Part 2
Ucapan Kania hari itu selalu terngiang-ngiang. Beberapa kali ia berusaha menepis rasa curiga, yang sempat terlintas akibat ucapan rekan kerjanya tersebut.
Gak mungkin mas Bara mandul. Bukankah ia terlihat baik-baik saja dan memiliki sperma yang cukup bagus. Alice membatin dalam hatinya. Seraya mengungat-ingat kembali, saat dirinya berhubungan intim dengan sang suami.
Tiba-tiba sebuah suara khas mengejutkan dirinya, dan telah berada tepat di belakangnya.
"Wah, wah, ternyata begini toh kerjaan kamu saat sedang libur kerja. Lihat nih, rumah berantakan kaya gini tapi kamu malah leyeh-leyeh." Mariam tersenyum sinis ke arah Alice.
"Bu, kapan datang?" Alice segera menghampiri dan mencium tangan Mariam.
"Sudah dari tadi. Ibu ucapin salam, tapi kamu tidak juga menyahut. Akhirnya ibu langsung masuk saja." Mariam menjawab seraya menerima tangan Alice dengan ekspresi datar.
"Maaf Bu, aku sedang menyelesaikan pekerjaan. Besok ada event, jadi harus benar-benar dipersiapkan dengan matang." Alice tersenyum lalu mempersilahkan Mariam untuk duduk.
Tanpa ekspresi sedikit pun, Mariam langsung duduk di sofa pijat yang tersedia di pojok ruangan.
"Ibu mau refleksi dulu. Kamu nyalakan mesinnya." Titah Mariam, yang kemudian memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya membuka sebentar untuk melihat pergerakan tubuh Alice.
"Pantas saja kamu belum bisa punya anak. Lah wong mikirin kerjaan terus, bukan mikirin gimana caranya punya anak!" cetus Mariam santai.
Alice hanya tersenyum, ia sudah tidak kaget lagi dengan ucapan sang ibu mertua. Bahkan, ia selalu mempersiapkan telinganya untuk mendengar cacian Mariam setiap bertemu dengannya.
"Kalo dibilangin kok malah senyum-senyum. Kamu tuh mikir kenapa sih, Lice! Ibu malu loh, kalo dengar omongan tetangga di rumah. Lihat kakaknya Bara, baru nikah tiga tahun saja, sudah punya anak dua." Mariam terus saja bicara, sambil menikmati pijatan pada kursi yang di dudukinya.
Ya beda dong, Bu. Kan kalo mbak Anisa nabung duluan, makanya bisa punya anak dua dalam waktu tiga tahun pernikahan. Alice menggumam seraya meletakkan teh manis hangat di atas meja.
"Kamu bilang apa barusan? Ibu ndak dengar." Mariam membuka matanya dan mengarah ke tempat Alice duduk.
"Ndak apa-apa, Bu. Cuma bilang silahkan di minum tehnya." Alice kembali tersenyum dan menatap ke arah Mariam.
"Oh, nanti sajalah minumnya. Ibu mau pijat dulu." Mata Mariam kembali terpejam usai mengatakan hal tersebut. Hatinya selalu kesal dengan sikap Alice, yang begitu tenang saat di sindir perihal kehamilannya.
"Kamu sudah ke dokter lagi?" tanya Mariam selang beberapa menit kemudian.
Alice yang tengah serius menatap layar laptopnya langsung menoleh dan menjawab, "Sudah Bu."
"Apa kata dokter?"
"Mas Bara di suruh hadir juga dalam pemeriksaan."
"Loh, kenapa bawa-bawa Bara? Kan bukan dia yang hamil?!" Mariam bertanya dengan wajah kesal.
"Kalau dalam keterangan dokternya, kedua belah pihak harus ikut diperiksa, Bu. Bukan salah satu saja." Alice menimpali pertanyaan Mariam, dengan menatap lekat wajah wanita paruh baya tersebut.
"Aah! Itu sih bisa-bisaan kamu, bilang saja minta ditemani ke dokter. Dasar manja!" cetus Mariam seraya memejamkan matanya kembali.
Alice hanya tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Meski dalam hatinya selalu terasa sakit, setiap habis mendengar ucapan Mariam, namun ia tetap sikapi dengan senyuman.
"Kalau sampai tahun depan kamu belum juga hamil, Ibu mau jodohkan Barana dengan anak sahabat sekolah Ibu dulu. Dia seorang janda, baru punya anak berusia lima tahun. Cantik, pekerja kantoran, dan yang pasti bisa memberikan keturunan untuk Barana. Tidak seperti kamu!" Mariam kembali berkata, namun kali ini penuh dengan penegasan.
Alice yang mendengar ucapan Mariam barusan, segera mengalihkan pandangannya dari laptop. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat sesak dan tak berdaya, bagaikan dihantam palu dari berbagai arah dan meluluh lantakan pertahanannya selama ini.
Senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya, adalah perisai diri agar ia terlihat baik-baik saja meskipun dicaci dan dihina seperti apapun. Akan tetapi kali ini, perisai itupun telah hancur dan sirna.
Tangisnya pun sudah tak tertahan lagi. Alice segera berlari menuju kamarnya, mengabaikan teriakan dari Mariam yang tengah tersenyum sinis.
Biar mikir tuh anak! Di diamkan bertahun-tahun, gak mikir juga. Dia pikir aku gak malu apa, setiap arisan pada menanyakan kondisinya! Mariam menggumam sambil menikmati pijatan di kursi refleksi tersebut.
Matanya kembali terpejam dan mengingat pertemuannya dengan Indah beberapa waktu lalu. Senyum menghiasi bibirnya yang tebal, karena mengingat ucapan sahabatnya itu.
"Mar … gimana kabarnya putramu, Bara? Sudah hamil belum istrinya?" Indah bertanya sambil menyesap es teh manis di hadapannya.
"Belum Ndah, gak tahulah aku harus apalagi. Padahal mereka sudah ke dokter manapun dan belum membuahkan hasil juga." Mariam menjawab pertanyaan sahabatnya dengan wajah belagak bersedih.
"Lah terus dokter bilang apa?"
"Ya katanya mereka berdua baik-baik saja. Tapi ya begitulah, tetap saja belum dikaruniai anak. Aku jadi pusing dan malu, Ndah." Mariam memasang mimik sedih dihadapan sahabatnya.
Sebenarnya sejak dulu Mariam menginginkan Barana menikah dengan putrinya Indah. Tapi apa daya, Barana menolak dan memilih menikah dengan Alice.
"Coba kalau dulu dia nikah dengan Sarah, pasti sekarang udah bahagia hidupnya!" cetus Mariam melirik ke arah Indah.
"Sayangnya, Sarah pun sudah bahagia dengan pilihannya sekarang." Mariam kembali menambahkan ucapannya. Ia ingin melihat ekspresi sahabat, yang telah lama tidak bertemu dengannya itu.
"Mar … kamu tahu tidak? Sebenarnya Sarah sudah berpisah dengan suaminya sejak setahun lalu. Suaminya ketahuan berselingkuh dan telah mempunyai anak dari selingkuhannya tersebut." Wajah sedih Indah mulai terlihat saat menceritakan kehidupan putrinya.
"Astaghfirullah … kasihan Sarah. Coba jika dia menikah dengan Barana, pasti tidak akan mengalami hal seperti itu." Mariam segera memeluk Indah dan menghiburnya.
Indah hanya tersenyum sesaat sebelum akhirnya ia memiliki sebuah ide untuk Sarah dan Barana.
"Mar, kita nikahkan saja Barana dengan Sarah. Putramu tidak harus bercerai dengan istrinya, cukup jadikan Sarah istri kedua. Bagaimana menurutmu?" tanya Indah dengan tatapan penuh harap kepada Mariam.
Mariam yang mendengar ide Indah segera menyetujuinya. Ia pun segera memeluk sahabatnya kembali dan berkata, "Tapi kita jangan tergesa-gesa dulu, Ndah. Beri waktu pada mereka untuk saling dekat kembali. Aku pun sekalian memberi ultimatum kepada menantuku, agar ia berpikir."
Indah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua kemudian tertawa lepas, membayangkan kelak kedua anak mereka benar-benar menikah.
**
Sejak mendengar ucapan Mariam beberapa hari lalu, hati Alice berubah menjadi penuh curiga kepada suaminya. Terlebih jika Barana tidak memberinya kabar sama sekali jika sedang berada di kantor atau di luar rumah.
Tangisnya kembali pecah, mengingat semua hal yang ia alami. Tak ada tempat baginya untuk bercerita, perihal rencana sang ibu mertua.
Alice bukanlah tipe yang mudah percaya dengan orang lain. Alhasil ia pun menghabiskan waktu sendirian dengan menangis dan meratapi hidupnya.
***
Part 3"Alice … ada apa? Kuperhatikan sejak beberapa minggu ini, kamu berubah. Lebih banyak diam dan melamun. Ada masalah apa? Apakah masih masalah yang sama?" Kania mencecar Alice dengan banyak pertanyaan, semenjak ia melihat Alice berubah sikapnya.Alice yang posisi duduknya membelakangi Kania, tidak menjawab apapun. Wanita cantik itu masih terdiam seribu bahasa.Kania yang memperhatikan Alice sejak beberapa minggu terakhir ini, ikut merasakan ada yang tengah dirasakan dan dialami oleh rekan kerjanya tersebut. Alice menjadi lebih banyak menyendiri dan jarang tersenyum seperti dulu.Senyum manis yang biasa menghiasi bibir tipis Alice, tak lagi nampak terlihat. Beberapa rekan kerja mereka pun bertanya-tanya, namun sungkan untuk menanyakan langsung kepada Alice."Lice, kamu baik-baik saja kan?" Kania kembali bertanya. Kali ini nada suaranya setengah berbisik, seraya membelai bahu Alice.Tiba-tiba Kania terkejut manakala merasakan tubuh Alice berguncang.Ia pun segera membalikkan tubuh
Part 4Usai mendengar cerita bu Urip, Alice pun segera pulang. Ia tak ingin lagi berlama-lama di situ. Tujuannya sekarang adalah ke rumah Kania, sahabatnya.Alice tidak lagi memperdulikan waktu yang telah semakin beranjak larut malam. Suara deru motornya tenggelam, bersama suara bising kendaraan lain yang masih berada di jalan raya. Tadi Alice sempat menitip pesan pada Kania. Ia tidak memperdulikan sahabatnya itu membalas atau tidak. Terpenting baginya saat ini adalah ia butuh tempat untuk berbagi.Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, akhirnya membuat ia tiba di sebuah perumahan yang cukup luas. Awalnya ia merasa sungkan untuk meneruskan niatnya. Akan tetapi, setelah membuka ponselnya dan membaca balasan pesan dari Kania yang berisikan[Datanglah, Lice. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Kutunggu sekarang ya.] Dirinya pun tersenyum lalu segera melajukan motornya masuk, ke dalam perumahan tersebut dan langsung menuju ke rumah Kania.Rumah minimalis berwarna putih bersih
Part 5Kania menatap tajam ke arah Alice, yang memandang sendu ke arahnya. Meskipun Alice adalah atasannya di kantor, namun karena mereka telah bersahabat sejak keduanya baru memasuki kantor tersebut, sehingga tidak ada lagi jarak antara keduanya.Melihat tatapan mata Alice, membuat Kania kembali menghampiri dan duduk di sisi ranjang tempat Alice terbaring."Jawab Lice. Siapa wanita itu?" tanya Kania penasaran."Orang yang pernah aku ceritakan kepadamu waktu itu. Yang akan dijodohkan oleh ibu mertuaku …." Alice kembali memalingkan wajahnya dan membiarkan Kania mengurut-urut dahinya yang tidak pening. "Dia pikir sekarang jaman Siti Nurbaya kali ya? Terus Barana mau gak sama perempuan itu?" selidik Kania penasaran."Entahlah. Aku tidak pernah membahasnya dengan mas Barana. Selama ini tidak pernah sedikitpun kutanyakan perihal wanita itu. Aku bersikap seolah-olah tidak mengetahui semuanya." Alice menjawab pertanyaan Kania dengan suara tercekat."Kamu terlalu penakut Lice." Kania menimpa
Part 6 Barana memperhatikan sosok Alice dari kejauhan. Matanya terlihat penuh harap, seolah ada yang ia inginkan dalam hatinya. Alice tersenyum menghampiri mobil sang suami. Keduanya memang janjian untuk menjenguk keponakan Barana yang tengah terbaring sakit di rumah sakit. "Hai Mas, sudah lama menunggu?" tanya Alice seraya mencium tangan Barana dengan takzim. "Aku baru saja tiba kok. Kita jalan sekarang ya, takut kemalaman." Barana mencium kening Alice dan bersiap di belakang kemudinya. Alice hanya menganggukkan kepala, lalu mengenakan sabuk pengamannya. Mobil berwarna putih itu pun mulai melaju, meninggalkan parkiran kantor dan juga seseorang yang sejak tadi mengamati mereka berdua. 'Syukurlah jika hubungan mereka mulai membaik. Semoga kebahagiaan menyelimuti rumah tangga mereka.' Kania membatin sambil memperhatikan mobil berwarna putih itu pergi dari hadapannya. Usai kejadian beberapa minggu lalu di ruang meeting, keduanya memang sudah jarang bertegur sapa. Hanya untuk uru
Part 7Bujukan dan juga rayuan dari Barana akhirnya meluluhkan hati Alice, untuk meminjamkan uang tabungannya bagi pengobatan Janis.Bukannya berterima kasih, Bram dan juga istrinya, Anisa malah berkata jika sebenarnya uang pinjaman tersebut jauh dari kata cukup. Alice hanya terdiam, saat ia mendengar ucapan kedua kakak iparnya. Dalam hati ada penyesalan karena telah membantu keduanya. Tetapi saat ia melihat kondisi Janis, rasa sesal itu mendadak menguap begitu saja."Lice … bisa tambahin tidak uang pinjamannya? Nanti Mas ganti setelah penjualan tanah di daerah S laku." Bram mencoba membujuk Alice, sambil menghitung uang yang baru saja di serahkan oleh adik iparnya tersebut.Belum sempat Alice menjawab, tiba-tiba terdengar ponsel Bram berbunyi, ternyata sebuah pesan masuk dari Mariam. [Bram, jangan lupa yang lima juta untuk Ibu. Kamu titip Anisa nanti ya!][Iya Bu … nanti aku titipkan ke Anisa. Sekarang masih ada Alice di sini.] Bram segera membalas pesan dari Mariam.Annisa menoleh
Part 8Usai keributan di malam itu, Alice mendiamkan Barana. Bukannya membujuk atau meminta maaf kepada sang istri, pria itu malah tetap bersikukuh dengan pembenarannya. Barana tidak mengetahui jika saat itu Alice telah mengetahui semuanya. Kemarahan Alice kian memuncak, manakala operasi Janis berjalan gagal. Gadis kecil itu kehilangan banyak darah dan meninggal dunia pasca operasi. Bram dan juga Anisa malah menyalahkan Alice, karena tidak membantu meminjamkan uang kembali kepada mereka. Sehingga tidak dapat memberirkan pengobatan yang layak untuk Janis.Ingin rasanya Alice berteriak dan mengeluarkan semua yang ia ketahui selama ini. Namun karena masih suasana duka, Alice pun menahan diri untuk tidak berkomentar apapun.Saat pemakaman, Alice tidak diperbolehkan mendekati area pemakaman. Ia memilih melihat dari kejauhan dengan hati menahan perih dan juga rasa sakit hati.Air matanya tiada henti menetes. Membasahi pipinya yang halus dan lembut, serta sedikit tirus. Ya, sejak ia selalu
Part 9Usai kejadian malam itu, Barana semakin perhatian kepada Alice. Ia tidak ingin kejadian dimana Alice mencoba bunuh diri menggunakan pecahan gelas, kembali terjadi.Meski berulang kali sang ibu mengatakan bahwa itu hanyalah akal-akalan Alice, namun ia tetap mengkhawatirkan hal itu."Kita ke dokter ya?" Barana bertanya sekaligus meminta kepada Alice dengan sangat.Alice menggelengkan kepalanya perlahan, menolak permintaan Barana barusan. Baginya semakin hari, dirinya semakin tidak bersemangat menjalani hidup. Hal itu dikarenakan rasa penyesalan atas kematian Janis, keponakan Barana. Meski akal sehatnya terkadang mengingatkan akan sikap dan perlakuan kedua orang tua Janis, namun tetap saja rasa penyesalan itu selalu menghantui dirinya.Barana membelai pucuk kepala Alice dengan lembut. Kemudian pria itu berkata, "Apa yang kamu pikirkan?"Alice kembali menggelengkan kepalanya. Ia menatap ke arah jendela kamar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah sang suami."Alice …
Part 10Keberadaan Atun di rumah Alice cukup membantu. Tidak jarang gadis itu suka meminta para tamu yang datang menjenguk Alice untuk tidak berlama-lama berada di rumah itu. Atun juga mengatakan bahwa majikan perempuannya itu masih membutuhkan waktu untuk beristirahat agar cepat pulih dari sakitnya.Setelah berada di rumah hampir dua minggu lamanya, kesehatan Alice pun kembali pulih seperti sedia kala.Hari ini adalah hari pertama Alice masuk kantor. Selama di rumah dia juga sempat menolak kedatangan Kania dan juga beberapa rekan kerja lainnya yang datang menjenguk.Saat itu yang ia butuhkan hanyalah ketenangan dan juga beristirahat dengan nyaman, tanpa ada yang mengganggunya sama sekali. Kedatangan Bram dan Anisa ke rumahnya juga sempat ia tolak beberapa kali. Sehingga memicu pertengkaran kembali di antara mereka bertiga.Akan tetapi Alice mengacuhkan hal tersebut. Baginya, dukungan dari Barana adalah yang paling utama dan ia butuhkan.**"Tun, kami berangkat kerja dulu. Kalau ada
Part 24Rintihan suara kesakitan terdengar begitu jelas di telinga Barana, sehingga membuatnya penasaran ingin melihat siapakah yang baru saja masuk ke ruang UGD tersebut. Namun sayangnya, Mariam pun tengah membutuhkan dirinya."Dok … tolong anak saya, Dok!" seru suara di sebelah ranjang Mariam, yang hanya terhalang oleh tirai.Barana tersentak kaget saat mendengar suara itu. Suara yang tidak begitu asing di telinganya, yang membuat hatinya tergelitik untuk mengetahui orang tersebut."Mama Indah!" Barana tersentak kaget, saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut."Barana?!" Indah pun tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang memanggilnya."Siapa yang sakit, Ma?" tanya Barana khawatir."Kamu sendiri ngapain di sini?" Indah malah balik bertanya pada menantunya."Ibu terkena stroke, Ma. Tadi mendadak pingsan di rumah." Barana menoleh ke arah ranjang Mariam."Ya Allah Mariam … terus bagaimana keadaan ibumu sekarang?" tanya Indah.Barana kemudian menceritakan kepada Indah, semua ucapan
Part 23Perceraian Alice dengan Barana sudah melewati waktu hampir satu tahun. Devan yang pada akhirnya mengetahui status Alice, mencoba memberi sinyal kepada wanita itu agar mau menerimanya. Namun sayang, rasa trauma dan juga takut akan mendapatkan perlakuan yang sama, membuat Alice masih mempertimbangkan semuanya.Hingga suatu hari Kania menghubungi dirinya. Nada bicaranya seolah terdengar sedikit sedih. Namun Alice berusaha untuk tidak terpengaruh."Devan sudah cukup lama menunggu kepastianmu loh, Lice," ungkap Kania."Siapa yang menyuruhnya untuk menungguku, Nia?" Alice malah membalikkan pertanyaan."Alice … tolonglah! Jangan biarkan rasa takut itu terus menghantui dirimu seumur hidup. Dokter telah menyatakan kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Ayolah Lice, buka matamu! Di luar sana, ada seorang pria yang masih menunggumu dengan sabar dan setia!" cetus Kania sedikit kesal.Alice terdiam. Pikiran melayang kepada pria yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Devan, pria tampan juga mapa
Part 22Pertengkaran terus mewarnai kehidupan Barana dengan Sarah. Terlebih pasca dirinya bercerai, sikap wanita itu malah semakin menjadi. Bahkan kali ini Sarah menuntut agar ia dinikahi secara negara.Sarah yang memang berniat menuntut harta gono-gini milik Barana, mencoba mendatangi Alice ke rumahnya. Kedatangannya bersama Mariam tersebut tanpa sepengetahuan Barana, namun sayangnya wanita itu telah pindah rumah. Amarah Mariam pun meledak, saat mengetahui Alice telah menjual rumahnya tanpa memberikan uang sepeser pun kepada Barana.Wanita paruh baya itu pun mencoba mencari dimana Alice tinggal sekarang. Namun hasilnya nihil, karena tidak seorangpun yang ingin memberitahukan keberadaan Alice.Sebenarnya rumah itu dibeli oleh Devan, bukan dengan orang lain. Karena saat Alice ingin menjualnya, ia merasa kesulitan karena lama terjual. Alice pun tidak tahu, jika rumah itu dibeli oleh Devan. Karena semua urusan jual beli tersebut di urus oleh asisten pribadi pria itu. Devan memang seng
Part 21"Suami kamu?" tanya Devan singkat."Akan menjadi mantan suami," sahut Alice acuhDevan tersenyum mendengar ucapan Alice. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan makan siang, dan mengabaikan kejadian barusan.Alice yang melihat sikap acuh Devan atas kejadian tadi hanya tersenyum. Setidaknya ia tahu bagaimana karakter Devan, jika menghadapi suatu masalah."Apakah itu istri keduanya?" tanya Devan lagi, diselimuti rasa penasaran.Alice hanya menganggukkan kepala tanpa berkata-kata. ia tetap menikmati makan siang kesukaannya tersebut. Seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Devan barusan."Apa kamu mengetahui pernikahannya tersebut?" selidik Devan."Tahu dan aku mengijinkannya." Alice menimpali ucapan Devan dengan santai.Sikap Alice tersebut membuat Devan terkejut, sebelum akhirnya kembali tersenyum. Ia sudah membayangkan, bagaimana sabarnya Alice dalam menjalani rumah tangganya."Hey Van, lanjutkan makanmu. Kok malah bengong?" ledek Alice melihat pria itu terus menatap
Part 19Kejadian hari itu menyisakan trauma yang mendalam bagi Alice. Sejak saat itu gerbang rumahnya di gembok, dan melarang siapapun masuk ke rumah tanpa ada janji dengannya.Kania yang sempat mendengar pertengkaran antara Alice dengan Mariam pun jadi mengetahui jika ternyata sahabatnya itu telah mengajukan gugatan cerai.Akan tetapi Kania berpura-pura tidak mengetahui sampai Alice menceritakan sendiri kepada dirinya. Devan pun sudah beberapa kali menghubungi Kania dan menanyakan perihal sahabatnya tersebut, namun ia menutupi dan meminta Devan untuk mencari tahu sendiri perihal Alice."Tega kau, Nia! Masa sama teman sendiri gak mau kasih kisi-kisi." Suara bariton Devan terdengar kecewa dari seberang sana.Kania hanya tertawa mendengar ucapan teman semasa kuliahnya itu."Lebih baik kamu cari tahu sendiri deh, Van. Kurang seru kalo dari kisi-kisi." Kania menggoda Devan."Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku sih? Cukup bilang dia ada suami atau tidak, simple kan?" Devan terus
Part 18Makan malam pertama yang terjadi antara mereka, menyisakan kesan yang mendalam. Gaya Devan yang santai dan acuh, jauh dari kesan seorang CEO terkenal. Justru membuat Alice semakin tertarik untuk mengenal pria itu lebih dekat.Gelak tawa selalu terurai dari bibirnya di malam itu. Sehingga membuat Kania senang, melihat wajah sahabatnya begitu bahagia.Sebenarnya Kania tahu jika Alice akan mengajukan gugatan cerai. Namun ia sungkan untuk menanyakannya lebih jauh lagi, karena tidak ingin dianggap mempengaruhi keputusan Alice untuk bercerai dari Barana.Malam itu rona bahagia terus menggelayuti wajah cantik Alice. Bahkan saat Devan memutuskan untuk mengantarkannya pulang pun, Alice tidak menolak sama sekali. Kania yang sadar diri, menolak pulang bersama mereka. Ia beralasan di jemput oleh sang suami dan akan langsung menuju rumah orang tuanya.Devan dan Alice percaya dengan alasan Kania. Keduanya lalu pulang bersama menggunakan mobil Alice, diikuti oleh asisten pribadi Devan yang
Part 17Malam itu acara reuni semasa Kania kuliah begitu meriah. Pertemuan pertama kali usai wisuda 10 tahun lalu, membuat perempuan itu menikmati acara malam ini.Sebenarnya acara reuni pernah diadakan 5 tahun lalu pasca kelulusan mereka, namun Kania yang tengah sibuk bekerja berhalangan hadir."Kenalkan Devan. Jomblo akut di kampus kami, Lice." Gelak tawa Kania terdengar, saat memperkenalkan pria tampan bernama Devan kepada Alice.Alice mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Kemudian ia menjawab, "Alice … rekan kerja Kania." Senyum manis yang sontak membuat Devan langsung terpana, dan ingin mengenal lebih lanjut sosok perempuan cantik di hadapannya saat ini "Wah … wah … gak bener tuh! Dia bukan rekan kerja aku, melainkan atasan di kan—" Kania segera menghentikan ucapannya, manakala Alice menyenggol lengannya.Devan membalas senyum Alice. Kemudian ia kembali berkata,"Masih single atau sudah men—""Otewe single!" Kania memotong ucapan Devan, tanpa memperdulikan ekspresi wajah Alice
Part 16Semenjak pertengkaran hebat antara dirinya dengan sang suami beserta keluarganya, Alice tidak pernah lagi bertemu dengan mereka.Bahkan akses Alice untuk menemui Barana di kantornya pun dipersulit. Seolah-olah dalam masalah ini, semuanya adalah kesalahan Alice.Hingga suatu hari Alice mendapatkan kabar dari bawahannya, jika bertemu dengan Barana di gedung pengadilan agama."Sepertinya pak Barana ingin mengajukan gugatan perceraian, Bu," ujar sang anak buah kepada Alice.Alice terdiam sejenak. Hal yang sempat terlintas dalam benaknya beberapa waktu lalu, kini kembali muncul."Kamu yakin jika pak Barana hendak mengajukan gugatan tersebut?" tanya Alice menyelidik."Sangat yakin, Bu. Karena saat pak Barana mencari info di tempat itu, saya terus membuntutinya tanpa sepengetahuan beliau." Sang anak buah meyakinkan dirinya, jika apa yang didengarnya tidak mungkin salah."Baiklah jika begitu. Terima kasih atas informasi yang telah kau berikan." Alice kemudian segera menghubungi pengac
Part 15Kedatangan Alice ke acara pernikahan suaminya mengejutkan banyak orang yang hadir di sana. Terlebih saat Alice memberikan ultimatum, jika keduanya tidak bisa tinggal di rumah yang saat ini ditempati oleh dirinya. Hal itu dikarenakan rumah tersebut adalah murni hasil dari jerih payahnya sendiri sebelum menikah.Ia juga menjelaskan jika pernikahan kedua Barana sudah seizin dirinya. Bahkan saat Mariam meminta mahar sebesar 50 juta pun, dirinya mengetahui dan menolak untuk membantunya.Barana hanya menunduk menahan malu. Ia tahu jika saat ini Alice tengah marah besar dengan semua ini. Penghasilannya yang hanyalah seorang SPV di sebuah perusahaan property, sangat tidak sebanding dengan penghasilan Alice yang merupakan seorang Manajer di sebuah perusahaan kontraktor. Mariam menahan diri untuk tidak emosi, ia tertunduk lesu dan malu. Sesekali dirinya melirik ke arah Indah yang mimik wajahnya dipenuhi dengan rasa terkejut.Wajah Sarah yang sedari tadi sumringah atas pernikahannya, m