Bagas masih duduk memandang sekelilingnya. Lagi, usaha pencariannya tidak berhasil. Bahkan orang yang ia suruh pun belum menemukan hasil.
Bagas menatap hamparan lautan hijau kebun milik eyangnya. Mata tajamnya menatap awas setiap aktivitas di sekelilingnya.
"Pagi Den Bagas."
"Pagi."
"Pagi, Den."
"Pagi."
Sesekali Bagas menjawab sapaan dari para pemetik teh atau lalu lalang orang yang lewat. Tanpa Bagas sadari dari kejauhan ada sepasang mata dengan bulu mata lentik sedang menatapnya dengan penuh kerinduan. Selintas saja semua orang yang menatapnya dengan cermat akan mengatakan jika dia cantik. Sayang, saat ini dia memakai caping dengan wajah ditutupi kain seperti kebanyakan pemetik teh yang lain. Sehingga tak ada yang menyadari kalau orang itu adalah Nawang.
Nawang menatap suaminya dari kejauhan. Ingin sekali dia berlari dan menghampiri suaminya. Tapi Bima melarang Nawang untuk menampakkan diri. Nawang, Erlangga dan Kinanti kini t
Wanto sedang ke mushola untuk melaksanakan sholat subuh sementara Bagas masih tertidur. Semalaman Bagas tak bisa tidur akibat rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Wanto dengan sabar dan setia menemani Bagas.Pintu ruangan Bagas terbuka, ada seseorang memakai seragam petugas kebersihan dan masker mendatangi ranjang Bagas.Dia membersihkan ruangan sambil sesekali menatap sang suami. Ketika ruangan telah selesai dibersihkan, Nawang mendekati Bagas."Kamu harus kuat, aku dan putramu membutuhkanmu, Mas. Tetaplah hidup," bisik Nawang lalu mengecup pipi sang suami. Dia segera pergi karena takut ketahuan.Samar-samar Bagas melihat seseorang yang membuka pintu. Namun, karena rasa lelahnya Bagas memutuskan untuk tidur lagi.Nawang keluar kamar Bagas dan cukup terkejut mendapati Budi dan Wanto yang sedang berjalan menuju ke kamar Bagas. Nawang pura-pura biasa saja dan memilih segera berlalu. Budi sedikit tertegun. Entah kenapa perawakan tukang bersih-bersih itu
Wanto membantu Bagas turun dari mobil. Setelah lima hari dirawat akhirnya Bagas diperbolehkan pulang."Den, mau ke kamar Den Bagas atau paviliun?""Paviliun aja, To.""Baiklah."Wanto akhirnya membantu Bagas memutar ke samping melewati jalan setapak menuju ke paviliun."Makasih, To," ucap Bagas ketika sudah membaringkan diri di ranjang."Sama-sama, Den. Den Bagas mau Wanto ambilkan apa? Atau mau makan apa?"Bagas menggeleng dan memilih untuk memejamkan mata. Wanto yang paham, Bagas butuh waktu untuk istirahat, memilih keluar dari kamar Bagas.Sampai di depan pintu kamar Bagas, rupanya Maman sudah menunggunya. Kedua bapak dan anak itu berjalan menuju ruang depan."Den Bagas tidur?""Iya, Pak.""Syukurlah. Kamu sana istirahat juga biar Bapak yang nungguin Den Bagas. Kebetulan semua tugas bapak sudah selesai bapak kerjakan.""Iya, Pak."Wanto akhirnya memilih pulang dulu ke rumahnya sementara Maman menuju ke kamar Bagas.
Bagas menatap seseorang yang sedang tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya. Wanita tua itu terdiam dan memejamkan mata, sesekali terlihat gerakan naik turun dadanya nampak tak teratur."Pak Bagas."Bagas menoleh ke arah salah satu sipir wanita, namanya Sri Rahayu. Dialah sipir wanita yang selama ini berkomunikasi dengan Bagas perihal keadaan Bestari di penjara. Dia jugalah yang mengabari Bagas keadaan Bestari yang drop dan harus dibawa ke rumah sakit."Bapak sudah datang.""Iya, terima kasih Ibu sudah mengabari saya.""Itu tugas saya, Pak."Bagas memilih mengamati eyang putrinya sedangkan Sri mengamati Bagas. Sri yang masih single bukan tanpa alasan mau menjadi penghubung antara Bagas dan Bestari, selain sudah menjadi tugasnya, Sri juga menaruh hati pada Bagas. Sri berharap bisa menjadi lebih dekat dengan Bagas. Apalagi, Sri mendengar jika istri Bagas sampai hari ini tidak ada kabar. Dan Sri be
Mendung menyelimuti hari, beberapa tetes air sudah mulai nampak. Meski pun begitu, beberapa orang yang sedang mengerumuni sebuah pusara baru, tampak tidak bergeming. Ada yang masih memanjatkan doa, ada yang menangis dan ada yang terlihat diam saja. Binna masih sesekali mengusap air matanya, sejak tadi malam dia menangis terus setelah mendengar kematian sang ibu. Budi, Bisma dan Bagas cenderung diam saja. Tidak terlihat ada air mata pada mata ketiga cucu Bestari.Maman, Wanto, Narti dan Juminten juga masih setia menemani keluarga Atmaja. Mereka memilih diam, dan fokus membaca doa-doa.Bagas menarik napas dalam, ingatannya kembali ke masa tiga hari yang lalu.Flashback"Eyang bagaimana keadaannya?""Eyang baik.""Alhamdulillah.""Kamu gak istirahat di rumah saja. Kasihan kamu, pasti kecapean."
Malam ini, Bagas menginap di kamar utama. Sejak tadi dia berada di dalam kamarnya. Keheningan menyelimuti rumah Atmaja. Masing-masing penghuninya lebih memilih berada di kamar masing-masing pun dengan Bagas.Bagas sedang merenung. Saat kembali menempati kamarnya, Bagas menyadari perubahan posisi beberapa benda yang ada di kamar. Meski kamarnya terlihat rapi, tapi Bagas tahu leta beberapa benda yang ada di kamar. Dan beberapa berubah. Bagas berpikir jika ada orang yang memasuki kamarnya dan mengacak-acak kamarnya demi untuk menemukan sesuatu. Bagas tersenyum sinis, dia sudah punya dugaan siapa saja yang bisa menjadi tersangka utama.Bagas memegang sesuatu di tangannya. Tak percuma dia minta bantuan pada Wanto dan Juminten."Apa kamu mencari sesuatu yang berharga di kamarku hai musuh dalam selimut?" Bagas bicara sendiri."Sayang, aku lebih pintar dari kamu. Kamu tidak akan bisa merebut apa pun yang bukan menjadi hak kamu," ucap Bagas lirih.
Genta melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit. Kini dia berada di depan ruang IGD. Genta melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, pukul tiga pagi.Genta yang sedang menginterogasi Broto dan Binna terkejut ketika mendapati telepon dari salah satu anak buahnya, kalau Bagas dan Budi mengalami kecelakaan parah. Mobil keduanya masuk ke jurang. Beruntung saat kejadian, ada mobil patroli lewat dan melihat bagaimana mobil Bagas jatuh akibat menghindari mobil di depannya."Genta."Sebuah panggilan mengalihkan pandangan Genta dari ruang IGD."Hai, Adit."Genta menyalami Adit, yang merupakan salah satu rekan kerjanya. Adit bekerja di bagian lakalantas."Beruntung sekali ada kamu, Dit. Gimana keadaan korban?""Parah, sama-sama luka berat. Semoga saja mereka bisa selamat.""Ya Allah, Bagas. Kenapa nasibmu ngenes banget?"Genta mencecar Adit kronologis kejadian bagaimana bisa Bagas dan
Bisma menatap dua sosok yang masih tak sadarkan diri. Bisma mampu menampilkan mimik sedihnya dengan apik. Hingga membuat semua orang yang melihatnya iba. Wanto dan Maman sendiri sejak tadi hanya mampu menyeka air matanya yang sesekali menetes."Mohon maaf, Pak. Waktu menjenguknya sudah habis." Salah satu suster memberi tahu."Oh iya, saya sudah selesai. Wanto!""Iya, Den.""Aku minta tolong!""Baik, Den."Wanto langsung mendorong kursi roda Bisma dan membawanya keluar dari ruang ICU.Sampai di luar, Bisma sudah ditunggu oleh Kapten Polisi Hendra."Bisa kita bicara Pak Bisma. Kami butuh keterangan dari Anda."Bisma mengangguk. "Baik, Pak."Hendra membawa Bisma ke taman rumah sakit yang sepi. Di sana dia mulai mencecar Bisma dengan berbagai pertanyaan. Bisma tentu saja dengan tenang menjawab setiap pertanyaan."Baiklah, cukup untuk hari ini. Kami mohon maaf jika suatu saat kami butuh bantuan saudara Bis
Ricky menatap sahabatnya dengan tatapan sedih. Setetes air matanya jatuh. Dia baru saja mendengar kabar kalau Bagas sedang koma. Padahal masih inga dalam ingatan Ricky jika sahabatnya baru sembuh setelah mengalami peristiwa penembakan. Rasanya sebagai sahabat Ricky benar-benar tidak berguna.Rengkuhan hangat membuat Ricky memalingkan muka pada istri cantiknya. Dia berusaha tersenyum."Mas.""Mas sedih, Dek. Mas gak bisa bantu apa-apa.""Mas ... udah dong jangan nangis."Lily masih mencoba memberikan semangat pada sang suami. Karena takut mengganggu pasien yang lain, Lily mengajak Ricky ke luar ruangan. Di depan Ricky bertemu dengan Wanto yang menceritakan semua kejadian yang menimpa Bagas."Astaghfirullah! Bagaimana bisa Bagas gak cerita sama sekali, dia nganggap aku sahabat bukan sih?!" Nada suara Ricky terdengar marah namun tak bisa menutupi kesedihan di matanya."Den Bagas cuma gak mau bikin Den Ricky repot dan kepikiran mung
Aku hanya bisa menahan kekesalanku. Demi Allah, ingin rasanya meluapkan segala amarahku tetapi aku memilih diam. Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri. Cukup dia yang tidak tahu malu, bukan aku.Saat ini sedang diadakan reuni angkatan matematika beberapa angkatan. Mas Ricky tentu saja datang bahkan dialah ketuanya. Aku, ikut datang tentu saja. Selain karena di rumah aku tidak ada kegiatan apa-apa, aku juga rindu sama ketiga anakku.Ina sekarang menjadi dosen di almamaterku. Iya, dia jadi dosen kimia. Sementara adiknya Ana, kini sedang menempuh S2 matematika. Sementara Gamma, dia kuliah di Undip ambil teknik kimia. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku udah jadi nenek-nenek. Udah punya cucu cowok satu usianya kini tiga tahun. Meski udah beruban dan kerutan dimana-mana tetep gerakanku masih gesit. Makanya cucuku manggil aku neli alias nenek lincah."Dek. Kok gak makan?" Sebuah suara terdengar dan sedikit mengagetkanku."Males.""Eh, itu so
Aku baru saja memarkirkan motorku di halaman rumah. Kulirik jam tanganku, pukul lima lewat lima menit. Segera saja aku masuk ke dalam rumah.Aku mengedarkan pandang mata. Tumben sepi, ngomong-ngomong duo krucilku mana? Mungkin sedang jalan-jalan dengan Eyang Kakung dan Eyang Putrinya. Jadi, aku memutuskan ke kamar dan segera mandi.“Bunda,”Aku tersenyum menatap ke arah dua gadis cilik, mereka langsung berlari ke arahku. Si sulung sampai lebih dulu, adiknya pun menyusul.“Bunda, Ina kangen,” ucap si sulung yang kini berusia tujuh tahun.“Ana juga kangen, bunda,” ucap si nomer dua. Alkana Betania Mehrunissa adalah nama yang kami berikan untuk putri kedua kami yang kini berusia tiga tahun.“Bunda juga kangen sama kalian,” ucapku dan memeluk keduanya.Kami bertiga masih berpelukan seperti Telletubies. Pelukan kami terhenti karena suara salam dari satu-satunya lelaki dalam keluarga ini.
POV LilyTiga bulan sudah aku berstatus menjadi seorang istri dari Alfaricky Ramadhan. Alhamdulillah aku bahagia. Walaupun masalah rumah tangga selalu ada, tapi sampai saat ini kami masih bisa melewatinya.Kami dalam perjalanan ke Purwokerto, mau memeriksakan diri ke dokter. Seminggu ini Mas Ricky mengalami gejala mual-mual parah setiap pagi. Tak ada sesendok nasi pun yang bisa masuk. Kalau dipaksa pasti muntah. Bahkan bubur ayam yang biasanya menjadi sarapan favoritnya ditolak mentah-mentah.Akhirnya kami memaksanya ke dokter. Saat di bawa ke dokter yang praktek di Jatilawang, beliau malah menyarankan aku untuk diperiksa. Bahkan memberikan rujukan dokter siapa saja yang bisa aku hubungi. Karena menurut dugaan dokter Anwar, suamiku terkena gejala 'ngidam' alias aku hamil.Setelah itu, aku langsung memborong 5 testpeck dan paginya kucoba semua dan hasilnya dua garis semua. Alhamdulilah. Karena itulah hari ini kami dalam perjalanan ke dokter k
POV RickyDini hari aku terbangun. Kurasakan seseorang berada dalam dekapanku. Istri tercinta sekaligus cinta pertamaku. Seorang gadis istimewa yang membuatku jatuh cinta sampai gagal move on.Pikiranku berkelana ke masa lalu. Bagaimana pertemuan pertama kami, hingga kami bisa pacaran lalu akhirnya putus. Semua masih terekam jelas dalam memori ingatan.Kuingat hari-hari setelah putus dengannya adalah hari terberat bagiku. Salahku juga, kenapa aku lebih perhatian pada Mutia daripada pacarku sendiri. Ini semua karena permintaan Tante Fania. Seorang janda yang rumahnya masih satu kompleks dengan rumahku. Hanya karena rasa simpati yang berlebihan justru jadi bumerang untukku.Mutia sangat gencar menemuiku dan memintaku jadi pacarnya setelah aku putus dari Lily. Bahkan beberapa kali memohon sambil berurai air mata. Aku menolak dengan tegas bahkan menjauhinya. Apalagi setelah mengetahui sifat asli dari Tante Fani
Aku menggeliat mencoba membuka mata. Merasakan ada seseorang yang menyentuhkan tangannya pada pipiku.“Bangun, Sayang.”“Hem,” Aku menatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ya Tuhan nikmat-Mu sungguh luar biasa.“Bangun. Tuh denger suara ngaji di masjid sudah kedengaran. Bentar lagi subuh. Ayok mandi junub!” Dia membangunkanku sambil memainkan hidung mancungnya pada ujung hidungku. Geli sekali.Akhirnya aku bangun dan mencoba duduk, sedikit meringis. Kemudian menatap sekeliling kamar. Berantakan sekali, baju yang semalam kami pakai berantakan di lantai, kertas tissu yang menumpuk di tempat sampah bahkan ada sedikit yang bernoda merah, belum lagi rambutku yang awut-awutan. Ah, malu sekali.“Kenapa hem? Masih sakit?”Aku hanya menggeleng.“Mandi yuk! Mau bareng apa mau sendiri-sendiri?” tanyanya dengan seringai menggoda.“Sendiri aja, Mas.”“
Aku menghembuskan nafas lelah. Hari ini capek sekali. Tamu yang datang benar-benar tak ada henti-hentinya.Selepas ashar, banyak teman SD, SMP dan SMA-ku yang datang. Termasuk Fida dengan membawa gandengan baru. Syok aku dibuatnya. Waktu itu dia datang ke rumah dan curhat kalau mau pisah dengan suaminya, padahal mereka sudah punya anak berusia 2 tahun. Alasannya karena tidak ada kecocokan.Selepas isya, kami pun masih kedatangan tamu. Sekarang malah kebanyakan tamunya Mas Ricky. Ada salah satu tamunya yang sangat ganteng. Sama gantengnya dengan suamiku. Bedanya kalau suamiku kulitnya eksotis tapi kelihatan macho, kalau yang ini putih bersih kaya Lee Min Ho, ahohoho.“Bukan muhrim. Enggak usah kayak gitu mandangnya!” Pak suami mulai cemburu.“Habisnya dia ganteng, Mas. Kayak Lee min Ho,” bisikku.Dia menatapku tajam. Aku meringis. Aduh salah ngomong nih.“Oh ya, Ky. Aku rencana mau balik juga ke kampung,” k
Suara berisik di dapur rumah menandakan penghuninya sedang sibuk. Ya, hari ini keadaan di rumahku sibuk sekali. Semua orang nampaknya begitu sibuk.Mama sibuk memberikan instruksi sedangkan Papa menyambut tamu. Bahkan Lala pun sibuk. Iya, sibuk selfi dan pasang segala aktivitas di rumah ke akun sosmednya.Lalu aku? Aku sedang duduk cantik menikmati elusan terampil si ahli henna pada kedua telapak tangan. Ya, besok aku akan menikah. Akhirnya jodohku fixed ketemu di usiaku yang genap ke-26 sebulan yang lalu.Ternyata jodoh memang seunik itu. Aku dan Mas Ricky. Uhuk... Setelah kejadian di pantai beberapa bulan yang lalu dimana tanpa sadar aku memanggilnya 'Mas' jadinya keterusan hingga sekarang.Kalau diingat-ingat konyol sekali. Aku mengenalnya saat usia 15 tahun, pacaran diusia 17 tahun lalu putus setelah 3 tahun pacaran gara-gara kesalah pahaman yang disengaja. Iya disengaja oleh Mutia. Sebel aku kalau ingat sama dia. T
“Uh, seger banget anginnya ya, Ly?”“Heem,” ucapku sambil sesekali mencium pipinya gemas.“Wah, kamu kayaknya seneng banget, Ly? pakai acara cium-cium juga,”“Hehe, habis dianya lucu. Pipinya gembul lagi,”“Ya iyalah, anak aku gitu. Ya kan, Aurora?” Resa mencubit gemas putrinya yang sudah berusia delapan bulan.Saat ini kami sedang menikmati semilir angin di Jetis. Pulang sekolah, aku langsung menuju ke Jetis. Sebelumnya aku ke rumah Resa untuk meminjam bajunya. Malas soalnya kalau harus pakai seragam keki ke pantai.“Noh, lihat,” bisik Resa.“Apa?” Aku pun ikut berbisik.“Ada orang yang kesel rupanya. Kayak pengin nyemprot orang,”“Iya. Kamu yang bakalan disemprot,” Kami terkikik.Aku sesekali melirik Ricky yang memilih duduk sangat jauh dari kami berdua. Jangan lupakan muka kesalnya. Ya. Akhi
Saat ini aku sedang berkutat di dapur, mencoba membersihkan cumi-cumi dari tintanya. Setiap libur, aku sering bereksperimen. Mencoba memasak hal yang aneh-aneh dan agak rumit. Minggu kemarin aku mencoba memasak rica-rica ayam, kali ini aku mencoba memasak cumi saus tiram. Mama sudah tahu kebiasaanku ini.“Nah, gitu. Wanita mau punya jabatan apapun tetep harus bisa masak. Biar suaminya betah,” Mama selalu ngomong begitu, tapi tidak berlaku untuk Lala, karena itu anak selalu punya argumen.Sambil memasak, aku berdendang lagu Caka milik Novi Ayla. Oh, jangan lupakan gerakan seluruh badan, goyang sana-goyang sini. Aseeekkkk. Mama sering menegurku. Katanya ora ilok atau pamali masak sambil nyanyi tapi tak kugubris.Aku pun mematikan kompor setelah yakin rasa masakanku sudah pas, sip. Tinggal eksekusi dan minta saran dari sang koki utama yaitu Mama. Aku pun memasukkan hasil masakanku ke dalam mangkok, berbalik badan dan tara ....