Jihan mulai melangkah menjauhi tokoh perhiasan itu. Kemudian dia berjalan lagi mengitari mall besar tersebut untuk mencari toko perhiasan lainnya yang mau membeli beberapa barang berharga hasil curiannya dari Maid Ningsih.
Setelah berkeliling lama, akhirnya, Jihan menemukan toko perhiasan di dalam mall yang mau membeli semua perhiasan itu."Nona, apakah benar semua perhiasan ini milik ibu Anda yang telah lama meninggal?" tanya salah seorang karyawan toko perhiasan tersebut."Iya, Mbak. Masa saya bohong? Saya adalah anak yatim piatu, orang tua saya telah lama meninggal. Saya menjual semua perhiasan ini, untuk biaya sekolah saya, Mbak. Minggu depan ujian tengah semester akan dimulai di sekolahan, jadi semua siswa diwajibkan untuk melunasi semua tunggakkan yang berhubungan dengan biaya sekolah." Jihan menceritakan semua bualannya untuk membuat para karyawan toko perhiasan itu, berbelas kasihan kepadanya. Bahkan dengan sengaja sang gadis mengatakan jika kedua orang tuanya telah lama meninggal.Begitu teganya Jihan mengatakan semua kebohongan itu. Segala kekecewaannya atas sikap dan penolakan kedua orang tuanya kepadanya, membuat dirinya mengarang cerita bohong tentang mereka."Baiklah, Nona. Kami sangat percaya kepada Anda." Lalu karyawan itu pun mulai membayarkan uang yang banyak kepada Jihan.Rasa senang yang hakiki mulai melingkupi raut wajah Jihan saat rupiah itu berpindah tangan kepadanya. Dia pun segera meraihnya dan ke luar dengan cepat dari toko itu.Namun salah seorang karyawan toko perhiasan tersebut, ada yang curiga dengan tingkah laku Jihan yang sedikit aneh. Dia pun berpamitan kepada teman-temannya dan berpura-pura akan ke toilet."Guys ... aku ke toilet bentar, ya!" pamitnya kepada mereka.Dia pun mulai melangkah mengikuti ke arah mana Jihan akan pergi. Karyawan toko itu benar-benar menjaga jaraknya dengan Jihan agar dirinya tidak ketahuan.Karyawan toko itu sangat kaget saat melihat Jihan yang berbelok menuju ke sebuah butik mewah yang khusus menjual pakaian-pakaian bermerek dan limited edition."Ya ampun! Ternyata gadis itu berbohong!" serunya tak percaya dengan yang dirinya lihat saat ini.Karyawan toko itu pun segera kembali ke toko perhiasan tempat dirinya bekerja. Setelah sebelumnya, dirinya mengabadikan beberapa foto Jihan sebagai bukti jika suatu saat ada orang yang menggugat tentang perhiasan tersebut.Sementara Salma dan Jihan yang baru saja selesai berbelanja mulai mencari-cari keberadaan Jihan."Salma! Jihan ke mana sih? Kok nggak kelihatan batang hidungnya?""Nggak tahu nih, Fabi!" keluhnya."Jangan-jangan Jihan mengerjain kita!" ketus Fabi kesal."Gila tuh Si Jihan jika dia berani bermain-main dengan kita!" Salma malah semakin emosi."Ayo kita cari Jihan dulu," ajak Fabi.Para gadis itu pun mulai berpencar mencari keberadaan Jihan, sedang berada di mana saat ini. Namun keduanya tidak menemukan Jihan sedang berada di mana saat ini."Fabi, Lo sudah temukan Jihan?""Belum, nih. Entah ke mana anak itu perginya!" seru Salma lagi."Terus bagaimana cara kita membayar semua belanjaan ini? Masa kita harus mengembalikannya di tempat semula, sih? Mau ditaruh di mana harga diri kita, Salma?" ujar Fabi dengan raut wajah penuh emosi."Kurang ajar Lo, Jihan! Berani juga Lo kibulin kita berdua!" Salma semakin marah.Mereka pun mulai berdebat dan saling menyalahkan satu sama lain. Namun tiba-tiba ditengah adu mulut diantara Fabi dan Salma, tiba-tiba Jihan muncul lalu berkata,"Guys ... kalian sudah selesai belanjanya?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa."Jihan!" kaget keduanya serentak."Hei ... ada apa dengan kalian? Kok seperti sedang melihat hantu?" tanya Jihan tanpa dosa."Ya ampun, Jihan! Lo dari mana saja? Gue dan Fabi dari tadi nyariin Lo!" ketus Salma dengan wajah cemberut."Sorry, Guys. Tadi perut gue sakit banget. Jadi gue ke toilet sebentar," ujar Jihan sekenanya.Padahal pada kenyataannya, Jihan bukannya ke toilet. Akan tetapi gadis itu pergi ke toko perhiasan."Yaelah, Jihan! Bilang-bilang dong kalau Lo mau ke toilet, jadi kita nggak panik begini." sergah Fabi."Sorry, Guys. Tadi gue buru-buru banget. Oh ya, apakah acara shopping kalian telah selesai?""Sudah dari tadi kali! Buruan deh, bayar! Gue buru-buru banget, nih!" ketus Salma yang telah lebih dulu kesal dengan Jihan."Iya Jihan, gue juga harus segera pulang ke rumah. Nyokap gue baru saja menelepon. Gue mau ngantein Nyokap ke salon." Fabi juga turut memberi alasan."I ... iya, ayo kalian segera mengantri di kasir." serunya kepada kedua teman palsunya.Setelah sang kasir menyebutkan total belanjaan Salma dan Fabi, Jihan segera membayar semuanya. Beruntungnya, uang hasil dirinya menjual perhiasan milik Maid Ningsih. Mampu membayar semua belanjaan kedua temannya.Setelah semua pembayaran selesai, Fabi dan Salma, secara bergantian mulai berpamitan kepada dirinya."Jihan, gue cabut dulu ya!" ujar Salma."Gue juga ya, Jihan. Mau pergi juga." Fabi juga ikut berpamitan."Iya, hati-hati ya kalian." sahut Jihan kepada mereka."Oh ya, kalau Lo butuh teman untuk menghabiskan waktu bersama, Lo tinggal calling kita-kita. Gue dan Fabi pasti akan segera meluncur secepat mungkin!" Salma mengatakan itu sambil menatap remeh ke arah Jihan yang bodoh itu.Setelah teman-temannya pergi. Jihan mulai berjalan gontai ke luar dari mall tersebut. Dia lalu merogoh saku roknya. Uang yang tersisa di dompetnya tinggal lima puluh ribu rupiah.Jihan pun ingin segera pulang ke rumahnya. Dia berencana untuk menjual rumah megah itu. Tapi hal pertama yang harus dirinya lakukan yaitu menemukan di mana letak sertifikat rumah itu berada.Akan tetapi karena uangnya kurang untuk memesan taksi. Jihan pun terpaksa pulang naik angkutan umum ke rumahnya.Di sebuah desa di daerah Bogor.Maid Ningsih baru saja tiba di rumahnya. Saat ini dia sedang menangis histeris, karena anaknya yang sedang sakit keras ternyata telah pergi untuk selamanya meninggalkan seluruh keluarga.Maid Ningsih tidak memiliki tabungan lagi untuk pengobatan sang anak. Semua perhiasan dan uang yang dirinya kumpulkan selama ini telah dicuri oleh Jihan.Sebelum hari semakin gelap, Anak Maid Ningsih segera dikebumikan. Seluruh keluarga dan warga desa ikut mengantar sang anak ke tempat peristirahatannya yang terakhir.Semua orang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Namun Maid Ningsih masih berada di makam anaknya. Dia masih menangis dengan sangat tersedu-sedu saat ini.Wanita itu tak menyangka jika anaknya telah pergi untuk selamanya, karena pengobatan yang kurang memadai. Lalu tiba-tiba dia mengingat Jihan yang telah mencuri semua barang-barang berharga miliknya."Nona Jihan! Ini semua gara-gara Anda! Semoga saja karma segera menghampiri Anda, Nona! Tuhan tidak pernah tidur! Biarlah yang kuasa yang akan membalas setiap perbuatan keji, Anda!" Maid Ningsih terus saja menangis meratapi nasibnya yang telah ditinggal oleh anaknya untuk selama-lamanya.Jihan baru saja sampai di depan rumahnya. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat beberapa orang berseragam salah satu bank, ditemani oleh pihak berwajib yang berjumlah lima orang sedang melakukan penyegelan di rumahnya.Beberapa tetangga terlihat juga ikut menonton aksi dari pihak bank. Untung saja Jihan sedang memakai topi sehingga wajahnya tidak kelihatan.Karena takut ketahuan dan diminta pertanggungjawaban kepadanya, Jihan pun mulai meninggalkan tempat itu.Samar-samar dia dapat mendengar dari omongan orang yang berkerumun di situ. jika rumahnya disita karena kedua orang tuanya tidak sanggup lagi membayar cicilan untuk melunasi utang-utang mereka di bank.Setelah agak jauh dari rumahnya. Jihan pun berteduh di sebuah halte bis. Dia lalu merogoh sakunya untuk memeriksa berapa lagi uang yang tersisa kepadanya. Ternyata tinggal dua ribu rupiah."Sial! Gue benar-benar apes sekarang!" kesalnya dalam hati."Apa yang harus gue lakukan sekarang?" Jihan pun menjadi bingung sendiri.La
"Kumar, cukup! Kamu jangan memukulinya lagi!" tegur Tante Irawati, yang juga merupakan saudara kandung dari Paman Kumar.Sementara Mama Lisda hanya melihat saja saat anak kandungnya dipukuli oleh adiknya. Demikian halnya dengan Papa Raka yang juga tidak memberi komentar apapun saat melihat Jihan babak belur karena dipukuli oleh adik iparnya.Kedua orang tua Jihan telah tahu betul bagaimana tabiat sang anak yang suka mencuri dan pintar berbohong. Jadi bagi mereka, hal itu sudah biasa. Bahkan mereka terlihat senang saat Jihan ketahuan mencuri. Biar dia kapok dan malu.Namun Paman Kumar tidak mempedulikan perkataan kakaknya. Dia terus menendang Jihan.Melihat cucunya yang terus menjerit kesakitan, Nenek Omas segera berkata, "Nini! Tegur suamimu! Apakah kalian mau masuk penjara jika Jihan mati karena dipukuli oleh Kumar?" Mendengar ucapan sang ibu mertua, membuat Nini segera menegur suaminya untuk menghentikan aksinya yang sedang memukuli Jihan.Paman Kumar segera berhenti memukuli Jiha
"Apa? Nenek yang akan mengurusku? Dengan menyuruh-nyuruhku begitu kah? Tentu saja aku tidak mau!" Lagi-lagi Jihan menggerutu di dalam hatinya."Aku harus mencari cara untuk ke luar secepatnya dari rumah ini! Tapi aku harus mengumpulkan modal dulu!" Berbagai rencana-rencana jahat mulai berseliweran di dalam pikiran Jihan saat ini.Setelah mendapatkan pakaian baru dari Tante Nini. Jihan pun disuruh mandi dan membersihkan dirinya oleh Tante Irawati.Selama tinggal di rumah sang nenek. Jihan akan tinggal satu kamar dengan Tante Irawati yang masih terlihat sendiri tanpa pasangan, karena memutuskan untuk tidak menikah sampai akhir hayatnya. Setelah selesai mandi, Jihan pun memilih duduk di teras rumah neneknya sambil kembali menghubungi Salma dan Fabi. Namun kedua temannya itu malah telah memblokir nomor ponselnya.Jihan dan Fabi kok jadi berubah begini, sih? Kesambet apa mereka?" kesalnya dalam hati.Lalu Jihan pun mulai mencoba membuka media sosial miliknya dan melihat jika banyak pember
"Makanya kasi tahu gue, berapa." Ilham malah menantang Jihan.Mendengar ucapan sang pria, Jihan pun mulai melangkah mendekati Ilham seraya berkata,"Jika Lo mau menikmati tubuh suci gue, setidaknya Lo sediakan uang sebesar lima ratus juta!""Apa? Nggak salah Lo, Jihan? Busyet ... mahal amat Lo?""Iya, dong! Gue masih ting-ting Ilham! Sudah ah! Gue cabut dulu! Lo kebanyakan bacot!" seru Jihan lalu benar-benar pergi dari hadapan sang pria."Parah banget Jihan! Mahal banget tarifnya!" tutur Ilham kecewa."Dari mana gue mendapatkan uang sebanyak itu? Jika semua perhiasan ibu gue jual, masih belum cukup untuk membeli tubuh Jihan!" ujarnya kesal dalam hati."Gue harus jadi orang pertama yang mencicipi tubuh Jihan!" ucap Ilham dari kesungguhan hatinya.Jihan pun tiba di rumah sang nenek. Semua orang terlihat sedang duduk di ruang makan. Ternyata hari sudah gelap dan waktunya makan malam telah tiba."Dari mana kamu!" tegur Paman Kumar kepada sang keponakan. "Saya baru dari warung Bu Narti, P
Tak berapa lama, Tante Irawati mulai sibuk mempersiapkan pesanan dari Ilham. Kebetulan warung pun mulai sepi.Pria itu tersenyum penuh misteri."Ini waktu yang tepat bagi ku untuk mendekati Jihan," gumamnya senang dalam hatinya.Pria itu pun mulai mendekati Jihan yang sedang pura-pura sibuk."Hai Jihan, apa kabar? Gue butuh Lo untuk memanjangkan senjata gue! Bagaimana cantik?" seru Ilham sambil menggoyang-goyangkan sebuah kalung milik ibunya tepat di depan gadis itu.Jihan yang dari tadi sok sibuk. Mulai terusik dengan kedatangan Ilham yang mencoba untuk merayunya saat ini.Sang gadis segera menatap Ilham dengan sangat tajam."Hei! Idiot! Lo ngapain ke sini?" kesal Jihan."Omongan Lo kok kasar banget, Jihan? Gue ke sini di suruh ibu gue untuk belanja. Lo kok jadi sewot begitu?" Ilham sangat kaget dengan perkataan Jihan yang begitu kasar kepadanya."Sepertinya Jihan harus gue beri pelajaran agar dia bisa lebih sopan sama gue!" tekad Ilham dalam hati."Suka-suka guelah! Lagian ngapain L
Setelah mengantongi uang yang banyak. Gadis itu pun masuk ke sebuah kafe. Lalu memesan makanan yang sangat banyak. Jihan pun mulai asyik makan enak sendiri tanpa ada gangguan sedikit pun dari siapa pun.Saking senangnya Jihan menikmati hidangan mewah yang telah tersaji di depannya. Dia tidak tahu sama sekali jika di dalam kafe itu, kedua teman palsunya, Fabi dan Salma juga ada di dalam kafe tersebut bersama dengan pacar-pacar mereka, dan juga ada seorang laki-laki lain yang merupakan sahabat dari pacar Fabi yang dari tadi menatap tak berkedip ke arah Jihan.Fabi dan Salma mulai saling berbisik-bisik,"Fab, bukannya itu Jihan?" tanya Salma kepada Fabi."Iya itu, Jihan! Masih hidup juga tuh, anak! Gila!" tukas Fabi."Jihan dapat uang dari mana bisa makan enak di sini? Kafe ini kan terkenal mahal." Salma menjadi curiga."Sepertinya Jihan tidak tahu jika kita juga berada di sini," seru mereka berdua.Lalu Salma pun melihat jika Hendra, teman dari pacar Fabi terus saja melirik ke arah gadi
Di kafe itu tinggal ada Hendra dan Jihan. Pria itu baru saja menyatakan perasaannya kepada sang gadis yang masih belum dijawab oleh Jihan."Bagaimana Jihan, apakah kamu mau menjadi pacar ku?" tanya Hendra penuh harap."Tentu saja, aku mau kok, Ndra." jawab Jihan sambil menatap remeh ke arah pria itu."Terima kasih, Jihan! Aku sangat senang mendengarnya." Lalu tanpa sadar Hendra memeluk Jihan dan mencium pipi gadis itu.Hendra sangat kaget karena tidak ada penolakan dari Jihan. Membuat Hendra semakin senang untuk melakukan hal yang lebih.Ternyata Hendra adalah penjahat wanita. Namun Jihan sepertinya masih belum mengetahui perangai Hendra yang sesungguhnya."Ndra, aku ke toilet sebentar?" ucap Jihan memberi alasan. "Iya, Sayang. Silakan." ucap Hendra lalu mengusap lembut punggung Jihan, tentunya dengan sengaja.Ternyata tidak ada reaksi dari Hendra. Dia pun sangat senang saat ini.Gadis itu pun lalu pamit ke toilet karena penasaran dengan secarik kertas yang diberikan oleh Haikal dan
6Walaupun telah berpamitan kepada Tante Irawati, Jihan tetap kena marah Paman Kumar karena pulang larut malam.Seketika suasana di rumah terasa tegang. Paman Kumar sangat marah karena Jihan terlambat pulang, dan dia tidak tahu bahwa Jihan sebenarnya baru saja pulang dari pertemuan dengan pacar barunya, Hendra. Jihan mencoba menjelaskan alasan keterlambatannya, akan tetapi dia tetap dimarahi oleh Paman Kumar."Jihan, apa yang kamu lakukan di luar rumah? Sudah larut malam, dan kami semua sangat khawatir. Kamu tahu betapa berbahayanya jika seorang gadis pulang terlalu malam! Ikuti peraturan Paman! Ingat kamu hanya menumpang di sini! Jangan suka-sukamu semuanya!" hardik Paman Kumar.Jihan seketika mengepalkan tangannya menahan emosi yang sangat membara dari dalam hatinya. Dia sangat kesal mendengar ucapan dari pamannya sendiri.Di ruangan itu ada Tante Irawati, Tante Nini. Bahkan Nenek Omas juga turut berada di sana. Namun tak satupun yang membelanya. Jihan terpaksa membela dirinya sendir
Pagi itu terasa sangat sunyi dan mencekam di rumah kecil yang ditempati oleh Ilham dan Jihan. Ilham terbangun dengan perasaan gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ketika pria itu bangkit dari tempat tidur dan mendekati Jihan yang berbaring di sebelahnya, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Napas Jihan terlihat berat, dan kulitnya mulai kehilangan rona. Tanpa berpikir panjang, Ilham segera mengguncang bahunya dengan lembut."Jihan, Sayang! Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu sangat pucat sekarang?" Ilham bertanya dengan nada yang sangat cemas.Namun Jihan tidak merespon sama sekali setiap perkataan dari pria itu. Matanya tetap terpejam, dan tubuhnya terasa semakin lemas. Tanpa buang waktu, Ilham langsung mengangkat tubuh Jihan yang lunglai itu dan segera membawanya ke dalam mobil. Pria itu pun dengan cepat mulai melajukan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang selama ini merawat Jihan.“Jihan! Ku mohon bertahanlah! Aku sedang memba
Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit, kondisi Jihan perlahan pun mulai membaik. Gadis berusia belia itu memang masih tampak rapuh, namun kesehatannya jauh lebih stabil dibandingkan ketika dia pertama kali didiagnosis dengan penyakit mematikan tersebut. Setiap minggu, Jihan tidak pernah absen untuk kontrol ke rumah sakit. Dia tahu, meskipun keadaannya sudah tidak separah dulu, namun tubuhnya masih belum sembuh total. Penyakit yang menyerang karena gaya hidupnya yang tidak sehat, kini meninggalkan jejak di tubuhnya, dan Jihan menyadari bahwa dia harus lebih menjaga diri dan waspada mulai sekarang.Namun, Jihan tidak mau larut dalam kesedihan atau rasa bersalah. Sebaliknya, gadis itu memutuskan untuk menggunakan pengalamannya sebagai alat untuk mencegah orang lain terjerumus ke dalam jalan yang sama. Kini, Jihan aktif dalam sebuah organisasi perempuan yang berkampanye tentang bahaya penyakit menular seksual dan gaya hid
Beberapa tahun kemudian,Di sebuah rumah sakit yang sunyi di salah satu sudut Kota Jakarta, yang terdengar di sana hanya suara mesin-mesin medis yang berirama monoton. Jihan, seorang gadis beli yang berpetualang tentang cinta selama ini, hidup bebas tanpa peduli akan konsekuensi dari tindakannya, kini terbaring lemah di sebuah ruang isolasi. Sebelumnya gadis itu adalah seorang pecinta hidup bebas. Bergonta-ganti pasangan ranjang, tanpa menggunakan pengaman sedikitpun, yang membuat imun tubuhnya ikut turun dan mudah terserang sakit, seperti saat ini.Wajah Jihan sangat pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya semakin parah, dan harapan hidupnya semakin tipis. Tak ada yang mendampinginya di sana, kecuali Ilham, satu-satunya lelaki yang tulus mencintainya.Ilham duduk di kursi di sebelah ranjang Jihan. Matanya tak pernah lepas dari gadis yang dia cintai sejak lama itu. Meskipun Jihan pernah bersama bany
Jihan merasakan tubuhnya mulai terasa panas dan tidak nyaman setelah membaringkan tubuhnya di kamar hotel. Perasaan panas itu semakin menjadi-jadi, membuatnya merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya, mencoba meredakan sensasi panas yang terus meningkat.“Panas …. Panas …” lirihnya lemah.Haikal, yang sedang duduk di kursi di dekat ranjang,seketika tercengang melihat sikap Jihan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jihan dengan cermat dan penuh keheranan,karena obat perangsang itu bekerja sangat cepat."Jihan Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Haikal dengan suara terkejut, meskipun hanya pura-pura saja.Jihan, yang masih dalam keadaan tidak sadar, hanya menatap Haikal dengan mata yang sayu. "Aku merasa panas, Haikal. Sangat panas," ujarnya dengan suara yang lemah.Haikal segera menyadarkan Jihan akan situasinya. "Jihan, berhenti. Kamu harus berhenti," ujarnya dengan suara
Petugas hotel itu tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja ada, Tuan. Hotel kami masih memiliki beberapa kamar kosong. Silahkan ikuti saya.”Haikal dan Jihan mengikuti petugas tersebut menuju kamar yang telah disediakan. Begitu pintu kamar terbuka, udara segar dan kenyamanan seketika menghampiri mereka.“Ini kamar Anda, Tuan,” ucap petugas hotel itu dengan ramah sambil membuka pintu kamar.Haikal menoleh ke arah Jihan, seraya berkata, “Ayo, Jihan masuklah. Kita bisa istirahat sejenak dan menyegarkan diri sebelum melanjutkan petualangan kita di Kota Bandung,” ajaknya dengan senyum hangat.Jihan tersenyum lega. “Terima kasih, Haikal. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ucapnya sambil mulai memasuki kamar.Setelah melewati aktivitas yang padat di Kota Bandung, Haikal dan Jihan akhirnya sampai di dalam kamar hotel yang nyaman. Udara segar di dalam kamar membuat mereka merasa rileks setelah beraktivitas di luar. Haikal
Pagi menyingsing dengan sinar matahari yang membelai lembut tirai di sebuah apartemen di salah satu sudut Kota Jakarta. Aroma kopi yang harum memenuhi dapur, bercampur dengan bau sedap bahan-bahan sarapan yang tengah dipersiapkan oleh Jihan. Jihan, gadis muda yang ceria, sibuk mengaduk-aduk panci yang berisi bubur ayam hangat. Semangatnya terpancar dalam setiap gerakan. Sebentar lagi, dia akan memberi kejutan untuk Dulah, pacarnya yang masih tidur di dalam kamar.Untuk memuluskan rencananya ke Bandung bersama Haikal. Jihan perlu merayu Dulah. Agar pria itu mau mengizinkannya untuk pergi.Dulah, yang masih terbaring di kasur dengan mata yang masih setengah terpejam, mendengar derap langkah Jihan di dapur. Dia seketika tersenyum. Setiap hari, kehadiran Jihan memberikan semangat baru baginya. Meski kegiatan Dulah di kantor seringkali sangat sibuk. Namun dia selalu menyempatkan waktu untuk sarapan bersama.Sesaat kemudian, Jihan melangkah keluar dari
Setelah pertempuran panasnya dengan Jihan tadi malam, membuat Dulah semakin bersemangat pagi ini. Setelah sarapan roti bakar buatan sang pacar. Dulah pun berpamitan kepada Jihan. “Jihan … Sayangku. Aku mau berangkat ke kantor dulu pagi ini!” ucap Dulah lalu mengecup bibir Jihan dan melumatnya sesuka hatinya. “Sayang! Aku masih menginginkanmu! Kami sangat jago tadi malam. Mampu membuatku melayang sampai ke langit ke tujuh!” puji Dulah kepada sang pacar. “He-he-he! Semua kulakukan untukmu, Sayang,” sahut Jihan. “Ayo … kita lakukan satu ronde pagi ini!” rayu Dulah lalu mulai mengendurkan dasinya. Akan tetapi Jihan segera mencegahnya. “Sayang, tidak sekarang. Kamu harus ke kantor. Bukannya pagi ini kamu ada meeting?” ucap Jihan mengingatkan Dulah. “Oh .. ya ampun! Aku sampai lupa! Baiklah, Sayang. Aku pergi dulu,” pamit Dulah lalu segera keluar dari dalam apartemennya. “Cih
Jihan wanita muda yang bersemangat dan berani. Dia memiliki mata yang cerah dan penuh harapan, senyum yang menawan, dan hati yang penuh dengan kebaikan. Walaupun kebaikan itu hanya kepura-puraan semata demi untuk memuluskan semua rencana busuknya.Sementara Dulah, di sisi lain, adalah pria yang kuat dan berani, dengan hati yang penuh dengan keadilan. Telah jatuh cinta kepada Jihan sampai sejatuh-jatuhnya. Bahkan pria itu tidak tahu jika Jihan sedang mempermainkan perasaannya. Saat ini mereka sedang berdua berada di apartemen Dulah, tempat yang hangat dan nyaman, penuh dengan cahaya lembut dan aroma makanan enak. "Thanks, Dulah," ucap Jihan, matanya berkilauan dengan rasa terima kasih walaupun semua itu hanyalah kepalsuan semata. "Kamu telah membantuku memberi pelajaran kepada Hendra. Dia tidak bisa seenaknya merenggut kesucianku tanpa hukuman." Dulah menatap Jihan dengan penuh cinta. “Semua kulakukan untukmu Sayangku, Jihan. Hendra me
Di jalanan yang sepi, tiga orang anak buah Dulah berdiri di tengah jalan, menghadang mobil yang melaju dengan cepat. Hendra, pria yang telah merenggut kesucian Jihan, sangat terkejut melihat mereka yang sedang berada di depannya. Hendra merasa terkejut dan panik saat melihat ketiga anak buah Dulah menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi. Dia segera menginjak rem dengan keras, mobilnya berhenti tepat di depan mereka. Tatapan ketakutan terpancar dari wajahnya saat Hendra menyadari bahwa situasinya sangat serius.“Sialan! Siapa orang-orang ini?” umpatnya sendiri.Hendra mencoba mempertahankan ketenangannya, akan tetapi jantungnya berdegup sangat kencang saat ini. Dia dapat melihat ketiga pria, dengan tatapan tajam yang penuh dengan kemarahan mengarah kepadanya. Namun Hendra bisa merasakan kekuatan dan keberanian yang mereka miliki.“Mereka ada tiga orang! Bagaimana caraku menghadapi mereka?” Nyali Hendra mulai menciut melihat badan kekar dari orang-orang itu. “Hei! Laki-laki bi