Share

BAB 14

Author: Ahmad Rusdy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Perasaan cemas bercampur lega menarikku dari arah yang berbeda ketika aku melihat Adib keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Sambil menatapku lekat-lekat, dia melangkah ke arahku, ekspresi cemas terlukis jelas di wajah tampannya.

“Na, ada apa?” tanyanya ketika berada di depanku.

Aku belum mengatakan apa pun di telepon karena takut seseorang akan mendengar percakapan kami.

“Aku bertemu dengan seorang pria saat mengantar Ando ke sekolah, hari ini.”

Adib mengernyit. “Seorang pria?”

“Ya, dia mengaku sebagai detektif swasta. Sepertinya beberapa hari ini dia mengawasiku, maksudku ... kita.”

Wajah Adib menjadi pucat, dan kecemasanku berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. “Sepertinya dia bukan—bukan suruhan Aqmal atau sesorang dari keluargamu.”

“Kau yakin? Kalau aku jadi kau, aku akan memikirkan kemungkinan kalau dia suruhan Aqmal.”

Aku menunduk, la

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alexis Laiho
Wah! Kok putus?
goodnovel comment avatar
Aisyah Ayu Hariska
Kok Adib gitu?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SARANG PREDATOR   BAB 15

    Sekarang, semuanya sudah selesai. Aku harus pulang, berbaring di tempat tidur, mendengarkan lagu-lagu sedih, dan mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar untuk merayakan rasa sakit hati ini.Ya, mungkin itu yang akan orang lain lakukan. Tapi aku? Tidak. Aku pergi ke toko kue setelah menenangkan diri beberapa saat setelah Adib pergi.Mutiara tersenyum ketika mendengar suara bel pintu, tetapi senyumnya lenyap ketika dia melihatku. Tentu saja karena wajah murungku dan, ya, aku cukup lama menangis tadi.“Irina,” panggilnya. “Kau baik-baik saja?”“Kenapa kau harus melakukan itu?” tanyaku serampangan. Ini seperti menuduh, tetapi aku butuh sesuatu untuk melampiaskan kesengsaraanku. “Jika kau tidak ingin memperkerjakanku sejak awal, lebih baik tidak usah lakukan itu.”Mutiara menghela napas, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mendengar apa yang dia akan ucapkan. “Aku tidak

  • SARANG PREDATOR   BAB 16

    Keesokan harinya perasaanku tidak menjadi lebih baik. Adib masuk ke dalam kelas dan memilih duduk di kursi milik Riko (entah kenapa dia selalu memilih mengambil kursi milik Riko), dan ketika Riko—yang bingung—memasuki kelas, dia duduk di sebelahku.Setelah pulang kuliah, aku menjemput Edit di rumah nenekku, lalu pergi ke sekolah Ando. Di sana pandanganku terus menyapu sekitar untuk mencari detektif itu. Tapi dia tidak ada.Begitu aku sudah mendapatkan keduanya dan sedang dalam perjalanan—dengan Grab tentu saja—aku menyadari bahwa aku lupa memasak. Aku tahu ini kurang bijaksana untuk keuanganku, tapi aku pikir sekali-kali tidak apa deh; aku menggunakan gajiku untuk beli pizza di tempat Adib pernah mengajakku bolos.Aku harus memberikan semua toping pizza ke Ando yang walau sudah kuberikan semua dia masih mengeluh karena merasa kurang—aku bahkan tidak memakan topingnya sama sekali. Dan di tempat ini, rasa rindu terhadap Adib tib

  • SARANG PREDATOR   BAB 17

    Rasanya seperti tidak nyata.Aku sudah sering mendengar nama Monster itu dari orang-orang terdekat Adib yang menceritakan ancaman yang dia berikan, sehingga aku tidak bisa membayangkan jika aku akan melihat langsung sosok Aqmal Bramantyo yang legendaris.Ada mobil berhenti sekitar tiga rumah dari mobil yang di mana aku dan Adel berada di dalamnya. Tubuh Adel menyusut seolah dia ingin bersemnunyi di kursi yang dia duduki saat tepukan lembut langkah kaki di sepanjang jalan mendekati kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika orang itu sudah sampai kepada kami, dan aku takut untuk mengetahuinya.Adel mencengkeram ponselnya, semakin tenggelam di balik lindungan kursi mobil.Pria itu berhenti di belakang mobil, dan selama beberapa detik, aku rasa tidak ada yang berani bernapas.“Pulanglah, Adel.”Suaranya yang mengalir dari pintu pengemudi yang sedikit terbuka mengirimkan rasa tak

  • SARANG PREDATOR   BAB 18

    Perjalanan ke rumah Bramantyo hening dan singkat. Aku kira Andika akan menyelidikiku—mengajukan pertanyaan yang aku tidak tahu bagaimana menjawabnya dan mencoba menjebakku dengan itu sebelum sempat berbicara dengan Adib. Dia tidak melakukan itu. Sepenjang perjalanan dia hanya mendengarkan musik rock dan berkendara dengan tenang seolah tidak ada aku di kursi belakang.Saat kami berhenti di luar gerbang besi tempa hitam, aku terpesona. Aku tahu Adib tidak mengkhawatirkan uang, tetapi bangunan luas di belakang gerbang lebih mirip gedung opera Paris daripada rumah. Rumah dua lantai didominasi warna putih dan jauh dari kebisingan jalan raya, rumahnya cantik seperti di dalam lukisan. Tiga anak tangga batu menuju ke pintu depan, tiang-tiang putih tebal yang menopang balkon di atas atap yang indah. Di depan rumah besar itu ada jalan masuk melingkar dari bata putih abu-abu, dan ada air mancur besar di tengahnya. Mobil Aqmal telah berhenti di depan air mancur, dan Andik

  • SARANG PREDATOR   BAB 19

    Adel datang untuk mengantarku ke kamar Mutiara. Sebelum dia mengantarku, Adel bertanya pada Adib tentang apa yang terjadi, dan karena aku tidak ingin mendengarkan cerita suram itu sekali lagi, aku keluar untuk mengambil ranselku.Ibuku tidak menjawab telepon, tetapi aku meninggalkan pesan bahwa aku sudah berada di rumah Rini dan aku ingin menginap. Tidak lupa aku sampaikan; Rini akan mengantarku ke kampus di pagi hari.Duduk di lantai rumah megah Bramantyo, aku berpikir tentang makan malam bersama keluarga Adib adalah sesuatu yang sangat kuinginkan beberapa hari yang lalu. Namun dalam lamunanku tentang peristiwa itu, Adib senang akan kehadiranku. Saat ini, di dunia nyata, aku rasa dia tidak senang kehadiranku di sini sama sekali.Aku seperti beban, baginya.Kata beban muncul di benakku, tetapi aku menolaknya. Aku bukan beban. Adib menyukaiku. Dia ingin bisa berkencan denganku, dia hanya tidak ingin … yah, ini, Aqmal

  • SARANG PREDATOR   BAB 20

    Adib ada di kamar tidurnya saat aku dan Adel tiba di sana. Seperti Mutiara, ada area tempat duduk saat aku pertama kali masuk kamarnya, tetapi tidak ada dinding penyekat ruangan. Tempat tidur Adib sangat besar—kurasa untuk seorang raja, tapi kelihatannya lebih besar. Kamarnya didekorasi dengan warna merah dan hitam lalu ada sedikit sentuhan warna perak. Di balik tempat tidur, dia memiliki meja dengan laptop dan berbagai barang berserakan di atasnya. Di sudut paling kiri, kursi berlapis kain hitam yang menghadap ke tempat tidur.Adel segera pergi untuk memberi kami privasi. Adib sedang berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit ketika kami masuk, tetapi sekarang dia sedang duduk di tepi tempat tidur."Kamar tidur ini seperti apartemen," kataku padanya, sambil tersenyum.Dengan kata-kata Adel segar di benakku, aku berjalan ke tempat tidur, melepaskan sepatuku dan naik ke belakangnya. Bersandar ke dalam, aku melingkarkan lenga

  • SARANG PREDATOR   BAB 21

    Dan bagi keluarga Bramantyo, makan malam adalah segalanya.Sebuah meja panjang berkilau yang dapat menampung lima orang di setiap sisi, dengan satu kursi di setiap ujungnya berada di tengah ruangan. Desain ruang makan rumah ini dipikirkan dengan serius—mungkin mereka punya seseorang yang mengerjakan itu—dan hiasan seperti dua tiang emas tempat lilin menyala dan rangkaian bunga bundar digunakan untuk mempercantik meja makan. Ruangan ini juga memiliki perapian dan lampu gantung besar yang berkilau.Sepertinya aku dan Adib yang terakhir tiba di ruang makan. Aqmal, tidak mengherankan, duduk di kursi yang letaknya paling strategis—berhadapan langsung dengan pintu masuk. Di ujung seberang meja Aqmal ada Andika—yang melirik ke arahku saat kami masuk, tetapi dengan cepat teralihkan oleh seorang wanita muda yang membungkuk untuk mengisi gelas airnya. Seorang pria yang tidak aku kenal duduk di kursi pertama di sebelah kiri Andika di samping Mutiara. Ada tiga

  • SARANG PREDATOR   BAB 22

    Setelah makan malam, Adib mengajakku berkeliling seperti yang dia janjikan. Di rumah ini ada kolam renang dalam ruangan (mungkin digunakan ketika udara terlalu dingin untuk berenang di luar), gym, sejumlah kamar, perpustakaan, ruang bioskop mini, dan begitu banyak ruangan lain yang sepertinya kosong. Ketika kami sampai di tempat tinggal para pelayan, suasana menjadi lebih ‘rumah’. Pada dasarnya, ruang pelayan seperti sebuah rumah di dalam sebuah rumah. Ada lorong terpisah di belakang dapur yang mengarah ke sani, dan seperti rumah, tempat ini memiliki ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di ujung aula ada empat kamar tidur dan dua kamar mandi.“Selain pelayan yang tadi aku lihat dan Asih, ada lagi, kah, pelayan lainnya?” aku bertanya kepada Adib.Adib mengangguk. “Pengasuh anaknya Aqmal, Risma.”“Pengasuh anaknya Aqmal?”Adib menjawab dengan mengangguk. "Aqmal memiliki seorang putri, namanya Tara."

Latest chapter

  • SARANG PREDATOR   BAB 46

    Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi—sudah lama se

  • SARANG PREDATOR   BAB 45

    Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannya—dia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkan—tetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b

  • SARANG PREDATOR   BAB 44

    Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebek—dan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkap—ini benar-benar bencana.Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal … aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.Polisi akan menangkapnya.Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?"Itu dia, kau bajingan pe

  • SARANG PREDATOR   BAB 43

    Adib duduk di tepi tempat tidur, mengamati Adel menggulung rambutku.Tidak ada yang berbicara. Terkadang Adel, ketika dia harus menyuruhku memiringkan atau tidak menggerakkan kepalaku, tetapi Adib dan aku sama-sama diam.Akhirnya selesai, dia mengambil hair spray dan menyemprot rambutku.“Apakah kau perlu ada di pertandingan itu?" tanya Adib, dengan perasaan kesal.Aku agak menyesal tidak menerima tawaran Aqmal untuk membuat Adib sibuk. Mungkin seharusnya aku memintanya, meskipun aku tetap akan memberi tahu Adib tentang ini. Tidak membantu siapa pun untuk membuatnya duduk di sini, menonton Adel mendandaniku atas perintah Aqmal, tidak ada dari kami yang tahu persis apa yang akan aku alami nanti, karena kami semua sadar apa pun bisa terjadi.Adel mengerti situasi di kamar ini, jadi dia tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan.“Ayo ambil pakaiannya. Di mana kau meletakkannya?

  • SARANG PREDATOR   BAB 42

    Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.“Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?” Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar

  • SARANG PREDATOR   BAB 41

    Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmal—setidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat denganku—semalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng

  • SARANG PREDATOR   BAB 40

    Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"“Ini hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.”"Aku harus ikut?”Dia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba

  • SARANG PREDATOR   BAB 39

    Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang … ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t

  • SARANG PREDATOR   BAB 38

    Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.” Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. “Tahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m

DMCA.com Protection Status