Jessie ingin memastikan sekali lagi bahwa yang barusan didengarnya adalah benar. Ia baru saja memasukkan berkas pendaftaran. Petinggi radio yang bernama Pak Burhan baru saja membaca berkas-berkas pribadinya. Tanpa banyak ditanya, tanpa melalui serangkaian tes, tanpa yang lain-lain, Pak Burhan bilang kalau Jessie diterima bekerja sebagai penyiar di Radio Siul.
Ini sungguhan?
“B –bagaimana, Pak?” Jessie terbata-bata mengajukan pertanyaan. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang barusan didengarnya adalah benar. “Maaf, saya langsung diterima? Bekerja sebagai penyiar? Penyiar di Radio Siul ini?”
Sorot mata Pak Burhan yang teduh menatap Jessie dengan begitu serius. Kekehan tawanya yang merdu terdengar. “Apakah saya terlihat sedang bercanda?”
Mata Jessie mengerjap. Pak Burhan bertanya apakah sedang bercanda dengan tertawa. “Ti – tidak, Pak. Tapi, kan, maksudnya… masa tidak ada tes atau apa gitu?”
“Saya memang mencari pelamar yang ingin menjadi penyiar. Tidak perlu ada tes-tes yang rumit. Saya percaya mbak Jessie pasti mampu.”
Suara Jessie menciut. “Saya sama sekali tidak ada pengalaman menjadi penyiar, Pak.”
“Tidak apa-apa, Mbak Jessie. Mbak Jessie datang ke mari dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan saat melamar, sudah menunjukkan tingkat keseriusan Mbak dalam melamar pekerjaan,” jelas Pak Burhan. “Bagaimana, Mbak? Apakah bersedia bekerja di Radio Siul sebagai penyiar?”
Jessie terdiam. Di dalam hatinya ia sungguh bimbang. Pada saat yang sama ia juga merasa aneh. Sebegitu mudah dan cepat ia diterima bekerja. Jangan-jangan ada yang aneh dengan Radio Siul?
Jangan-jangan saat ia siaran akan ditangkap lalu dijadikan tumbal saat pemujaan setan? Jangan-jangan ini bukan radio sungguhan tapi bangunan apa gituu yang digunakan sebagaik kedok kejahatan?
“Mbak Jessie sepertinya masih sulit percaya kalau sudah diterima kerja di sini, ya?” Pak Burhan kembali terkekeh. “Terlalu cepat pengumumannya?”
Jessie mengangguk.
“Baiklah, akan saya ceritakan sedikit tentang sejarah Radio Siul ini.” Pak Burhan meminta persetujuan Jessie. “Apakah Mbak Jessie tertarik untuk mendengarnya?”
Jessie kembali mengangguk.
“Saya ini penyiar radio kawakan, Mbak Jessie. Segala jenis radio, mulai dari yang kecil dan ada di daerah hingga radio metropolitan di kota besar sudah saya jajal semua. Ada keasyikan tersendiri saaat cuap-cuap menyapa penggemar yang ‘tak terlihat’.”
‘Tak terlihat’. Seketika tengkuk Jessie merinding. Apaka yang dimaksud tak terlihat di sini adalah makhluk halus? Sejenis dedemit dan setan yang gemar menakut-nakuti manusiaa??
Hah!? Masa Pak Burhan penyiar radio khusus untuk hantu-hantu gentayangan!?
“’Tak terlihat’ di sini maksudnya bukan hantu lho ya, Mbak Jessie,” tambah Pak Burhan. Seolah bisa mengerti ekspresi mulai ngeri yang muncul di wajah gadis muda di depannya. Maksud tak terlihat di sini adalah berjarak. Saya sebagai penyiar berada di studio, di belakang mikrofon, sementara para pendengar saya ada di luar sana. Di tempat dengan kesibukannya masing-masing.”
“Ohh iya, iya, Pak. Hehe…..” Jessie malu ketahuan kalau punya pikiran terlalu jauh. Gara-gara mimpi buruk semalam ia jadi parnoan. Semua yang berhubungan dengan Radio Siul selalu dikait-kaitkan dengan hantu.
“Saya menjadi petinggi di beberapa radio. Sudah sepuh begini lalu saya pensiun. Tiga tahun mencoba menikmati hidup, ternyata saya tak sungguh-sungguh senang. Hampir setiap hari terbayang tentang radio.” Pak Burhan melanjutkan penjelasannya. “Hingga suatu ketika seorang teman – dulu pemilik radio ini – menawari saya untuk membeli radionya. Sudah hampir bangkrut dan tidak beroperasi lagi. ‘Aku tahu di tanganmu, radio ini pasti bisa bertahan. Tidak perlu jadi besar, hanya bisa bertahan saja aku sudah senang’, begitu katanya pada saya.”
Jessie masih terus mendengarkan.
“Kawan saya ini juga penyiar radio kawakan. Kami berjuang bersama sedari awal. Ia sudah tua dan tak ada lagi tenaga untuk mengurus radio yang juga tua dan sudah banyak ditinggalkan pendengarnya. Saya setuju membeli radio ini, Mbak Jessie. Lalu, mengganti namanya menjadi Radio Siul.”
Jessie mengangguk-angguk.
“Nama Radio Siul saya peroleh dari sebuah lagu lawas tentang lagu. Gombloh, Mbak pernah mendengar nama penyanyi tersebut?”
Jessie menggeleng dengan perasaan malu. Ia tak begitu tahu banyak tentang penyanyi dan lagu-lagunya. Itu mengapa ia menjadi sangat heran bisa langsung diterima bekerja di radio ini.
“Mendiang Gombloh adalah penyanyi kawakan. Salah satu lagunya ada yang bercerita tentang radio. Salah satu liriknya ada yang berbunyi, ‘ku bersiul’. Nah, dari situlah saya mengambil penggalan lirik tersebut menjadi nama radio ini. Radio Siul,” jelas Pak Burhan.
Pak Burhan mencondongkan tubuhnya maju. “Nah, karena saya sudah menerima Mbak Jessie bekerja di sini, saya hendak mengajukan beberapa tawaran.”
“Y—ya. Tawaran apa itu, Pak?”
“Saya menawari Mbak Jessie memegang acara S.T.M. atau Siaran Tengah Malam. Mulai pukul sepuluh malam sampai pukul dua dini hari.”
Lagi-lagi tenggorokan Jessie terasa tercekat.
“Siaran dengan materi lagu-lagu barat yang sedang populer saat ini. Saya mempercayakan acara tersebut pada Mbak Jessie karena pasti lebih tahu daripada saya. Iya, kan?” pasti Pak Burhan masih dengan menyunggingkan senyumnya yang ramah.
Jessie mengembus napas lega. Ia belum tahu akan bagaimana acara itu dijalankan, tapi setidaknya ia tidak ditawari memandu acara setan-setanan. Siaran tengah malam dengan lagu-lagu barat yang sedang hits.
“Lima juta perbulan apakah terlalu sedikit, Mbak Jessie?” tanya Pak Burhan. Sungguh pertanyaan yang membikin Jessie hampir saja tersedak saking kagetnya. “Acara STM berlangsung Senin sampai Jumat saja. Mbak Jessie hanya cukup memandu acara tersebut. Selebihnya ada Sisil yang sudah memegang acara sendiri dan juga Reni yang bertugas mengawal playlist yang sudah diputar otomatis.”
Empat jam kerja, selama lima hari kerja dalam seminggu dengan gaji segitu? Jessie ingin cepat-cepat berteriak, “Ya, saya terima pekerjaan ini, Pak!” tapi ia harus jaim.
Jessie berdeham mengusir serak di tenggorokannya. “Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkan tawaran ini, Pak Burhan? Saya sangat tertarik dan segera ingin bekerja. Tapi, saya harus menyelesaikan pekerjaan saya di tempat sebelumnya terlebih dulu.”
“Ah, iya. Ya, ya, ya.’ Pak Burhan mengangguk-angguk. “Saya sangat mengerti, Mbak Jessie. Silakan, dan memang sudah sepatutnya Mbak menyelesaikan pekerjaan lama hingga tuntas sebelum akhirnya pindah ke tempat baru. Biar semuanya sama-sama enak.”
“Betul, Pak.”
“Saya tidak akan menyerahkan tawaran ini pada pelamar yang lain, Mbak Jessie. So, take your time dalam menyelesaikan urusan pekerjaan lama. Semoga saya bisa segera mendengar kabar baik.”
Jantung Jessie berdegup kencang saking merasa begitu antusiasnya.
“Sebelumnya, maaf, Pak, saya ingin bertanya,” kata Jessie. “Saya sama sekali tidak punya pengalaman siaran. Pengetahuan musik saya pun cetek alias sedikit sekali. Apakah Pak Burhan masih yakin menyerahkan tawaran itu untuk saya?”
“Saya dulu pun juga begitu awam dengan dunia siaran, Mbak. Tapi semua bisa diatasi asalkan ada kemauan belajar yang tinggi. Apakah Mbak Jessie punya kemauan dan semangat belajar yang tinggi?”
Semangat belajar dengan gaji yang sedemikian tinggi? Ya, tentu saja, batin Jessie ingin menjerit-jerit tapi ia berusaha menahan diri.
“Ya, Pak,” jawabnya penuh semangat. Ia bisa belajar siaran. Mengenai jam kerja yang begitu malam dan larut, tak menjadi masalah. Selama ini ia kerap lembur, baik untuk urusan pekerjaan atau karena insomnia.
Jessie menjanjikan secepatnya akan memberi kabar. Pak Burhan mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
“Gimana, Mbaakk?” sapa Sisil ketika Jessie keluar dari ruangan. “Sudah diterima kerja, kan? Enak lho, Mbak, kerja di sini. Santai banget. Pak Burhan orangnya baik. Kalau kita tidak bisa pasti akan diajari sampai mahir.”
“Saya masih perlu waktu untuk menimbang tawaran pak Burhan, Mbak,” jelas Jessie.
“Ahh, sudah terima aja! Pasti seneng kerja di Radio Siul!” bujuk Sisil.
Tawaran gaji besar dari Pak Burhan masih terus terngiang bahkan ketika Jessie sudah melajukan kendaraannya pulang. Wah. Ia bisa membayar kos dan menyisihkan banyak uang gajinya untuk ditabung dengan besaran bayaran yang segitu besarnya.
Jessie ingin membalikkan motornya dan menerima tawaran kerja itu sekarang juga. Tapi ia sudah diajari untuk menahan diri. Yaah, setidaknya biar tidak dicap gampangan lalu disepelekan dalam bekerja, lah, ya.
Tapi sungguh, ia sudah sangat berminat menerima tawaran bekerja sebagai penyiar di Radio Siul!
Jessie baru saja mengunci kamar ketika ibu kos menghampirinya. Ibu Kos bertumbuh tambun, gemar mengenakan sandal teplek – suaranya berteplek-teplek di lantai keramin koridor kamar kos, rambutnya panjang digelung ke atas, mengenakan daster, dan mulutnya nyinyir bukan main.Kos-kosan karyawan tempat Jessie tinggal sangat enak sekali. Lokasinya strategis, dekat dengan banyak warung makan yang enak dan harganya murah. Tempat kos-kosannya pun tidak pengap, udara segar mengalir lancar, sinar matahari berlimpah ruah, bila siang teduh, bila malam tak begitu dingin yang menggigit.Hanya sayang, satu hal yang mengganggu adalah pemilik kosnya rese’! Ya, apa boleh buat. Jessie mengejar harga sewa kamar yang murah dan tempat yang nyaman meski ibu kosnya riweuh. Toh, hanya sesekali saja ia perlu berurusan dengan Ibu Kos; saat membayar sewa dan bila ada pengumuman penting.“Haloo, Mbak Jesssieee…,” sapa Ibu Kos berusaha terdengar ramah tapi kentara bahwa kedekatan yang ditunju
Malam ini hari terakhir Jessie bekerja sebagai kasir. Esok dia sudah tidak perlu datang lagi ke minimarket. Rahmi menangis berpelukan sepulang kerja. Hari ini mereka berbeda sif. Padahal belum berpisah ia sudah kangen temannya. Jessie balas memeluk sahabatnya lebih erat.“Terima kasih sudah berbelanja di Minimarket Happy. Ditunggu belanjanya kembali. Selamat malam,” ucapnya. Pelanggan yang baru membayar balas mengangguk. Lalu, pergi membawa kantong belanjaannya.Srrekkk….Keping-keping kemasan cokelat diletakkan di atas meja kasir. Wah belanja yang banyak sekali, batin Jessie.“Selamat malam…,” sapa Jessie sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada. Pandangannya beralih dari layar kasir ke arah penjual. “Alfin….,” desisnya tercekat.Alfin tersenyum hangat. Laki-laki berusia 35 tahun itu terlihat begitu memesona. Rahangnya yang tegas terlihat lembut dibalik berewok tipis yang terlihat bekas cukurannya.“Selamat malam, Jessie,” balas Alfin. “Ka
“Aduh! Sakit! Lepaskan, John!” pekik Lisa. Lengan cewek muda itu ada yang menahan kasar. Lisa mencoba melepaskan diri. Ia menoleh dengan membeliakkan kedua matanya yang bulat indah. Ingin rasanya mendamprat seseorang yang menahan langkahnya. Paling-paling si gembel anak magang dengan seragam buluk. “Awas kamu! Aku laporin ke manaje – Alfin!?”Muka Alfin dingin. Rahangnya mengeras. Tatapannya datar. Kentara sekali ia tidak menyukai kehadiran Lisa malam itu. Belum lagi tingkahnya yang keterlaluan. Jessie masih membawa tumpukan mantel dan sweater milik Lisa.John Burgundy masih diam saja. Ia belum tahu bagaimana harus bereaksi.“Alfin!?” Lisa sangat terkejut. “Kapan kamu datang? Eh kamu di sini juga?” tanyanya gugup. “Mau makan malam sama aku?”“Lisa!?” tegur John gusar. Suaranya teredam mulut yang memanggil dengan tertutup. “Kamu ke sini datang sama aku.”“Tingkah lakumu masih juga belum berubah.” Alfin tak banyak bicara lagi. “Jessie ini tamuku. Kam
Jessie mencoba menerima kenyataan. Ia bertemu Mommy – yang sebelumnya selalu dipanggil tante. Mereka berpelukan. Belum seerat hubungan ibu dan anak, tapi lumayan, lah. Mommy legawa Jessie tetap tinggal bersama Om dan Tante Clarrisa.“Kalau kangen datang ke sini, Sayang,” kata Mommy. “Kalau senggang, menginap ke sini sangat ditunggu.”“Ya, Mommy,” jawab Jessie.Tante Clarrisa menjelaskan semuanya. Bagaimana bisa Jessie dirawat dan dibesarkan Om dan Tante.Beberapa bulan sebelum Jessie lahir, Papi ketahuan selingkuh. Papi semena-mena. Lebih memilih perempuan simpanannya yang masih muda. Masih kinyis-kinyis. Semua aset perusahaan dibawa pergi. Hanya menyisakan rumah untuk Mommy.Mommy kaget. Ia memulai usaha dari nol. Mulanya dari usaha pre-loved. Gaun-gaun mahal yang baru dipakai sekali dijual. Demi mendapat uang mencukupi kebutuhan hidup. Saudara berusaha membantu. Uang-uang pemberian itu habis dalam sekejap untuk membayar hutang.Jessie lahir. Mom
Jessie belum juga bisa tidur. Om Wisman malah semakin terbayang-bayang di benaknya. Bagaimana mereka bertemu beberapa tahun lalu kembali melintas hadir. Pertama kali bertemu, Jessie sudah dewasa. Secara usia. Om Wisman, lah, yang kemudian memberinya kedewasaan lebih. Secara fisik.Apakah kamu tahu apa artinya?Ingatan Jessie kembali melompat ke beberapa tahun yang lalu. Waktu itu gadis itu sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir. Ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Di rumah pun sering di dalam kamar. Keinginannya adalah segera lulus. Rumah Tante Clarrisa semakin tidak nyaman untuk dihuni. Menetap di rumah Mommy hanya akan membuatnya canggung.Jessie memutuskan untuk tetap di rumah Tante Clarrisa. Bagaimana pun kamarnya adalah tempat paling nyaman untuk dihuni. Bisa konsentrasi mengerjakan skripsi.“Tokk, tokk, tokkk.”Jessie menoleh. Tidak ada orang lain di rumah kecuali Tante Clarrisa. “Ya, Tante. Silakan masu
Om Wisman menyukai Jessie sejak pertama kali melihat anak perempuan Om dan Tante Clarrisa itu datang memenuhi undangan makan malam. Sebuah private dinner di resto Jepang. Hanya kolega yang diundang beserta keluarganya yang bisa datang.Ia menyukai gadis muda tersebut. Jessie tinggi dan langsing. Kulitnya kuning langsat dan kencang. Sepertinya gadis itu agak pendiam. Tapi ia bisa membawa diri dengan baik. Tahu kapan waktu yang tepat untuk tertawa. Tahu kapan ia bisa asyik sendiri dengan ponselnya.Om Wisman sudah tahu kalau sebenarnya Jessie adalah anak perempuan Mommy. Clarrisa membesarkan Jessie karena memang tak punya anak. Juga untuk membantu adik iparnya yang sedang kesulitan.Laki-laki paruh baya itu menunggu waktu yang tepat. Ia sangat ingin mengencani Jessie. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Keluarga Clarrisa morat-marit. Suaminya tertangkap atas kasus korupsi. Belum lagi juga terjerat hutang. Wisman sudah menghitung semuanya. Suami Clarrisa meman
Jessie bangun pagi dengan kondisi bersimbah air mata. Ia lupa mimpi apa tapi yang pasti mimpinya tidak menyenangkan. Samar ia teringat ada Om Wisman dalam mimpinya. Om Wisman yang terkekeh-kekeh sembari menanggalkan satu demi satu pakaiannya. Om Wisman yang mengecup-ngecup kecil bahunya yang ramping.Bayangan buruk itu belum juga pergi. Setahun sudah berlalu, setahun sudah Jessie mencoba menerima kehadiran Om Wisman, perasaannya masih saja ingin berontak. Marahnya ingin dikeluarkan. Tapi keadaan belum memungkinkan.Jessia segera mencuci muka. Pagi ini ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.Ponselnya berdering. Mommy menelepon.“Ya, Mommy?” tanya Jessie begitu menerima telepon.Seperti biasa Mommy menanyakan kabar.“Baik, Mom,” jawab Jessie. “Hari ini aku sudah nggak kerja jadi kasir lagi.”Mommy mendesah. “Sampai kapan kamu hidup menderita begini, sih, Sayang?”“Mommy yang membuat aku menderita, kan?” serang Jessie tanpa tedeng a
Jessie menunggu air mendidih di ceret. Busyet, batinnya memaki kesal. Ia dikerjain mbak-mbak muka bopeng. Padahal Pak Burhan – pemilik Radio Siul – tidak bilang apa-apa tentang ini. Beliau senang kalau Jessie mau belajar untu menjadi penyiar yang baik. Membersihkan kantor dan membikinkan kopi untuk senior bukan – sama sekali bukan tujuan Jessie.Ceret mengeluarkan debip panjang seperti peluit kereta api.Secangkir kopi instan sudah siap. Jessie meletakkan secangkir kopi panas itu di meja resepsionis. Reni memandangnya masih dengan tatapan sengak – super sengak.“Silakan, Mbak. Kopinya sudah siap,” kata Jessie.“Kopimiks?” tanya Reni.Jessie mengangguk. Sedetik kemudian ia menjawab, “Ya, Mbak. Sesuai permintaan Mbak tadi.” Ia pamit undur diri. Hendak mengerjakan tugas menyapu dan mengepel seluruh ruangan kantor.Seluruh tugas dikerjakan dengan hati mengedumel.Jessie membersih
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.