Rihana merasa jantungnya berdetak kencang. Cahaya remang-remang gudang tua hanya menyoroti wajah bos besar penculik, Mustafa. Dia mengenalnya sebagai sosok kejam yang tak segan mengorbankan siapa pun demi keuntungan pribadi.“Rihana,” suara Mustafa bergema di dinding-dinding gudang, “kamu gadis yang sangat cantik. Tapi kenapa harus memilih Marcel, anak Ruswanda itu?”Rihana menatapnya tajam. “Lalu urusan Bapak apa? Kenapa saya tidak boleh berhubungan dengan Marcel?”Mustafa tertawa sinis. “Kamu tidak tahu? Sudarta, ayahnya Marcel, berharap menguras harta ayahmu. Dia senang saat ayahmu menjadi investor di perusahaan Ruswanda. Jadi, alangkah baiknya kamu batalkan saja pernikahanmu dengan Marcel.”Rihana menatap Mustafa dengan mata yang membara. “Tidak mungkin! Ayahnya Marcel pastilah orang baik,” katanya tajam. Mustafa hanya bisa tertawa terbahak-bahak, dan tiga penculik lainnya ikut bergabung dalam gelak tawa sinis.“Kita lihat saja,” ucap Mustafa, wajahnya yang berkerut mengekspresika
Abidin merencanakan langkah selanjutnya dengan cermat. Dia tahu bahwa keluarga Sudarta tengah berada dalam tekanan besar. Uang tebusan yang diminta penculik sangat besar, dan Abidin ingin memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya sendiri. “Marcel, jadi apa yang harus saya lakukan?” tanya Abidin, suaranya berbisik penuh ketegangan. “Entahlah, saya juga masih bingung,” jawab Marcel, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tapi kita harus bertindak cepat sebelum mereka menyadari sesuatu.” “Kamu benar Marcel,” jawab Abidin. Hari semakin siang, keadaan Rihana sampai siang ini belum ada kabar dari penculik. Tiba-tiba ponsel Marcel bergetar, sebuah pesan masuk dari Rihana. Dengan cepat, Marcel membuka pesan tersebut dan melihat bahwa Rihana telah mengirimkan lokasi GPS tempat persembunyiannya. Rupanya Rihana lebih cerdas, ia berhasil mengirimkan koordinatnya kepada Marcel tanpa diketahui oleh penculik. Marcel segera bergegas, mengambil kunci motor dan helmnya. “Aku harus pergi sek
Seiring dengan waktu, di sore hari yang cerah itu, Rihana kini dalam kesendirian di dalam kamarnya. Ia duduk di dekat jendela, memandang langit yang mulai berubah warna menjadi oranye keemasan. Angin sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma bunga melati yang menenangkan. Rihana merasa damai, namun ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya hari ini.Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka perlahan. Ibunya masuk dengan wajah penuh kecemasan. "Hana!" sahut ibunya, suaranya terdengar cemas namun lembut."Iya, Ibu," jawab Rihana dengan lembut, menoleh ke arah ibunya.Ibunya mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Rihana. "Setelah ibu perhatikan, kamu lebih bahagia daripada hari kemarin. Sebenarnya ada apa, ya?" tanya ibunya penuh penasaran, matanya menatap Rihana dengan penuh perhatian.Rihana hanya bisa tersenyum bahagia. "Entahlah, Ibu. Hana juga bingung. Entah kenapa Hana merasa bahagia sekali, seolah-olah ada seorang pangeran yang sudah masuk ke dalam hati Hana," jawab Rih
Di tengah taman bunga yang berwarna-warni, Rihana berdiri dengan senyum lebar berbicara dengan Endah. Cahaya matahari sore membelai wajahnya yang cerah. Dari kejauhan, dia melihat Marcel, sosok yang pernah mengisi hari-harinya di universitas dulu. Rambut Marcel yang dulu gondrong kini terurai rapi, dan matanya masih sama tajam.“Kak Marcel!” panggil Rihana dengan suara riang. Marcel terkejut dan menoleh ke arahnya. Ternyata, Rihana sedang berbicara dengan Endah, teman sekelas Marcel juga, ia adalah seorang mantan pacar Marcel di masa lalu. Endah, yang dulu selalu memakai kuncir rambut tinggi, kini memiliki senyum hangat di wajahnya.Marcel merasa salah tingkah. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Endah yang pernah mengisi bagian penting dalam hidupnya di tempat yang sama. Rihana dan Endah, dua nama yang membawa kenangan manis dan getir. Rihana, yang selalu ceria dan penuh semangat, dan Endah, yang pernah menjadi cinta pertamanya.Di bawah pohon rindang, Rihana duduk bersama Endah.
Sore itu, Rihana pulang dengan tubuh lelah setelah seharian bekerja. Cahaya senja menyapa jendela kamarnya, dan ia merasa hampa. Rutinitas yang monoton dan kekosongan dalam hati membuatnya merasa terisolasi.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari temannya. “Rihana, lihat ini!” tulis teman lelakinya, disertai dengan foto Marcel yang sedang berduaan dengan seorang wanita bernama Endah. Rihana memandang foto itu dengan mata terbelalak. Marcel, calon suaminya yang baru saja dia kenal, tersenyum manis di samping Endah. Mereka terlihat begitu dekat, begitu mesra.Rihana merasa dunianya runtuh. Kenapa Marcel melakukannya? Apa yang salah? Ia mencoba menghubungi Marcel, tapi ponselnya mati begitu saja. Rihana semakin cemas. Ia menggigil, berusaha menenangkan diri. Mungkin ada penjelasan logis. Mungkin ini hanya kesalahpahaman.Namun, dalam hati Rihana, keraguan dan kekhawatiran tumbuh. Ia mengingat momen-momen indah bersama Marcel: senyumnya yang hangat, pelukannya yang menghib
“Abidin, kamu dimana?” sahut ayahnya, Mustafa, mengirimkan pesan pada Abidin. “Apakah kamu sudah mendapatkan informasi tentang pernikahan anaknya Sudarta?” Abidin hanya bisa tersenyum jahat. Ia membalas pesannya, “Tenang saja, Pah! Semuanya sudah beres.” Malam telah tiba. Esok hari adalah hari pernikahan bagi Marcel dan Rihana. Di balik kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua keluarga, ada rencana jahat yang sedang disusun oleh Abidin. Ia tidak bisa menerima kebahagiaan Marcel, dan ia bertekad untuk menghancurkan pernikahan tersebut. Rihana tampak begitu cantik dalam balutan rias pengantin, wajahnya berseri-seri memancarkan kebahagiaan. Marcell pun tak kalah mempesona, penampilannya yang gagah membuat semua orang terkesima. Di tengah keramaian acara pernikahan mereka, hadir pula Abidin dan Destia, sahabat dekat yang selalu mendukung. Tak ketinggalan, adik-adik Marcell turut meramaikan suasana. Acara pernikahan Marcell dan Rihana diisi dengan hiburan musik yang meriah dan upacara adat
Lelaki misterius itu, dengan mantel hitam yang menggantung longgar di pundaknya, berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tertutup oleh bayangan topi fedora yang rendah. Matanya, tajam dan gelap, memandang ke arah Marcel dan Rihana yang sedang berdansa di tengah kerumunan tamu undangan.Dia mengutuk nasibnya dengan kata-kata yang penuh kekecewaan. Semua rencananya telah gagal. Rencana untuk menghentikan pernikahan ini, untuk menggagalkan kebahagiaan mereka, hancur berantakan. Lelaki misterius itu tahu bahwa dia tidak bisa mengubah takdir. Dia hanya bisa pergi.Dengan langkah tergesa-gesa, dia meninggalkan ruangan itu. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Jalanan basah dan gelap menyambutnya. Dia menarik mantelnya lebih erat, melindungi diri dari dingin yang menusuk tulang. Tapi lebih dari itu, dia merasa dingin dalam hati.Namun, di tengah kepergiannya, Marcel dan Rihana tengah merayakan kebahagiaan mereka. Mereka berdua, terikat dalam janji suci pernikahan, tersenyum satu sama lain. Rihan
Pagi telah bersinar dengan terang, menyelimuti kota dengan cahaya keemasan yang hangat. Marcel dan Rihana, pasangan yang baru saja mengikat janji suci, melangkah keluar dari rumah mereka dengan senyum lebar di wajah. Hari ini adalah awal dari bulan madu mereka, sebuah perjalanan yang telah mereka impikan sejak lama. Mereka berdua tak sabar untuk menikmati setiap momen bersama, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.Namun, di tempat lain, suasana sangat berbeda. Di perusahaan Ruswanda, sebuah badai sedang mengancam. Orang-orang berduyun-duyun berkumpul di depan gedung, mengangkat spanduk dan berteriak dengan penuh semangat. Orasi demi orasi menggema, menciptakan suasana yang tegang dan penuh ketidakpastian.Ruswanda, sang direktur utama, berdiri di jendela kantornya, memandang ke arah kerumunan dengan wajah penuh kepanikan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. Hatinya berdebar kencang, dan keringat dingin mulai mengalir di