Aku terbangun di tempat yang aneh. Ruangan ini terlihat seperti kamarku, tapi ada yang salah. Warna dinding terlihat pucat dan kelabu, seperti diambil dari dunia yang kehilangan semua kecerahan. Suasana sepi dan menekan membuat napasku sesak. Aku mulai sadar... ini bukan kamarku di dunia nyata. Dunia arwah!Di tengah-tengah suara gemuruh dunia ini, samar-samar kudengar suara percakapan dari lantai bawah. Suara itu seperti suara Om Dimas dan Farid, berbicara pelan tapi terpotong-potong. Rasa ingin tahuku memaksaku bergerak. Aku melangkah keluar kamar dan berjalan di sepanjang lorong rumah yang serasa lebih panjang dan gelap dari biasanya.Ketika sampai di atas tangga, aku berhenti sejenak dan menatap ke bawah, berusaha melihat asal suara. Ruang televisi di lantai bawah tampak suram, hanya disinari oleh cahaya redup dari jendela yang tertutup debu tebal. Tapi... ada sesuatu yang lebih mengerikan daripada kegelapan ruang itu.Di sana, duduk di sofa ruang televisi, tampak sosok dengan tub
Dari balik pepohonan, aku mendengar suara langkah ringan mendekat. Sebelum aku sempat berlari lebih jauh, tiba-tiba aku melihat sosok seorang wanita paruh baya muncul dari antara dedaunan yang gelap. Wajahnya tenang, dengan senyuman samar yang anehnya terasa begitu akrab. Pakaian tradisional yang dikenakannya membuatnya tampak seperti berasal dari masa yang berbeda, seakan-akan dia bukan bagian dari tempat ini."Kamu Agas?" tanyanya dengan suara lembut. Jantungku berdegup kencang mendengar dia menyebut namaku."Maaf, kita... pernah bertemu?" tanyaku, bingung, sambil mencoba mengingat-ingat wajahnya.Dia tertawa kecil, menggeleng pelan. "Kamu tidak perlu tahu siapa aku sekarang. Ayo, ikut aku. Di pondokku, kamu akan lebih aman. Pria yang mengejarmu tidak akan berani mendekat ke sana."Meski hatiku masih ragu, ada sesuatu dalam caranya berbicara—suara lembutnya yang entah kenapa terasa menenangkan—yang membuatku ingin mengikutinya. Lagipula, aku memang tidak punya pilihan lain saat ini.
Perjalanan menuju kantor polisi terasa seperti sebuah misi penting yang tak boleh gagal. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada sosok asing yang membuntuti. Aku dan Ralph hanya bisa saling mempercayakan punggung satu sama lain, berharap bisa sampai di sana tanpa ada rintangan tambahan.Sesampainya di kantor polisi, udara di sekitar terasa sedikit lebih ringan, namun ketegangan masih menggantung di antara aku dan Ralph. Kantor polisi itu sepi, hanya ada beberapa petugas yang berjaga di meja depan. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan wajah yang sudah kami kenal.Tiba-tiba, dari lorong, Inspektur Bobby muncul dengan langkah santai, mengenakan seragam lengkap dan raut wajah serius yang khas. Dia tampak terkejut melihat kami berdiri di depan ruang kerjanya."Agas? Ralph? Apa yang kalian lakukan di sini malam-malam?" tanyanya dengan nada penuh tanya, sambil berjalan mendekat. Suaranya berat dan mengintimidasi, seperti biasa.Aku hendak membuka mulut untuk menj
Aku tiba di rumah dan merasakan suasana yang lebih sunyi dari biasanya."Ibu!" Aku berteriak.Tak ada jawaban, hanya keheningan yang terasa aneh menyelimutiku. Seisi rumah seakan menyimpan rahasia yang tertahan di dalam dinding-dindingnya.Aku menghela napas, lalu memutuskan untuk naik ke loteng, tempat aku mendapatkan kekuatanku.Aku melangkah menuju salah satu kotak di sudut, perlahan membukanya, dan mataku segera menangkap benda yang kucari—pluit ayah. Aku meraihnya dan menggenggamnya di tangan. Pluit itu terasa dingin, tapi juga membawa rasa hangat dari kenangan masa lalu."Ayahku dibunuh olehnya, bukan bunuh diri."Aku menggenggam pluit itu erat-erat. Aku menarik napas dalam-dalam, berharap bisa mengungkap kebenaran.Saat itu, adalah momen aku untuk berani. Mumpung orang itu sedang tidak ada. Aku akan memasuki ruangan itu.Aku memeriksa setiap sudut ruangan, mencoba mengingat di mana Om Dimas mungkin menyembunyikan kunci ruangannya. Pikiranku berpacu, mengaitkan setiap kenangan k
Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari ruangan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan. Setelah pintu tertutup kembali, aku menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega."Jadi lo udah tahu semuanya?"Aku membeku di tempat, perlahan memutar kepala ke arah suara itu. Farid berdiri bersandar di tembok, kedua lengannya menyilang, matanya menatapku tajam. Ekspresinya sulit ditebak, tapi ada sesuatu dalam pandangan itu yang membuat bulu kudukku meremang."O-oh, Farid," suaraku hampir bergetar, berusaha mencari alasan dalam kepanikan. "Aku... aku cuma..."Dia menyeringai tipis, seakan sudah tahu persis apa yang kulakukan di dalam ruangan Om Dimas."Sesuai dugaan gue. Lu tuh cuma parasit yang bakal ganggu kehidupan Om Dimas dan gue." Ia melangkah perlahan menuju diriku. Tatapannya begitu mengintimidasi.Keringat melanda tubuhku. Aku melangkah mundur perlahan dengan penuh rasa takut. "Tapi, lu udah tau kan, siapa Om Dimas yang ada di rumah kita?"Sekejap, Farid menyambar lehe
Akhirnya kami tiba di kantor polisi. Aku sangat lega melihat pada akhirnya ini akan berakhir.Sayangnya, aku dan Ralph melihat sesuatu yang tak kami duga. Mobil-mobil polisi berjajar di depan kantor, lampu birunya berputar tajam menerangi langit malam. Ambulans terparkir di samping gedung, petugas medis hilir mudik, dan kerumunan petugas kepolisian tampak sibuk, beberapa di antaranya bercakap serius dengan wajah tegang.Aku dan Ralph bertukar pandang, terheran-heran."Ada apa ini?" Ralph bertanya, suaranya bergetar tipis di tengah kekacauan di sekeliling kami.Aku menggeleng, sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Langkah kami cepat menuju pintu masuk, namun sebelum kami bisa masuk lebih jauh, seorang petugas polisi dengan cepat menghampiri dan menghentikan kami. "Maaf, ini area terbatas untuk sementara," katanya, wajahnya tampak cemas."Kami harus ketemu Inspektur Bobby! Ini soal kasus penting!" aku berkeras, menunjukkan setumpuk foto bukti yang kami bawa.Polisi itu menundukk
Bila kita meninggal, tubuh akan kehilangan massa tubuh sebesar 0,02 kilogram. Bagian yang hilang itu kita sebut sebagai "Remnant."-Dr. Duncan MacDougall, 1907________________________________________________________________________________Aku dan Ralph sampai di rumah Dave. Untunglah Ralph yang belum kehilangan tenaganya masih setia mengantarku.Aku melihat Dave sedang mojok di luar rumah, sedangkan ini sudah pukul sepuluh malam."Agas? Ralph?" tanya Dave.Aku tersenyum lelah, berjalan mendekati Dave yang menatap kami dengan heran."Iya, ini kita," jawab Ralph, mencoba menggodanya. "Elo berdua pacaran tengah malem gini. Mentang-mentang bokap lo kagak ada.""Eh, Dave sendirian, coek. Jangan suudzon dulu." Karlina menyeletup.Dave terbelalak mendengar pernyataan Ralph. "Eh, itu gak kayak kelihatannya, cuy. Lo.... Uh....""Apa?" Celetup Ralph.Aku tidak tahu apakah mereka bercanda atau tidak, yang jelas aku tidak punya waktu untuk ini. "Udah, udah, ah. Gue lagi butuh bantuan lo pada."
JANGAN MENGALIHKAN PANDANGAN! ATAU MEREKA AKAN MENGIKUTIMU!_______________________________________________________________Satu-satu, kami melompat ke dalam kegelapan yang menyelimuti ruang bawah tanah, tanpa mengetahui apa yang menunggu di dalamnya. Perlahan-lahan, aku merasakan udara yang lembap dan dingin menyelimuti kulit, seperti menyambut kedatangan dengan sambutan gelap yang tidak ramah."Tempat apa ini?" aku melihat ke sekeliling, seperti sebuah gudang terbengkalai.Aku melihat lemari-lemari kabinet berserakan dan meja-meja yang tidak tertata rapi. Ruangan ini tampaknya tidak pernah terurus. Aroma yang terasa di udara adalah campuran antara bau tanah basah dan kebusukan yang menyengat. Rasanya seperti berada di dalam lorong-lorong gelap yang tak berujung.Yang menyeramkannya lagi adalah, terdapat banyak manekin yang berantakan, tidak pada posisi yang sesuai. Wajah-wajah mereka menor dengan lipstik dan bedak putih di pipi."Serem banget, anjir," ujar Karlina yang memperhatikan
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih
KETIKA KAMU BERKUNJUNG KE DUNIA ORANG MATISEMAKIN KAMU MENJELAJAHINYASEMAKIN BERESIKO PERJALANANMU-ELLIS REYNER______________________________________________________Aku terbangun di kegelapan. Gemuruh orang-orang penasaran bisa terdengar. Kabut-kabut mencuat di sekitarku. Aku sampai di dunia arwah.Lentera kehidupan menyala dan muncul di hadapanku. Aku pun mengambilnya. Namun, seseorang lewat di sampingku. Aku terkejut dan menoleh. Tetapi, sosok itu sirna.Aku menoleh kembali. Sosok remaja pria dengan wajah yang terbelah dan hancur datang menghampiriku. Aku terkejut dengan kengerian, namun aku pun terdiam karena sosok itu sangat familiar."Andi?" Ucapku.Ia mengangguk. Aku bisa melihat raut matanya dipenuhi kesedihan."Mereka membunuhku, tetapi mereka membuangku. Sekarang aku hanya makhluk yang tersesat di dunia gelap ini," curhatnya dengan penuh pilu. "Kamu mencari tempat tinggal Tuan Kelinci, bukan?" Ia kemudian menatapku dengan serius."Yah, aku lagi mencari tempat tinggal Asm
"Hahahaha.... Benar-benar momen yang mengharukan. Tapi, ini belum selesai. Masih ada yang kamu harus tolong lagi." Suara dari speaker itu terdengar lagi."Mana temanku yang lain?" Aku menggertak, menatap ke arah speaker itu."Tenang, tenang. Temanmu ada di sana."Seketika, salah satu lampu di ujung ruangan menyala, memancarkan cahaya pudar yang memperlihatkan sosok Ralph yang terikat di meja pemotong. Tubuhnya dipenuhi lebam, dan wajahnya memucat, menunjukkan betapa lama ia mungkin telah disekap di sana."To-tolong...." Ia merintih, seakan ia sudah lemas tak berdaya.Di sekitar meja itu terdapat alat-alat tajam, mulai dari pisau besar hingga benda logam yang terlihat seperti penjepit yang tidak pernah digunakan untuk tujuan yang baik."Ralph!" Aku berteriak, suaraku memantul di dinding-dinding beton yang dingin. Napas Dave tertahan saat ia melihat kondisi Ralph yang tak berdaya. Dia menatapku dengan ketakutan, tetapi juga dengan tekad yang mulai muncul dari rasa panik."Ayo, Dave," bi
SELAMA INI, DIA MENGAWASI KITA SEMUAMEREKAM SEGALA AKTIVITAS KITAAPA PUN YANG KITA LAKUKAN, DIA TAHU SEMUANYA________________________________________________Lampu-lampu di sisi lain ruangan seketika menyala satu-satu, mengarahkanku ke sebuah lorong. Di ujung lorong itu terdapat pintu besi yang tertutup.Aku sudah tidak merasakan ketakutan sedikit pun. Aku siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Maka, aku menggenggam kuat golokku dan berjalan dengan sigap menuju pintu itu.Nafasku terengah-engah. Aku membuka pintu besi itu.Seketika kilatan cahaya menyambar diriku, seakan aku memasuki dunia lain. Aku memejamkan mata dari silaunya cahaya itu, kemudian aku membuka mata, melihat diriku sampai di sebuah tempat gelap.Aku menuruni sebuah tangga memutar yang mengarahkanku ke sebuah ruangan. Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, ruangan di sekelilingku perlahan menjadi jelas. Aku sampai ke sebuah ruangan besar. Di dalamnya, deretan layar monitor memenuhi dinding-dinding, meman