Alden baru saja tiba di apartemen Alana. Dia mengetuk pintu kamar wanita itu, hingga seorang wanita membukakan untuknya. Alana berdiri di sana dengan wajahnya yang sembab, karena mengantuk. Dia hampir saja tidur, tapi suara ketukan pintu membuatnya kembali terbangun. “Alden?” Tanpa menjawab, Alden langsung saja menerobos masuk membuat wanita itu mendelikkan matanya kesal. Dia menghentakkan kakinya, karena waktu tidurnya harus terganggu. “Ada apa? Kenapa kau datang selarut ini?” tanya Alana sembari melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Alden yang tadinya ingin menanyakan banyak perihal informasi itu, hanya terdiam. Dia lupa dan tak memikirkan orang lain, karena ambisinya ini. “Tidak ada, kau pergi tidur saja. Tapi aku akan menginap di sini,” jawab Alden dengan santai. Alden mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Meski apartemen itu cukup besar, tapi hanya ada satu kamar di dalamnya,
Alana mendorong Alden, dan bergegas berdiri. Dia berdecak, dan langsung saja keluar dengan wajahnya yang merah merona karena malu. Begitu di luar, dia malah dikejutkan dengan kehadiran Frey. Frey yang hendak mengambil ponsel milik Alden pun sama terkejut. Dia semakin dibuat terkejut dengan Alden yang tiba-tiba muncul dari kamar Alana. “Em… kapan kau ada di sini?” tanya Alana dengan sedikit salah tingkah. Frey yang masih belum paham situasi pun hanya terdiam. Matanya sesekali memandangi Alden dan juga Alana. “Kalian…?” “Cepat, aku sudah lapar!” kata Alden memotong ucapan Frey. Alana yang juga tidak ingin semakin dicerca pertanyaan oleh Frey, segera menyusul Alden yang sudah lebih dulu berjalan ke ruang makan. Frey yang masih terlihat bingung pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Apakah dia ingin karena semalam menontonnya secara langsung?” gumamnya pelan sembari menyusul kedua orang itu.
Suasana di dalam ruang rapat itu benar-benar tegang. Tidak ada satu pun orang yang berani bersuara, bahkan untuk menghela napas saja mereka seperti dicekik. Alden muncul benar-benar membuat semua orang panik. Tak terkecuali sekretaris wanita itu, tapi dia tetap dengan berani memperlihatkan dirinya jika sedang menganggumi sosok Alden. Brak! Alden menggebrak meja dengan map yang ada di tangannya. Sorot matanya yang tajam, menatap semua orang yang ada di dalam ruang rapat tersebut. “Selama ini apa yang kalian lakukan, hah? Bukannya untung, tapi kalian malah membuat perusahaanku hancur!” kata Alden marah. Frey yang ikut rapat pun ikut terdiam, sambil memeriksa keanehan dalam laporan yang diberikan para petinggi perusahaannya itu. Dia menganggukkan kepalanya, dan sesekali menatap Alden yang tengah marah. “Apa kalian sungguh menguji kesabaranku, hah!” “Jawab aku, sialan!” Alden di lua
“Sekretarismu itu sangat menyebalkan! Kenapa juga kau harus memilih wanita seperti itu,” ucap Alana begitu dia mengikuti Alden masuk ke ruangannya. “Ah, aku baru tahu ternyata kau menyukai modelan wanita seperti itu, ya?” Dari masuk ruangan Alana tak berhenti bicara, membuat Alden merasa pening. Dia menghela napasnya, sambil memijat pelipisnya. “Apa kau ke sini untuk membalas dendam?” tanya Alden dengan ketus. Alana tertawa mendengarnya, “Kau peka sekali. Tentu saja iya,” jawabnya. Sekali lagi Alden mengembuskan napas kasar. Harusnya ia tidak menganggu wanita gila ini, dan sekarang ia malah dikerjai balik. Mana bisa ia bekerja dengan suara berisik dari wanita itu. “Alana, apa kau tidak punya pekerjaan?” tanya Alden dengan memasang wajahnya yang super sabar, tapi ingin sekali meneriaki wanita itu untuk tetap diam. “Tidak ada. Pekerjaanku kan bersamamu, tentu saja aku akan menunggumu menyeles
“Sembarangan sekali kau berbicara!” Alana tertawa keras mendengar jawaban yang keluar dari mulut Alden. Moodnya hari ini benar-benar sangat baik karena Alden. Sementara itu Alden hanya diam saja, sudah malas berkata apa-apa. Sudut bibirnya saja yang sedikit tertaik saat melihat Alana. Tak lama setelah mereka selesai makan, seorang wanita datang menghampiri Alden. Wanita itu datang dengan bajunya super ketat, dan langsung duduk di samping Alden tanpa permisi. “Semalam kau meninggalkanku begitu saja,” ucap wanita itu dengan nada suaranya yang terdengar manja. Alden menghela napasnya, “Aku ada urusan penting,” jawabnya singkat. Wanita itu mengerutkan bibirnya. Dia sama sekali tidak memperhatikan Alana yang ada di antara mereka berdua. “Uhmm, permainamu sungguh luar biasa. Bagaimana lagi aku bisa tidur denganmu?” Degh! Alana yang hendak bicara, terdiam dengan tiba-tiba s
“Yak! Apa yang kau lakukan di sini?” Alden bangun dengan malas menatap seorang wanita yang baru saja berteriak padanya itu. Dia tidak berkata apa-apa dan malah menatap bungkusan di tangan wanita itu. “Apa yang kau bawa?” tanya Alden dengan santai. Wanita yang baru saja pulang itu benar-benar dibuat terkejut dengan kehadiran sosok Alden di rumahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap salah lihat. Tapi sosok Alden sungguh nyata di depannya. Pria itu bahkan mengambil makanan yang ada di tangannya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal menyaksikan Alden yang tampak kacau. “Kau ini kenapa?” tanyanya sekali lagi pada Alden. “Tidak ada,” sahut Alden santai. Setelah lama berikir, Alden memutuskan untuk pulang ke apartemen Alana. Saat tiba di sana, sang pemiliki rumah ternyata belum kembali. Dia pun tertidur di sana, tanpa sang pemilik rumahnya ada. Alana mengernyit bingung
“Astaga masakanku!” Alana berlari kencang ke dapurnya, dan segera mematikan api kompor. Dia menatap sendu makanan yang telah dibuatnya dengan susah payah itu, dan kini menjadi sia-sia. “Aish, ini semua karena kau, Alden! Kenapa kau ajak aku bicara, dan sekarang lihatlah makanan ini, heh,” kesal Alana. Alden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia yang tidak melakukan apa pun malah menjadi sasaran omelan Alana. Padahal wanita itu sendiri yang meninggalkan masakan di atas kompor tanpa memberitahunya. “Bagaimana ini, tidak ada makanan lagi. Aku malas!” seru Alana yang kesal sembari mencuci pancai yang terbakar itu. “Tinggal pesan, beres!” sahut Alden dengan santai. “Aish, diamlah!” Alana menyahut kesal dengan tatapan matanya yang tajam.Alden mengendikkan bahunya acuh, dan meninggalkan gadis itu sendirian di dapur. Kini dia duduk di ruang tamu, mengamati dengan tenang. Ada sedikit senyum di wajahnya, seola
Alden dan Alana berada di taman itu cukup lama, hingga orang yang menguntitnya merasa jenuh sendiri dan berlalu pergi. Orang itu merasa tak dapat informasi apa-apa, karena Alana dan Alden hanya berbicara random saja. Bahkan kedua orang itu tak terlihat ingin menyerang, justru terlihat seperti sepasang kekasih. Dirasa posisi mereka sudah aman, Alden beranjak dari duduknya. Dia juga mengajak Alana untuk segera pergi. “Seperitnya kita telat,” ucap Alden sembari melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sebenarnya kau ini mau mengajakku kemana?” tanya Alana mengikuti langkah besar Alden yang meninggalkan taman itu. “Tidak ada. Kita kembali ke markas saja,” jawab Alden. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan sudah mulai terlihat sepi, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Bulan bersinar terang di langit malam, seolah malam itu menjadi malam paling tenang bagi semua
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam