat-lihat, umurnya sepertinya sama dengan Mas Joko. Kata Mas Joko, sih, dia mengontrak dipinggir jalan dekat bengkel Mas Joko sambil jualan seblak."Em ... anu, Mas Jokonya ada gak, Dek Lastri?"Aku mengernyit heran. Mau apa Mbak Surti ini cari suamiku."Ada, Mbak. Kalau boleh tau, ada perlu apa, ya?" tanyaku penuh selidik. Rasanya radar anti pelakorku mulai mendeteksi sinyal yang tak baik dari perempuan di hadapanku ini."Eh, anu. Itu motor Mbak mogok, mau minta Mas Joko benerin."Motor mogok sampe cari Mas Joko ke rumah? Hmmm ... Dia sangat mencurigakan. Padahal di bengkel Mas Joko pasti sudah ada pegawai yang menangani kerusakan motor. Tapi ini? Dia malah sengaja jauh-jauh ke sini untuk mencari suamiku. Maksudnya apa coba?"Maaf, Mbak. Bukannya di bengkel udah ada Mas Toni sama Mas Deni, ya? Kok, Mbak pake repot-repot nyusulin ke sini segala?" tanyaku penuh selidik. Wajah Mbak Surti langsung terlihat tak enak. Sepertinya memang ada bibit-bibit ulat bulu di diri Mbak Surti ini."Itu, anu, em ... katanya pegawai Mas Joko gak bisa benerinnya, yang bisa benerin itu katanya cuma Mas Joko. Jadi, aku ke sini nyusulin."Anehnya, perasaanku tetap merasa tak percaya dengan ucapan janda satu ini. Seperti mengada-ada.Kalau memang mereka tak bisa membetulkan motornya, kenapa pakai suruh menyusul ke sini segala? Bukannya mereka ada ponsel. Kan, mereka bisa menghubungi Mas Joko langsung. Tak perlu lah janda satu ini datang ke rumah segala. Mana bajunya ketat sekali seperti bungkus kulit sosis. Sampai-sampai lekuk tubuhnya yang bohay itu terlihat sangat menonjol."Kenapa Mas Toni gak--""Eh, Dek Surti. Ada apa, kok sampe nyusulin ke sini segala? Motornya mogok lagi?" Belum juga selesai aku bicara, ternyata Mas Joko sudah menyusul bersama Ibu. Dan ... Mas Joko panggil dia apa? Dek? Dia panggil Mbak Lastri, Dek? Kurang asem! Kayaknya aku memang harus hati-hati. Jangan-jangan mereka ... Ah, aku takkan banyak bicara tapi akan kucari buktinya."Iya, Mas. Tolong benerin lagi, ya? Soalnya mau Surti pake nanti sore," ucapnya sambil membenarkan anak rambutnya ke belakang telinga dan tersenyum ke arah Mas Joko. Kecentilan sekali dia, pikirku."Siapa, Jok?" tanya Ibu penuh selidik."Ini, pelangganku di bengkel, Bu. Motornya langganan mogok, dan sering Joko benerin. Ya, udah ayo kita ke bengkel, Dek. Emm ... Bu, Joko pamit mau lanjut kerja lagi ke depan, ya? Ibu gak apa di tinggal dulu sama Lastri, kan?" pamit Mas Joko."Oh, ya, udah. Awas hati-hati kena ulat bulu kamu, Jok. Nanti gatel, " sindir Ibu pada Mbak Surti sambil mendelik.Ibu kemudian mengajakku kembali ke dalam, "hati-hati kamu, Neng. Cewek tadi kayaknya ada niat gak bener sama suamimu," ucap Ibu sambil sedikit memperingatkan."Ck! Tenang aja, Bu. Kalo Mas Joko macem-macem, tinggal aku sunat aja itu burungnya dua kali. Biar tau rasa! Kalo suami pelit, sih, aku masih tahan. Tapi kalau suami selingkuh, aku gak bakalan kasih ampun!" ucapku berapi-api."Loh, emangnya Joko pelit gitu, sama kamu, Neng?"Aku langsung menepuk jidatku pelan, "bu-bukan gitu maksudnya, Bu. Kan, Lastri bilang kalau itu. Emm ... Seandainya gitu maksud Lastri. Mas Joko baik, kok.""Bener? Kamu gak lagi nyembunyiin sesuatu dari Ibu, kan?""Iya, Bu. Bener," ucapku meyakinkan."Oh, syukur kalo gitu. Eh, ngomong-ngomong, ini keresek isi belanjaan dari Ibu tadi kemana, Neng? Kok, gak ada?""Oh, emm ... itu ... tadi udah Lastri simpen, Bu." Bingung juga aku harus menjawab apa."Udah di simpen? Emang kamu simpen di mana? Kok, Ibu gak liat kamu ke dapur lagi dari tadi juga?""Aduuuhh ... itu, Bu. Em ... Aku ... Aku simpen di kolong ranjang," cicitku tak bisa berbohong lagi."Kolong ranjang? Loh? Kok, kamu simpen di kolong ranjang segala, Neng? Nanti ada tikus loh! Kenapa gak kamu simpen di bufet?"Aduuuhhhh ... aku mesti jawab apa?? Gak mungkin kan kubilang sama ibu kalau di simpen di sana biar gak ketahuan sama Mas Joko? Bisa langsung di seret pulang ke rumah, aku!Ternyata agak susah juga mencari alasan agar membuat ibu percaya dengan apa yang kukatakan. "Aku takut ketahuan Mas Joko Bu," ucapku. "Loh, emangnya kenapa kalo Joko tau?" Nah, kan. Pasti banyak nanya. "Emm ... aku kan, lagi diet, Bu." Berdusta lagi akhirnya. "Ya ampun ... Ibu kira kenapa. Kamu itu pake diet-diet segala. Nanti sakit magh. Lagian, Joko juga pasti paham kalo kamu suka nyemil. Pake takut ketahuan segala.""Udah deh, pokoknya Ibu diem aja. Terserah Lastri mau gimana juga. Kan itu makanan udah jadi milik lastri. Oke?" "Iya, deh. Tapi, inget kata Ibu. Jangan diet-diet!""Bu, aku harus tetep langsing dan jaga penampilan buat suami. Jangan mau kalah sama pelakor di luar sana dong.""Biiisaaaaa ... aja kamu jawabnya, ya? Gak nyangka anak Ibu ini udah nikah aja. Padahal Ibu ngerasa kamu itu masih kecil.""Ck! Ibu ini!"Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu bersama Ibu seharian. Herannya, saat waktunya makan siang, Mas Joko ternyata pulang dengan membawa tiga bungkus
"Kamu ngapain?" Suara Mas Joko mengagetkanku yang sedari tadi malah fokus mengira-ngira berapa jumlah uang yang ada di tas Mas Joko tersebut. "Hah, em ... nggak ngapa-ngapain," jawabku gelagapan. Mas Joko langsung menjauh dan memasukkan tasnya ke dalam lemari pakaian. Dia seperti tahu kalau aku sedang memperhatikan isi tasnya sedari tadi. 'Tadi aku udah punya tiga ratus ribu dari Ibu, nah ... kayaknya kalau aku ambil dua ratus ribu lagi dari tas Mas Joko, kayaknya dia gak bakalan tahu juga, deh. Apa mungkin ... itu uang simpanan dia selama ini, ya? Ah, nanti aku coba ambil diam-diam, deh. Kalo minta, kan, pasti gak bakalan di kasih. Jadi, nanti uangku bakalan pas 500ribu buat beli skincare. Kalau kurang, tinggal ngambil lagi aja nanti ya, itu pun kalo gak ketahuan. Hihi.' Aku tertawa dalam hati mengingat rencanaku sendiri. 'Bukankah kalau suami tak memberikan uang nafkah karena pelit, kikir, kedekut, qorun dan sejenisnya, maka sang istri boleh mengambilnya sendiri tanpa sepengetah
"Sedang apa Mas Joko dengan ulat bulu itu di sini? Apa mereka janjian?" gumamku sambil mendekat dan duduk di bangku yang ada persis dibelakang Mas Joko. Aku yakin, mereka takkan mengenaliku dengan dandanan seperti ini. 'Liat aja kamu, Mas. Kalau sampe kamu ketahuan macem-macem sama tu ulat bulu. Aku potong sampe abis kepunyaanmu itu!' batinku kesal. Kuambil buku menu dan pura-pura memilih sambil mendengarkan apa yang mereka bicarakan. "Tumben makan di sini, Mas? Biasanya siang-siang gini, Mas Joko pulang ke rumah." Aku mendengar suara Mbak Surti yang seperti kucing minta ka-win itu, begitu dibuat-buat di hadapan Mas Joko. Aku yakin, kini badannya itu sedang meliuk-liuk seperti ulat bulu kepanasan. 'Dasar janda gatel!'"Iya, Dek. Lagi bosen aja makan di rumah, sekali-sekali kayaknya gak apa-apa makan bakso begini. Biar otak jadi seger lagi."'Huh! Matamu yang seger kali, Mas! Iya, gak seger gimana? Bisa liat jendes kegatelan itu. Dan apa katamu? Kamu bosen makan di rumah? Di pikir a
PoV Joko. Joko rasanya kesal sekali hari ini pada Lastri. Karena istrinya itu, Joko jadi harus membayarkan semua bakso yang di makan oleh para pengunjung kedai tadi. Dia harus menghabiskan uang sebanyak 300ribu. Semua melayang begitu saja. Padahal, tadinya Joko berniat untuk minta di bayarkan baksonya oleh Surti, karena Surti tadi sempat mengatakan bahwa akan mentraktir Joko. Tapi, karena ulah Lastri, Joko ujung-ujungnya malah harus keluar uang lebih banyak hari ini. "Mas Joko, makasih traktirannya. Semoga makin berkah rejekinya.""Mas Joko, sering-sering aja traktir kita, ya. Biar rejekinya makin ngalir deres kalo rajin traktir orang.""Mas Joko, lain kali lagi, ya?"'Cih! Enak saja. Gak lagi-lagi aku mentraktir mereka cuma-cuma,' batin Joko kesal. Joko langsung melengos sebal mendengar ucapan dari mereka yang hari ini terpaksa ia traktir. Wajahnya terlanjur malu jika tak membayarkan semua pesanan yang ada, karena Lastri sudah sesumbar dan membuat pengumuman kalau Joko lah yang ak
Lastri terus tertawa cekikikan melihat suaminya ternyata sangat takluk jika dihadapkan dengan sang ibu. Tadinya, dia pikir sang mertua akan lebih membela anaknya sendiri daripada dirinya. "Ampun, Buk'e .... Ampuuun ...." Joko memohon sambil memeluk lutut ibunya yang kini berdiri di hadapannya. "Ampun ampun! Pas koe bikin istri koe menderita, opo ora mikir itu otakmu, Le?! Buk'e gak nyangka aja kamu bisa sekikir itu sama istrimu sendiri! Siapa yang ajarin kamu begitu, hah?! Siapa?!" Darmi terus saja memukul-mukul pundak anak lelakinya yang kini masih betah memeluk lututnya dengan erat sambil meminta ampun. "Joko cuma mau ajarin Lastri hemat loh, Buk'e. Bukan mau bikin dia menderita." Joko mencoba melakukan pembelaan diri. "Heleeeehh ... masih bisa njawab koe! Hemat sama medit versi koe tu kok, yo podo wae! Sama-sama bikin istrimu menderita. Pokok'e mulai hari ini sampai ke depannya kalo Buk'e tahu koe pelit lagi sama istri koe, hmm ... jangan harap Buk'e mau ngakuin koe anak Buk'e
Pov LastriSeminggu sudah ibu mertua menginap di rumah. Seminggu itu juga aku merasa hidup di surga. Uang belanja selalu full, tambah lagi makanan enak dan camilan setiap hari selalu siap sedia. Beruntungnya aku mendapatkan mertua yang sebelas duabelas baiknya dengan ibuku. Beliau suka makanan enak dan juga suka jajan. Sayangnya saja aku punya suami yang pelitnya ternyata bisa menyaingi Tuan Takur. Hari ini, dengan terpaksa ibu mertuaku harus pulang kampung, karena katanya Mbak Tiwi~Kakaknya Mas Joko akan datang berkunjung. Mbak Tiwi adalah kakak satu-satunya Mas Joko. Dia sudah menikah dan ikut suaminya ke pulau seberang, jadi jarang sekali mengunjungi ibu mertua. Oleh sebab itu, mendengar Mbak Tiwi akan pulang kampung, Buk'e langsung senang karena bisa bertemu dengan anak sulungnya itu. Apalagi, Buk'e juga katanya rindu dengan kedua cucunya, anak Mbak Tiwi dengan Mas Teguh~Suaminya. Mas Joko dan Mbak Tiwi hanya dua bersaudara yang sangat dekat. Senang sekali sepertinya jika aku ju
Hari ini aku ingin pergi berbelanja saja ke pasar untuk menghilangkan jenuh. Sekalian aku mau mencari jajanan buat stok di rumah, nanti makanannya biar aku sembunyikan lagi di bawah tempat tidur. Toh, Mas Joko selama ini juga gak tahu kalau aku menyembunyikan makana di sana. Saat sedang asyik berjalan menyusuri pasar,tiba-tiba aku bertemu dengan Kak Dahlia sedang memilih buah-buahan. Dia adalah sepupu jauhku. Tepatnya kakak sepupu karena ibunya adalah anak dari kakaknya nenekku. (Bingung gak? Sama aku juga. Hehe) Kami sudah jarang sekali bertemu. Tak seperti dulu, dia sering mengajakku bermain karena usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. "Kak Dahlia?" Aku menepuk pundaknya. Perempuan yang memakai baju batik dan rok span panjang itu menoleh. Hijabnya yang panjang terlihat menambah kecantikannya, sepertinya dia sekarang sudah menjadi seorang tenaga pengajar. "Loh, Dek Lastri? Lagi apa di sini? Udah lama loh, kita gak ketemu," serunya sambil memeluk dan mencium pipi kanan kiriku. "
Rencana untuk menyembunyikan sembako pun gagal. Kini aku harus pasrah, ketika Mas Joko sudah mengetahui semua dan menguasainya. Setelah mengobrol agak lama, Kak Dahlia dan Mqs Guntur akhirnya pamit undur diri. Dan entah kenapa, Mas Joko juga tak langsung kembali ke bengkel malah diam di rumah. "Dek Lastri, kami gak bisa lama-lama. Masih ada keperluan lain soalnya." Pamit Kak Dahlia. "Oh, iya, Kak. Gak apa-apa. Duh, maaf, ya, ke sini malah di anggurin, mana gak di suguhin makanan sama sekali pula. Jadi gak enak." Aku mendelik ke arah Mas Joko yang tak mau membelikan camilan untuk menyuguhi tamu. Tapi dia sama sekali tak merasa bersalah. Dasar memang suami pelit. "Gak apa-apa, Dek. Gak usah repot-repot. Kita cuma sebentar aja. Oh, iya, ini ada rejeki sedikit buat Dek Lastri, di terima, ya?" Mas Guntur menyalamiku sambil menyelipkan uang di tanganku. Mas Joko langsung melotot melihatku mendapatkan uang. Sepertinya nasib sial sedang menimpaku hari ini. Aku tak bisa menyembunyikan semua
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
PoV Lastri"Aarrgghh!! Sial!!" Mas Joko terlihat mengumpat lalu turun dari atas tubuhku. Mungkin karena aku terus menghindarinya yang berniat menjamahku, belum lagi aku terus menerus menangis dan meminta tolong, dia jadi terlihat kesal sekaligus menyesal.Setelah dia turun, lekas aku menyilangkan tangan di depan dadaku sambil meringkuk dan terus terisak.Rasanya memang sangat sakit dan sesak. Bukan hanya sakit di badanku, tapi juga hatiku. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang dia lakukan saat ini. Padahal aku sudah mencoba berdamai dengan masa lalu kami dan memaafkan semuanya. Tapi, dengan perlakuannya yang seperti ini justru membuat aku semakin terluka dan membencinya. Na'asnya, ternyata tak satu orangpun yang datang menolongku. Entah ke mana orang-orang di hotel ini. Apakah suaraku kurang keras sehingga tak ada yang menolongku sama sekali? Ataukah memang kamar ini kedap suara. Aku sama sekali tak paham. Netraku kini tertuju pada telepon yang ada disamping tempat tidur. Bi
PoV Lastri. Perasaan gembira kini memenuhi hatiku karena tiga hari lagi, aku dan Mas Putra akan segera melangsungkan akad nikah dan mengikat hubungan kami dalam sebuah ikatan suci yang bernama pernikahan. Sedari pagi, rasanya senyum selalu mengembang di wajahku jika mengingat kalau sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri dari lelaki yang sangat kucintai.Hari ini rencananya akan di adakan pengajian untuk kelancaran pernikahanku dengan Mas Putra. Dan aku sudah bersiap sedari sore, dan kini aku sibuk memoles make up tipis di wajahku depan meja rias. Saat sedang asyik memakai make up, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku tanpa permisi maupun mengetuk pintu. Dia memakai topi dan masker hitam. Memang kumaklumi jika banyak orang saat ini di luar, dan dia katanya masuk karena di minta untuk mendekorasi kamarku, padahal acara hari ini yang di dekor hanya bagian luarnya saja. Tidak dengan kamarku. Kupikir, setelah mengatakan hal tersebut, dia akan pergi, anehnya dia
PoV JOKOHari ini aku akan pergi menyusul Lastri ke kotanya. Aku dengar dari Buk'e jika besok, mantan istriku itu akan mengadakan acara pengajian karena tiga hari setelahnya, dia akan menikah dengan si Putra sialan itu! Sungguh duniaku terasa jungkir balik semenjak bercerai dengan Lastri. Aku sudah berusaha untuk mencoba menerima Surti dan memaklumi setiap tingkah lakunya yang selalu membuat kepalaku pusing setiap hari. Tapi, saat aku merasa perlakuan Surti padaku itu seperti karma untukku atas apa yang kulakukan pada Lastri dulu, aku mencoba untuk bersabar. Hanya saja, kesabaranku ternyata hanya setipis selembar tisu yang di bagi dua. Surti terus saja merongrongku dengan banyak permintaan, sedangkan apa yang kuharapkan darinya tak pernah dia dengar. Dia selalu seenaknya sendiri. "Tolong lah, Dek. Mas bisa nurutin semua keinginan kamu itu. Tapi, hargailah aku sebagai suamimu. Jangan selalu menghina dan merendahkanku setiap hari. Aku juga punya hati. Bisakah kamu lemah lembut sedikit