“Astaga masakanku!” Alana berlari kencang ke dapurnya, dan segera mematikan api kompor. Dia menatap sendu makanan yang telah dibuatnya dengan susah payah itu, dan kini menjadi sia-sia. “Aish, ini semua karena kau, Alden! Kenapa kau ajak aku bicara, dan sekarang lihatlah makanan ini, heh,” kesal Alana. Alden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia yang tidak melakukan apa pun malah menjadi sasaran omelan Alana. Padahal wanita itu sendiri yang meninggalkan masakan di atas kompor tanpa memberitahunya. “Bagaimana ini, tidak ada makanan lagi. Aku malas!” seru Alana yang kesal sembari mencuci pancai yang terbakar itu. “Tinggal pesan, beres!” sahut Alden dengan santai. “Aish, diamlah!” Alana menyahut kesal dengan tatapan matanya yang tajam.Alden mengendikkan bahunya acuh, dan meninggalkan gadis itu sendirian di dapur. Kini dia duduk di ruang tamu, mengamati dengan tenang. Ada sedikit senyum di wajahnya, seola
Alden dan Alana berada di taman itu cukup lama, hingga orang yang menguntitnya merasa jenuh sendiri dan berlalu pergi. Orang itu merasa tak dapat informasi apa-apa, karena Alana dan Alden hanya berbicara random saja. Bahkan kedua orang itu tak terlihat ingin menyerang, justru terlihat seperti sepasang kekasih. Dirasa posisi mereka sudah aman, Alden beranjak dari duduknya. Dia juga mengajak Alana untuk segera pergi. “Seperitnya kita telat,” ucap Alden sembari melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sebenarnya kau ini mau mengajakku kemana?” tanya Alana mengikuti langkah besar Alden yang meninggalkan taman itu. “Tidak ada. Kita kembali ke markas saja,” jawab Alden. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan sudah mulai terlihat sepi, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Bulan bersinar terang di langit malam, seolah malam itu menjadi malam paling tenang bagi semua
Setelah beberapa saat memeriksa benda temuannya itu, Alana mengerutkan keningnya semakin dalam. Wajahnya terlihat sangat serius, dan menatap ke arah Alden. “Ini penyadap,” ucap Alana. Alden menggertakkan giginya. Ia benar-benar tidak menyangka jika ada benda seperti itu berada di rumahnya. Entah sejak kapan benda itu ada, ia sama sekali tidak tahu. “Kamu harus periksa, Alden. Siapa tahu saja masih ada di tempat lain, atau bahkan kamera pengintai,” kata Alana sembari mencari sesuatu dari monitor Alden Jari-jemarinya dengan cekatan bergerak di atas keyboar. Meski mulutnya terus bicara, tapi matanya dengan serius menatap layar monitor. “Apa mungkin ini barang yang tidak sengaja ditinggalkan mantan istrimu itu, ya?” Alden menaikkan alisnya sebelah saat mendengar pertanyaan Alana. Ia terdiam, dan menganggukkan kepalanya setelah mencerna ucapan gadis itu. Tidak menutup kemungkinan, Vivian menaruh
Alden tidak menjawab pertanyaan Frey. Dia megajak Frey keluar untuk berbicara, dan tidak mengganggu Alana yang sedang tertidur. “Ada apa?” tanya Frey yang melihat Alden dengan wajah seriusnya. “Alana menemukan alat penyadap di rumah. Entah dari kapan benda itu ada di sana, dan kurasa sudah sangat lama,” jelas Alden. “Apa? Penyadap? Bagaimana itu bisa ada di sana?” tanya Frey yang seakan tak percaya dengan penjelasan Alden tersebut. Pasalnya, dia tahu bagaiamana seorang Alden. Pria itu sangat teliti dalam melakukan apa pun. Alden bisa tahu jika ada seorang penyusup masuk ke rumahnya. Tapi... apa ini ulah Vivian? “Aku juga tidak tahu,” jawab Alden sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Kedua pria itu terdiam, bergelut dengan pikirannya masing-masing. Mereka juga sama-sama mencara jalan keluar dari semua masalah yang sedang menimpa mereka itu. “Besok kau pergi periksa di sana, jan
Pagi-pagi sekali Frey sudah pergi, sehingga Alana tidak tahu jika pria itu juga menginap di tempatnya. Entah apa yang ada di pikiran kedua orang yang lebih kaya darinya itu sampai mau menginap di tempat kecilnya. Alana telah siap dengan pakaian kerjanya, begitupun dengan Alden. Pria itu benar-benar memindahkan barangnya ke tempat tinggal Alana. Apa yang bisa dikatakan Alana? Ya, semoga saja dirinya tidak diserang oleh fans fanatik pria kejam itu. “Kau akan ke kantormu?” tanya Alden sembari memasang jam di tangan kirinya. “Iya,” jawab Alana singkat yang juga sedang merapikan beberapa berkas yang perlu dia laporkan kepada atasannya. Alden melirik Alana sekilas, dan dia kembali teringat panggilan telepon yang masuk ke ponsel Alana. “Ah, Alana,” panggil Alden yang membuat gadis itu menoleh padanya. “Kusarankan kau berhati-hati. Entah itu perempuan atau pun laki-laki, jangan mudah percaya,” ucap
“Apa hasilnya bisa dipulihkan?” Alana sejak tadi sibuk dengan rekan kerjanya. Dia bahkan melewatkan waktu makannya karena terlalu sibuk. “Sedikit lagi selesai, Al,” jawab rekan kerja Alana. Alan kembali duduk di kursinya. Jari-jemarinya menari indah di atas keyboardnya, memeriksa kamera yang dia sengaja dia tinggalkan di rumah Alden tanpa sepengatahuan pemiliknya. Dia bahkan meretas keamanan yang ada di rumah Alden. Namun, sejauh ini dia belum menemukan hal aneh di sana. Terlihat Alden baru saja meninggalkan kediamanya. “Alana, ini sudah selesai,” panggil rekan kerjanya yang membuat fokus Alana berpindah. Gadis itu beranjak dari duduknya, dan mendekat ke arah rekan kerjanya itu. Dia melihat proses berhasil di layar monitor milik rekan kerjanya. “Berikan padaku, aku ingin mendengarnya sendiri,” ucap Alana yang menghentikan tangan temannya yang hendak menyalakan rekaman yang berhasil dipuli
Seperti permintaan Alana, Alden kembali membawa gadis itu ke rumahnya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Alana di sana, hingga dia terlihat buru-buru. “Itu dia, itu dia!” kata Alana dengan suara yang pelang, nyaris tak terdengar oleh Alden. Andai saja wanita itu tidak menarik lengannya, mungkin Alden tidak akan mempedulikannya karena suarnaya yang terlalu kecil. Alden pun mengikuti arah pandang Alana. “Kenapa dia?” tanya Alden. “Dia pelayan yang suka keluar masuk ke kamarmu. Hari ini, mungkin sudah 5 kali dia pergi ke kamarmu,” jawab Alana masih dengan suaranya yang pelan. Alis Alden bertaut, dia sedikit tak percaya. “Bagaimana kau tahu?” tanya Alden lagi. Alana sontak menatap Alden. Dia lupa memberitahu pria itu jika dirinya sempat meninggalkan kamera tersembunyi semalam di rumah Alden. Alana menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sudah seperti orang yang sedang ketahuan melakukan kejaha
“Bawa dia pergi makan, Bi!” titah Alden tanpa peduli dengan tatapan penolakan dari Alana. Alden benar-benar memperlihatkan sisi perhatiannya terhadap Alana di hadapan semua pelayan yang ada di rumah. Bisik-bisik itu masih terdengar, dan Alden sengaja membuat hal itu. Ia ingin mengetahui sendiri peringatan yang diberikan oleh kepala pelayannya itu. “Nanti saja, Bi,” tolak Alana saat kepala pelayan itu ingin membantunya untuk berdiri. “Tidak ada penolakan, Alana!” kata Alden dengan penuh penegasan. Meski tatapannya tak tertuju pada Alana, tapi gadis itu bisa merasakan betapa dinginnya sorot mata Alden. Mau tidak mau, Alana pun ikut dengan kepala pelayan menuju ke ruang makan. Tinggallah Alden seorang diri di sana, menghapi para pelayannya. Dari ekor matanya, ia bisa melihat tatapan kebencian seseorang kepada Alana. “Apa matamu itu ingin kucabut, hah?” Suara Alden yang tiba-tiba membentak memb
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam