Hari ini adalah hari semangat untuk semua santri. 8 Oktober 2020, hari yang penuh dengan semangat. Walaupun di luar sana tengah terjadi demo yang luar biasa, kami tetap fokus dengan belajar. Bukan kami tidak cinta dengan Indonesia. Tapi, kami merasa bahwa demo bukan kapasitas kami. Ada sebuah cara yang lebih baik dari pada demo. Misalnya, menunggu undang-undang berlaku hingga beberapa bulan, baru cek hasilnya. Apakah undang-undang Omnibus Law benar-benar mensejahterakan rakyat? Kalau tidak, barulah demo. Sebab jika tidak menguntungkan rakyat, jelaslah undang-undang tersebut ada sebuah misi di baliknya. Misalnya menjual tanah air Indonesia. Bisa saja undang-undang tersebut hanya memudahkan pihak asing mengeruk ekonomi dan kekayaan Indonesia.Ketika di warung, saya melihat sekilas siaran langsung dari demo tersebut. Saya percaya dengan teman-teman buruh yang sedang berdemo. Saya percaya kepada teman-teman mahasiswa yang sedang berdemo. Semoga yang terbaik tetap menjadi milik Indonesia.
Semua orang pasti mengetahui tentang prinsip tabur tuai. Namun, tidak banyak yang mengerti dan mampu menjalankan apa maksudnya. Memang, sekilas kalimat itu begitu mudah untuk dilakukan. Pada kenyataannya, tidak semua bisa melakukan. Prinsip tersebut cukup sulit untuk dikerjakan, jika belum terbiasa.Barang siapa menanam, pasti dia akan menuai.Kenyataannya tidak semua orang yang sudah menanam, tentu menuai.Berarti, ada yang perlu dipertanyakan dari cara dia menanam. Bukan, bukan seperti itu maksudnya.Tentu seseorang yang sudah menanam akan menuai, entah dengan hasil yang baik atau hasil yang buruk. Tergantung dengan benih yang dia tanam.Jika seorang menanam biji yang baik, kemudian merawatnya, niscaya dia akan menuai hasil panen yang baik pula. Sebaliknya, jika benih yang buruk dia tanam, maka akan menghasilkan panen yang buruk. Begitulah, hidup memang sesuai dengan prinsip tersebut.Tidak terkecuali dengan kehidupan saya dan semua santri. Siapa yang rajin, pasti akan pandai. Siapa
Hai, teman-teman, dan ini adalah cerita ke tiga. Semoga kalian suka dengan ceritanya. Hari ini adalah hari Rabu, hari dimana wanita-wanita yang dari luar negeri pulang kampung. Sungguh matang persiapan dari ketua Rt kami menyambut mereka, mulai dari jamuan makan, orkes dangdut, bendera merah putih, sampai suami-suami dari wanita yang akan pulang juga mendapatkan riasan. Untungnya tidak ada janur kuning disana, bersama menyan yang dibakar. Hari ini hari spesial bagi mereka semua. Tapi tidak untuk diriku.“Cepat, jangan sampai terlambat! Kita akan menyambut orang-orang penting!” kata Suwadi. Aku mendengar teriakan itu dari teras rumah, sebab lokasi penyambutan berada di tanah lapang sebelah rumahku. Memang begitulah adat desa kami, ketika ada TKW yang pulang kampung, maka tanah lapang sebelah rumahkulah yang menjadi lokasi penyambutan.Acaranya setelah TKW sampai di rumah, mereka akan dimintai urunan sebagai ganti modal pesta penyambutan. Aku suka-suka saja dengan acara seperti har
Menjadi TKW adalah salah satu cita-cita mulai di desaku. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan kesempatan itu. Minimal dari mereka harus lulusan SMA, katanya. Kalau aku tidak begitu percaya dengan syarat itu. Masak iya? Ingin jadi pembantu saja harus sampai lulusan SMA. Aku benar-benar tidak percaya, karena tidak pernah mengalami juga. Jelasnya, aku tidak ingin menjadi pembantu. Aku mempunyai cita-cita besar. Aku ingin menjadi bos, bukan bawahan. Bukan anak buah. Jika tidak menjadi bos, lebih baik menanam singkong di ladang saja.Kalian tahu? Kenapa TKW, atau orang-orang yang bekerja di luar negeri di desaku ini begitu dihargai? Karena mereka adalah orang-orang kaya. Bayangkan saja jika kalian berada pada posisi kami. Mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan bule. Pulang pergi naik pesawat. Mungkin ada juga yang naik kapal laut. Tidak ada yang bisa naik pesawat di desaku kecuali orang-orang penting itu. Maka, dengan berbagai alasan itulah masyarakat desa kami menghormati para T
Musim hujan telah datang kembali sekian lama sembunyi. Mereka datang dengan lebih banyak diam. Menyirami tanaman yang mulai tumbang. Memberi kehidupan kepada tanah yang kian gersang. Kehidupan mulai baru lagi. Petani berangkat pagi, membawa benih jagung, menuju lereng gunung, sebagai tanaman utama masyarakat desa ini, selain padi. Mereka yang mempunyai sawah telah sibuk dengan padinya. Mencangkul.Musim hujan telah datang kembali setelah sekian lama hilang. Mendatangkan asa sekalian mendatangkan beberapa kekhawatiran. Kemarin, sekitar setengah empat sore, hujan datang deras. Berhenti satu jam kemudian. Setelah dua hari, berarti sekarang, belum ada hujan datang lagi.persiapan kayu bakar di dapur kian menipis. Berarti tugasku sekarang adalah mencari kayu bakar. Perlu kalian ingat, tiada kompor gas di sini, primitif. Kayu bakar menjadi sangat penting. Aku harus masuk hutan untuk mencari kayu. Tidak terlalu sulit, tidak terlalu jauh pula. Inilah yang aku suka dari Indonesia. Tiada rotan
Siang itu, pada tujuh bulan lalu, desa heboh dengan kedatangan salah satu calon lurah. Calon lurah itu mempromosikan dirinya. Dia janji ini-itu. Dan yang paling diingat warga adalah dia akan membangun gapura masuk desa kami.“Nanti kalau saya berhasil menjadi kepala desa, saya berjanji akan membangunkan desa ini gapura masuk. Agar apa? Agar desa ini menjadi seperti desa. Makam saja ada gapuranya, masa desa tidak ada?” begitu kanyanya kepada kami semua. Seluruh warga desa kami memilih Pak Khosir, calon kepala desa yang menjanjikan gapura itu. Entah seberapa kuat dukun yang dia sewa, hasilnya dia menjadi pemenang pemilihan. Apakah gapura sudah menjadi kenyataan? Aku rasa tidak akan, tidak akan pernah menjadi nyata. Itu hanyalah sebuah kalimat yang dia gunakan untuk membodohi kami.Isu panas berkeliaran. Warung kopi satu-satunya di desa kami membicarakan hal itu. Pos ronda malam juga demikian. Katanya, desa ini akan mengadakan semacam demo kepada lurah. Katanya lagi, lurah se
Akhir-akhir ini aku sering sedih tanpa sebab. Mana mungkin tiada sebab? Mungkin aku yang belum mengetahui penyebabnya. Binti? Biasa saja. Aku tidak sedih karena dia. Kayu bakar? Masih banyak di belakang. Bayam? Sudah tumbuh juga di belakang. Lalu apa yang seharusnya menjadi penyebab kesedihan ini?Aku memegangi buku yang diberikan Binti dua hari lalu. Indah, seperti yang memberi. Aku tidak tega mencoretnya dengan tangan berdosaku. Aku tidak tega melihatnya menjadi hitam. Akhirnya aku belum memberikan tulisan sama sekali kepada buku itu sampai saat ini.Aku membayangkan wajah Binti ketika memberikan buku itu. Dia sedikit tersenyum. Walaupun sedikit, rasanya seperti madu paling mahal. Manis sekali. Mungkin dia kasihan kepadaku yang putus sekolah.Sudah dua hari ini aku tidak melihat Binti lewat depan rumahku untuk berangkat sekolah. Satu hari karena hari Minggu. Dan hari Senin sengaja aku tidak menunggu dia di depan rumah. Aku memilih minum kopi bersama ayam di belakang rumah, tempatku
Dua bulan berjalan menyenangkan, sekaligus agak membingungkan. Berkali-kali aku datang ke toko milik ibunya Binti. Berkali-kali pula aku melihat senyum manisnya. Berkali-kali pula aku tidak dapat menyimpulkan, apakah isi hati ini perlu dikeluarkan. Jika tidak, aku takut akan membuat sesak. Lalu, satu sudut hatiku berpendapat bahwa beban harus tersampaikan.Sore itu, sekali dari berkali-kali datang ke toko Binti, aku berusaha sekuat jiwa dan raga untuk menyampaikan niat, bahwa aku mencintainya. Namun sepertinya saat itu gagal kembali. Bahwa aku akan merantau, meninggalkan desa ini untuk beberapa bulan. Bahwa aku mencintainya, dan berharap, atau lengkapnya meminta kepadanya untuk menungguku kembali. Bahwa cintaku hanya untuknya. Aku harap sebaliknya juga sama.Tapi apalah daya, bahwa aku yang mencintainya, sama sekali tidak mempunyai kuasa. Sore itu aku hanya membeli cabai hijau, dan juga merah. Pedas, seperti kehilangan senyum indah itu. Sore-sore yang lainnya, ketika mencari-cari alas
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj