"Mas kenapa, sih? Kok, semenjak kita pindah jadi pelit kayak gini?" Aku melayangkan protes kali ini pada Mas Joko. Aku tak boleh diam saja saat kelakuan Mas Joko sudah keterlaluan seperti ini.
"Pelit? Bukan Mas yang pelit, tapi kamunya aja yang boros, Dek!" balas Mas Joko ketus."Loh, biasanya juga, Mas gak banyak ngatur meski aku banyak jajan? Sekarang kenapa malah jadi ngatur-ngatur kayak gini, sih?""Mas udah cukup diem selama ini, Dek. Kamu selalu menghabiskan uang yang Mas kasih tiap minggunya. Bahkan kamu gak pernah bisa menabung. Padahal Mas selalu kasih kamu uang dua ratus ribu seminggu." Mas Joko terlihat sekali kesalnya. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah banyak bicara. Mas Joko termasuk suami yang pendiam dan tak banyak mengatur. Tapi, melihatnya seperti ini, aku jadi merasa dia seolah bukan Mas Joko. Apa mungkin dia kerasukan Jin? Ah, tapi mana mungkin juga."Mas, uang dua ratus ribu cukup buat apa? Buat ganti bekas makan kita aja gak bakal cukup. Mana semua kebutuhan sehari-hari, kan, dari ibuku, Mas. Gas, sabun, listrik, beras, bahkan lauknya juga ibuku yang sediakan. Tambah lagi, Ibu juga sering kasih aku baju. Kita udah enak cuma tinggal makan tidur aja, gak mikirin yang lain. Jadi, wajar dong, kalau aku kasihkan uang nafkah dari Mas Joko ke Ibu?"Aneh sekali Mas Joko ini. Bukannya bersyukur tinggal di rumah orang tuaku, enak. Tinggal makan, tidur, gak usah mikir bayar listrik atau beli beras. Ini malah uring-uringan bilang aku boros."Gak mikir, katamu? Cuma makan tidur? Aku kerja, Dek. Aku capek cari kerja buat nafkahin kamu, tapi kamu malah kasih semua sama ibumu. Dahlah, capek ngomong sama kamu. Mas mau balik ke depan. Tadinya Mas cuma mau ambil kunci inggris ketinggalan. Liat kamu kayak gini malah jadi kesel, kan." Mas Joko melengos begitu saja."Eh, Mas. Balikin dulu uangku yang tadi." Aku menahan lengannya. Tapi Mas Joko malah menepisnya."Uangnya biar Mas yang simpen. Mulai besok, Mas yang kasih kamu jatah, lima ribu sehari," ucapnya sambil melenggang keluar rumah."Hah? Lima ribu? Mana cukup. Maaaasss ... jangan kayak gini dong. Mas! Maaasss! Iiiiih! Kamu nyebeliiin!" teriakku.Mas Joko malah menghiraukanku dan pergi begitu saja. Selera makanku pun jadi hilang. Tapi, melihat isi mangkuk yang masih sisa setengahnya, akhirnya aku kembali menghabiskan sisa baksoku itu meski dengan perasaan yang dongkol.Hah ... Apa tadi yang Mas Joko bilang? Jatahku lima ribu sehari katanya? Enak saja. Aku tak biasa di atur seperti itu. Bahkan saat di rumah Ibu saja, aku selalu mendapatkan jatah sendiri dari ibu. Maklum, ibu dan bapakku adalah orang yang cukup berada. Ibu memiliki toko baju di pasar, sedangkan Bapak mengelola toko sayuran.Aku memilih menikah dengan Mas Joko setahun setelah keluar dari SMA. Meski aku di minta berkuliah oleh kedua orang tuaku itu, tapi karena rasa cintaku pada Mas Joko yang usianya tujuh tahun lebih tua dariku itu, akhirnya kedua orang tuaku terpaksa setuju menikahkanku dengannya.Aku bertemu dengan Mas Joko di sosial media. Mas Joko yang tampan dan gagah juga terlihat dewasa itu sudah memikat hatiku sejak pertama kali kami bertemu. Aku yang baru mengenal cinta selalu merasa di ratukan oleh Mas Joko setiap hari.Meski Mas Joko bukan dari kalangan berada, tapi perhatiannya berhasil membuatku jatuh cinta.Hanya saja, melihatnya yang sekarang, kenapa aku seakan kehilangan Mas Joko ku yang dulu? Apa yang telah membuatnya berubah drastis sebenarnya?***Seminggu berlalu ... ternyata ucapan Mas Joko yang berkata bahwa beras satu kilogram untuk seminggu itu benar-benar dia realisasikan.Selama seminggu ini, kami makan setiap hari dengan menu yang sama. Menu yang waktu itu sudah Mas Joko beli. Iwak asin, telur dadar, sambel dan kadang dengan lalapan kadang juga tidak. Bayangkan saja, selama satu minggu penuh, setiap sehari tiga kali, aku harus makan dengan menu yang sama terus-menerus. Bahkan, ketika sore hari tiba, ternyata jatah lima ribu yang diberikan oleh Mas Joko itu, harus kubelikan lauk untuk makan malam karena telur dadar tipis yang di bagi empat itu hanya cukup untuk dua kali makan. Alhasil, uang itu kubelikan tahu, tempe, atau apapun itu untuk lauk makan malamku dengan Mas Joko.Sebenarnya aku sama sekali tak masalah jika makan hanya dengan garam atau iwak asin sekalipun, asal nasinya bisa membuatku kenyang. Sedangkan ini? Mas Joko tetap menjatahku dengan lima sendok nasi yang porsinya hanya cukup untuk balita. Kadang, aku sampai lemas menunggu waktu makan tiba karena Mas Joko tetap saja mengunci lemari penyimpanan makanan itu setiap kali dia pergi bekerja.Setiap kali aku memprotes, Mas Joko selalu menasihatiku,. Dia bilang kalau dia melakukan semua itu agar kita cepat bisa membeli rumah. Aku yang melihat kesungguhannya kadang jadi tersentuh. Apalagi, dia juga ikut makan sedikit sama sepertiku, padahal dia harus bekerja di bengkel dan butuh banyak tenaga. Jadi, aku coba saja dulu mengikuti keinginannya.Beruntungnya, uang sisa yang ibuku berikan waktu itu, diam-diam bisa kugunakan untuk mengganjal perut. Kadang aku membeli mie instan, roti, atau apapun itu saat Mas Joko tak ada di rumah. Yang penting aku tak ketahuan lagi olehnya. Biarlah dia menyangka aku ini istri yang penurut untuk sementara waktu. Aku hanya ingin tahu, benarkah dia memang bersungguh-sungguh ingin membangunkan aku rumah. Jadi, aku akan mendukungnya terlebih dahulu meski aku harus sembunyi-sembunyi makan di belakangnya. Jika uangku habis, aku mungkin bisa meminta uang pada ibuku saja. Tentu tanpa sepengetahuan Mas Joko.Suang ini, aku rasanya ingin pergi melihat pekerjaan Mas Joko di depan. Kata tetangga sebelahku, sih, bengkel Mas Joko selalu ramai pengunjung. Aku jadi penasaran bagaimana aktifitas dia saat bekerja.Dengan langkah riang, aku berjalan ke arah jalan raya di mana bengkel Mas Joko berada di dekat pertigaan sana. Jarak dari kontrakan ke sana lumayan jauh sekitar setengah kilo meter. Tapi, tak menyurutkan niatku untuk melihat suamiku bekerja.Saat sampai bengkel, ternyata Mas Joko tak ada di sana. Hanya ada dua orang pegawainya saja yang kuketahui sudah ikut dengannya selama tiga tahun ini. Mereka terlihat sedang mengganti ban motor pelanggan.Mas Toni, maaf. Mas Joko nya kemana, ya?" tanyaku pada salah satu pegawai yang kutahu bernama Toni."Oh, Neng Lastri. Mas Jokonya lagi ke depan sana, katanya tadi belum sarapan, jadi mau beli nasi padang dulu."Deg!Dengan langkah tergesa, aku buru-buru menyusul Mas Joko ke warung nasi padang yang tak jauh dari bengkelnya. Hatiku rasanya sudah panas terbakar membayangkan Mas Joko yang sedang enak-enakan makan dengan rendang sedangkan aku di kontrakan dia biarkan kelaparan sendiri. Sungguh sampai hati Mas Joko jika benar semua itu terjadi. Aku pasti akan langsung meminta cerai saja padanya. Percuma juga aku mempertahankan pernikahan dengan pria egois seperti itu. Dari kejauhan, aku sudah melihat punggung Mas Joko yang sedang berdiri mengantri dengan pelanggan lainnya. Akupun perlahan mendekat dan berdiri di belakangnya, beruntung ternyata dia tak menyadari keberadaanku. "Bang, mau nasi satu sama rendangnya dua, ya. Jangan lupa tahu tempe sama lalab dan sambelnya juga," ucap Mas Joko pada si Abang yang kini sibuk melayani. 'Rakus sekali Mas Joko ini, daging rendangnya sampai pesan dua segala,' batinku. Rasanya hati ini semakin kesal. "Bungkus atau di sini, Mas?" tanya si Abang. "Bungkus aja, B
Minggu kedua .... "Mas, apa gak berlebihan kita makan kayak gini terus? Emm ... maksud Adek, kalau beras sekilo buat tiga hari mungkin masih wajar, Mas. Tapi, ini sekilo buat seminggu ... mana ada yang sanggup, Mas," ucapku hati-hati saat kami selesai sarapan pagi ini. "Kenapa? Adek gak terima kalau Mas kasih makan sedikit? Lihat, buktinya Adek seminggu kemarin aja, sanggup makan sedikit tiap hari. Dan Mas lihat-lihat, berat badan Adek malah kayaknya makin bertambah." Mas Joko menatapku penuh selidik. Aku langsung menggigit bibir gelagapan. 'Ya, gimana gak kuat aku seminggu kemarin, Mas. Wong tiap hari aku jajan terus kalo situ gak di rumah. Hihi. Untung aku masih ada sisa uang dari ibuku kemarin. Kalo enggak? Hmm ... Mungkin aku udah kabur dari seminggu yang lalu.' Aku membatin sendiri mendengar ucapan Mas Joko yang mengatakan aku makin gemuk. Padahal berat badanku turun satu kilo. "Sanggup, sih. Tapi aku pengennya kita biasa aja kayak orang lain, Mas. Jangan terlalu hemat sampai
PoV JOKO'Duh, gara-gara kesel sama Lastri, aku sampe lupa ngunci bufet, kan. Jangan sampe dia ngabisin makanan di sana. Bisa-bisa dia kembali boros. Udah bagus seminggu ini dia bisa tahan makan sedikit.' Aku menggerutu sepanjang jalan saat terpaksa kembali ke kontrakan. Berdoa semoga saja Lastri tak kalap dan menghabiskan makanan yang ada di sana. Sungguh merepotkan. Padahal, baru saja aku ingin menyuap nasi padang yang kubeli, aku malah teringat dengan pintu bufet yang tadi tak sempat kukunci. Terpaksa kusimpan dulu nasi padangku di meja kerja, daripada nanti nasi yang di rumah habis di makan Lastri. Ah, jadi ingat kejadian kemarin saat Lastri memergoki aku membeli nasi padang, hampir saja aku ketahuan. Untung saja tiba-tiba ada ide yang muncul di kepalaku untuk memberikan nasi itu pada kedua pegawaiku meskipun Lastri sedikit tak percaya dan aku harus keluar uang 50ribu. Tak apalah, toh, hanya sekali itu saja. Aku memang sedang mengajarkan istriku itu untuk berhemat. Kalau istilah
PoV LastriSungguh aku geram dengan kelakuan Mas Joko. Bisa-bisanya dia mengancamku agar menyembunyikan kelakukannya di depan ibuku sendiri. Terlihat sekali kalau dia sangat takut jika ibuku itu murka, sampai-sampai dia tega mencubit pinggangku diam-diam. Oke, kali ini aku akan menurut. Tapi, kita lihat saja kedepannya. Siapa yang lebih pintar di antara kita, Mas! Aku hanya ingin melihat sejauh mana kamu akan memperlakukan aku seperti ini. Jika memang semua pengorbanan dan kesabaranku selama ini tak ada hasilnya, maka aku akan pastikan bahwa semua akan berakhir dengan semestinya."Permisiii ...." Suara seseorang terdengar memanggil dari depan rumah. Bergegas aku ke depan. Tapi, Mas Joko tiba-tiba di tahan oleh ibukku untuk membetulkan keran air yang tadi bocor saat di pakainya di toilet. Saat berjalan ke depan, netraku tertuju pada kantong kresek yang masih teronggok di lantai. 'Duh, pake lupa nyimpen segala ini belanjaan dari Ibu. Mas Joko tadi ngintip dalemnya gak, ya? Gawat kal
Ternyata agak susah juga mencari alasan agar membuat ibu percaya dengan apa yang kukatakan. "Aku takut ketahuan Mas Joko Bu," ucapku. "Loh, emangnya kenapa kalo Joko tau?" Nah, kan. Pasti banyak nanya. "Emm ... aku kan, lagi diet, Bu." Berdusta lagi akhirnya. "Ya ampun ... Ibu kira kenapa. Kamu itu pake diet-diet segala. Nanti sakit magh. Lagian, Joko juga pasti paham kalo kamu suka nyemil. Pake takut ketahuan segala.""Udah deh, pokoknya Ibu diem aja. Terserah Lastri mau gimana juga. Kan itu makanan udah jadi milik lastri. Oke?" "Iya, deh. Tapi, inget kata Ibu. Jangan diet-diet!""Bu, aku harus tetep langsing dan jaga penampilan buat suami. Jangan mau kalah sama pelakor di luar sana dong.""Biiisaaaaa ... aja kamu jawabnya, ya? Gak nyangka anak Ibu ini udah nikah aja. Padahal Ibu ngerasa kamu itu masih kecil.""Ck! Ibu ini!"Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu bersama Ibu seharian. Herannya, saat waktunya makan siang, Mas Joko ternyata pulang dengan membawa tiga bungkus
"Kamu ngapain?" Suara Mas Joko mengagetkanku yang sedari tadi malah fokus mengira-ngira berapa jumlah uang yang ada di tas Mas Joko tersebut. "Hah, em ... nggak ngapa-ngapain," jawabku gelagapan. Mas Joko langsung menjauh dan memasukkan tasnya ke dalam lemari pakaian. Dia seperti tahu kalau aku sedang memperhatikan isi tasnya sedari tadi. 'Tadi aku udah punya tiga ratus ribu dari Ibu, nah ... kayaknya kalau aku ambil dua ratus ribu lagi dari tas Mas Joko, kayaknya dia gak bakalan tahu juga, deh. Apa mungkin ... itu uang simpanan dia selama ini, ya? Ah, nanti aku coba ambil diam-diam, deh. Kalo minta, kan, pasti gak bakalan di kasih. Jadi, nanti uangku bakalan pas 500ribu buat beli skincare. Kalau kurang, tinggal ngambil lagi aja nanti ya, itu pun kalo gak ketahuan. Hihi.' Aku tertawa dalam hati mengingat rencanaku sendiri. 'Bukankah kalau suami tak memberikan uang nafkah karena pelit, kikir, kedekut, qorun dan sejenisnya, maka sang istri boleh mengambilnya sendiri tanpa sepengetah
"Sedang apa Mas Joko dengan ulat bulu itu di sini? Apa mereka janjian?" gumamku sambil mendekat dan duduk di bangku yang ada persis dibelakang Mas Joko. Aku yakin, mereka takkan mengenaliku dengan dandanan seperti ini. 'Liat aja kamu, Mas. Kalau sampe kamu ketahuan macem-macem sama tu ulat bulu. Aku potong sampe abis kepunyaanmu itu!' batinku kesal. Kuambil buku menu dan pura-pura memilih sambil mendengarkan apa yang mereka bicarakan. "Tumben makan di sini, Mas? Biasanya siang-siang gini, Mas Joko pulang ke rumah." Aku mendengar suara Mbak Surti yang seperti kucing minta ka-win itu, begitu dibuat-buat di hadapan Mas Joko. Aku yakin, kini badannya itu sedang meliuk-liuk seperti ulat bulu kepanasan. 'Dasar janda gatel!'"Iya, Dek. Lagi bosen aja makan di rumah, sekali-sekali kayaknya gak apa-apa makan bakso begini. Biar otak jadi seger lagi."'Huh! Matamu yang seger kali, Mas! Iya, gak seger gimana? Bisa liat jendes kegatelan itu. Dan apa katamu? Kamu bosen makan di rumah? Di pikir a
PoV Joko. Joko rasanya kesal sekali hari ini pada Lastri. Karena istrinya itu, Joko jadi harus membayarkan semua bakso yang di makan oleh para pengunjung kedai tadi. Dia harus menghabiskan uang sebanyak 300ribu. Semua melayang begitu saja. Padahal, tadinya Joko berniat untuk minta di bayarkan baksonya oleh Surti, karena Surti tadi sempat mengatakan bahwa akan mentraktir Joko. Tapi, karena ulah Lastri, Joko ujung-ujungnya malah harus keluar uang lebih banyak hari ini. "Mas Joko, makasih traktirannya. Semoga makin berkah rejekinya.""Mas Joko, sering-sering aja traktir kita, ya. Biar rejekinya makin ngalir deres kalo rajin traktir orang.""Mas Joko, lain kali lagi, ya?"'Cih! Enak saja. Gak lagi-lagi aku mentraktir mereka cuma-cuma,' batin Joko kesal. Joko langsung melengos sebal mendengar ucapan dari mereka yang hari ini terpaksa ia traktir. Wajahnya terlanjur malu jika tak membayarkan semua pesanan yang ada, karena Lastri sudah sesumbar dan membuat pengumuman kalau Joko lah yang ak
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
PoV Lastri"Aarrgghh!! Sial!!" Mas Joko terlihat mengumpat lalu turun dari atas tubuhku. Mungkin karena aku terus menghindarinya yang berniat menjamahku, belum lagi aku terus menerus menangis dan meminta tolong, dia jadi terlihat kesal sekaligus menyesal.Setelah dia turun, lekas aku menyilangkan tangan di depan dadaku sambil meringkuk dan terus terisak.Rasanya memang sangat sakit dan sesak. Bukan hanya sakit di badanku, tapi juga hatiku. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang dia lakukan saat ini. Padahal aku sudah mencoba berdamai dengan masa lalu kami dan memaafkan semuanya. Tapi, dengan perlakuannya yang seperti ini justru membuat aku semakin terluka dan membencinya. Na'asnya, ternyata tak satu orangpun yang datang menolongku. Entah ke mana orang-orang di hotel ini. Apakah suaraku kurang keras sehingga tak ada yang menolongku sama sekali? Ataukah memang kamar ini kedap suara. Aku sama sekali tak paham. Netraku kini tertuju pada telepon yang ada disamping tempat tidur. Bi
PoV Lastri. Perasaan gembira kini memenuhi hatiku karena tiga hari lagi, aku dan Mas Putra akan segera melangsungkan akad nikah dan mengikat hubungan kami dalam sebuah ikatan suci yang bernama pernikahan. Sedari pagi, rasanya senyum selalu mengembang di wajahku jika mengingat kalau sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri dari lelaki yang sangat kucintai.Hari ini rencananya akan di adakan pengajian untuk kelancaran pernikahanku dengan Mas Putra. Dan aku sudah bersiap sedari sore, dan kini aku sibuk memoles make up tipis di wajahku depan meja rias. Saat sedang asyik memakai make up, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku tanpa permisi maupun mengetuk pintu. Dia memakai topi dan masker hitam. Memang kumaklumi jika banyak orang saat ini di luar, dan dia katanya masuk karena di minta untuk mendekorasi kamarku, padahal acara hari ini yang di dekor hanya bagian luarnya saja. Tidak dengan kamarku. Kupikir, setelah mengatakan hal tersebut, dia akan pergi, anehnya dia
PoV JOKOHari ini aku akan pergi menyusul Lastri ke kotanya. Aku dengar dari Buk'e jika besok, mantan istriku itu akan mengadakan acara pengajian karena tiga hari setelahnya, dia akan menikah dengan si Putra sialan itu! Sungguh duniaku terasa jungkir balik semenjak bercerai dengan Lastri. Aku sudah berusaha untuk mencoba menerima Surti dan memaklumi setiap tingkah lakunya yang selalu membuat kepalaku pusing setiap hari. Tapi, saat aku merasa perlakuan Surti padaku itu seperti karma untukku atas apa yang kulakukan pada Lastri dulu, aku mencoba untuk bersabar. Hanya saja, kesabaranku ternyata hanya setipis selembar tisu yang di bagi dua. Surti terus saja merongrongku dengan banyak permintaan, sedangkan apa yang kuharapkan darinya tak pernah dia dengar. Dia selalu seenaknya sendiri. "Tolong lah, Dek. Mas bisa nurutin semua keinginan kamu itu. Tapi, hargailah aku sebagai suamimu. Jangan selalu menghina dan merendahkanku setiap hari. Aku juga punya hati. Bisakah kamu lemah lembut sedikit