Kuntala mengangguk pelan, ia pun berpikiran sama seperti apa yang dipikirkan oleh rekannya itu, bahwa benar jika pedang milik orang yang mereka temukan di hutan itu memiliki kekuatan gaib yang sangat besar.Usai mengobati Ramandika, Ki Dewanda langsung meminta Sandika dan Kuntala agar mengganti pakaian Ramandika dan membersihkan tubuhnya yang kotor.Demikianlah, maka Sandika dan Kuntala pun langsung melaksanakan tugas sang tabib, mereka membersihkan tubuh Ramandika dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih."Sebentar lagi dia akan siuman, sebaiknya kau langsung berikan minuman ini jika dia sudah sadar!" pinta Ki Dewanda menyerahkan segelas air yang sudah ia bacakan mantra-mantra."Baik, Ki," jawab Sandika meraih gelas dari tangan Ki Dewanda."Sungguh malang sekali nasib pemuda ini," desis Ki Ranggala memandangi wajah Ramandika yang masih dalam kondisi tak sadarkan diri. "Kau tenang saja! Pemuda ini memiliki kekuatan khusus dalam tubuhnya. Meskipun dia sendiri tidak mengetahuinya
Setelah Ramandika selesai minum, Ki Ranggala meluruskan pandangannya ke wajah Ramandika, kemudian bertanya, "Sebenarnya kau ini siapa? Dari mana asalmu?""Aku Ramandika, aku penduduk kerajaan Gurusetra yang sudah beberapa bulan tinggal di Lembah Naga," jawab Ramandika lirih."Lembah Naga? Untuk apa kau tinggal di sana?" tanya Ki Ranggala mengerutkan keningnya."Di sana aku tinggal di sebuah padepokan silat," jawab Ramandika.Ki Ranggala, Sandika, dan Kuntala tampak kaget mendengar jawaban Ramandika. Seperti yang mereka ketahui, bahwa Lembah Naga adalah tempat yang sangat angker dan jarang dijamah oleh manusia. "Setahuku, Lembah Naga adalah lembah yang sangat berbahaya, tak ada seorang pun manusia yang berani menginjakkan kaki di tempat tersebut. Tapi mengapa ada sebuah padepokan di lembah itu?" tanya Kuntala mulai angkat bicara.Ramandika tersenyum-senyum saja melihat sikap ketiga orang yang ada di hadapannya itu. Kemudian menjawab pertanyaan Kuntala, "Awalnya pun aku berpikir sama s
Setelah membeli bahan makanan yang akan dimasak untuk jamuan Ramandika. Kuntala bergegas melangkah kembali menuju pulang ke kediaman Sandika.Namun, dalam perjalanan menuju pulang, Kuntala bertemu dengan empat orang pria yang tiada lain merupakan anak buah Santanu dari kelompok Elang Hitam.Kelompok tersebut adalah kelompok pendekar jahat di wilayah kerajaan Dongkala, yang beroperasi di sekitar wilayah perbatasan. Selama ini, mereka sangat meresahkan warga. Bahkan, dua anggotanya adalah orang yang sudah menganiaya Ramandika.Keempat orang pria itu tampak sinis ketika melihat Kuntala tengah berjalan hendak melewati tempat mereka yang tengah duduk santai di bawah pohon besar yang ada di pinggir jalan yang dilewati oleh Kuntala, mereka terus memperhatikan langkah Kuntala."Kalian lihat pemuda itu!" desis salah seorang dari mereka kepada tiga orang kawannya."Ya, aku kenal dia. Pemuda itu namanya Kuntala kerabatnya Ki Ranggala yang dulu pernah kita curi ternaknya," sahut salah seorang kaw
Mendengar seruan dari kawannya, mereka langsung berlari mengejar Kuntala yang sudah kabur meninggalkan tempat tersebut.Kedua orang itu terus berlari mengejar Kuntala. Namun langkah Kuntala sangatlah cepat, hingga sukar untuk dikejar lagi. Pada akhirnya, kedua orang itu kehilangan jejak dan mereka pun menyerah tidak melanjutkan pengejaran terhadap Kuntala."Kurang ajar! Ke mana perginya dia?" desis salah seorang dari mereka geram karena tak dapat mengejar Kuntala."Lebih baik kita kembali saja! Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi dengan dia," sahut kawannya dengan napas terengah-engah. Ia sudah menyerah karena tidak sanggup lagi mengejar Kuntala."Ya sudah, kita kembali saja!"Dengan demikian, kedua orang itu memutuskan untuk kembali kepada kawan mereka. Mereka tidak melanjutkan pengejaran mereka terhadap Kuntala, karena merasa percuma, dia sudah pergi jauh dan tak mungkin dapat dikejar lagi.Sementara itu, Kuntala terus berlari menyusuri jalan setapak menuju ke arah kediama
Dua hari kemudian .... Setelah Bisama dan Sena pamit untuk kembali ke Padepokan Lembah Naga, Ramandika sudah dalam kondisi membaik, luka di pergelangan tangan dan kepalanya sudah mulai sembuh.Sore harinya, Ramandika diajak jalan-jalan keliling desa, menikmati keindahan alam pedesaan yang masih asri."Mau kalian ajak ke mana aku?" tanya Ramandika lirih."Kita ke rumah Ki Ranggala. Setelah itu, kau akan kami ajak berkeliling desa menikmati udara segar di sore ini," jawab Sandika.Ramandika tersenyum, kemudian bertanya lagi, "Rumah Ki Ranggala apakah jauh dari tempat ini?""Tidak terlalu jauh, hanya terhalang sekitar lima rumah dan melewati perkebunan rempah-rempah saja," jawab Sandika."Ya sudah, kita berangkat sekarang saja!" ajak Ramandika yang tampak sudah bugar.Demikianlah, maka Sandika, Kuntala, dan Ramandika langsung melangkah bersama menuju ke arah timur hendak berkunjung ke kediaman Ki Ranggala."Mayoritas penduduk desa ini, apakah keseluruhan beretnis Tongga?" tanya Ramandik
"Entahlah, aku tidak mengenalinya, dan aku baru melihatnya," jawab Kuntala pelan."Sepertinya, nenek tua itu seorang pengelana," timpal Sandika.Perempuan berusia senja itu terus melangkah semakin mendekati Ramandika dan kedua kawannya."Sampurasun," ucapnya lirih."Rampes," jawab Ramandika dan kedua kawannya serentak.Dua bola matanya bergulir ke arah Ramandika, lalu berkata lirih. "Kau memiliki tameng yang sangat luar biasa, dan kau akan menjadi seorang kesatria pilih tanding!"Ketiga pemuda itu tampak terkejut mendengar pernyataan perempuan tua tersebut. "Kesatria?!" Ramandika terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh perempuan berusia senja itu. "Apakah Nenek mengetahui apa yang ada dalam tubuhku?" tanya Ramandika menambahkan."Aku tidak mungkin bicara kalau aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," jawabnya. "Kakek buyutmu di masa lampau adalah seorang pendekar sakti. Jadi, kau memiliki garis keturunan dari para pendekar masa lalu," pungkasnya langsung melangkah berlalu dari
Dua hari berikutnya ....Ramandika, Sandika, dan Kuntala sudah berangkat meninggalkan desa Yowa. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak memasuki hutan belantara hendak menuju wilayah perbatasan.Ketiga pemuda itu mengambil jalur pintas sesuai saran Ki Warmala, karena mereka khawatir mendapatkan penghadangan dari para prajurit kerajaan Dongkala jika menempuh jalur utama.Menjelang tengah hari, mereka telah sampai di perbatasan. Namun, mereka tampak bingung melihat kondisi sungai yang hendak mereka sebrangi. Sungai tersebut memiliki arus yang sangat deras, sudah dapat dipastikan mereka akan kesulitan jika harus menyebrangi sungai itu."Arus sungai ini deras sekali, bagaimana caranya kita bisa menyebrangi sungai ini?" desis Ramandika tampak bingung."Sepertinya di pegunungan Sanca yang merupakan hulu sungai ini, sedang berlangsung hujan lebat, sehingga arus sungai ini begitu deras," jawab Sandika."Lantas, apa yang harus kita lakukan agar bisa menyebrangi sungai ini?" timpal K
Ramandika dan Sandika tampak ragu untuk menepikan rakit tersebut, karena mereka takut jika orang tua itu adalah jelmaan siluman atau bangsa jin yang menguasai hutan tersebut.Karena menurut rumor yang beredar bahwa di hutan tersebut terdapat markas siluman api yang selama ini selalu menghantui para penduduk yang ada di sekitar wilayah tersebut."Hai, kemarilah! Kalian jangan takut, aku tidak akan jahat terhadap kalian!" seru orang tua itu, "Jika kalian ingin segera menemukan kawan kalian, maka mendekatlah! Aku akan memberitahu di mana kawan kalian berada."Ramandika dan Sandika saling berpandangan, mereka masih belum percaya dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh sosok orang tua tersebut."Apakah kau percaya dengan ucapan orang tua itu?" bisik Sandika kepada Ramandika."Sebenarnya aku ragu, tapi kita coba saja. Mudah-mudahan, dia bukan sosok makhluk yang jahat yang akan mencelakai kita," jawab Ramandika."Baiklah," desis Sandika segera menepikan rakit tersebut."Naiklah ke sini!"
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu