"Memilikimu memang bukan sesuatu yang menjadi kenyataan bagiku. Namun hari ini, bersama sisa-sisa cintaku yang masih belum berubah sedikitpun aku ingin dirimu tetap tinggal walau tanganmu tak dapat kujamah."
Di meja makan ayah dan ibu Tania sudah ada, Bimo pun sudah menunggu kapan ibunya akan mengambilkannya nasi. Satu per satu wajah ayah dan ibunya ia pandangi.
"Ada apa? Mengapa Ayah dan Ibu kelihatan sedih?"
Ayah dan ibu terkejut mendengar pertanyaan Bimo yang seketika langsung membuyarkan lamunan mereka. Sang ibu lalu terburu-buru menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuk putranya.
"Apakah Ayah dan Ibu memikirkan Ka Nia?"
Tak satu pun dari ayah ataupun ibunya yang merespon pertanyaannya. Ayahnya menunduk, ibunya berusaha menyembunyikan raut wajah sedihnya.
"Setelah makan kita telpon Ka Nia. Sekarang makan dulu, Nak," kata ibu mengalihkan pembicaraan. Bimo mengangguk lalu mengajak ayah dan ibunya berdoa.
Tanpa disuruh, Bimo tahu tugasnya sebelum dan sesudah makan. Ayah dan ibunya memang memberinya tugas untuk memimpin doa sebelum dan sesudah makan agar ia terbiasa sejak dari rumah.
"Tuhan, terima kasih untuk segala berkat-Mu sepanjang hari ini. Berkatilah makanan ini agar berguna bagi kesehatan jiwa dan raga kami. Lindungi juga ka Nia yang sudah pergi jauh dari kami. Semoga Engkau selalu melindunginya di tempat orang. Nama-Mu kami puji, kini dan sepanjang masa,,, ."
"Amin," jawab kedua orangtuanya.
Seusia kelas empat SD, Bimo telah diberi kepercayaan untuk mengasah kemampuan doanya di rumah. Wajar jika susunan doanya sudah mulai teratur dan sudah jelas maknanya karena sejak masih berusah Taman Kanak-Kanak ia sudah diajari cara berdoa sebelum dan sesudah makan oleh ayah dan ibu, juga kakaknya Tania.
* * * * *
Mega meraih kertas putih itu dengan wajah penuh tanda tanya. Ia melirik ke arah Kevin, seolah-olah bertanya pada Kevin kertas apa yang ia pegang saat ini. Di sana, Tania duduk dan melayangkan pandangannya pada bingkai foto pada dinding kamar.
"Dia ada disini, Mega."
Raut wajah Tania kini berubah. Jelas tampak kelopak matanya membendung begitu banyak air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
Mega memberikan kertas itu kepada Kevin lalu dengan cepat bergerak mendekati Tania. Dengan penuh rasa iba, Mega memeluk erat sahabatnya itu.
"Kami turut berduka, Tania. Maaf kami gak bisa temenin kamu waktu nganterin jenazah Mike."
Tania tak menjawab apapun. Pipinya kini sudah mulai dibasahi oleh air mata.
"Mike masih disini. Ia akan selalu menemaniku."
Untuk kedua kalinya Tania menyebutkan kalimat itu. Di sana Kevin serius membaca dan berusaha memahami satu per satu setiap kalimat yang tertulis di kertas putih itu.
"Ini tulisan Mike sendiri gak sih?" Tanya Kevin heran.
"Kok bisa, Tania?"
Mega mengelus pundak sahabatnya sama seperti yang sering dilakukan oleh ibu Tania.
"Kertas itu aku dapet di tasku, Vin. Aku gak tahu itu tulisan Mike sejak kapan."
Tania memiringkan kepalanya lalu membiarkan Mega memeluknya.
"Kertas itu ada di tasku pas aku udah tiba di Ambon, di rumahku minggu kemarin."
Kevin mengembalikan kertas itu ke tangan Tania. Seluruh tubuhnya merinding mendengar apa yang dikatakan Tania.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi sedangkan Mike telah tiada? Isi tulisan itu jelas seperti sebuah penyesalan karena harus meninggalkan Tania seorang diri. Itu artinya puisi itu ditulis oleh Mike setelah kepergiannya. Setelah ia sudah meninggal.
"Pas tiba di rumah aku keluarin semua pakaian kotorku selama di kampung Mike. Terus aku dapet kertas itu dalam tasku, di antara pakaian-pakaian kotorku."
Tania menangis. Air matanya bebas mengalir membasahi pipinya. Mega tak sanggup berkata-kata, ia hanya memeluk dengan erat sahabatnya itu. Begitu juga Kevin. Rasa tak percaya masih jelas menghiasi wajahnya.
"Kok bisa kayak gitu ya? Bukannya itu berarti...." Berulang kali Kevin bergumam dalam hatinya. bertanta-tanya tentang keanehan yang dialami Tania.
"Dia masih disini, Mega. Dia masih disini bersamaku. Dia mencintaiku. Dia tak akan meninggalkanku."
"Terus, kamu mau sendirian terus? Gak mau nyari lagi pasangan baru buat gantiin Mike?" Tanya Mega spontan.
Mega ingat betul kejadian di kamar mayat waktu itu. Tania bersih tegang untuk tetap menikahi Mike meski kekasihnya itu sudah terbujur kaku dalam raga tak bernyawa. Andai saja ibunya tak mencegahnya, apa yang dikatakan Tania benar adanya. Ikatan yang telah mereka lakukan pasti akan terus membuat arwah Mike terus mengikuti Tania.
"Aku gak tau sih harus gimana. Pintu hatiku tuh seolah tertutup untuk cinta yang lain. Aku cuma menginginkan Mike. Dia satu-satunya lelaki yang berhasil membuat aku percaya dan merasakan kehadiran cinta dalam hidup aku. Perjuangan dia buat dapetin cinta aku aja gak mudah."
Mega dan Kevin hanya diam dan mengangguk. Sejenak terlintas peristiwa dimana Mike mengungkapkan perasaannya pada Tania waktu itu.
"Aku emang sering ngecewain dia, mengabaikan dia namun dia gak pernah nyerah. Aku ngerasa aku gak akan bisa dapetin cinta yang lain seperti cinta Mike ke aku."
"Semuanya terserah kamu aja Tania gimana baiknya. Yang jelas kami bakal selalu dukung sama semua keputusanmu."
Tania mengusap air matanya lalu tersenyum, meskipun senyumnya sama sekali tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Terima kasih, Mega. Aku bangga punya sahabat kek kalian. Aku akan baik-baik aja. Mike selalu temenin aku."
Seketika suasan kamar Tania kembali hening. Tania masih menyeka air matanya.
"Eh, terus gimana sama kalian? Kapan Kevin akan bawa kamu ke Flores?" Sambil setengah tertawa Tania mengalihkan pembicaraan.
"Hehehe, kalau itu sih tanya aja langsung ke si pangeran. Aku sih udah siap lahir dan batin," sahut Mega cepat sambil melirik ke Kevin.
"Tunggu aja kabar baiknya, Tania. Tabunganku belum cukup. Aku gak mau bebanin semua ke orangtua aku. Aku harus biayain sendiri pernikahan aku sama Mega. Mike yang udah ngajari aku semua ini," timpal Kevin sambil merekahkan senyum manis di bibirnya.
"Baiklah. Aku nunggu kabar baiknya. Sukses untuk kalian berdua, Bu Guru Muda dan Pengusaha Muda, hehehehe," Tania mengajak kedua sahabatnya untuk tertawa.
Sejenak mereka melupakan kesedihan yang masih mereka rasakan. Entah sudah berapa jam mereka terlarut dalam kesedihan. Mereka bertukar cerita tentang kesibukan mereka masing-masing.
"Sesekali mampir ke cafe dong. Aku nunggu kamu di sana ya."
* * * * *
"Ayah dan Ibu hanya khawatirkan keadaan Ka Nia. Kalau Bimo sudah tumbuh dewasa, Bimo yang akan gantikan Ayah dan Ibu untuk menjaga Ka Nia," kata ibunya memulai percakapan. Bimo hanya tersenyum dan mengangguk.
"Apakah kamu bisa, Bimo?" Tanya ibunya lagi.
"Tentu saja, Bu. Ka Nia akan aman."
Ayah dan ibu tertawa kecil mendengar jawaban spontan dari putra semata wayang mereka.
"Pacar ka Nia mengapa meninggal, Bu?"
Bagai disambar geledek, ayah dan ibu mematung dan saling memandang satu per satu. Apa yang harus mereka katakan untuk menjawab pertanyaan anak yang masih berusia sepuluh tahun ini?
"Bimo, hidup dan mati kita itu Tuhan sudah mengaturnya. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan meninggal."
Dengan penuh hati-hati sang ibu dengan sabar berusaha menjelaskan kepada Bimo.
"Pacar ka Nia meninggal karena kecelakaan," lanjut sang ibu.
"Kasihan a Nia, Bu. Bimo sering lihat ka Nia memandang dan berbicara sendiri dengan foto pacarnya."
Ayah dan ibu menarik napas panjang mendengar apa yang baru saja dikatakan Bimo, putra mereka.
"Karena itulah Ayah dan Ibu khawatir,,, ."
"Khawatir itu apa, Bu?" Potong Bimo.
"Khawatir itu seperti takut, ragu, tidak percaya kalau ka Nia bisa menghadapi ini sendirian."
"Kata ka Nia, ka Nia bisa, Bu."
"Hehehe, iya Nak. Ka Nia bisa menghadapi ini. Kita doakan yang terbaik untuk ka Nia. Semoga ka Nia baik-baik saja,"
"Amin."
"Aku sadar perlahan-lahan aku mulai terbiasa dengan kesendirianku namun kehadiranmu masih sangat kurasakan".Tania membuka pintu kamar dan seketika aroma khas parfum yang sangat ia kenal menyengat hidungnya. Ia menyadari satu hal bahwa itu adalah wangi parfum milik kekasihnya, lebih tepatnya calon suaminya yang sehari sebelum pernikahan, maut telah lebih dahulu merenggut salah satu dari mereka.Tania mengabaikan wangi parfum itu. Ia tahu betul Mike ada di dekatnya. Ia meletakkan tasnya ke atas meja, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya."Terus? Aku harus nangis gitu? Meratapi keadaan aku saat ini dan meminta Mike untuk nunjukin auranya di hadapan aku?"Tania duduk di tepi ranjang setelah selesai berpakaian. Sejenak terlintas dalam ingatannya perkataan salah seorang rekan kerjanya tadi siang."Eh, Tania. Tadi ada yang nyariin kamu. Tapi dia perg gitu aja pas aku bilang kalau kamu lagi makan siang ke luar.""Siapa? Pasien, bukan?" Tanya Tania penasaran."Aku juga gak kenal
"Apapun yang terjadi aku harus tetap hidup. Aku tidak boleh mati percuma dengan cara yang tidak semestinya seperti ini."Tamatlah riwayatku hari ini, pikir Tania. Jantungnya lagi-lagi berdegup dengan sangat kencang. Nafasnya kian tak teratur, ditambah lagi cekikan keras pria itu membuatnya semakin tak berdaya. Ia pasrah, tubuhnya lunglai tak berdaya."Mikeeeeee, to,,, to,,, tolong aku, Mikeeee,,,,"Tak ada pilihan lain bagi Tania untuk meminta pertolongan. Satu-satunya orang yang ia yakini dapat membantunya hanyalah Mike. Kalaupun saat ini, ditengah bahaya yang mengancam hidupnya, Mike tak bisa muncul dan menampakkan dirinya ia berharap setidaknya ada satu tanda dari calon suaminya itu untuk menolongnya.Ia sungguh-sungguh tak kuasa lagi untuk berteriak. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha menahan sakit karena cengkraman pria tak dikenal itu."Masih mau mengajak berlari lagi, hah?" Tanya penuh ejek salah satu dari mereka dengan suara penuh amarah. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah
"Aku tahu kamu masih disini bersamaku. Terima kasih telah menjadi malaikat pelindungku. Aku merindukanmu."Tania mencoba menyapa lelaki itu namun suaranya terasa berat. Ia mencoba menggerakan tubuhnya namun sama sekali tak bisa karena masih terasa sakit.Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum memandangi Tania yang sedang bergetar ketakutan. Senyum lelaki itu tak berubah. Masih menawan seperti sebelum-sebelumnya."Mikeeeeee..."Teriak Tania kaget. Ia berteriak kaget dan terbangun dari lelapnya."Ya Tuhan, ternyata aku cuma mimpi."Tania mengusap wajahnya. Tak lupa juga ia memeriksa seluruh tubuhnya. Tak ada luka di lehernya. Tubuhnya ia gerakkan. Tak ada sakit yang ia rasakan."Ternyata aku cuman mimpi aneh," gumam Tania lagi. Ia kemudian bergerak turun dari ranjang dan berjalan ke arah sudut kamarnya. Ia menemukan sebotol air mineral di atas meja lalu menenggaknya.Sorot matanya ia tujukan ke dinding kamarnya. Dari sana, Mike tersenyum melihatnya. Dari sebuah gambar bisu yang di
"Bagaimana mungkin aku merasa seperti telah lama mengenalnya? Siapa dia? Mengapa aku merasa begitu dekat dengannya?"Seorang lelaki terdiam lesu di teras rumahnya. Tak henti-hentinya ia memaki hujan yang turun begitu deras dan telah membatalkan rencananya.Sebentar lagi hari akan gelap. Ia paling tidak suka bepergian malam-malam seorang diri. Apalagi esoknya adalah hari Senin.Setelah menunggu lama, hujan akhirnya reda setelah ia hampir membatalkan niatnya untuk pergi. Tanpa basa-basi, ia langsung bergegas menuju garasi mobil dan melesat pergi.Tinggal seorang diri, Nathan memang sudah terbiasa mandiri. Segala sesuatu selalu ia lakukan seorang diri. Ia tak pernah ingin merepotkan orang lain. Ojek online sekalipun.Ia sudah terbiasa pergi seorang diri. Ibunya membiarkannya tinggal seorang diri. Usianya pun masih muda. Karirnya pun melejit sehingga ia tak pernah kesulitan jika menginginkan sesuatu. Ibunya mempercayakan sebuah anak cabang perusahaan milik ibunya. Tetapi tidak tentang urus
"Bagaimana mungkin kamu tak marah? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa maksud dari semua ini?"Setelah seharian menemani Kevin di cafe, Mega diantar pulang oleh Kevin ke kostnya. Mereka memang belum bisa tinggal serumah karena belum menikah.Siang malam Kevin standby di cafe miliknya lantaran persiapan untuk pernikahan mereka. Bandnya sendirilah yang mengisi live music di cafenya.Kevin tak mau membebankan semua ke orangtuanya lagi. Ia ingin membiayai sendiri pernikahannya. Semangat yang diajarkan alamarhum Mike padanya masih ia laksanakan hingga saat ini."Kamu pasti lelah, sayang. Langsung istirahat aja ya. Maaf udah ngrepotin kamu seharian di cafe," kata Kevin setelah Mega turun dari sepeda motornya."Gak apa-apa, sayang. Ini juga demi kita berdua," balas Mega sambil tersenyum.Kevin lalu mendekatkan bibirnya dan mengecup kening Mega sebelum ia pergi dan meninggalkan Mega seorang diri."Hati-hati, sayang. Jangan begadang lagi ya, langsung istirahat. Kamu juga pasti lelah banget."Kevi
"Entahlah, aku merasa Mike masih selalu ada di dekatku. Mengikutiku kemanapun aku pergi." Tania langsung menuju cafe milik Kevin dan Mega setelah selesai bekerja. Kali ini ia benar-benar ingin bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Ia ingin menceritakan semua kejadian aneh yang akhir-akhir ini membuatnya bingung dan merasa bahwa Mike masih hidup. Tania langsung mendorong pintu cafe setelah ia tiba disana. Ia tak peduli dengan tatapan kaget sebagian pengunjung yang sedang menikmati hidangan mereka. Tania langsung menemui Mega dan Kevin yang sedang sibuk. "Aku gak tau harus memulai ceritaku dari mana. Tapi, aku beneran butuh kalian. Kalian harus tahu ini...." Tania tiba-tiba muncul dan menyerang Mega dan Kevin dengan keresahan yang sedang ia rasakan saat ini. "Tan, tenang dulu. Kamu minum aja dulu ya, baru cerita." Mega memberikan Tania segelas air mineral dan memberikan kode kepada Kevin untuk meninggalkan kesibukannya sebentar dan menemui mereka berdua. Tania menenggak segelas a
"Siapa kalian? Mengapa aku seperti telah lama mengenal kalian? Dan gadis ini, mengapa aku selalu merasa sangat dekat dengannya? Ada apa ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Siapa aku?" Setelah mencoba beberapa kali, tetap saja tak ada jawaban. Yosep dan Maria mulai khawatir. Tidak seperti biasanya Tania mengabaikan telepon dari kedua orangtuanya. Maria hendak mencoba sekali lagi namun Yosep membatalkannya. Gawai ditangan istrinya itu ditariknya lalu diganti dengan sebuah pelukan. Lukas tahu istrinya sudah mulai tak tenang memikirkan putrinya. "Bu, tenanglah dulu. Nanti kita coba lagi, ya. Tania mungkin sedang sibuk," bisik Yosep lembut sambil mengusap punggung istrinya. Maria kemudian menatap mata suaminya itu kemudian menempelkan kepalanya ke dada bidang suaminya. Ia tak lagi kuasa menahan air matanya. Ia benar-benar mengkhawatirkan Tania. "Baru kali ini Tania tidak menjawab telepon kita, Yah. Padahal sudah berkali-kali kita meneleponnya." Yosep tak mengatakan apa-apa.
"Non scholae sed vitae discimus: bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup kita belajar - pepatah kuno bahasa latin" Hari yang ia tunggu-tunggu: mendaftar kuliah. Semangatnya luar biasa. Mike melangkah penuh semangat melewati pintu gerbang kampus - menyapa beberapa orang yang lewat lalu berjalan terus menuju sekretariat pendaftaran penerimaan mahasiswa baru. Semoga saja tak banyak yang antri di dalam sana karena ia harus buru-buru pulang, batinnya. Hari ini jadwal Mike shift siang dan ia tidak boleh terlambat. Jika terlambat, ini menjadi pertama kalinya ia terlambat datang ke tempat kerja. Mike bekerja sebagai seorang Satuan Pengamanan (Satpam) pada sebuah hotel ternama di kota ini. Gaji ia bekerja disini lumayan untuk dia membiayai kuliahnya sendiri dan juga untuk keperluan mendadak Ibunya di kampung. Menjadi anak semata wayang bukanlah hal mudah. Tambah lagi ayah - tulang punggung keluarga - telah pergi untuk selama-lamanya dan Ibu ia tinggalkan sendirian di kampung mengurus petern
"Genggam erat tanganku dan jangan kau lepas. Aku akan semakin mencintaimu setelah ini. Percayalah."Pagi-pagi sekali Tania sudah bangun, membantu Ibu Icha memasak di dapur. Selain menyiapkan sarapan untuk pak Ujad suami ibu Icha dan Adhari anaknya, mereka juga masak untuk para pelanggan bu Icha yang bekerja di pabrik.Rasanya sudah lama sekali Tania tidak melakukan aktivitas itu lagi. Selama hidup di Jakarta, ia tak pernah memasak sebanyak ini. Makan pun selalu dibeli dari warung, sesekali memasak sendiri di kost tapi itu juga hanya sayur dan ikan.Tania tak lupa juga mengabari Novy, temannya bahwa hari ini ia akan melakukan penelitiannya. Semalam setelah sampai, ia lupa mengabari Novy karena saking seriusnya mengobrol dengan keluarga barunya."Eneng, hampura ibu teh teu bisa temanin eneng," kata bu Icha di sela-sela menyediakan sarapan ke atas meja.Tania hanya mengangguk kecil. Ia memang tak harus mem
Setelah melewati perjalanan yang panjang dan melelahkan, Tania akhirnya tiba di tempat tujuannya, Desa Margaluyu. Waktu kira-kira pukul 16.37 WIB.Berkat bantuan salah seorang teman kampusnya yang merupakan putri kelahiran Desa Margaluyu, Tania akhirnya bertemu dengan Kepala Desa setempat dan dia akhirnya diantar oleh istri bapak Kepala Desa menuju rumah Ibu Icha Nur Aida, salah satu tetangga dari Novi, temannya.Perjalanan yang melelahkan namun terbayar lunas dengan sambutan hangat dari keluarga Ibu Icha. Ibu Icha adalah seorang ibu rumah tangga, usianya 56 tahun. Ia tinggal bersama suami dan seorang anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMA. Suaminya bernama pak Ujad Sudrajad.Mereka memiliki sebuah warung nasi yang menjadi tempat langganan para karyawan pabrik susu, PT. Nusantara Agri Sejati Dairy Farm. Jarak pabrik susu itu tak jauh dari rumah ibu Icha - hanya melangkahkan kaki sekitar tujuh langkah, kita sudah menginjakkan kaki di area pabrik s
Mike PoVMike telah siap di meja piketnya dan akan menjalankan tugasnya seperti biasa sebagai seorang security. Wajahnya tak menunjukan sama sekali ada keceriaan disana - ia masih memikirkan rencananya yang sudah gagal dan juga tantangan yang Tania berikan padanya.Tak berpikir panjang lebar, ia merogohkan tangan ke dalam sakunya lalu mengeluarkan handphonenya. Ia mencari nama Mega pada kontak lalu menelepon Mega."Halo, Mike. Ada apa?" Tanya Mega setelah menjawab telepon dari Mike.Mega tak menunggu waktu lama untuk menjawab telepon dari Mike karena handphonenya sedang berada di tangannya."Mega, apakah aku mengganggumu?" Tanya Mike cepat."Tidak, Mike. Ada apa?" Tanya Mega balik."Sepertinya rencana kita telah gagal, Mega. Tania akan pergi ke Sukabumi beberapa hari ke depan," kata Mike dengan suara datar."Berarti ulang tahunnya dia tidak di Jakarta?" Tanya Mega sambil mengernyitkan dahinya."Ya, Mega. Aku tak tahu lagi harus bagaimana," jawab Mike masih dengan suara datar."Apakah
Tania PoVHari yang melelahkan. Betapa tidak? Setelah lama berargumen dengan dosen pembimbingnya, akhirnya pengajuan judul skripsi Tania disetujui.Dengan wajah berseri, Tania melangkah meninggalkan ruangan dosen pembimbingnya. Ia memutuskan untuk langsung kembali ke kostnya.Tania tidak mau menunggu lagi - satu atau dua minggu kedepan, ia akan meninggalkan hiruk-pikuk kota Jalarta dan pergi ke luar kota.Untuk metode penelitian lapangan (empiris), Tania akan pergi ke daerah pelosok untuk mempelajari Perkembangan Gizi Ibu dan Anak Balita - dan tentu saja, ia akan merayakan ulang tahunnya disana.Tania memilih Desa Margaluyu, salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.Tania merebahkan tubuhnya, tangannya meraih handphone dan mengirim sebuah pesan waslap pada Mike. Ia harus mengabari Mike - tak biasanya ia memutuskan untuk terlebih dahulu mengabari Mike tentang kabar baik ini."Mike, bagaimana hari-harimu? Lama tak bertemu ya. Aku harap k
Seperti biasa setelah pulang dari kampus, Mike mengajak Mega untuk singgah ke Taman Kenangan. Ia beruntung, hari ini Mega menyetujuinya - mereka kembali meski tak seperti dulu.Mega tentu saja menjaga jarak karena ia sekarang adalah kekasih Kevin. Kembali ke taman adalah salah satu hal yang akhir-akhir ini ingin ia lupakan namun karena Mike memaksanya, ia mengiyakan meskipun dalam hatinya menolak."Aku ingin berbicara denganmu, Mega. Kali ini saja. Kembali ke taman bersamaku," rengek Mike ketika keluar dari ruangan kelas tadi.Sesampainya mereka di taman, Mega tak menunggu Mike yang sedang memarkirkan sepeda motornya. Ia berjalan terlebih dahulu, toh tidak kemana-mana, pasti di tempat yang sama.Mega menunjukan aura tak berseri sama sekali. Mike menyadarinya namun ia masa bodoh. Ia tahu Mega sedang berusah menjaga jarak karena sekarang Mega adalah kekasih Kevin, temannya.Mega bukan lagi gadis bodoh yang masih mengharapkan cintanya, ia ki
Laura meletakan segelas susu ke atas meja lalu melangkah ke ranjang tidurnya. Disana masih ada Mike yang masih tidur dengan pulasnya.Entah apa yang ia mimpikan semalam dalam tidurnya, pagi-pagi sekali Laura sudah bangun dan langsung membersihkan dirinya. Ia sengaja masih mengenakan tanktop yang semalam ia kenakan.Layaknya seorang istri, Laura menyediakan segelas susu yang telah ia letakkan di atas meja. Laura memegang pundak Mike, menggoyang pelan - membangunkannya.Mike kaget dan membuka matanya, ia melihat Laura duduk di hadapannha. Ia mengusap matanya, lalu memberikan senyuman pada Laura. Laura membalas senyumnya."Kamu mengagetkanku, Laura," kata Mike setelah mengumpulkan kembali sebagian nyawanya."Bangunlah, Mike. Sudah pagi. Kamu harus ke kampus hari ini, bukan? " sahut Laura sambil berdiri meninggalkan Mike yang masih duduk di ranjang.Laura sengaja meninggalkannya karena lelaki itu masih telanjang dada. Dadanya yang bi
Tak menunggu lama bagi Mike, ia segera menuruti permintaan Laura. Ia menggendong Laura dan membawanya ke ranjang. Tatapan matanya sedikitpun tak beralih dari tatapan mata Laura yang menatapnya dengan penuh nafsu saat ini.Mike lalu membuka bajunya dan membiarkan tubuhnya tak ditutupi apa-apa lagi. Batangnya yang sedari tadi sudah tegak sepenuhnya membuat tatapan Laura langsung berpindah ke situ. Mike mengabaikan perasaan malunya saat ini bahwa untuk pertama kalinya ia telanjang di hadapan seorang gadis. Ia juga tak peduli bahwa ukuran batangnya besar atau kecil menurut Laura.Nafsu telah mengalahkan semua itu dan ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan malam ini.Laura perlahan bangun dari ranjang dan mendorong tubuh Mike yang sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Laura memang lebih berpengalaman jika dibanding dengan Mike meskipun pengalaman percintaaannya tidak didasari rasa cinta.Mike pasrah de
Tak bisa lagi menahan semuanya, Mike lalu menyambutnya, membalas dengan mesra ciuman Laura padanya kemudian mendorong tubuh Laura dengan lembut hingga terjatuh kembali ke ranjang.Dengan posisi seperti itu, siapapun lelaki yang memandangnya tentu tak akan menahan diri untuk segera menjamahnya saat itu juga.Mike perlahan naik ke atas ranjang, berniat untuk memangkas jarak diantara mereka berdua. Namun Laura memikirkan hal lain. Ia tidak ingin Mike yang mendominasinya.Laura tahu betul bahwa Mike belum pernah melakukan hal ini sehingga dirinyalah yang harus memulainya. Ia dapat melihat dengan jelas keraguan dari tatapan Mike padanya.Laura kemudian bangun dari ranjang lalu menarik Mike ikut bersamanya. Perlahan, ia menggiring Mike mengikutinya kembali ke ruang tamu, kembali ke atas sofa.Jari telunjuk Laura menyentuh dengan lembut dan manja pada dada bidang Mike, bergerak pelan membentuk sebuah garis tak lurus lalu secepat kilat mendorong Mike agar jatuh dan duduk ke atas sofa.Mike ha
Mike mendehem pelan. Ia memegangi resleting jaket dan menariknya ke bawah, membuka jaketnya. Ia menuruti saran Laura karena ia memang merasa gerah.Namun ia merasa gerah bukan karena hawanya panas di dalam kamar Laura melainkan situasi yang belum pernah ia rasakan: berdua dengan seorang gadis yang berpakaian seksi di hadapannya.Sementara Laura masih tetap tenang pada posisinya. Tanpa mereka sadari sudah satu jam berlalu. Mereka masih berkutat dengan perasaan masing-masing.Laura merasa malu terhadap dirinya sendiri yang berani menampakan lekuk tubuhnya sedangkan Mike, kegusaran nampak jelas di wajahnya. Ia telah mandi keringat semenjak masuk ke dalam kamar hotel Laura.Kata-kata Laura terakhir masih terekam jelas. Ia berharap, Tania tidak akan meninggalkannya sama seperti apa yang Laura lakukan padanya.Ia tidak menyalahkan Laura dalam hal ini. Ia mendukung Laura, baginya apa yang dilakukan sebagai anak untuk menyelamatkan orang tuanya yang dililit hutang sudah tepat.Perpisahan Laur