Jayamanik langsung surut ke belakang. Sementara Ki Sewu, maju beberapa langkah. Dia tampak siap untuk menghadapi ketiga orang pria tersebut. "He, Ki sanak! Sebaiknya kau jangan ikut campur! Ini urusan kami, bukan urusanmu!" bentak salah seorang dari ketiga orang pria jahat itu menatap tajam wajah Ki Sewu. Ki Sewu tertawa dingin mendengar bentakan pria tersebut, dua bola matanya yang tajam balas menatap wajah pria itu yang merupakan anggota komplotan perampok yang selama ini sangat meresahkan masyarakat yang melintas di jalur itu. "Aku sudah muak dengan ulah kalian. Kalian ini seperti benalu yang menempel di dahan pohon!" kata Ki Sewu sinis, "Kehadiran kalian sama dengan hama yang selalu merusak, dan itu perlu disingkirkan secepat mungkin!" sambungnya membentak keras. "Bedebah kau! Jangan banyak bicara, hadapi saja aku!" bentak pria yang tengah berhadap-hadapan dengan Ki Sewu. "Jangankan kau seorang diri, mau maju semuanya pun pasti aku ladeni!" Ki Sewu balas membentak keras. Tanp
Jayamanik segera memanggil sang pemilik warung makan itu. "Ki, kemarilah!" pinta Jayamanik.Seorang pria paruh baya dengan cepat langsung melangkah menghampiri Jayamanik. "Iya, Den. Mau pesan makanan atau minuman hangat?" tanya pria paruh baya itu ramah."Aku pesan nasi dan ikan bakar, sekalian minumannya, wedang jahe saja!" jawab Jayamanik."Baik, Den."Pria paruh baya itu langsung berlalu dari hadapan Jayamanik dan Murda, ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan Jayamanik.Tidak berselang lama, seorang gadis yang merupakan pelayan di warung makan tersebut langsung datang menghampiri dengan membawa makanan dan minuman pesanan Jayamanik."Silakan, Tuan!" ucap gadis itu dengan sikap ramahnya."Tidak pantas kau panggil aku tuan, aku bukan bangsawan," sahut Jayamanik tidak suka dipanggil tuan oleh pelayan warung itu. "Panggil saja kakang! Aku rasa itu lebih pantas," sambungnya sambil tersenyum-senyum.Pelayan itu hanya tersenyum saja sambil
Keesokan harinya ....Jayamanik dan Murda kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju Lembah Naga yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh.BDiperkirakan, sore harinya mereka akan tiba di tempat tujuan. "Seharusnya kau berangkat hari ini, berhubung Jayamanik belum tiba. Sebaiknya kau berangkat esok hari saja!" kata Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan Ramandika."Baik, Guru."Alasan Ki Ageng Penggir menunggu kedatangan Jayamanik, karena menunggu kuda yang saat ini sedang dipergunakan oleh Jayamanik. Kuda tersebut akan menemani perjalanan Ramandika menuju Gurusetra. Ia sudah meminta Ki Warmala agar memilih kuda yang terbaik yang akan dibawa oleh Ramandika. Dan kuda tersebutlah yang merupakan kuda terbaik milik Ki Warmala yang akan dibawa oleh Ramandika.Sore harinya ....Jayamanik dan Murda akhirnya tiba di padepokan dengan selamat. Mereka disambut hangat oleh para murid padepokan tersebut.Ki Ageng Penggir meminta agar Jayamanik langsung menghadap dirinya, sementara Murda di
Orang tua itu memandang wajah Ramandika sejenak, kemudian berpaling ke arah pedang pusaka itu. Berkatalah ia dengan lirihnya, "Selain itu, kau harus bisa menjaga pedang pusaka yang kini sudah menjadi milikmu seutuhnya!" Ki Ageng Penggir meluruskan dua bola matanya ke wajah Ramandika, "Pedang pusaka itu pernah menjadi rebutan para pendekar tangguh di masa lalu. Untuk itu, kau harus bisa menjaganya! Aku yakin, sebagian besar dari para pendekar itu masih penasaran dan masih menginginkan pedang pusaka itu." Ramandika mengangguk pelan sambil tersenyum, kemudian meraih pedang tersebut. Ia mengamati bentuk dan ukiran di bagian selongsong dan kepala pedang pusaka itu. "Demi mendapatkan pedang ini, aku harus mengorbankan banyak hal. Mulai dari jabatan dan kepercayaan raja," kata Ki Ageng Penggir, "Raja membenciku ketika tahu aku sudah menguasai pedang pusaka ini, karena pedang pusaka tersebut diklaim sebagai warisan kerajaan yang harus selamanya ada di istana. Padahal, itu semua tidak benar,
Pria berjubah itu memang dengan sengaja berlari memisahkan diri dari kawan-kawannya, karena dirinya berniat memancing Ramandika agar mengejarnya. Dia adalah Randu Pasti, seorang pendekar pedang yang terkenal dengan kekejamannya. Randu Pati sangat ditakuti oleh para pendekar yang ada di wilayah kerajaan Dongkala. Semua pendekar tunduk dan patuh terhadap dirinya, hanya satu kelompok saja yang berani menentang keras tindakan-tindakan Randu Pati. Yakni, kelompok Lembah Naga yang dipimpin oleh Ki Ageng Penggir, yang kini sudah mendirikan sebuah padepokan besar yang tersembunyi di dalam hutan itu. Karena sikap keras Ki Ageng Penggir dan murid-muridnya, maka Randu Pati sangat berambisi untuk menghancurkan kelompok Lembah Naga, namun dirinya selalu gagal melakukan tindakan jahatnya itu, karena kelompok pendekar Lembah Naga dan juga padepokannya dilindungi oleh Ki Bayu Geni—sosok jin penguasa Lembah Naga yang sudah menurunkan kesaktiannya kepada Ramandika. "Hai pengecut! Hentikan!" teriak R
Dengan cepat, Jayamanik dan semua yang ada di tempat tersebut langsung berhamburan menjauhi arena pertarungan itu. Mereka menuruti apa yang diminta oleh Ramandika. "Sepertinya mereka akan melakukan pertarungan ini dengan sangat sengit," desis Jayamanik setelah menjauh dari tempat bertarungnya Ramandika dengan Randu Pati. Sesaat kemudian, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Tampak asap putih keluar dari tanah tepat di hadapan Randu Pati, seiring dengan demikian bermunculan sosok-sosok makhluk mengerikan, mereka berdiri mengitari Ramandika yang masih dalam kondisi tenang. Kemudian, Randu Pati menyeru kepada makhluk-makhluk itu, "Serang dia!" Demikianlah, maka belasan makhluk menyeramkan itu langsung melakukan serangan terhadap Ramandika. Mereka patuh dan tunduk kepada Randu Pati yang tiada lain adalah majikan mereka. Ramandika sedikit kewalahan menghadapi makhluk-makhluk itu. Namun, karena keyakinan dan kekuatan yang ada pada dirinya, maka dirinya mampu mengalahkan makhluk-ma
Setibanya di padepokan, Ramandika, dan para murid senior langsung menemui Ki Ageng Penggir. Mereka membawa tiga orang anak buah Randu Pati untuk menghadap guru mereka. Mereka diterima dengan baik oleh Ki Ageng Penggir dan juga Bisama selaku ketua murid-murid Padepokan Lembah Naga. Tak ada rasa benci dalam diri Ki Ageng Penggir terhadap ketiga orang pendekar itu, meskipun mereka sudah melakukan tindakan jahat. "Siapa namamu dan juga kawan-kawanmu ini?" tanya Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan ketiga pendekar itu. "Namaku Ajisa, mereka Narida dan Sangawil," jawab pria bertubuh kekar itu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya, memperkenalkan dirinya dan juga kedua kawannya. "Apa sebenarnya yang terbesit dalam pikiran kalian, sehingga kalian memusuhi kami?" tanya Ki Ageng Penggir meluruskan pandangannya ke arah Ajisa dan kedua kawannya. "Kami tidak memiliki misi apa-apa, Ki. Kami hanya mengikuti arahan dan perintah pimpinan kami saja," jawab Ajisa. "Itulah polosnya
Beberapa jam kemudian ....Ramandika, Sena, dan Jayamanik sudah tiba di perbatasan. Mereka beristirahat sejenak untuk melaksanakan makan siang, ketiga pemuda itu memakan bekal makanan yang mereka bawa dari padepokan.Setelah selesai makan, Jayamanik dan Sena langsung pamit kepada Ramandika untuk kembali ke Padepokan Lembah Naga.Sementara itu, Ramandika langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke wilayah kerajaan Gurusetra."Di mana aku harus beristirahat? Sebentar lagi malam akan segera tiba," desis Ramandika.Saat itu, ia masih berada di hutan yang jaraknya masih lumayan jauh dari pemukiman penduduk. Meskipun demikian, Ramandika kembali melanjutkan perjalanannya."Walaupun aku tidak tiba di desa, setidaknya aku tidak berada di dalam hutan untuk malam ini," kata Ramandika sambil memacu derap langkah kudanya.Tidak terasa, hari pun sudah mulai gelap. Hujan rintik-rintik mulai turun mengiringi perjalanannya, kuda yang ditungganginya mulai bergerak lambat karena penglihatan kuda terseb
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu