"He-he-he! Kan semuanya kulakukan demi untuk menyenangkan mu, Sayang!" seru Ilham sambil tersenyum kecut."Makanya, Lo jangan asal bunyi kalau ngomong! Sok bijak tapi nggak ngaca!" sahut Jihan kesal."Ayo kita balik ke Jakarta! Ini sudah malam! Lo tahu kan, bagaimana Paman Kumar akan selalu marah jika gue pulang telat?" tukas Jihan lagi."Ya sudah, kalau begitu kita pulang sekarang."Ilham segera melangkah menuju ke arah motornya berada. Mereka pun meninggalkan Puncak Bogor yang penuh kenangan itu. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Keduanya pun menyusun rencana, hal-hal apa saja yang dilakukan oleh Jihan untuk menguras harta Tante Irawati."Pokoknya, Lo jangan lupa tahap-tahap yang gue katakan barusan!" seru Ilham kepada Jihan.Saat ini keduanya masih berada di atas motor yang sedang disetir oleh ilham. Sebentar lagi mereka akan sampai, dalam beberapa menit kedepan."Beres, Ilham. Thanks banget atas saran dan bantuan Lo. Jika rencana ini berhasil. Gue akan sangat berterima kasih d
"Bu ... Ibu jangan asal menuduh begitu! Tidak mungkin aku dan Mas Kumar mencuri perhiasan Ibu. Aku juga punya banyak perhiasan dari kedua orangtuaku!" ujar Tante Nini, tidak terima dituduh oleh ibu mertuanya."Ya ampun, Nini! Sombong sekali kamu bicaranya!" tegur Tante Irawati."Saya bukannya sombong, Mbak. Tapi saya mengatakan yang sebenarnya. Lagian bisa-bisanya Jihan menemukan perhiasaan ibu di dalam lemari kami. Jangan-jangan Jihan yang mencurinya!" seru Tante Nini tajam."Apa?" kaget Tante Irawati dan Nenek Omas.Seketika raut wajah Jihan berubah pucat pasi. Akan tetapi dia mencoba untuk kembali menguasai dirinya. Seraya berkata,"Ya ampun, Tante Nini! Jangan sembarang bicara, jika tidak ada bukti! Saya seharian berada di pasar bersama Tante Irawati," tegas Jihan kepada semua orang yang ada di ruangan itu, yang sedang menatap ke arahnya dengan penuh selidik."Benar kata Jihan. Dia seharian bersamaku di pasar. Jangan menuduhnya sembarangan! Itu tidak baik! Apalagi kami sedang meng
Hujan rintik-rintik yang membasahi Kota Jakarta sore itu, ikut mengantarkan Tante Nini dan bayi yang masih berada di dalam kandungannya menuju ke tempat peristirahatan mereka yang terakhir.Acara pemakaman baru saja selesai. Para pelayat dan keluarga mulai meninggalkan area pekuburan itu. Paman Kumar, Tante Irawati, dan Nenek Omas terlihat sangat sedih. Semua orang merasakan kesedihan yang mendalam karena kepergian Tante Nini untuk selamanya. Namun berbeda dengan Jihan yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih ataupun kehilangan.Yang ada di pikiran nya saat ini yaitu bagaimana caranya dia secepatnya menduplikat kunci lemari dari Tante Irawati.Gadis itu sudah tak sabar ingin ke luar dari rumah neneknya dan mencoba untuk hidup bebas dan mandiri namun gadis itu memilih untuk menempuh jalan yang salah.Di dalam perjalanan pulang ke rumah, Jihan berboncengan dengan Ilham. Gadis itu malah mengajak sang pria untuk berkeliling sebentar mencari tukang duplikat kunci."Jihan, apaka
Walaupun kadang kala Nenek Omas, benci dengan sikap menantunya yang menjengkelkan namun dia juga merindukan Nini yang sangat jago memasak.Pupus sudah harapan Nenek Omas untuk memiliki penerus keturunan suaminya. Sungguh tak layak jika dia menanyakan kapan Paman Kumar akan menikah lagi.Sementara di dalam kamar, Tante Irawati mulai menanyakan perihal Om Tomo kepada Jihan. Sangat kelihatan jika sang tante naksir berat kepada laki-laki tua itu."Cih! Dasar Irawati, perawan tua! Nggak ngaku saja kepada Om Tomo, jika dia menyukainya!" ketus Jihan dalam hati."Tante ngapain nanyain tentang Om Tomo? Tante naksir kepadanya?" ujar Jihan jengkel dengan sikap sang tante yang malu-malu tapi mau banget."Yeh ... enak saja kamu mau nuduh-nuduh segala! Tante hanya sekedar menanyakan. Tak lebih dari itu. Lagian umur tante sudah tua, tidak memikirkan tentang pasangan lagi," ujar sang tante lalu membalikkan badannya membelakangi Jihan."Lebih baik kita tidur, hari sudah malam. Besok kita harus lebih c
Beberapa jam yang lalu di rumah Bu Narti,Ilham dengan hati berdebar membuka pintu lemari ibunya, mencari perhiasan yang bisa dijual untuk mendanai kencannya dengan Jihan nanti sore. Matanya terpaku pada sebuah gelang emas yang sangat berkilau yang tersembunyi di antara barang-barang ibunya. Tanpa ragu, dia mengambilnya dan menyimpannya dalam tasnya. Perasaan gelisah bercampur dengan kegembiraan yang tidak tertahankan Ilham rasakan saat ini.Untuk kesekian kalinya, pria itu berhasil mencuri perhiasan ibunya yang akan dia pakai untuk menghabiskan waktu bersama Jihan, wanita favoritnya. Saat tiba di toko perhiasan, Ilham segera mengeluarkan gelang emas itu dari saku celananya.Penjual perhiasan tampak antusias melihat barang tersebut."Pak, saya ingin menjual gelang ini," ujarnya mengawali pembicaraan.Penjual Perhiasan dengan tersenyum, lalu berkata,"Gelang ini sangat indah. Apakah Anda yakin ingin menjualnya?Ilham dengan mantap berkata, "Ya, saya ingin menjualnya.""Baiklah, tun
Ternyata Hendra membawa Jihan di sebuah hotel bintang lima yang ada di daerah Ancol, Jakarta Utara. Pria itu memiliki rencana licik dalam hatinya. Dia harus memiliki Jihan seutuhnya malam ini.Jadi untuk mewujudkan semua keinginannya itu, Hendra sengaja menyiapkan fasilitas super mewah untuk Jihan seorang, hanya demi agar wanita itu terbuai dengan semuanya dan Hendra dapat melakukan niat buruknya."Sayang, ayo kita turun dari mobil," tutur Hendra sesaat setelah mereka sampai di depan hotel mewah itu."Hendra, apa Lo nggak salah mengajak gue ke tempat indah ini?" seru Jihan tak percaya."Aku nggak salah, Sayang! Percuma pacarmu seorang pengusaha muda jika tidak bisa mengajakmu ke hotel ini!" ujar Hendra membanggakan dirinya."Ayo kita segera masuk ke dalam hotel," ajak Hendra kepadanya.Hotel bintang lima yang berlokasi di Ancol ini adalah sebuah mahakarya arsitektur modern yang menggabungkan keindahan alam dengan kemewahan. Begitu Hendra dan Jihan memasuki lobi, mereka disambut oleh a
"Eh, Hai! Haikal, Dulah! Apa kabar kalian?" ucap Jihan nakal sambil mulai membelai setiap dada pria-pria yang ada di hadapannya saat ini."Wow! Kamu sangat panas Jihan!" seru Dulah lalu mencoba mencium bibir gadis itu sesuka hatinya. Haikal tak mau kalah, dengan cepat dia meremas kedua bokong Jihan yang terasa montok di kedua tangannya. Pria itu juga ingin mencium bibir Jihan secara cuma-cuma. Namun sebelum permainan para pria itu semakin ganas, Hendra malah menarik tubuh Jihan untuk menjauh dari kedua lelaki yang ingin menggoda Jihan."Kalian jangan kurang ajar, ya! Jihan hanya milik gue malam ini!" kesal Hendra."Santai, Bro! Calm down! Jihan Adalah pacar gue!" ujar Dulah."Gue juga pacar Jihan!" sergah Haikal tak mau kalah."Woi! Kalian berdua jangan gila, ya! Gue adalah pacar Jihan yang sesungguhnya!" kesal Hendra kepada Dulah dan Haikal.Ketiga pria itu yang awalnya berteman baik dan saling mendukung. Namun karena memperebutkan Jihan seorang, sepertinya mulai terjadi keteganga
Jihan terduduk lemas di tepi ranjang hotel, matanya memandang kosong ke arah jendela. Cahaya remang-remang kota yang biasanya indah kini terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. Dia merasa seolah-olah dunia ini telah berhenti berputar, dan dirinya terjebak dalam kegelapan yang tak berujung."Hendra..." bisiknya, namun suaranya terdengar begitu asing di telinganya sendiri. Dia merasa seolah-olah dirinya bukan lagi Jihan yang dulu, gadis yang penuh semangat dan berani. Dia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi bayangan untuk dirinya sendiri, hancur dan terluka.Jihan meraih bantal di sampingnya, mencoba mencari kenyamanan dalam pelukan kain yang dingin dan tak berjiwa. Dia merasa seolah-olah dirinya telah ditinggalkan sendirian di dunia ini, tanpa ada yang peduli padanya.Jihan memang merasa sendiri di dunia yang fana ini. Kedua orangtuanya telah meninggalkan dirinya dan lebih memilih untuk pergi bersama para selingkuhan mereka. Jadilah Jihan hidup terlunta-lunta saat itu. Mem
Pagi itu terasa sangat sunyi dan mencekam di rumah kecil yang ditempati oleh Ilham dan Jihan. Ilham terbangun dengan perasaan gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ketika pria itu bangkit dari tempat tidur dan mendekati Jihan yang berbaring di sebelahnya, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Napas Jihan terlihat berat, dan kulitnya mulai kehilangan rona. Tanpa berpikir panjang, Ilham segera mengguncang bahunya dengan lembut."Jihan, Sayang! Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu sangat pucat sekarang?" Ilham bertanya dengan nada yang sangat cemas.Namun Jihan tidak merespon sama sekali setiap perkataan dari pria itu. Matanya tetap terpejam, dan tubuhnya terasa semakin lemas. Tanpa buang waktu, Ilham langsung mengangkat tubuh Jihan yang lunglai itu dan segera membawanya ke dalam mobil. Pria itu pun dengan cepat mulai melajukan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang selama ini merawat Jihan.“Jihan! Ku mohon bertahanlah! Aku sedang memba
Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit, kondisi Jihan perlahan pun mulai membaik. Gadis berusia belia itu memang masih tampak rapuh, namun kesehatannya jauh lebih stabil dibandingkan ketika dia pertama kali didiagnosis dengan penyakit mematikan tersebut. Setiap minggu, Jihan tidak pernah absen untuk kontrol ke rumah sakit. Dia tahu, meskipun keadaannya sudah tidak separah dulu, namun tubuhnya masih belum sembuh total. Penyakit yang menyerang karena gaya hidupnya yang tidak sehat, kini meninggalkan jejak di tubuhnya, dan Jihan menyadari bahwa dia harus lebih menjaga diri dan waspada mulai sekarang.Namun, Jihan tidak mau larut dalam kesedihan atau rasa bersalah. Sebaliknya, gadis itu memutuskan untuk menggunakan pengalamannya sebagai alat untuk mencegah orang lain terjerumus ke dalam jalan yang sama. Kini, Jihan aktif dalam sebuah organisasi perempuan yang berkampanye tentang bahaya penyakit menular seksual dan gaya hid
Beberapa tahun kemudian,Di sebuah rumah sakit yang sunyi di salah satu sudut Kota Jakarta, yang terdengar di sana hanya suara mesin-mesin medis yang berirama monoton. Jihan, seorang gadis beli yang berpetualang tentang cinta selama ini, hidup bebas tanpa peduli akan konsekuensi dari tindakannya, kini terbaring lemah di sebuah ruang isolasi. Sebelumnya gadis itu adalah seorang pecinta hidup bebas. Bergonta-ganti pasangan ranjang, tanpa menggunakan pengaman sedikitpun, yang membuat imun tubuhnya ikut turun dan mudah terserang sakit, seperti saat ini.Wajah Jihan sangat pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya semakin parah, dan harapan hidupnya semakin tipis. Tak ada yang mendampinginya di sana, kecuali Ilham, satu-satunya lelaki yang tulus mencintainya.Ilham duduk di kursi di sebelah ranjang Jihan. Matanya tak pernah lepas dari gadis yang dia cintai sejak lama itu. Meskipun Jihan pernah bersama bany
Jihan merasakan tubuhnya mulai terasa panas dan tidak nyaman setelah membaringkan tubuhnya di kamar hotel. Perasaan panas itu semakin menjadi-jadi, membuatnya merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya, mencoba meredakan sensasi panas yang terus meningkat.“Panas …. Panas …” lirihnya lemah.Haikal, yang sedang duduk di kursi di dekat ranjang,seketika tercengang melihat sikap Jihan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jihan dengan cermat dan penuh keheranan,karena obat perangsang itu bekerja sangat cepat."Jihan Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Haikal dengan suara terkejut, meskipun hanya pura-pura saja.Jihan, yang masih dalam keadaan tidak sadar, hanya menatap Haikal dengan mata yang sayu. "Aku merasa panas, Haikal. Sangat panas," ujarnya dengan suara yang lemah.Haikal segera menyadarkan Jihan akan situasinya. "Jihan, berhenti. Kamu harus berhenti," ujarnya dengan suara
Petugas hotel itu tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja ada, Tuan. Hotel kami masih memiliki beberapa kamar kosong. Silahkan ikuti saya.”Haikal dan Jihan mengikuti petugas tersebut menuju kamar yang telah disediakan. Begitu pintu kamar terbuka, udara segar dan kenyamanan seketika menghampiri mereka.“Ini kamar Anda, Tuan,” ucap petugas hotel itu dengan ramah sambil membuka pintu kamar.Haikal menoleh ke arah Jihan, seraya berkata, “Ayo, Jihan masuklah. Kita bisa istirahat sejenak dan menyegarkan diri sebelum melanjutkan petualangan kita di Kota Bandung,” ajaknya dengan senyum hangat.Jihan tersenyum lega. “Terima kasih, Haikal. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ucapnya sambil mulai memasuki kamar.Setelah melewati aktivitas yang padat di Kota Bandung, Haikal dan Jihan akhirnya sampai di dalam kamar hotel yang nyaman. Udara segar di dalam kamar membuat mereka merasa rileks setelah beraktivitas di luar. Haikal
Pagi menyingsing dengan sinar matahari yang membelai lembut tirai di sebuah apartemen di salah satu sudut Kota Jakarta. Aroma kopi yang harum memenuhi dapur, bercampur dengan bau sedap bahan-bahan sarapan yang tengah dipersiapkan oleh Jihan. Jihan, gadis muda yang ceria, sibuk mengaduk-aduk panci yang berisi bubur ayam hangat. Semangatnya terpancar dalam setiap gerakan. Sebentar lagi, dia akan memberi kejutan untuk Dulah, pacarnya yang masih tidur di dalam kamar.Untuk memuluskan rencananya ke Bandung bersama Haikal. Jihan perlu merayu Dulah. Agar pria itu mau mengizinkannya untuk pergi.Dulah, yang masih terbaring di kasur dengan mata yang masih setengah terpejam, mendengar derap langkah Jihan di dapur. Dia seketika tersenyum. Setiap hari, kehadiran Jihan memberikan semangat baru baginya. Meski kegiatan Dulah di kantor seringkali sangat sibuk. Namun dia selalu menyempatkan waktu untuk sarapan bersama.Sesaat kemudian, Jihan melangkah keluar dari
Setelah pertempuran panasnya dengan Jihan tadi malam, membuat Dulah semakin bersemangat pagi ini. Setelah sarapan roti bakar buatan sang pacar. Dulah pun berpamitan kepada Jihan. “Jihan … Sayangku. Aku mau berangkat ke kantor dulu pagi ini!” ucap Dulah lalu mengecup bibir Jihan dan melumatnya sesuka hatinya. “Sayang! Aku masih menginginkanmu! Kami sangat jago tadi malam. Mampu membuatku melayang sampai ke langit ke tujuh!” puji Dulah kepada sang pacar. “He-he-he! Semua kulakukan untukmu, Sayang,” sahut Jihan. “Ayo … kita lakukan satu ronde pagi ini!” rayu Dulah lalu mulai mengendurkan dasinya. Akan tetapi Jihan segera mencegahnya. “Sayang, tidak sekarang. Kamu harus ke kantor. Bukannya pagi ini kamu ada meeting?” ucap Jihan mengingatkan Dulah. “Oh .. ya ampun! Aku sampai lupa! Baiklah, Sayang. Aku pergi dulu,” pamit Dulah lalu segera keluar dari dalam apartemennya. “Cih
Jihan wanita muda yang bersemangat dan berani. Dia memiliki mata yang cerah dan penuh harapan, senyum yang menawan, dan hati yang penuh dengan kebaikan. Walaupun kebaikan itu hanya kepura-puraan semata demi untuk memuluskan semua rencana busuknya.Sementara Dulah, di sisi lain, adalah pria yang kuat dan berani, dengan hati yang penuh dengan keadilan. Telah jatuh cinta kepada Jihan sampai sejatuh-jatuhnya. Bahkan pria itu tidak tahu jika Jihan sedang mempermainkan perasaannya. Saat ini mereka sedang berdua berada di apartemen Dulah, tempat yang hangat dan nyaman, penuh dengan cahaya lembut dan aroma makanan enak. "Thanks, Dulah," ucap Jihan, matanya berkilauan dengan rasa terima kasih walaupun semua itu hanyalah kepalsuan semata. "Kamu telah membantuku memberi pelajaran kepada Hendra. Dia tidak bisa seenaknya merenggut kesucianku tanpa hukuman." Dulah menatap Jihan dengan penuh cinta. “Semua kulakukan untukmu Sayangku, Jihan. Hendra me
Di jalanan yang sepi, tiga orang anak buah Dulah berdiri di tengah jalan, menghadang mobil yang melaju dengan cepat. Hendra, pria yang telah merenggut kesucian Jihan, sangat terkejut melihat mereka yang sedang berada di depannya. Hendra merasa terkejut dan panik saat melihat ketiga anak buah Dulah menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi. Dia segera menginjak rem dengan keras, mobilnya berhenti tepat di depan mereka. Tatapan ketakutan terpancar dari wajahnya saat Hendra menyadari bahwa situasinya sangat serius.“Sialan! Siapa orang-orang ini?” umpatnya sendiri.Hendra mencoba mempertahankan ketenangannya, akan tetapi jantungnya berdegup sangat kencang saat ini. Dia dapat melihat ketiga pria, dengan tatapan tajam yang penuh dengan kemarahan mengarah kepadanya. Namun Hendra bisa merasakan kekuatan dan keberanian yang mereka miliki.“Mereka ada tiga orang! Bagaimana caraku menghadapi mereka?” Nyali Hendra mulai menciut melihat badan kekar dari orang-orang itu. “Hei! Laki-laki bi