Axelle menatap layar ponselnya yang beberapa detik yang lalu sudah terputus panggilan telponnya. Dahinya ditekuk sedemikian rupa.
"Siapa, rupanya berani bermain-main denganku!" desisnya terlihat marah.
"Mungkinkah ini berhubungan dengan kasus kemarin." batinnya.
"Sayang!" Agak tersentak Axelle mendengar panggilan itu. Gadis kesayangannya itu sudah muncul dengan wajah sumringah.
"Ada apa? Adakah yang meneror?" Axelle mengerutkan kedua alisnya.
"Apakah kamu juga diteror?"
Jadi bener, kamu diteror?" Axelle menutup mulut kekasihnya dengan tangannya yang kekar.
"Ssttt! Kecilin suaranya!" Arbia mengangguk-angguk persis anak bocah. Dia lalu terdiam.
"Siapa yang mengancam kamu, Sayang?" tanya Axelle kemudian.
Arbia hanya menatap tubuh jangkung itu lalu membuang muka.
"Apa kira-kira kamu mengenalnya?"
Axelle kembali menatap wajah gadi pujaanya itu.
"Apa sudah menerima rekaman cctv itu?" Arbia mena
Halli! Jangan lupa mampir dengan karya yang lain, ya @Takdir Yang Tertunda @Fatamorgana Terima kasihđ
Mendengar suara itu milik Arbia, secepat kilat laki-laki gagsh itu berlari menuju kendaraan roda duanya. Dan tanpa me unggu waktu dengan kecepatan tinggi dia melajukan motornya kearah lokasi Arbia. "Arka! Susul Axelle! Terjadi sesuatu dengan Arbia." Ucapan Gama yang belum selesai sudah tak didengar oleh Arka. Laki-laki membanting setir dengan kecepatan tinggi mengejar Motor Axelle. Sedang Arbia masih mengyingsut mundur melihat langkah kaki seseorang yang ada di dalam kegelapan itu. Ketika dia tubuhnya membentur diding tembok, jantungnya sesaat berhenti berdetak. "Ka-kamu, sia-pa?" suaranya bergetar dan tergagap. Dan laki-laki itu terus mendekat hingga wajahnya yang tertutup oleh pelindung muka terdengar mendengus. "Tenanglah, Cantik. Kamu akan baik-baik saja. Jangan ketakutan seperti itu." Suara yang besar itu menggema di ruangan yang gelap gulita itu. Hanya ada lampu sudut itupun jauh di seberang mereka. Seseorang yang b
Axelle memperhatikan perubahan sikap dan air muka Arbia ketika melihat kedatangan Praditia Wicaksana. Terlebih ketika gadis itu melihat Praditia menyingkap sarung tangannya dan menyimpannya di saku jasnya. "Apa kabar, Bi. Maafkan semalam, Saya nggak bisa datang dan nggak sempat mengabarimu. Saya ada makan malam dengan klien." ucapnya memandang wajah Arbia yang kembali memucat setelah melihat sosok Praditia dengan sarung tangannya. Trauma yang menyerang Arbia dari semenjak peristiwa itu kini semakin meradang. Tiba-tiba tubuhnya menggigil dan terlihat ada sesak di dadanya yang kemudian jadi batuk-batuk kecil. "Bi! Arbi!" teriak Arka panik melihat gadis kesayangannya itu tiba-tiba kejang-kejang. Axelle dengan sigap memeluk kekasihnya. "Panggil dokter, cepat!" teriaknya mulai histeris. Tidak ada 5 menit dokter khusus yang menangani Arbi datang dan menyuntikkan obat penenang. Hanya itungan detik gadis itu terkulai dan tertidur.
Gama Pramudiaduduk menghadap kecarah sosok yang saat ini terlihat sangat rapuh. Kesombongannya beberapa jam yang lalu luruh seketika. Tak terlihat seorang pengacara satu pun yang mendampinginya. Berkali-kali laki-laki tua itu menatap pemuda tampan itu, seolah memohon sesuatu. "Papa, katakan satu orang yang terlibat di belakang papa, pengajuan berkas Papa akan segera diproses." suaranya terdengar bariton, namun masih terkendali. Sedang sang ayah masih saja dsngan tarapan menghiba. "Apa Papa diancam?" Seketika perubaha ekspresi mukanya terlihat jelas. Dan itu cukup buat seorang Gama. Celine, wanita yang bergelar dokter ahli jantung yang baru satu hari kemarin resmi di pacarinya itu sudah banyak mengajarinya tentang ilmu psikolog. Wanita muda itu selalu mengajari bagaimana membaca tabiat dan katakter seseorang hanya dengan melihat ekspresi dan tingkah laku yang tergambar jelas dari tubuh seseorang. Dan saat ini apa yang dieksp
"Jadi, kamu sudah tahu?" ucap Gama bernada pertanyaan tapi diiringi dengusan kesalnya. "Butuh bukti untuk mengirimnya ke hotel prodeo!" ucap Axelle tegas tapi dingin. Dan sesekali menatap ke arah jendela. "Tapi, Aku nggak menyangka kalau dia dalang di balik semua." Gama menyandarkankan bahunya pada dinding dekat jendela di ruangan VIP. "Dia punya motif yang kuat mekakukan itu. Aku rasa dia sudah lama merencanakan semua skenario ini. Jauh sebelum ayahnya menghilangkan nyawanya sendiri." Axelle membuang napasnya dengan dengusan kasar. Sesekali menoleh ke arah pembaringan. Dilihatnya gadis yang teramat dia cintai itu masih ada dalam pengaruh obat penenang. "Sudah berapa lama gadis kamu itu tertidur?" "Hampir 4 jam." jawab Axelle terus memandangi wajah Arbia yang pias dan pucat. "Aku rasa dia mengalami masa yang sangat menakutkan hingga dia trauma begitu." "Itu yang jadi pemikiranku." sambar Axelle menyela kata-kata s
Arbia menatap ke arah pintu. Degub keras itu berusaha ia tahan, namun rasanya dia ingin menubruk Axelle, mendekapnya dan memeluknya erat tanda ia ingin dilindungi dan diselamatkan dari situ. Masa 15 tahun silam seakan terulang lagi, ketakutan yang luar biasa, dan kepanikan yang menderanya. Masih terekam jelas peristiwa kemarin mala, bagaimana laki-laki bercadar itu mencengkramnya dengan keras, menyentuh dan menjamahnya dengan kasar disetiap lekuk tubuhnya. Membuat ketakutan dan kepanikan saat itu tak terkendali. Axelle Narendra, sosok kapten tampan dan gagah itu semakin mengeratkan genggaman tangannya pada jemari gadis kesayangannya itu. Dia tahu, Arbia sedang melawan rasa takut dan traumanya dengan susah payah. Dia paham, sangat paham. Di depan pintu itu ada seseorang yang dengan kejamnya mengharap gadis cantik ini kembali tertidur dengan ketakutan dan kepanikannya tanpa terbangun lagi. Seolah belajar dengan bahasa isyarat, genggaman pada jemari Arbia ia per
Arbia menguatkan tumpuannya pada sisi bantal di pembaringannya. Matanya mengerjab cepat melihat bayangan Praditia sudah menghilang. Dia mengatur napasnya yang sedari tadi sudah tidak normal. Denyut jantungnya sudah tak karuan lagi. Menaha ketakutan dan trauma yang begitu membuatnya menderita. Bahkan mungkin dia membutuhkan seorang terapis untuk menyembuhkan traumanya yang begitu hebat itu. Dengan tangan thremornya, Arbia menggenggam kertas memo itu. Ingin rasanya dia menyobek pesan memo itu. Tapi rasanya dia penasaran apa isi pesan singkat itu. Apakah berupa ancaman atau kata-kata yang akan membuat traumanya kambuh. Masih dengan jantung yang berdegub keras, Arbia melayangkan pandangannya ke segala arah. Tak didapatinya kedua sosok yang teramat dia sayangi. Arka dan Axelle. Arbia mencoba mengatur dan menetralisir suasana hatinya supaya biar bisa rileks dan santai. Mencoba untuk mengatasi segala ketakutannya. Sedang di lain tempat Arka ter
Gadis itu terguncang, bukan hanya kejang-kejang, tapi napasnya tersedak, ada sesak di sana. Axelle panik demikian juga Arka. Kedua laki-laki hanya bisa berdiri di belakang dokter Celine. Dihadirkan juga dokter terapis yang sudah berpengalaman. Arbia Siquilla, kembali mengalami trauma ketika dirinya membuka sebuah memo yang diberikan oleh seseorang. Yang ternyata memo itu berisi gambar potongan kepala dirinya sendiri yang terpisah dengan lehernya. Berlumuran darah kemana-kemana. Seketika itu rasa traumanya kambuh begitu tragis dan histeris. Ketakutan akan sesuatu memicu hormon adrenalinnya untuk memberontak. Namun apa ada daya badannya tak mampu melakukan itu. Tubuhnya seketika terkulai setelah mendapatkan suntikan penenang dan akhirnya tertidur. Axelle merasa sangat kasihan melihat sang kekasih dalam kondisi seperti ini. Ternyata Praditia sudah mencuri start dia lebih dahulu. Dokter spesial kejiwaan Arbia mengarahkan agar untuk sementa
Hampir sebulan Arbia di rumah sakit. Melakukan terapis mental dan pemulihan kondisinya. Aktifitas Axelle pun sudah tidak dalam penyelidikan. Menyangkut perusahaan penerbit yang ditutup oleh si empunya kantor hanya menjadi desas-desus saja. Zakaria Lawalata sebagai orang tua menyadari perbuatan Praditi Wicaksana adalah sebuah kesalahan. Tapi bercermin pada masa lalu mungkin dirinyalah yang sangat berperan penting dala sikap dan karakter praditia yang tiba-tiba berubah drastis. Maka dari situ orang tua yang umurnya sudah menginjak 60 tahun itu hanya meminta kapten Axelle, kekasih dari putrinya agar bijaksana menyikapi persoalan ini. Apalagi belum ada cukup bukti yang menyatakan bahwa Praditia adalah sosok yang selalu disebut-sebut sebagai dalang dari permasalahan ini. Akhirnya pihak kepolisian menghentikan penyelidikan yang dipimpin langsung oleh tim Axelle, dan kasus ini dinyatakan ditutup. Seperti siang itu, kala Arbia sedang menjalani terapinya
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenÄŁgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin