Arbia masih meringis menahan sakit. Beberapa jam yang lalu dia dari rumah sakit dan kaki rampingnya yang mulus daoat perban yang membuatnya mau nggak mau hanya bisa terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda.
Dari arah pintu terlihat sang kekasih sudah membawakan makan siang buatnya. Pria tampan itu mendekatinya lalumengecup bibirnya mesra.
"Jangan pernah berpikir mau lari dan bisa jatuh cinta sama orang lain. Aku tidak pernah mengizinkanmu sama sekali. Kamu itu hanya milikku!" Ucapan sarkas Axelle membuat gadis itu tersenyum puas. Ada galenyar di hatinya yang ia rasakan.
Arbia berkali-kalimenelan saliva dan menarik napas dalam-dalam. Duh! Begini aja rasanya pengen banget. Kemudian dia tersenyum. Ternyata sdmya gers-geriknya diawasi sang kekasih.
"Kenapa? Mau? Nggak bisakan?" Ledek pria berambut cepak itu sambil menyuapkan bubur ke bibir mungil Arbia.
Dengan geram Arbia memukul dada kekasihnya pelan. "Jahat!" Gadis itu mengerucutkan bibirny
Hati Arbia tercekat, bahkan untuk menelan salivanya pun dia kesusahan. Tidak berbeda jauh dengan pria yang duduk di kursi Direktur utama itu. Hatinya berdesir aneh mana kala melihat tubuh ramping yabg aduhai milik Arbia.Matanya mengerjab liar memandangi penampilan peri kecilnya itu. Bahkan dengan reflek Dominic Chalondra berdiri dan menghampiri gadis itu. Menghidu dalam-dalam lemonty yang berasal dari tubuh gadis itu.Lalu dia membimbing Arbia untuk duduk di kursi. Tanpa di duga Arbia pria tampan yang berkharisma itu duduk jongkok persis di depan kakinya yang terluka.Hati Dominic seperti tertusuk melihat luka di kaki mulus itu masih menyisakan luka sobek."Om, apa yang Om lakukan?" tanya Arbia sambil menarik kakinya yang disentuh oleh jari-jari besar Dominic"Arbia, ini pasti sakit sekali. Ayik kita kedokter terbaik agar lukamu itu cepat sembuh dan tidak membekas."Arbuak terkikik mendengar ucapan pria itu. "Om lebay, ah! Aku n
Mendengar pernyataan itu, Dominic Chalondra membeku. Salivanya pun tak bisa di telan dengan mudah. Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu. Dan tenggorokannya seolah tercekat dengan tiba-tiba. "Menikah!" Pria itu mengulang sebait kata itu dengan geram tapi sinar kesedihan itu tampak jelas di sana. "Kenapa kamu harus menikah, gadis kecilku?" Pertanyaan yang tak seharusnya itu kembali lolos begitu saja dari mulutnya. Arbia Siquilla, reporter muda yang baru berusia 23 tahun itu seolah-olah membeku mendengar pertanyaan dari Dominic Chalindra. Ingin rasanya dia menjawab bahwa dia sangat mencintai kekasihnya Axelle Narendra. Namun entah mengapa melihat mata yang terluka itu hatinya menjadi tak tega. Seolah dia kasihan dengan oria yang pantas jadi omnya ini. "Om! Saya sudah selesai, saya pulabg dulu." Dengan gerakan cepat meskipun merasakan kakinya yang masih lumayan sakit, gadis itu segera membereskan dan merapikan semu barang-barangnya. Namun alang
"Sudah, Sayang, sudah! Aku capek," desah Arbia dengan menggeliatkan badannya. Matanya terkatup rapat. Sudah tak sanggup untuk membukanya. Axelle hanya tersenyum lalu mengecuo kening gadisnya berkali-kali. Di daerah pelosok ini Axelle meninggalkan Arbia beberaoa lama hingga gadis ini nekad menyusulnya mengingat ada dwntuman gunung beraoi yang meletus kembali. Dari perusahaan Arbia mengizinkan dan mengharuskan untuk meliput berita musibah bencana alam itu. Dan itu yang membuat gadis itu bertengkar hebat dengan sang kakak hingga sang ayah sempat pingsan mengetahui putrinya akan kembali berpetualangan. [Besok pagi, kami akan turun je kota. Kamu jangan khawatir, Arka.] Sebuah pembicaraan lewat line telpon itu Axelle memberikan kabar baik bahwa besok tim nya akan turun gunung karena kondisi sudah kondusif. Membuat si penelpon tersenyum lega setidaknya untuk sang ayah yang langsung drop melihat putrinya mengikuti calon suaminya tugas. [Besok so
"Silakan duduk, Pak Dominic. Sebentar lagi Pak Praditua selesai meeting." Dominic hanya mengangguk dengan senyum mautnya. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya pintu ruang rapat pun di buka. Jantung Dominic seketika berdebar membahana sewaktu di lihatnya kaki ramping itu tak terbalut apapun. Kaki ramping itu dibiarkan telanjang dengan kulit putihnya dan bulu-bulu halusnya. Bberapa kali pria berumur itu menelan salivanya. Baru kali Dominic melihat Arbia memakai pakaian yang sangat minim sekali. Dres diatas lutut tanpa lengan. Gila! Ini benar-benar gila! Dominic bisa kelojotan kalau nantinya dia disuguhi pemandangan seperti itu terus. Dengan susah payah Dominic mencoba menenangkan diri dan akhirnya jiwanya berhenti meronta mana kala gadis blasteran itu membelokkan kakinya ke ruang HRD. Praditia Wicaksana melepas jabat tangan Dominic. Kedua pria dewasa itu" saling berpandangan. Ada tatapan dingin di kelopak mata Praditia. "Kenapa kamu
Dalam perjalanan menuju ke kantornya Arbia memilih diam. Sedang Dominic sesekali menoleh dan mengulum senyum kemenangan. "Akhirnya aku bersama tiap hari bersamamu, Arbia." Seulas senyum terus terpancar dari bibir Dominic. Arbia yang menyadari pria dewasa itu sedang berbahagia hanya menarik napas pendek. Agak terkejut dia ketika getar ponselnya terasa mengenai tangan rampingnya. Sebuah panggilan yang memang ia harapkan datang dari tadi. [Iya, Sayang] Jleb! Hati Dominic terasa perih dan pedih mendengar suara itu memanggil dengan seksi si penerima telpon. Ada tatapan tajam yang mebandakan kemarahan. Tapi pria itu tidak bisa berbuat apapun. Hanya dengusan yang kasar keluar dari hidungnta wajah bule itu memutih karena menahan emosi. [Aku baik-baik saja, Honey] Oh! Rasanya seperti terbakar hati Dominic mendengar sebutan itu lagi. Dalam hati Dominic merutuk, berharap penggilan telpin itu langsung terputus. Dan mema
"Apa yang, Om lakukan pada saya?" Pertanyaan itu menampar kesadaran Dominic Chalondra. Dengan cepat dia menarik tubuh dan bibirnya dari Arbia yang baru sadarkan diri. Gadis itu seperti orang linglung tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi. "Maaf Arbia," suaranya lirih membuat Arbia mengerutkan dahi. "Om, saya pulang saja sepertinya saya lagi datang tamu. Suka nggak enak badan terus mual-mual. Saya mau istirahat saja di rumah." Ucapan Arbia begitu susah dicerna oleh Dominic. Gadis itu sudah siap untuk turun. "Tolong buka pintunya, Om." "Biar aku antar, Arbia." Arbia nebggelengkan kepalanya lemah. "Jangan! Nanti kalau ketahuan papa, Om bakal di laporin sama polisi. Bye, Om." Arbia turun dari mobil dan menghadang taksi yang kebetulan lewat. Lantas tubuhnya menghilang bersama taksi yang membawanya plang. Dominic termangu mendengar ucapan gadis itu. Belum ingat dari kesadarannya, dia celingukan mencari sosok cantik itu.
"Aa-Ri kenapa, Axelle?" tanya komandan Li, terlihat cemas melihat putrinya ada dalam gendongan Axelle. Sebelum menjawab pertanyaan dari komandannya. "Aa-Ri terkilir, Ndan. Tapi nggak apa-apa. Biar saya pijit dulu." Setelah bicara seperti itu, kapten muda itu segeran menyentuh kaki ramping Aa-Ri dan memijitnya. Gadis blasteran korea itu meringis menahan sakit namun hanya berlangsung sesaat. Detik berikutnya Aa-Ri sudah bisa merasakan kakinya nyaman dan bisa seceria beberapa jam yang lalu. Aa-Ri memberikan banyak senyum pada Axelle. Gadis itu sudah terjerat dengan pesona sama Sang Kapten. Bahkan Axelle sendiri tidak pernah menyadari bahwa dia sudah menabur petaka buat hubungannya dengan Arbia. Keluar dari kantor Axelle langsung menuju ke mobil kebesarannya. Hari ini dia merasa seperti di anak emaskan oleh bosnya. Hanya disuruh menemani anak bosnya tapi mampu membuatnya merasa sangat berat dan lelah. Axelle ingin cepat sekali sampai di apar
Dengan mengerjabkan mata liarnya. Hatinya berdecah kaget saay menyadari bahwa dia seperti dijebak. Diamatinya wajah gadis yang sepertinya benar-benar tertidur di sampingnya itu. Lalu di bukan semua aplikasi tang ada di ponsel san perempuan. Dua bukan orang yang polos yang tidak tahu menahu masalah seperti ini. Setelah mencari apa yang sudah di temukan, dia menghapus seluruh memo dan video yang segaja dia ambil dan dia simpan. Namun sebelumnya sudah dia simpan di dalam memori ponselnya. Diliriknya jam tangannya, sudah sangat larut lalu Axelle mendekati tas kerjanya. Kapten muda itu mengumpat dalam hati, ternyata ponselnya sengaja di matikan oleh gadis itu. Dugaannya dari awal memang benar bahwa gadis ini nggak baik untuk hubungannya dengan Arbia. Dalam waktu 15 menit Axelle sudah sampai di apartementnya. Dengan perlahan dia membukan pintu kamarnya. Terlihat gadisnya terbaring dengan pulasnya. Didekatinya gadis cantik lalu diciumny
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin