Sekujur tubuh Jessie kaku. Ia membalikkan badan lalu tidak bisa bergerak. Tenggorokannya kering. Suaranya seakan tercekat. Hendak berteriak minta tolong tidak bisa.
Kakek tua berbadan bungkuk berdiri di belakangnya. Suaranya berat dan parau ketika mengulangi pertanyaannya. “Mau cari siapa, Mbaakkk… aakkk… aarrkk… aarrkkkhhh!”
Rambut kakek tua itu berupa helai-helai yang jarang. Berwarna putih keperakan. Keriput menyebar di seluruh wajahnya. Kedua matanya hitam – seluruhnya berwarna hitam. Kelopaknya cekung ke dalam.
“Arrkkk… arrrkkk… arrkkkk…!” Kakek tua itu terus meraung parau. Bola matanya membeliak. Mulutnya yang kering membuka. Sulur panjang menjalar keluar dari mulutnya. Menggeliat-geliat mencari mangsa.
Wajah Jessie pucat. Ia tak pernah mengira akan melihat pemandangan semengerikan ini. Tenggorokannya kembali tercekat.
Radio Siul?
Apakah siulan yang ia dengar barusan adalah untuk memanggil monster radio keluar?
“Krrssskk… krrssskkk… krrsskkk…!” Kakek tua mengeluarkan suara berkemeresak seperti radio mencari saluran frekuensi yang tepat. Suara tak mengenakkan terus terdengar.
Mulut Jessie terbuka lebar. Kakek tua berjalan ke arahnya. Gerakan terpatah-patah. Sulur yang menjulur keluar dari mulutnya membuka. Seperti kelopak bunga yang sudah waktunya berbunga. Gigi tajam siap mencaplok Jess –
“Arrgghh….!” Tak ada yang bisa dilakukan Jessie. Kedua tangannya terangkat ke atas mencoba melindungi kepalanya agar tak copot.
“Graauughhh….!”
“Haahhh!” Jessie tersentak bangun. Matanya melek. Terbuka lebar. Napasnya tersengal. Sekujur tubunya gemetaran. Keringat membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.
Jessie menepuk jidatnya sendiri. Hari masih menunjukkan pukul dua dini hari. Sore tadi ia menonton film horor di ponsel secara online. Niatnya mau mengikuti jalan cerita sampai selesai, ehh, dia malah ketiduran di tengah-tengah film. Akibatnya adegan buruk terbawa sampai ke mimpi.
Radio Siul.
Untuk sejenak tubuh Jessie meremang dingin. Ia buru-buru menutup aplikasi menonton film ponsel. Sekali lagi ia memastikan ponselnya dalam keadaan aman dan silent. Cukup disetel mode getar supaya ia tidak kelewatan alarm bangun pagi.
Selimut ditarik hingga menutup kepala. Jessie kembali mencoba tidur. Semoga kali ini ia tidak lagi bermimpi buruk.
***
Keesokan harinya Jessie sudah lupa apa isinya mimpi buruknya semalam. Berbekal alamat dan google-map di ponsel, ia mencari alamat Radio Siul. Tak membutuhkan waktu lama hingga ia tiba di tempat tujuan.
Gedungnya sederhanya. Bangunan dan warna catnya memang terlihat tua. Tak ada kesan menyeramkan sama sekali. Halaman depan berukuran luas dengan rumput yang dipangkas rapi. Tanaman berbunga tumbuh subur. Kentara sekali kalau dirawat dengan baik.
Plang nama bertuliskan Radio Siul terlihat sederhana. Papannya tak berkarat. Sepertinya bikinin baru.
Jessie memarkir motor di halaman depan yang berkonblok. Pintu masuknya berupa kaca lebar. Pada bagian dalam terdapat meja resepsionis dengan penjaga seorang mbak yang manis.
“Selamat pagi,” sapa Jessie dengan mengangguk hormat. Tak lupa ia juga menyunggingkan senyum.
Sebuah lagu lawas mengalun dari speaker yang ada di ruangan. Lagu berganti lagu disetel secara otomatis.
“Selamat pagi,” balas penjaga meja resepsionis.
“Saya Jessie, Mbak,” Jessie memperkenalkan diri. “Saya ke sini karena ada keperluan melamar pekerjaan sebagai penyiar.”
“Ohh, yaaa…,” sambut penjaga resepsionis ramah. “Silakan tumpuk berkas – astaga ya ampun!”
Jessie kaget. Mbak penjaga resepsionis tiba-tiba memekik seolah teringat akan sesuatu yang terlupa atau apa.
“Tumpuk di situ, Mbak!” perintah mbak penjaga resepsionis cepat. “Nanti saya kabari lagi! Duduk sana! Tenang!”
Secepat kilat mbak petugas resepsionis mencelat pergi. Langkah kakinya bergedebukan sepanjang koridor.
Jessie bengong untuk sementara waktu. Ia meletakkan berkas pendaftaran di atas meja. Karena tadi disuruh duduk, ia menghenyakkan tubuhnya di sofa tak jauh dari meja resepsi.
Terdengar lengkingan siul yang merdu dari speaker ruangan.
Jessie menoleh kaget. Lagu lawas yang tadi berkumandang sudah selesai. Suara penyiar yang lincah menyapa para pendengarnya.
“Hai, selamat siang, Sobat Siul, di mana aja kamu berada! Kembali lagi bersama Sisil di sini. Mohon maaf, nii, tiba-tiba nongol. Ada berita penting banget yang perlu Sisil bagi sama kamu.”
Meski masih ragu, Jessie menebak Sisil yang sedang on-air sekarang adalah mbak penjaga meja resepsionis. Suaranya merdu dan renyah juga. Untuk beberapa saat perut Jessie terasa mulas. Mendengar Sisil begitu luwes bicara menyapa para pendengar, sepertinya ide melamar pekerjaan sebagai penyiar adalah hal yang salah.
“Kamu pernah, kaaan, pengin tampil cantik untuk menghandiri sebuah pesta tapi rambutmu lepek, jatuh, lemas dan uuhh jelek banget, gituu? Nah, nggak usah khawatir –“
Sisil terus bercuap-cuap. Jessie mengedarkan pandangan. Hmmm… estetik juga ruangannya. Semuanya sepertinya menggunakan konsep sederhana dan minimalis. Di beberapa sudut ruangan terdapat pot tanaman hijau. Cukup bisa menghadirkan suasana yang segar.
Sebuah lagu lawas kembali mengalun dari speaker ruangan.
Sisil terburu-buru keluar dari ruang siaran dan menyapa Jessie.
“Sori, sori, aku tadi kelupaaan. Hhhh… hampir saja aku lupa membacakan adlips. Padahal sudah telat satu jam dari perjanjian. Adlips itu diminta dibacain pukul sembilan. Sekarang sudah hampir pukul sepuluh.” Sisil terus mencerocos. “Tapi yaaa nggak apa-apa, lah, yaaa. Telat kan lebih baik ketimbang nggak sama sekali. Busyet, pikunan amat sih aku ini, yaaa. Padahal tadi sudah niat sehabis buka-buka Facebook, aku bakal bacain adlips itu, deeh. Ehh, malah kebablasan. Habisan seru banget….”
Jessie bingung harus menanggapi apa. Sisil bicara seolah mereka telah kenal lama. Terus bicara membicarakan masalahnya.
“Emm… anu, Mbak…,” Jessie mencoba memotong pembicaraan yang tak jelas arah juntrungannya. “Saya ke sini untuk mendaftar sebagai penyiar. Kemarin, kan, ada lowongannya di pamflet. Terus saya sudah mengumpulkan berkasnya di meja. Setelah ini saya harus ngapain, ya?”
“Oh, astagaaa….” Sisil menepuk jidatnya sendiri. Lalu, gadis itu membungkam mulutnya yang dilanjut dengan cekikihan pelan. “Maaf, Mbak, saya malah lupa harus ngapain. Hadeeh, malah ceriwis ngomong sendiri, ya. Maaf, maaf. Yaa jadi bagaimana, Mbak?”
“Saya ingin mendaftar sebagai penyiar,” jelas Jessie mengulangi menyebutkan tujuannya datang ke Radio Siul.
“Apakah semua berkas-berkasnya sudah lengkap?”
Jessie mendongak. Sisil menengok. Gadis itu buru-buru membungkuk sambil cengengesan meminta maaf.
Seorang laki-laki paruh baya berwajah teduh berdiri dengan menyunggingkan senyum ramah.
“Om Burhaann…,” sapa Sisil. “Maaf saya teledor lagi, Ooom. Ini, Ooom, ada pendaftar untuk melamar posisi penyiar.”
“Maaf menunggu, Mbaakk….”
Jessie menyahut cepat. “Jessie. Nama saya Jessie, Pak Burhan.”
“Maaf menunggu lama, Mbak Jessie.”
Suara Pak Burhan begitu empuk dan enak didengar. Jangan-jangan beliau dulunya seorang penyiar kawakan?
“Selamat datang di Radio Siul. Terima kasih sudah membaca pamflet yang berisi lamaran di radio kami.”
Pak Burhan menerima berkas-berkas lamaran yang disodorkan Sisil.
“Boleh ikut saya ke ruangan, Mbak? Kita bicara di dalam saja, di tempat yang lebih sejuk, ruangannya ber-AC.”
Jessie bangkit mengikuti langkah Pak Burhan.
Pak Burhan berhenti sejenak. “Sisil jangan lupa satu jam ke depan adlips pupuk tanaman jagung juga harus dibacakan. Jangan sampai lupa lagi.”
Cengiran di wajah Sisil semakin lebar. “Iyaa, Ooom. Sisil nggak akan lupa lagi, deeh. Janjiii….”
“Pasang pengingat di ponselmu,” pesan Pak Burhan.
“Iyaa, Ooommm…. Hehehe.”
Jessie kembali mengikuti langkah Pak Burhan.
“Sisil keponakan saya. Ia baru saja lulus kuliah. Tidak tahu harus melamar kerja di mana dan sebagai apa, untuk sementara waktu ia membantu bekerja di radio ini. Tingkahnya masih kekanakan. Bocah sekali.” Pak Burhan membukakan pintu ruangan kecil tapi nyaman.
Jessie mengambil duduk di sofa yang empuk.
“Sebelum ini, kalau boleh tahu, Mbak Jessie bekerja di mana?”
“Minimarket kecil, Pak. Saya kerja sebagai kasir.”
“Hmmm… menarik.” Pak Burhan mengambil duduk di sofanya sendiri. “Saya minta waktu untuk mempelajari sebentar, ya. Boleh?”
“Silakan, Pak.”
Jessie menunggu Pak Burhan membolak-balik berkas-berkas pendaftaran. Sesekali kepalanya manggut-manggut. “Yaa, yaa, yaaa,” gumamnya.
Perut Jessie mulas.
Pak Burhan mendongak. Ia menutup berkas-berkas pendaftaran Jessie. “Mbak Jessie saya terima bekerja di Radio Siul sebagai penyiar.”
“B— bagaimana, Pak?” Jessie tak yakin dengan yang barusan ia dengar. “S— saya diterima apa, Pak? Bagaimana, Pak?”
Pak Burhan mengembangkan senyum. “Diterima bekerja sebagai penyiar di Radio Siul.”
B—bagaimana bisaa?
Jessie ingin memastikan sekali lagi bahwa yang barusan didengarnya adalah benar. Ia baru saja memasukkan berkas pendaftaran. Petinggi radio yang bernama Pak Burhan baru saja membaca berkas-berkas pribadinya. Tanpa banyak ditanya, tanpa melalui serangkaian tes, tanpa yang lain-lain, Pak Burhan bilang kalau Jessie diterima bekerja sebagai penyiar di Radio Siul.Ini sungguhan?“B –bagaimana, Pak?” Jessie terbata-bata mengajukan pertanyaan. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang barusan didengarnya adalah benar. “Maaf, saya langsung diterima? Bekerja sebagai penyiar? Penyiar di Radio Siul ini?”Sorot mata Pak Burhan yang teduh menatap Jessie dengan begitu serius. Kekehan tawanya yang merdu terdengar. “Apakah saya terlihat sedang bercanda?”Mata Jessie mengerjap. Pak Burhan bertanya apakah sedang bercanda dengan tertawa. “Ti – tidak, Pak. Tapi, kan, maksudnya… masa tidak ada tes atau apa gitu?”“Saya memang mencari pelamar yang ingin menjadi penyiar.
Jessie baru saja mengunci kamar ketika ibu kos menghampirinya. Ibu Kos bertumbuh tambun, gemar mengenakan sandal teplek – suaranya berteplek-teplek di lantai keramin koridor kamar kos, rambutnya panjang digelung ke atas, mengenakan daster, dan mulutnya nyinyir bukan main.Kos-kosan karyawan tempat Jessie tinggal sangat enak sekali. Lokasinya strategis, dekat dengan banyak warung makan yang enak dan harganya murah. Tempat kos-kosannya pun tidak pengap, udara segar mengalir lancar, sinar matahari berlimpah ruah, bila siang teduh, bila malam tak begitu dingin yang menggigit.Hanya sayang, satu hal yang mengganggu adalah pemilik kosnya rese’! Ya, apa boleh buat. Jessie mengejar harga sewa kamar yang murah dan tempat yang nyaman meski ibu kosnya riweuh. Toh, hanya sesekali saja ia perlu berurusan dengan Ibu Kos; saat membayar sewa dan bila ada pengumuman penting.“Haloo, Mbak Jesssieee…,” sapa Ibu Kos berusaha terdengar ramah tapi kentara bahwa kedekatan yang ditunju
Malam ini hari terakhir Jessie bekerja sebagai kasir. Esok dia sudah tidak perlu datang lagi ke minimarket. Rahmi menangis berpelukan sepulang kerja. Hari ini mereka berbeda sif. Padahal belum berpisah ia sudah kangen temannya. Jessie balas memeluk sahabatnya lebih erat.“Terima kasih sudah berbelanja di Minimarket Happy. Ditunggu belanjanya kembali. Selamat malam,” ucapnya. Pelanggan yang baru membayar balas mengangguk. Lalu, pergi membawa kantong belanjaannya.Srrekkk….Keping-keping kemasan cokelat diletakkan di atas meja kasir. Wah belanja yang banyak sekali, batin Jessie.“Selamat malam…,” sapa Jessie sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada. Pandangannya beralih dari layar kasir ke arah penjual. “Alfin….,” desisnya tercekat.Alfin tersenyum hangat. Laki-laki berusia 35 tahun itu terlihat begitu memesona. Rahangnya yang tegas terlihat lembut dibalik berewok tipis yang terlihat bekas cukurannya.“Selamat malam, Jessie,” balas Alfin. “Ka
“Aduh! Sakit! Lepaskan, John!” pekik Lisa. Lengan cewek muda itu ada yang menahan kasar. Lisa mencoba melepaskan diri. Ia menoleh dengan membeliakkan kedua matanya yang bulat indah. Ingin rasanya mendamprat seseorang yang menahan langkahnya. Paling-paling si gembel anak magang dengan seragam buluk. “Awas kamu! Aku laporin ke manaje – Alfin!?”Muka Alfin dingin. Rahangnya mengeras. Tatapannya datar. Kentara sekali ia tidak menyukai kehadiran Lisa malam itu. Belum lagi tingkahnya yang keterlaluan. Jessie masih membawa tumpukan mantel dan sweater milik Lisa.John Burgundy masih diam saja. Ia belum tahu bagaimana harus bereaksi.“Alfin!?” Lisa sangat terkejut. “Kapan kamu datang? Eh kamu di sini juga?” tanyanya gugup. “Mau makan malam sama aku?”“Lisa!?” tegur John gusar. Suaranya teredam mulut yang memanggil dengan tertutup. “Kamu ke sini datang sama aku.”“Tingkah lakumu masih juga belum berubah.” Alfin tak banyak bicara lagi. “Jessie ini tamuku. Kam
Jessie mencoba menerima kenyataan. Ia bertemu Mommy – yang sebelumnya selalu dipanggil tante. Mereka berpelukan. Belum seerat hubungan ibu dan anak, tapi lumayan, lah. Mommy legawa Jessie tetap tinggal bersama Om dan Tante Clarrisa.“Kalau kangen datang ke sini, Sayang,” kata Mommy. “Kalau senggang, menginap ke sini sangat ditunggu.”“Ya, Mommy,” jawab Jessie.Tante Clarrisa menjelaskan semuanya. Bagaimana bisa Jessie dirawat dan dibesarkan Om dan Tante.Beberapa bulan sebelum Jessie lahir, Papi ketahuan selingkuh. Papi semena-mena. Lebih memilih perempuan simpanannya yang masih muda. Masih kinyis-kinyis. Semua aset perusahaan dibawa pergi. Hanya menyisakan rumah untuk Mommy.Mommy kaget. Ia memulai usaha dari nol. Mulanya dari usaha pre-loved. Gaun-gaun mahal yang baru dipakai sekali dijual. Demi mendapat uang mencukupi kebutuhan hidup. Saudara berusaha membantu. Uang-uang pemberian itu habis dalam sekejap untuk membayar hutang.Jessie lahir. Mom
Jessie belum juga bisa tidur. Om Wisman malah semakin terbayang-bayang di benaknya. Bagaimana mereka bertemu beberapa tahun lalu kembali melintas hadir. Pertama kali bertemu, Jessie sudah dewasa. Secara usia. Om Wisman, lah, yang kemudian memberinya kedewasaan lebih. Secara fisik.Apakah kamu tahu apa artinya?Ingatan Jessie kembali melompat ke beberapa tahun yang lalu. Waktu itu gadis itu sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir. Ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Di rumah pun sering di dalam kamar. Keinginannya adalah segera lulus. Rumah Tante Clarrisa semakin tidak nyaman untuk dihuni. Menetap di rumah Mommy hanya akan membuatnya canggung.Jessie memutuskan untuk tetap di rumah Tante Clarrisa. Bagaimana pun kamarnya adalah tempat paling nyaman untuk dihuni. Bisa konsentrasi mengerjakan skripsi.“Tokk, tokk, tokkk.”Jessie menoleh. Tidak ada orang lain di rumah kecuali Tante Clarrisa. “Ya, Tante. Silakan masu
Om Wisman menyukai Jessie sejak pertama kali melihat anak perempuan Om dan Tante Clarrisa itu datang memenuhi undangan makan malam. Sebuah private dinner di resto Jepang. Hanya kolega yang diundang beserta keluarganya yang bisa datang.Ia menyukai gadis muda tersebut. Jessie tinggi dan langsing. Kulitnya kuning langsat dan kencang. Sepertinya gadis itu agak pendiam. Tapi ia bisa membawa diri dengan baik. Tahu kapan waktu yang tepat untuk tertawa. Tahu kapan ia bisa asyik sendiri dengan ponselnya.Om Wisman sudah tahu kalau sebenarnya Jessie adalah anak perempuan Mommy. Clarrisa membesarkan Jessie karena memang tak punya anak. Juga untuk membantu adik iparnya yang sedang kesulitan.Laki-laki paruh baya itu menunggu waktu yang tepat. Ia sangat ingin mengencani Jessie. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Keluarga Clarrisa morat-marit. Suaminya tertangkap atas kasus korupsi. Belum lagi juga terjerat hutang. Wisman sudah menghitung semuanya. Suami Clarrisa meman
Jessie bangun pagi dengan kondisi bersimbah air mata. Ia lupa mimpi apa tapi yang pasti mimpinya tidak menyenangkan. Samar ia teringat ada Om Wisman dalam mimpinya. Om Wisman yang terkekeh-kekeh sembari menanggalkan satu demi satu pakaiannya. Om Wisman yang mengecup-ngecup kecil bahunya yang ramping.Bayangan buruk itu belum juga pergi. Setahun sudah berlalu, setahun sudah Jessie mencoba menerima kehadiran Om Wisman, perasaannya masih saja ingin berontak. Marahnya ingin dikeluarkan. Tapi keadaan belum memungkinkan.Jessia segera mencuci muka. Pagi ini ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.Ponselnya berdering. Mommy menelepon.“Ya, Mommy?” tanya Jessie begitu menerima telepon.Seperti biasa Mommy menanyakan kabar.“Baik, Mom,” jawab Jessie. “Hari ini aku sudah nggak kerja jadi kasir lagi.”Mommy mendesah. “Sampai kapan kamu hidup menderita begini, sih, Sayang?”“Mommy yang membuat aku menderita, kan?” serang Jessie tanpa tedeng a
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.