"Pak Sudarta," sapanya lembut. "Selamat malam, Pak Sudarta."Sudarta merasa tidak asing dengan suara itu. Dia mengangkat wajahnya dan menemukan Nayla berdiri di ambang pintu. Wanita itu memiliki mata tajam dan senyum misterius. Rambutnya tergerai, dan dia memegang amplop bersegel merah."Selamat malam, Nayla," jawab Sudarta. "Masuklah."Nayla melangkah masuk ke ruangan. Sudarta memperhatikan setiap gerakannya. Siapa lagi jika bukan Nayla, sekretaris Ruswanda dari perusahaan pusat. Dia tahu bahwa Nayla datang dengan tujuan khusus. Agen tim dari Malaysia akan segera tiba, dan Nayla ingin memastikan semuanya berjalan lancar.Namun, Sudarta memiliki rahasia yang belum terungkap. Surat kaleng yang dia temukan tadi di meja masih ada di sakunya. Dia harus berhati-hati. Nayla tidak boleh tahu apa yang terjadi."Saya ingin melihat bagaimana keadaan kantor cabang sebelum agen tim datang," kata Nayla. "Pak Ruswanda memerintahkan saya untuk membantu menyiapkan segala sesuatunya."Sudarta mengangg
Hari Minggu yang sangat cerah, Sudarta duduk di teras rumahnya, memandang langit biru yang tak berawan. Semalam, perasaannya bercampur aduk. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Besok Senin, agen tim dari Malaysia akan datang untuk menginspeksi perusahaan cabang PT. RSTI yang telah dia bangun dengan susah payah.Sudarta menggigit bibirnya. Di satu sisi, dia memikirkan nasib dirinya dalam masa lalu. Kenangan tentang Vina, wanita PSK yang pernah dia sakiti, menghantuinya. Dia merasa bersalah dan ingin menebus kesalahannya. Namun, disisi lain, dia sudah berhasil sejauh ini. Perusahaan cabangnya berkembang pesat, dan dia telah menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang.Dia menatap surat kaleng yang masih ada di tangannya. Apakah ini permainan Mustafa? Ataukah ada yang lebih dalam? Mustafa, musuh lamanya, selalu mengintai di balik layar. Sudarta tahu dia harus berhati-hati.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Dia mengambilnya dan melihat nama Nayla di layar. Nayla, sekretaris Ruswand
Suasana ruangan berubah seketika ketika pintu terbuka. "Selamat pagi semuanya," ucap direktur dengan tegas. Tiba-tiba, dia menghampiri mereka, dan tatapannya menyapu ruangan. Sudarta, Ruswanda, dan Subroto terpesona, seolah-olah waktu berputar mundur dan membawa mereka ke masa lalu.Ruswanda, seorang direktur yang berpengaruh, memperkenalkan mereka. "Pak Sudarta, kenalkan ini saudara iparku, Subroto."Sudarta mengangguk, hatinya berdebar. "Iya, Pak! Saya sudah mengenalnya sejak kecil. Beliau ini adalah teman semasa SD. Tidak menyangka bahwa dia adalah adik ipar Anda, Pak."Subroto tersenyum, matanya penuh makna. Rahasia masa lalu dan masa depan terpampang di hadapan mereka.Saat mereka berbincang-bincang, Nayla memperhatikan Sudarta dan Subroto. Matanya menyimpan rencana jahat. Di samping Sudarta, Abidin sebagai orang kepercayaan juga membantu rencana Nayla.Nayla, wanita yang menyimpan dendam, merencanakan kejahatan dengan cermat. Dia ingin meracuni Subroto, teman masa kecil Sudarta,
Malam itu, Istrinya masih belum sadarkan diri karena racun dalam tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Sudarta memutuskan untuk menginap di rumah sakit malam itu, menjaga istrinya dengan penuh kekhawatiran.Sudarta tertidur di samping istrinya yang sedang berbaring, tiba-tiba suara memanggilnya, "Sudarta, Sudarta!" Sahutnya. Berdiri seorang perempuan yang dulu pernah menemani tidurnya.Seorang perempuan yang susah payah, namun ia memanfaatkannya demi nafsu birahinya.Seorang perempuan, yang telah lama ia lukai kini muncul dalam alam bawah sadarnya. "Vina! Apa yang kamu lakukan dengan istriku?" Kata Sudarta dengan nada gemetar."Inilah balas dendam, Sudarta. Kau telah merenggut keperawananku, dan kini aku balas dengan merenggut nyawa istrimu," ucap perempuan itu dengan mata yang memancarkan kebencian. Cahaya rembulan menyilaukan wajahnya yang pucat dan rambutnya yang terurai. Sudarta terpaku, terjebak dalam konflik yang lebih rumit daripada yang pernah dia bayangkan. Mata Sudarta terbelala
Malam hari, Marcel duduk di depan layar laptopnya, memandang foto Rihana yang terpampang di sana. Tanpa disadari, ayahnya sudah berada di rumah bersama ibunya.“Marcel, siapa yang ada dalam foto di laptopmu?” tanya ayah dengan tiba-tiba, membuat Marcel terkejut.“Ayah, ibu sudah sampai rumah jam berapa?” Marcel mencoba mengalihkan pembicaraan.“Kami sudah tiba di rumah sejak sore tadi. Bagaimana kuliahmu, Nak?”“Alhamdulillah, saya baik-baik saja, Ayah.” Marcel menjawab dengan lega. Dia tidak ingin membicarakan foto Rihana lebih lanjut, terutama di depan orangtuanya. Namun, kenangan tentang Rihana masih menghantuinya, dan dia berharap suatu hari bisa bertemu dengannya lagi. Rihana, wanita yang menghiasi layar laptop Marcel, adalah sosok yang tak pernah lepas dari pikirannya. Mereka bertemu di kampus saat kuliah, dan Rihana memiliki senyum yang selalu menghangatkan hati Marcel.Sementara itu, perasaan Marcel terhadap Rihana semakin dalam. Meskipun dia mengetahui bahwa Rihana telah men
Di koridor yang sepi, Abidin berdiri dengan wajah yang memerah. Perasaannya campur aduk, dendam dan cinta berbenturan di dalam hatinya. Pertama, Ruswanda telah merebut tahta perusahaan dari ayahnya. Abidin masih ingat betapa marahnya dia ketika melihat Ruswanda mengambil alih kendali, menggantikan posisi yang seharusnya menjadi milik ayahnya. Ambisi Ruswanda telah merenggut hak-haknya, dan dendam itu terus membara.Namun, ada satu hal lagi yang membuat hati Abidin terluka. Ruswanda telah merebut hati Nayla, sekretaris muda yang selalu tampil dengan senyuman manis. Nayla, wanita yang selalu menghiasi ruang kerja Ruswanda dengan keceriaan dan ketulusan. Abidin tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Nayla, tapi dalam diam, dia mencintainya dengan segenap hati.Mata Abidin merah, dan dia menunggu kedatangan Nayla di koridor. Dia ingin berbicara dengannya, mengungkapkan perasaannya, tapi dia juga tahu bahwa ini adalah momen yang sulit. Dendam dan cinta saling berbenturan, dan dia
Pagi yang sangat indah menyapa kota Majalengka. Matahari terbit dengan gemilang, menyinari jalan-jalan dan bangunan-bangunan. Di pabrik tekstil yang megah, karyawan berdatangan dengan seragam biru yang rapi. Semua siap untuk memulai hari kerja, menghadapi mesin-mesin besar yang sudah berderu.Sudarta, yang memimpin sebuah pabrik cabang, duduk di ruangannya yang luas. Dia memandang melalui jendela, melihat para karyawannya bergerak dengan sigap. Suara mesin dan alat jahit mengisi udara, menciptakan harmoni industri yang menggetarkan.Namun, tiba-tiba, keheningan itu terputus. "Duarrr!" suara ledakan mengguncang seluruh pabrik. Salah satu mesin terbakar, menyemburkan api dan asap hitam. Karyawan-karyawan panik, berhamburan keluar dari area bahaya. Sirine alarm berbunyi dengan keras, memecah keheningan pagi. Semua orang berusaha mengendalikan situasi, tapi ketidakpastian dan ketegangan menguasai.Sudarta berdiri, hatinya berdebar. Dia melihat para karyawan berlarian, berusaha memadamkan
Pagi itu, Ruswanda mengaduk secangkir kopi dengan pandangan serius. Istrinya, ibu Ratih, duduk di seberang meja, menatapnya dengan khawatir."Wati," ucap Ruswanda, "perusahaan cabang kita dalam keadaan genting. Kebakaran itu bukan kebetulan. Sudarta pasti menjadi target."Ibu Wati menggenggam tangan Ruswanda. "Apa yang sebenarnya terjadi, Pah? Mengapa ada yang ingin menjebak Pak Sudarta?"Ruswanda mengangguk serius. "Aku akan pergi ke Majalengka dan melihat langsung kondisi pabrik. Kita harus tahu seberapa besar kerusakannya." Dia merasa tekanan semakin bertambah. Rahasia dan konflik yang tersembunyi menuntut keberanian dan ketekunan.Ibu Wati menggenggam tangan Ruswanda. "Berhati-hatilah, Pah. Kita akan menghadapi banyak hal."Ruswanda tersenyum. "Kita akan mengungkap kebenaran, Mah. Kita tidak boleh menyerah."Pagi itu, matahari terik menyambut Ruswanda dan Nayla saat mereka tiba di perusahaan cabang di Majalengka. Perjalanan dari Jakarta ke Majalengka memang lumayan jauh, sekitar 3