Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat.
"Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.
Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.
Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.
Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.
“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.
Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat setinggi perut. “Aku Adib, Tante,” katanya memperkenalkan diri.
Setelah menjabat tangan Adib, ibuku berkata, “Kalian teman satu kampus?”
Aku melangkah melewati ibuku dan berharap berdiri di tengah mereka dapat menghentikan perkenalan beresiko itu (ibuku tidak akan suka Adib kalau mengetahui nama belakangnya). “Kami akan pergi.”
Ibuku tersenyum geli seolah sedang mengejekku. “Ya, tapi jangan pulang terlalu malam.”
“Tidak akan. Kami hanya nonton,” aku memastikan.
“Adib, jangan antar pulang Irina terlalu malam.” Ternyata tadi ibuku tidak sedang bicara dengan aku. Ah!
Aku merasa lega ketika melangkah menuju mobil. Tidak kusangka semuanya akan berjalan normal dan sepertinya, ibuku menyukai Adib.
Di depan mobil, Adib mengejutkanku dengan membukakan pintu, hal itu membuat kami terlihat benar-benar seperti pasangan ideal. Aku sempat melirik ke arah ibuku yang masih berdiri di depan pintu, dia tersenyum, dan itu membuat wajahku memerah. Ketika aku sudah memasuki mobil dan duduk, mata Adib menyapu seluruh tubuhku, senyum menggemaskan mengembang di bibirnya. “Kau cantik,” katanya dan demi apa pun aku ingin menutup wajahku dengan tangan. Pujian itu justru membuatku malu.
“Terima kasih,” kataku, dan aku memberanikan diri meliriknya. “Kau juga ... keren.” Keren adalah kata yang tepat, karena kalau aku mengatakan tampan, wajahku akan jadi lebih merah—walau dia memang tampan.
***
Adib mengajakku makan malam di restoran steak yang belum pernah kukunjungi. Sebenarnya aku lebih ingin Adib mengajak ke bioskop, karena aku menyukai ketenangannya.
Aku merasa sangat canggung saat kami duduk bersebrangan di meja bundar, jari-jariku menari di atas taplak meja linen putih, mencari sesuatu untuk dilakukan. Aku butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan perhatianku dari kenyataan tentang apa yang kulakukan sekarang. Makan malam dengan pria yang beberapa hari lalu, mengancamku di dapur.
Aku juga takut malam ini tidak berakhir dengan baik dan akan sama takutnya jika berjalan dengan lancar. Karena jika berjalan dengan lancar, dia mungkin menciumku, aku takut akan hal itu, dan lebih takut dengan kemungkinan yang terjadi setelahnya.
“Jadi ... kau punya keluarga besar? Maksudku, keluarga besar yang tinggal di kota ini.”
Senyumannya meredup dan aku melawan rasa ngeri, bertanya-tanya apa yang membuatku memulai pembicaraan dengan itu.
“Ya, cukup besar,” jawabnya.
"Itu keren. Tidak sepertiku; hanya ibu, dua adik, dan nenekku, tidak banyak saudara yang tinggal di kota ini."
Aku merasa topik pembicaraan sangat membosankan sekaligus berbahaya. Namun entah kenapa aku ingin mengetahuinya.
"Keluargamu—um, apakah mereka semua, maksudku—uh ... " Bagaimana cara menanyakan tentang keluarganya?
"Jahat, mereka semua penjahat," katanya sambil tersenyum.
Mungkin itu biasa saja bagi Adib, tetapi bagiku ... aku langsung melihat sekeliling, bingung. Aku berpikir untuk pindah sekolah, jadi aku tidak perlu bertemu dengannya lagi.
Sambil terkekeh, Adib berkata, “Na, kenapa kau terlihat gugup? Ini kan hanya makan malam biasa.”
Entah kenapa dia berpikir aku gugup karena itu. Namun tadi dia melanjutkan dan menjawab pertanyaan yang tidak sepenuhnya aku ajukan. Hal itu malah mendorong keinginanku untuk tahu lebih banyak. “Ya, dan keluargamu terlibat dengan ... aku yakin kau mengerti maksudku. Hah, lebih baik kita bicarakan hal lain saja.” Aku ragu.
Aku lihat wajah Adib yang tadinya penuh antusias, menjadi kosong, dan kewaspadaan terlihat darinya. "Mereka tidak bisa selamanya melakukan itu.”
Aku mengangguk.
Untungnya, pelayan datang dan menyelamatkanku dari percakapan yang aku mulai. Dia memberi tahu akan memberi kami waktu beberapa menit untuk melihat-lihat menu, lalu pelayan itu pergi dan berdiri di dekat meja kasir.
Aku fokus ke menu, berharap mengalihkan pikiranku. Secara tidak sadar aku merasa sudah merusak makan malam ini. Aku melihatnya ... dia terlihat tidak terlalu antusias seperti sebelumnya. Mungkin setelah makan malam, Adib akan langsung megantarku pulang. Tidak akan ada ciuman dan lidahnya tidak akan membangkitkan ‘monster nafsu’ di dalam tubuhku.
Kami menyampaikan pesanan saat pelayan kembali menghampiri, dan ketika dia pergi, pandangan Adib melekat kepadaku.
“Jadi, kau sudah merasa nyaman?” tanyanya.
Sejenak aku menunduk lalu menatapnya. “Aku tidak gugup seperti yang kau kira, dan ini bukan kencan. Jadi tidak alasan buatku untuk gugup.” Aku mengatakannya dengan nada bercanda—walau tidak yakin terdengar demikian. “Ya ... walau memang biasanya aku merasa lebih santai,” kataku lagi
Ada kilatan antusias di matanya saat dia bertanya, "Saat dengan Riko?”
“Tidak, aku belum pernah keluar bersamanya. Aku dan dia belum lama dekat, dan tidak memiliki hubungan spesial.” Aku berdehem. “Sebenarnya aku tidak yakin dengannya.”
Entah kenapa Adib terlihat tidak suka dengan Riko, dan itu terungkap dari pandangannya yang seolah meragukan seleraku pada pria.
Alisnya terangkat dan dia tidak terlihat puas dengan jawabanku. “Kau masih sering meneleponnya?”
"Aku tidak akan berada di sini bersamamu jika aku masih melakukannya," jawabku jujur.
“Dia masih sering memperhatikanmu di kelas.”
Aku mengernyit. Kejadian saat Riko memberikan kursinya kepada Adib lalu pergi seperti seorang pengecut membuatku tidak lagi tertarik dengannya, dan aku tidak yakin yang diucapkan Adib benar.
“Bagiamana denganmu? Kau dekat dengan seorang wanita?” aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan tentang Riko.
“Tidak, aku tidak sedang dekat dengan wanita lain.” Dia tersenyum. “Hanya kau.”
Percayalah kata-kata itu membuatku senang.
Lebih cepat dari yang aku perkirakan, pelayan mengantar pesanan kami, dan ini bagus sekali karena kami memliki hal lain untuk difokuskan. Sebenarnya aku memiliki banyak pertanyaan tentangnya, pertanyaan-pertanyaan yang semestinya tidak seharusnya aku ajukan, dan aku pikir aku harus menjaga mulutku dari sekarang. Itu akan lebih baik. Terkadang keingintahuan justru memberikan masalah.
Kami tidak banyak berbincang saat sedang menyantap makanan, ini jauh lebih nyaman bagiku. Aku jadi bisa curi-curi pandang saat dia tidak sadar. Pertanyaan tentang; bagaimana seseorang bisa melakukan hal yang salah, kemudian bisa melanjutkan hidup seperti tidak ada apa-apa, benar-benar mengganggu pikiranku. Kami seumuran, tapi bahkan aku tidak pernah membayangkan untuk mengambil nyawa orang lain. Bagaimana Adib bisa menangani beban rasa bersalah? Apa dia tidak merasakanya? Bukankah itu menghancurkannya, saat dia berbaring di tempat tidur saat malam hari?
Apakah dia pernah melakukan hal yang sama sebelumnya?
Akankah dia akan melakukannya lagi?
Apakah dia monster?
"Kau baik-baik saja?" tanya Adib sekonyong-konyong saat pikiranku tentang kejahatannya semakin meliar.
Aku menatapnya, mengangguk. “Apa penyesalan terbesarmu?” Aku bertanya. Oh ... ya, ini dia. Kenapa sulit sekali bagiku untuk mengunci mulut?
Aku mendengar garpunya jatuh ke piring. Dia akan marah kepadaku karena aku terus menyerangnya dengan pertanyaan yang ... ya, seperti—
"Terlahir,” jawabnya.
Dengan mata terbelalak, aku memandangnya. Dia terlihat biasa saja dan minum air putih di gelas kaca yang terlihat mahal.
"Terlahir?" aku bertanya. “Itu, penyesalan terbesarmu?”
“Jika kau terlahir di dalam keluarga yang ... ya, seperti keluargaku. Itu akan membuatmu berpikir lebih baik tidak dilahirkan sama sekali.”
Sedikit tertegun, aku berkata, "Wow."
Dia mengangkat bahu dan menggeleng-geleng.
“Kau membenci mereka?” tanyaku, dan sebenarnya merasa canggung untuk bertanya seperti itu, tapi apa lagi yang bisa aku tangkap dari apa yang baru saja dia katakan?
“Aku tidak membenci mereka. Hanya saja aku merasa seperti di dalam penjara. Tapi aku tidak benci mereka, karena aku tidak bisa memilih di mana dan di keluarga mana aku akan dilahirkan. Ini takdir. Hanya saja ... seperti sekarang. Mungkin jika malam ini kau pergi dengan pria lain, kalian bisa menyebut itu sebagai kencan. Pria itu bisa dengan normal menawarkan apa pun yang bisa mereka usahakan kepadamu, untuk mendapatkanmu. Aku. Aku tidak bisa ‘normal’ seperti itu.”
Aku benar-benar terkejut dengan keterbukaannya. “Kau berpikir kalau keluargamu tidak suka jika kau berhubungan denganku?”
“Bukan itu,” jawabnya singkat. “Hanya saja, aku tidak akan pernah membiarkan mereka bertemu denganmu.”
"Tidak akan? Bahkan jika kita … seandainya ... pacaran?”
Dia menggeleng dan raut wajahnya tampak sedih. Seharusnya Itu tidak mungkin terjadi, tidak akan terjadi! Dia penjahat, kan? Bagaimana dia bisa terlihat sedih?
Percikan kemarahan menyala dalam diriku. "Kenapa? Apa di keluargamu tidak ada yang pernah pacaran?”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya, "Apa penyesalan terbesarmu?”
Aku ingin menjawab: mengenalnya atau lebih tepatnya, berurusan dengannya, tapi itu terdengar terlalu kejam dan sebenarnya aku tidak yakin dengan itu. Karena sekarang, saat aku dan dia duduk di satu meja dan berbicara seolah-olah tidak akan ada hubungan spesial antara kami kedepannya, aku merasa ingin dekat dengannya. Ingin lebih mengenalnya. Ingin jadi orang yang dia anggap penting.
Akhirnya, sambil mendesah pelan, aku menjawab, "Sepertinya tidak ada. Setidaknya sampai detik ini."
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi
Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ..."Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu
Rini benar-benar mengadakan ‘Pesta Amerikanya’, dan aku tidak pergi, walau tadi dia memaksaku untuk datang.Sebaliknya, aku justru pergi ke bioskop bersama Adib. Ibuku tidak senang, karena sebelumnya dia mengharapkanku menjaga adik-adikku di rumah, jadi ... ya, dia harus membawa adik-adikku ke acara makan malamnya bersama Om Anton. Itu berarti ... untuk beberapa waktu, malam ini rumahku kosong. Dan aku memutuskan setelah selesai nonton, aku mengajak Adib untuk ke rumahku.Adib berdiri dengan sabar saat aku mengambil kunci rumah dari dalam tas dan menggemerincingkan kunci itu setelah mengeluarkannya. “Aku beritahu; ini yang disebut kunci. Benda ini yang harus kau pakai saat ingin memasuki rumah.”Dia tersenyum geli, melangkah ke belakangku dan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh tengkukku. Hal itu membuatku membuka pintu dengan cepat, melangkah terburu-buru, dan tersandung keset. Untun
Biasanya aku sangat membenci hari Senin, tetapi saat aku berdiri di depan pagar Sekolah Dasar—dipenuhi orang tua murid menunggu anak-anak mereka, aku berharap Ando masuk ke kelas sehingga aku bisa bergegas ke toko roti untuk hari pertamaku bekerja.Aku memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Pekerjaan ini membuatku menjadi sangat bersemangat. Aku sudah membicarakan ke Adib tentang ini kemarin, dan dia memperbolehkannya. Lagian, aku tidak ingin melihat wajah Rini. Temanku itu pasti marah karena aku tidak datang ke Pesta Amerikanya.Aku tidak bisa menahan senyum, bertanya-tanya akan seperti apa nanti. Ini adalah pekerjaan pertamaku, dan aku juga mendapatkan kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan salah satu saudara Adib—Mutiara.Saat Ando sudah memasuki kelasnya, aku memutar tubuh dan hampir menabrak seorang pria yang sejak tadi—sepertinya—berdiri di belakangku.“Oh, maaf,” katanya—padahal aku yang sala
Perasaan cemas bercampur lega menarikku dari arah yang berbeda ketika aku melihat Adib keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Sambil menatapku lekat-lekat, dia melangkah ke arahku, ekspresi cemas terlukis jelas di wajah tampannya.“Na, ada apa?” tanyanya ketika berada di depanku.Aku belum mengatakan apa pun di telepon karena takut seseorang akan mendengar percakapan kami.“Aku bertemu dengan seorang pria saat mengantar Ando ke sekolah, hari ini.”Adib mengernyit. “Seorang pria?”“Ya, dia mengaku sebagai detektif swasta. Sepertinya beberapa hari ini dia mengawasiku, maksudku ... kita.”Wajah Adib menjadi pucat, dan kecemasanku berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. “Sepertinya dia bukan—bukan suruhan Aqmal atau sesorang dari keluargamu.”“Kau yakin? Kalau aku jadi kau, aku akan memikirkan kemungkinan kalau dia suruhan Aqmal.”Aku menunduk, la
Sekarang, semuanya sudah selesai. Aku harus pulang, berbaring di tempat tidur, mendengarkan lagu-lagu sedih, dan mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar untuk merayakan rasa sakit hati ini.Ya, mungkin itu yang akan orang lain lakukan. Tapi aku? Tidak. Aku pergi ke toko kue setelah menenangkan diri beberapa saat setelah Adib pergi.Mutiara tersenyum ketika mendengar suara bel pintu, tetapi senyumnya lenyap ketika dia melihatku. Tentu saja karena wajah murungku dan, ya, aku cukup lama menangis tadi.“Irina,” panggilnya. “Kau baik-baik saja?”“Kenapa kau harus melakukan itu?” tanyaku serampangan. Ini seperti menuduh, tetapi aku butuh sesuatu untuk melampiaskan kesengsaraanku. “Jika kau tidak ingin memperkerjakanku sejak awal, lebih baik tidak usah lakukan itu.”Mutiara menghela napas, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mendengar apa yang dia akan ucapkan. “Aku tidak
Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi—sudah lama se
Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannya—dia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkan—tetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b
Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebek—dan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkap—ini benar-benar bencana.Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal … aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.Polisi akan menangkapnya.Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?"Itu dia, kau bajingan pe
Adib duduk di tepi tempat tidur, mengamati Adel menggulung rambutku.Tidak ada yang berbicara. Terkadang Adel, ketika dia harus menyuruhku memiringkan atau tidak menggerakkan kepalaku, tetapi Adib dan aku sama-sama diam.Akhirnya selesai, dia mengambil hair spray dan menyemprot rambutku.“Apakah kau perlu ada di pertandingan itu?" tanya Adib, dengan perasaan kesal.Aku agak menyesal tidak menerima tawaran Aqmal untuk membuat Adib sibuk. Mungkin seharusnya aku memintanya, meskipun aku tetap akan memberi tahu Adib tentang ini. Tidak membantu siapa pun untuk membuatnya duduk di sini, menonton Adel mendandaniku atas perintah Aqmal, tidak ada dari kami yang tahu persis apa yang akan aku alami nanti, karena kami semua sadar apa pun bisa terjadi.Adel mengerti situasi di kamar ini, jadi dia tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan.“Ayo ambil pakaiannya. Di mana kau meletakkannya?
Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.“Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?” Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar
Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmal—setidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat denganku—semalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng
Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"“Ini hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.”"Aku harus ikut?”Dia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba
Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang … ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t
Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.” Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. “Tahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m