Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.
***
“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.
Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.
Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Namun karena rambutnya panjang, dan dia suka hal-hal gaib, maka teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Jimat, hampir mirip dengan nama aslinya.
“Semua sudah siap!” teriak Dika dari belakang mobil, dia telah selesai menaikkan semua kebutuhan yang akan dibawa.
Brak...
Dika menutup keras pintu belakang mobil, semua kebutuhan telah dimasukkan.
“Ibu, aku berangkat dahulu!” pamit Misa kepada ibunya.
“Aku juga berangkat dulu, Tante!” ujar Aurel menyalami ibunya Misa.
“Oke, aku juga!” Jimat menyusul.
Dika telah duduk di balik kemudi, dia akan menjadi sopir selama semalaman penuh. Beberapa saat kemudian mesin mobil terdengar berteriak nyaring, mobil itu setengah tua namun terawat.
Berangkat dari Jogja menuju Ngawi setidaknya membutuhkan waktu sekitar tiga jam, itu pun jika perjalanan benar-benar lancar.
“Semoga selamat sampai tujuan!” ujar Misa dari kursi depan, ia duduk di samping Dika yang mengemudi.
“Amin!” Aurel menyahuti.
“Amin!” Jimat bersuara.
“Tidak terasa sebentar lagi kita akan wisuda. Tidak terasa empat tahun panjang menjadi mahasiswa.” Dika mengemudikan mobilnya dengan santai, 80km per jam.
“Iya, tidak terasa juga kita semakin tua!” sahut Misa.
Pukul setengah sepuluh mereka sampai di perbatasan Ngawi, beberapa ratus meter di depan sana mereka akan memasuki wilayah Ngawi. Jalanan gelap, sebentar lagi hujan akan turun, lidah api menyambar-nyambar di atas sana, gemuruh meledak-ledak.
“Buka g****e map, Misa!” perintah Dika kepada Misa.
“Siap!” sahut Misa, dia cekatan mengetikkan alamat tujuan yang diberikan oleh dosen pembimbing.
“Nah, pertigaan depan itu belok kanan!” ujar Misa memberikan aba-aba kepada Dika.
“Jangan sampai salah baca map, Misa!” Jimat dari belakang memperingatkan. “Nanti masuk sungai lagi!” Dia cengengesan. Yang lain tidak berniat untuk bercanda, lelah juga mengantuk.
“Belok kiri!” Misa sedikit mengantuk.
Lima belas menit pertama menggunakan map biasa-biasa saja. Namun beberapa menit kemudian hal aneh mulai terjadi. Lihatlah! Di depan sana ada sebuah gapura bertuliskan “Pemakaman Umum Desa Srikandi!”.
“Hai, Misa! Kenapa kita malah menuju makam?” Dika bertanya geram.
Jimat dan Aurel membelalakkan mata, kepalanya sedikit mendongak ke depan.
“Aku juga tidak tahu, aku hanya mengikuti map ini!” Misa beralasan menunjukkan mapnya.
“Coba kamu cek lagi!” ujar Dika.
Tapi tiba-tiba...
“Aaaa...” Misa berteriak. Sontak Dika menyalakan lampu dalam mobil.
“Kamu kenapa, Misa?” tanya Dika kebingungan.
“Kenapa?” Jimat mengangkat kepala lebih maju.
“Itu, walpaper aku berganti gambar pocong sendiri!” Misa menunjuk handphonenya yang terjatuh.
Dika tidak percaya, dia mengambil handphone Misa dan menyalakannya.
“Hahahha, kamu malah bercanda, Misa!” Dika tertawa keras. “Ini, mah, gambar Jimat lagi makan! Hahaha” Dika tertawa lagi.
Misa tidak percaya, ia menarik handphone itu dari tangan Dika, menyalakannya dan benar, itu adalah gambar Jimat sedang makan, mulutnya penuh dengan makanan.
“Benar, aku tidak bohong, jelas-jelas itu tadi gambar pocong!” ujar Misa masih tidak percaya dengan poto Jimat.
“Heh, itu tadi gambar Jimat.” Sekali lagi Dika meyakinkan.
“Tega amat kamu, Mis!” Jimat cemberut sebab Misa menyamakan dirinya dengan pocong.
“Ha... ha... hantu...” Tiba-tiba Aurel dari kursi belakang berteriak.
“Mana hantunya?” tanya Jimat antusias, dia tidak lagi cemberut.
Aurel tidak berani membuka mata, ia membenamkan matanya pada pangkuan. “Di sana!” Aurel menunjuk makam dengan tangan kanannya.
“Hahaha,” kali ini Jimat yang tertawa, “itu hansip lagi ronda, Rel!” katanya.
“Bukan, itu hantu!” Aurel tetap tidak berani membuka mata.
“Aurel, itu benar hansip lagi ronda!” ujar Dika dari depan. Misa menahan tawanya.
Barulah beberapa saat kemudian Aurel berani membuka mata, dan dia melihat bahwa itu adalah hansip makam, wajahnya seram.
“Apakah sudah menemukan jalan yang benar, Misa?” tanya Dika.
“Jangan sampai salah lagi!” Jimat mengingatkan.
“Iya, iya. Namanya juga manusia,” gerutu Misa tidak merasa bersalah.
Mobil memutar balik, Dika sedikit kesal dengan Misa.
Dalam perjalanan otak Misa sedikit ngeblank. Dia masih membenarkan apa yang dia lihat, bahwa walpaper handphonenya benar-benar gambar pocong, bukan Jimat. Lagi pula siapa yang mengganti walpaper yang sebelumnya gambar bunga menjadi gambar Jimat? Aneh, batin Misa.
“Mungkin hp mu sudah minta adik, Mis!” Dika memberikan kemungkinan terbaik.
“Belum, lah. Baru saja dua bulan lalu aku ganti hp ini,” Misa mengelak.
“Hp China, tuh!” Jimat berkomentar.
“Memangnya hp kamu apa?” tanya Misa sinis.
“Bercanda kali, Mis. Hp ku Asus, buatan Korea!” sahut Jimat.
“HA? Memangnya ada Asus buatan Korea?” Aurel angkat bicara.
“Sudah, sudah. Gitu saja jadi masalah!” Dika menyuruh mereka berhenti.
Jalanan gelap. Di depan sana tampak sebuah pertigaan yang di tengah-tengahnya ada ban besar. “Belok kanan,” Misa memberikan aba-aba.
“Yang benar?” tanya Dika menyelidik.
“Benar,” sahut Misa datar.
Pukul sepuluh malam, keadaan gelap dan sepi. Bahkan saat ini hujan, kaca mobil tertutup rapat.
“Nah, alamat ini menunjukkan rumah di depan itu,” seru Misa ketika melihat sebuah rumah di depan sana, samar-samar beradu dengan derasnya hujan, pandangan kabur.
“Kita akan menginap di rumah tua itu?” tanya Aurel tidak enak.
“Tidak apa-apa, yang penting sebentar lagi kita menjadi sarjana!” ujar Dika. Dia selalu teropsesi dengan hal-hal besar.
“Untunglah dari pada menginap di pemakaman,” ujar Jimat, matanya melirik Misa.
“Ih, kamu nyebelin banget, deh, Jim!” Misa menggerutu.
“Lagian kamu...” Suara Jimat terputus, dari depan sana tampak seseorang berjalan mendekati mobil, tidak menggunakan payung, rambutnya panjang, putih.
“Siapa dia?” tanya Misa entah kepada siapa.
“Kalau aku tahu pasti aku akan menjawab,” sahut Jimat, dia benar-benar menyebalkan malam ini.
Orang tua itu mendekat, dia berjalan dengan tongkat sebagai penopang, jalannya membungkuk. Orang tua itu semakin mendekat.
Tok... tok... tok...
Kaca mobil diketuk tiga kali dari luar. Dika ragu antara membukanya atau tidak. Jika dia membuka kaca, maka akan dipastikan jika air hujan akan masuk ke dalam mobil meski tidak banyak. Namun jika ia tidak membukanya, maka akan tidak sopan dengan orang tua itu.
“Buka aja, Dik!” Misa menyuruh.
Dika akhirnya membuka kaca mobil, hanya setengah.
“Haa..” Tiba-tiba Dika berteriak.
“Ada apa, Dik?” tanya Misa bingung.
“Tidak apa-apa, aku hanya kaget,” sahut Dika, lalu dia kembali menghadap orang di luar mobil. “Ada apa, Pak?” Dika memberanikan diri bertanya.
“Kalian sudah ditunggu di dalam rumah itu!” kata suara dari luar, suaranya serak. Ketika berkata ia memasukkan sebagian kepalanya ke dalam mobil, membuat Dika sedikit menarik kepalanya.
“Terima kasih,” ujar Dika demi sopan santun.
Tanpa menunggu lama orang tua itu segera pergi. Dika menatapnya dari spion mobil. Aneh, orang itu tiba-tiba saja menghilang, tanpa jejak.
“Tadi kamu kenapa, Dik?” tanya Misa lagi.
“Enggak, gak papa. Tadi aku kaget saja, mata orang itu hanya satu!” ujar Dika.
Tiga teman Dika tidak percaya. Aurel berkata, “Tidak, aku melihat matanya dua.”
“Iya, aku juga melihatnya dua,” sahut Misa. “Kalau kamu, Jim?” tanya Misa pada Jimat, ia menoleh ke belakang.
“Dua,” jawab Jimat singkat.
“Berarti aku yang salah lihat!” Dika mengalah, namun dalam hati ia tetap yakin bahwa mata orang tua bungkuk itu hanya satu, satunya lagi kosong.
Dika menginjak gas mobil, memasukkan mobil pada halaman rumah yang luas itu. Tampak dari dalam sinar kemerahan, dan itu adalah lampu minyak tanah. Desa itu belum ada listrik, masih menggunakan minyak tanah sebagai penerang malam.
“Ayo kita turun!” ajak Dika setelah mobil diparkirnya di bawah pohon beringin di tengah-tengah halaman. Tidak ada tempat parkir yang lebih baik dari itu. Mereka berlarian menuju teras rumah, menutupkan tas kecil pada kepala agar terhindar dari hujan. Air hujan muncrat-muncrat ketika mereka menginjaknya.
Di balik pintu mengintiplah seorang perempuan tua, mengawasi dengan mata waspada dan tidak suka.
“Jadi, apakah kami boleh menginap di sini, Kek?” tanya Dika pada seseorang yang rambutnya memutih, dia selalu tersenyum ramah kepada siapa saja.“Silakan, kami selalu terbuka untuk para pendatang, khususnya yang akan membawa kebaikan pada desa kami,” kata kakek dengan nada tuanya, suara serak, di jari-jari tangan kanannya terselip rokok lintingan panjang, asap tebal mengepul ketika ia mengeluarkannya.“Terima kasih,” kata Aurel ikut bahagia.Meskipun sederhana, sepi, dan sepertinya angker, tapi rumah itu telah menyambut mereka dengan ramah. Kecuali sang nenek yang sedari tadi belum mengeluarkan senyumnya, ia berkata datar tanpa senyum. “Itu ada dua kamar kosong, kalian bisa menggunakannya!”Jimat tidak sengaja menyahut, “Satu kamar untuk dua orang?”Buru-buru Misa menyumpal mulut Jimat, “Terima kasih, semoga kami betah,” Misa berkata.“Jika kalian tidak betah bisa
“Hai, kenapa malam-malam malah bikin orang kaget, sih?” gerutu Misa yang mengintip dari lubang pintu dan mendapati Dika di sana.Dika membuka paksa pintu kamar, dia terlihat buru-buru. Pintu kamar itu memang tidak dikunci, memang tidak ada kuncinya. Jadi, mudah saja bagi Dika untuk masuk.“Aku boleh tidur di sini, gak?” tanya Dika ketakutan.“Eh, kamarmu sendiri kenapa?” tanya Misa penasaran.“Aku takut. Aku tadi melihat hantu di jendala kamar, aku takut,” jawab Dika segera mendudukkan diri di atas dipan, di samping Aurel. Misa dan Aurel tidak bisa mengelak bahwa Dika melihat hantu, pasalnya mereka berdua juga sudah merasakan hal yang demikian beberapa saat lalu. Syukurlah, ternyata hantu yang dilihat Aurel hanya orang-orangan sawah dan hansip yang tengah berjaga.“Boleh, tapi di bawah,” ujar Misa. “Lalu bagaimana dengan Jimat?” tanya Misa.“Dia baik-
“Gorengannya berapaan, Bu?” tanya Misa pada ibu-ibu penjaga warung.“Seribuan!” jawab ibu tanpa memandang Misa, tangannya lamban menyiapkan kopi entah untuk siapa.“Wow, murah sekali, Mis,” ujar Aurel.“Menurutku sama saja,” sahut Misa sembari memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik putih. Sepagi ini gorengan sudah siap, dan masih hangat.“Sudah, bu, jadinya berapa?” tanya Misa.Ibu tidak mendengar, lalu Aurel mengulanginya lagi, “Berapa totalnya, Bu?” Dengan nada yang lebih keras. Sama saja, ibu penjaga warung itu tidak mendengar panggilan Aurel.Anehnya, ibu itu malah nyelonong pergi ke dapur, tanpa melihat Misa atau pun Aurel, mereka berdua kebingungan sendiri. “Hai, Bu!” Auerel setengah berteriak kembali memanggil.“Hus, sudah, Rel. Mungkin dia ke kamar mandi sebentar,” ujar Misa.Akhirnya mereka menunggu sembari duduk-dudu
Pukul satu siang akhirnya mereka sampai di rumah kakek tua. Mereka disambut dengan hidangan sederhana dan nenek marah-marah. “Dari mana saja kalian lama sekali?” “Maaf, Nek, kami dari pasar dan tadi di tengah hutan mobil kami bannya nancap di tanah.” Dika menjelaskan. “Sekarang kalian makanlah apa adanya!” perintah kakek dengan perhatian penuh. “Baik, Kek!” Jimat menyambut paling semangat. Misa bersungut-sungut melihat tingkah Jimat, masih tersisa marah di dalam hatinya. “Sudah, Mis. Marahnya dilanjut nanti saja, sekarang makan dulu,” bujuk Aurel dengan suara lirih, hampir berbisik di telinga kanannya. “Iya.” Mereka makan siang bersama, nenek dan kakek pergi ke belakang. Sebenarnya perut mereka belum terlalu lapar kembali. Hanya saja karena tadi di dalam hutan hampir satu jam, maka mereka merasakan sebuah kegabutan yang luar biasa. “Ini baru masakan organik.” Jimat berkomentar dengan mulut penuh makanan. Mereka makan de
“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” teriak Jimat dari balik selimut.Tubuhnya basah dengan keringat dingin, lehernya dicekik oleh tangan dingin dari belakang. Selimut telah hilang jatuh ke bawah, angin bertiup kencang membuka jendela kayu. Jimat berharap teman-temannya akan segera datang membantunya. Namun tangan dingin itu sekarang mengeratkan cekikan pada lehernya, sehingga dia tidak bisa berteriak sama sekali. Napasnya tidak beraturan, hidungnya disumpal oleh beberapa jari dari belakang. Tangan dingin semakin mengeratkan cekikan, Jimat mati-matian mempertahankan hidup dan berusaha bernapas.“Jangan, jangan bunuh aku! Aku mohon!” Jimat mengeluarkan suara seraknya, hampir tidak ada yang mendengar.Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, Misa datang membawa lampu putih ditangannya.“Pergi kau! Ini bukan waktunya untuk bermain-main!” ujar Misa. Sekejap, angin berhenti, terdengar suara hujan yang damai, jendela menutu
“Aku harap kita bisa memulai misi ini dengan kekompakan, agar cepat selesai dan mendapatkan hasil sesuai dengan harapan!” ujar Misa kepada teman-temannya di halaman rumah.Mereka membawa masing-masing tas punggung berisi segala peralatan dan kebutuhan. Pertama yang akan mereka lakukan adalah meninjau tempat peribadatan warga. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama adalah hal pokok yang menandai peradaban suatu bangsa, termasuk juga kepercayaan. Namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, mereka tidak melihat tempat ibadah sama sekali. Tidak ada masjid, tidak ada gereja, tidak ada tempat ibadah lain. Apakah desa itu tidak mengenal agama?“Iya, benar apa yang kamu katakan, Mis!” sahut Aurel. “Kita adalah sebuah tim yang harus menjaga kekompakan,” lanjutnya.Rencananya mereka akan mendatangi ketua RT untuk mencari keterangan singkat darinya. Misa memimpin perjalanan. Mereka sudah menanyakan rumah pak RT dari kakek, da
Keringat dingin mengucur dari pelipis Dika. Wajahnya pucat, kakinya masih merasakan sentuhan hantu yang dimaksudkannya.“Ada apa, Dik?” tanya Misa pelan, ia mendekati Dika yang berada di kursi seberang meja.“Hantu!” Dika menunjuk bawah meja dengan kedipan matanya.“Mana?” tanya Misa belum mengerti dengan isyarat Dika.“Di bawah meja,” sahut Dika cepat.Misa menurunkan pandangan, hampir saja dia memukul Dika karena tingkahnya.“Itu kucing, bagaimana, sih?” Misa sedikit geram dan marah.“Ha? Kucing? Jelas-jelas itu hantu!” Dika mengelak.Misa memaksa Dika menurunkan pandangannya dan melihat bawah meja. “Hantu...” terika Dika lagi setelah melihat bawah meja.“Astaghfirullah...” Misa berucap dan geleng-geleng kepala. Pak RT tertawa pelan melihat tingkah Dika.Benar, Dika memang melihat hantu di bawah meja itu, hantu yang t
“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.Dika teringat kata-kata nenek ke
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj