Bagas menatap potretnya dengan Nawang. Bahkan dia tak bisa membendung lagi air matanya. Binawan sendiri hanya bisa diam pun dengan Bisma dan Binna.
Kejadian hari ini menambah daftar guncangan pada keluarga Atmaja. Dari mulai kematian Bowo, Betty yang berada di RSJ, Bestari yang kini dipenjara dan kini Budi yang sedang diperiksa terkait dugaan percobaan penculikan.
Genta masih sibuk mengurusi kasus ini. Dia sudah mengerahkan beberapa polisi hutan untuk mencari keberadaan Nawang.
Bagas segera mengambil kunci mobilnya, dia harus bertemu dengan Budi.
"Gas, kamu mau kemana?" tanya Binawan.
"Bagas harus dengar sendiri dari mulut Budi, kenapa dia sampai mengumpankan istri Bagas, Eyang. Bagas gak percaya hanya karena masalah dia ditipu oleh rekan kerjanya sampai dia harus mengorbankan Nawang. Kalau dia memang butuh uang, ada Bagas. Bagas siap membantunya. Harusnya dia minta tolong. Toh, Bagas bisa menggunakan warisan Eyang. Apa susahnya menganggap Ba
Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sampai di parkiran rumah sakit, Bagas segera bergegas mencari ruangan dimana eyangnya dirawat. Tubuh Bagas melemas melihat kondisi eyangnya yang nampak rapuh."Den.""Den Bagas."Wanto dan Maman dengan setia menunggui juragan mereka."Mbah Maman, Eyang gimana?" tanya Bagas khawatir."Den Bagas masuk aja, biar langsung bicara sama dokternya," saran Mbah Maman.Bagas menuruti saran Mbah Maman. Sampai di dalam ruangan eyangnya Bagas bertemu dengan dokter yang menangani sang kakek."Dokter, bagaimana keadaan Eyang saya?""Kami sudah berusaha, semua tergantung Allah."Jantung Bahas berdetak lebih kencang, ia segera melangkah mendekati Binawan."Eyang," sapa Bagas lembut.Binawan mencoba membuka matanya, tubuhnya terlihat tak bertenaga. Berbagai peralatan penunjang kehidupan melekat pada tubuhnya."G-gas ....""Iya Eyang.""Ber-janjilah, ka-mu
Tepat satu bulan, Nawang belum juga ditemukan. Pihak kepolisian sudah menghentikan pencarian setelah lima belas hari mencari tanpa hasil. Tapi tidak dengan Bagas, hampir setiap hari dia menyusuri anak sungai, berharap bertemu dengan Nawang, berharap ada suatu keajaiban yang datang.Bagas masih menatap aliran sungai ketika semak-semak di sekitarnya bergerak. Bagas waspada, ternyata seorang kakek tua sedang membawa tumpukan ranting kayu.Bagas dan kakek itu sedikit terkejut, terutama Bagas, karena wajah kakek itu sedikit mirip dengan eyangnya. Bima tersenyum ke arah Bagas yang ditanggapi Bagas dengan masih diam."Kamu sedang apa? Kok bengong? Saya bukan hantu."Bagas mengejapkan matanya, " Oh, maaf Kakek. Saya cuma sedikit terkejut."Bima tersenyum, dalam hati dia sudah menduga kalau lelaki muda yang ada di depannya salah satu anggota Atmaja. Dia mirip sekali dengan Binawan ketika masih muda."Kamu cari apa?"Bagas menatap Bima, "Istri
Tok. Tok.Tok.Pintu kamar Bagas diketuk dengan keras, membuat Bagas akhirnya terbangun. Bagas mengernyit mencoba menyadarkan diri dimana dia sekarang? Ah, kamarnya yang terletak di rumah utama. Bagas pun akhirnya mengingat mengapa dia sampai tidur di sini bukan di paviliun."Den, Den Bagas bangun! Den, Den, bangun! Ada Berita lelayu, Den." Wanto, masih menggedor-gedor pintu kamar Bagas.Bagas menggeliat kemudian bangun untuk membuka kunci kamarnya. Tampaklah Wanto dengan mimik muka yang terlihat takut dan cemas menjadi satu."Kenapa? Siapa yang meninggal?""Den Seruni.""Apa?! Maksudnya?" tanya Bagas bermaksud mempertegas pendengarannya."Den Seruni ditemukan meninggal Den. Lokasinya dekat kebun Atmaja," terang Wanto.Bagas tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Kok bisa?"Kamu yakin itu Seruni?""Yakin Den, soalnya saya yang mengantar Den Seruni sampai mobilnya. Tapi, semalam Den Seruni tidak mau saya antar ke
Bestari sedang duduk sambil menyandar di tembok. Suara riuh tiga teman satu sel-nya tidak terlalu ia tangapi. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Dan yang jelas hatinya rindu. Rindu pada suaminya. Belahan jiwa yang tak pernah bisa ia miliki hatinya. Bestari semakin sedih, di masa tuanya. Ia malah menghabiskan waktu di penjara tanpa suami, anak ataupun cucunya. Hampir setengah tahun Bestari di penjara tetapi tak ada satu pun yang mau menjenguknya. Bahkan Binna yang selama ini ia lindungi, ia beri limpahan materi pun kini tak mau menjenguknya sama sekali."Kamu sama sekali melupakan ibu, Binna. Padahal dulu aku selalu menjaga kamu dan Betty. Dengan tanganku aku merawat kalian berdua, Bagus juga. Tapi ... apa yang kudapat dari kalian semua. Bagus membangkang, dia malah memilih Cempaka. Sedangkan kamu dan Betty ... ah, aku lupa Betty pun sekarang gila hahaha."Bestari menangis, dia sungguh merindukan anak-anaknya, keluarganya. Tiba-tiba saja ada salah satu sipir wanit
Juminten meladeni tiga anggota Atmaja dengan berdebar-debar. Dia sedikit takut tapi memilih pura-pura tidak tahu."Bagas gak ikut, Bu?" Bisma memulai percakapan."Sepertinya tidak, buktinya hanya ada kita bertiga.""Oh."Hening. Ketiganya makan dalam diam. Juminten sendiri sudah kembali ke dapur. Dari sela-sela pintu, Juminten mengamati interaksi ketiga Atmaja."Kenapa, Ju?" bisik Narti."Gak papa Budhe. Cuma Juminten bingung, Den Bagas kok gak mau ikut?" Juminten sengaja berbohong, padahal sejak tadi dia mengamati tiga Atmaja dengan keingintahuan yang besar."Den Bagas sepertinya masih marah sama Den Budi, sudahlah bukan urusan kita. Tugas kita hanya melayani mereka sebagai Majikan bukan mengurusi urusan mereka." Narti kembali ke aktivitas mencuci piringnya sedangkan Juminten masih menatap ketiga anggota Atmaja dengan penuh keingintahuan hingga dia berpikir untuk apa ikut campur. Lagian Juminten hanya pembantu bukan calon anggota kel
Bagas masih duduk memandang sekelilingnya. Lagi, usaha pencariannya tidak berhasil. Bahkan orang yang ia suruh pun belum menemukan hasil.Bagas menatap hamparan lautan hijau kebun milik eyangnya. Mata tajamnya menatap awas setiap aktivitas di sekelilingnya."Pagi Den Bagas.""Pagi.""Pagi, Den.""Pagi."Sesekali Bagas menjawab sapaan dari para pemetik teh atau lalu lalang orang yang lewat. Tanpa Bagas sadari dari kejauhan ada sepasang mata dengan bulu mata lentik sedang menatapnya dengan penuh kerinduan. Selintas saja semua orang yang menatapnya dengan cermat akan mengatakan jika dia cantik. Sayang, saat ini dia memakai caping dengan wajah ditutupi kain seperti kebanyakan pemetik teh yang lain. Sehingga tak ada yang menyadari kalau orang itu adalah Nawang.Nawang menatap suaminya dari kejauhan. Ingin sekali dia berlari dan menghampiri suaminya. Tapi Bima melarang Nawang untuk menampakkan diri. Nawang, Erlangga dan Kinanti kini t
Wanto sedang ke mushola untuk melaksanakan sholat subuh sementara Bagas masih tertidur. Semalaman Bagas tak bisa tidur akibat rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Wanto dengan sabar dan setia menemani Bagas.Pintu ruangan Bagas terbuka, ada seseorang memakai seragam petugas kebersihan dan masker mendatangi ranjang Bagas.Dia membersihkan ruangan sambil sesekali menatap sang suami. Ketika ruangan telah selesai dibersihkan, Nawang mendekati Bagas."Kamu harus kuat, aku dan putramu membutuhkanmu, Mas. Tetaplah hidup," bisik Nawang lalu mengecup pipi sang suami. Dia segera pergi karena takut ketahuan.Samar-samar Bagas melihat seseorang yang membuka pintu. Namun, karena rasa lelahnya Bagas memutuskan untuk tidur lagi.Nawang keluar kamar Bagas dan cukup terkejut mendapati Budi dan Wanto yang sedang berjalan menuju ke kamar Bagas. Nawang pura-pura biasa saja dan memilih segera berlalu. Budi sedikit tertegun. Entah kenapa perawakan tukang bersih-bersih itu
Wanto membantu Bagas turun dari mobil. Setelah lima hari dirawat akhirnya Bagas diperbolehkan pulang."Den, mau ke kamar Den Bagas atau paviliun?""Paviliun aja, To.""Baiklah."Wanto akhirnya membantu Bagas memutar ke samping melewati jalan setapak menuju ke paviliun."Makasih, To," ucap Bagas ketika sudah membaringkan diri di ranjang."Sama-sama, Den. Den Bagas mau Wanto ambilkan apa? Atau mau makan apa?"Bagas menggeleng dan memilih untuk memejamkan mata. Wanto yang paham, Bagas butuh waktu untuk istirahat, memilih keluar dari kamar Bagas.Sampai di depan pintu kamar Bagas, rupanya Maman sudah menunggunya. Kedua bapak dan anak itu berjalan menuju ruang depan."Den Bagas tidur?""Iya, Pak.""Syukurlah. Kamu sana istirahat juga biar Bapak yang nungguin Den Bagas. Kebetulan semua tugas bapak sudah selesai bapak kerjakan.""Iya, Pak."Wanto akhirnya memilih pulang dulu ke rumahnya sementara Maman menuju ke kamar Bagas.
Aku hanya bisa menahan kekesalanku. Demi Allah, ingin rasanya meluapkan segala amarahku tetapi aku memilih diam. Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri. Cukup dia yang tidak tahu malu, bukan aku.Saat ini sedang diadakan reuni angkatan matematika beberapa angkatan. Mas Ricky tentu saja datang bahkan dialah ketuanya. Aku, ikut datang tentu saja. Selain karena di rumah aku tidak ada kegiatan apa-apa, aku juga rindu sama ketiga anakku.Ina sekarang menjadi dosen di almamaterku. Iya, dia jadi dosen kimia. Sementara adiknya Ana, kini sedang menempuh S2 matematika. Sementara Gamma, dia kuliah di Undip ambil teknik kimia. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku udah jadi nenek-nenek. Udah punya cucu cowok satu usianya kini tiga tahun. Meski udah beruban dan kerutan dimana-mana tetep gerakanku masih gesit. Makanya cucuku manggil aku neli alias nenek lincah."Dek. Kok gak makan?" Sebuah suara terdengar dan sedikit mengagetkanku."Males.""Eh, itu so
Aku baru saja memarkirkan motorku di halaman rumah. Kulirik jam tanganku, pukul lima lewat lima menit. Segera saja aku masuk ke dalam rumah.Aku mengedarkan pandang mata. Tumben sepi, ngomong-ngomong duo krucilku mana? Mungkin sedang jalan-jalan dengan Eyang Kakung dan Eyang Putrinya. Jadi, aku memutuskan ke kamar dan segera mandi.“Bunda,”Aku tersenyum menatap ke arah dua gadis cilik, mereka langsung berlari ke arahku. Si sulung sampai lebih dulu, adiknya pun menyusul.“Bunda, Ina kangen,” ucap si sulung yang kini berusia tujuh tahun.“Ana juga kangen, bunda,” ucap si nomer dua. Alkana Betania Mehrunissa adalah nama yang kami berikan untuk putri kedua kami yang kini berusia tiga tahun.“Bunda juga kangen sama kalian,” ucapku dan memeluk keduanya.Kami bertiga masih berpelukan seperti Telletubies. Pelukan kami terhenti karena suara salam dari satu-satunya lelaki dalam keluarga ini.
POV LilyTiga bulan sudah aku berstatus menjadi seorang istri dari Alfaricky Ramadhan. Alhamdulillah aku bahagia. Walaupun masalah rumah tangga selalu ada, tapi sampai saat ini kami masih bisa melewatinya.Kami dalam perjalanan ke Purwokerto, mau memeriksakan diri ke dokter. Seminggu ini Mas Ricky mengalami gejala mual-mual parah setiap pagi. Tak ada sesendok nasi pun yang bisa masuk. Kalau dipaksa pasti muntah. Bahkan bubur ayam yang biasanya menjadi sarapan favoritnya ditolak mentah-mentah.Akhirnya kami memaksanya ke dokter. Saat di bawa ke dokter yang praktek di Jatilawang, beliau malah menyarankan aku untuk diperiksa. Bahkan memberikan rujukan dokter siapa saja yang bisa aku hubungi. Karena menurut dugaan dokter Anwar, suamiku terkena gejala 'ngidam' alias aku hamil.Setelah itu, aku langsung memborong 5 testpeck dan paginya kucoba semua dan hasilnya dua garis semua. Alhamdulilah. Karena itulah hari ini kami dalam perjalanan ke dokter k
POV RickyDini hari aku terbangun. Kurasakan seseorang berada dalam dekapanku. Istri tercinta sekaligus cinta pertamaku. Seorang gadis istimewa yang membuatku jatuh cinta sampai gagal move on.Pikiranku berkelana ke masa lalu. Bagaimana pertemuan pertama kami, hingga kami bisa pacaran lalu akhirnya putus. Semua masih terekam jelas dalam memori ingatan.Kuingat hari-hari setelah putus dengannya adalah hari terberat bagiku. Salahku juga, kenapa aku lebih perhatian pada Mutia daripada pacarku sendiri. Ini semua karena permintaan Tante Fania. Seorang janda yang rumahnya masih satu kompleks dengan rumahku. Hanya karena rasa simpati yang berlebihan justru jadi bumerang untukku.Mutia sangat gencar menemuiku dan memintaku jadi pacarnya setelah aku putus dari Lily. Bahkan beberapa kali memohon sambil berurai air mata. Aku menolak dengan tegas bahkan menjauhinya. Apalagi setelah mengetahui sifat asli dari Tante Fani
Aku menggeliat mencoba membuka mata. Merasakan ada seseorang yang menyentuhkan tangannya pada pipiku.“Bangun, Sayang.”“Hem,” Aku menatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ya Tuhan nikmat-Mu sungguh luar biasa.“Bangun. Tuh denger suara ngaji di masjid sudah kedengaran. Bentar lagi subuh. Ayok mandi junub!” Dia membangunkanku sambil memainkan hidung mancungnya pada ujung hidungku. Geli sekali.Akhirnya aku bangun dan mencoba duduk, sedikit meringis. Kemudian menatap sekeliling kamar. Berantakan sekali, baju yang semalam kami pakai berantakan di lantai, kertas tissu yang menumpuk di tempat sampah bahkan ada sedikit yang bernoda merah, belum lagi rambutku yang awut-awutan. Ah, malu sekali.“Kenapa hem? Masih sakit?”Aku hanya menggeleng.“Mandi yuk! Mau bareng apa mau sendiri-sendiri?” tanyanya dengan seringai menggoda.“Sendiri aja, Mas.”“
Aku menghembuskan nafas lelah. Hari ini capek sekali. Tamu yang datang benar-benar tak ada henti-hentinya.Selepas ashar, banyak teman SD, SMP dan SMA-ku yang datang. Termasuk Fida dengan membawa gandengan baru. Syok aku dibuatnya. Waktu itu dia datang ke rumah dan curhat kalau mau pisah dengan suaminya, padahal mereka sudah punya anak berusia 2 tahun. Alasannya karena tidak ada kecocokan.Selepas isya, kami pun masih kedatangan tamu. Sekarang malah kebanyakan tamunya Mas Ricky. Ada salah satu tamunya yang sangat ganteng. Sama gantengnya dengan suamiku. Bedanya kalau suamiku kulitnya eksotis tapi kelihatan macho, kalau yang ini putih bersih kaya Lee Min Ho, ahohoho.“Bukan muhrim. Enggak usah kayak gitu mandangnya!” Pak suami mulai cemburu.“Habisnya dia ganteng, Mas. Kayak Lee min Ho,” bisikku.Dia menatapku tajam. Aku meringis. Aduh salah ngomong nih.“Oh ya, Ky. Aku rencana mau balik juga ke kampung,” k
Suara berisik di dapur rumah menandakan penghuninya sedang sibuk. Ya, hari ini keadaan di rumahku sibuk sekali. Semua orang nampaknya begitu sibuk.Mama sibuk memberikan instruksi sedangkan Papa menyambut tamu. Bahkan Lala pun sibuk. Iya, sibuk selfi dan pasang segala aktivitas di rumah ke akun sosmednya.Lalu aku? Aku sedang duduk cantik menikmati elusan terampil si ahli henna pada kedua telapak tangan. Ya, besok aku akan menikah. Akhirnya jodohku fixed ketemu di usiaku yang genap ke-26 sebulan yang lalu.Ternyata jodoh memang seunik itu. Aku dan Mas Ricky. Uhuk... Setelah kejadian di pantai beberapa bulan yang lalu dimana tanpa sadar aku memanggilnya 'Mas' jadinya keterusan hingga sekarang.Kalau diingat-ingat konyol sekali. Aku mengenalnya saat usia 15 tahun, pacaran diusia 17 tahun lalu putus setelah 3 tahun pacaran gara-gara kesalah pahaman yang disengaja. Iya disengaja oleh Mutia. Sebel aku kalau ingat sama dia. T
“Uh, seger banget anginnya ya, Ly?”“Heem,” ucapku sambil sesekali mencium pipinya gemas.“Wah, kamu kayaknya seneng banget, Ly? pakai acara cium-cium juga,”“Hehe, habis dianya lucu. Pipinya gembul lagi,”“Ya iyalah, anak aku gitu. Ya kan, Aurora?” Resa mencubit gemas putrinya yang sudah berusia delapan bulan.Saat ini kami sedang menikmati semilir angin di Jetis. Pulang sekolah, aku langsung menuju ke Jetis. Sebelumnya aku ke rumah Resa untuk meminjam bajunya. Malas soalnya kalau harus pakai seragam keki ke pantai.“Noh, lihat,” bisik Resa.“Apa?” Aku pun ikut berbisik.“Ada orang yang kesel rupanya. Kayak pengin nyemprot orang,”“Iya. Kamu yang bakalan disemprot,” Kami terkikik.Aku sesekali melirik Ricky yang memilih duduk sangat jauh dari kami berdua. Jangan lupakan muka kesalnya. Ya. Akhi
Saat ini aku sedang berkutat di dapur, mencoba membersihkan cumi-cumi dari tintanya. Setiap libur, aku sering bereksperimen. Mencoba memasak hal yang aneh-aneh dan agak rumit. Minggu kemarin aku mencoba memasak rica-rica ayam, kali ini aku mencoba memasak cumi saus tiram. Mama sudah tahu kebiasaanku ini.“Nah, gitu. Wanita mau punya jabatan apapun tetep harus bisa masak. Biar suaminya betah,” Mama selalu ngomong begitu, tapi tidak berlaku untuk Lala, karena itu anak selalu punya argumen.Sambil memasak, aku berdendang lagu Caka milik Novi Ayla. Oh, jangan lupakan gerakan seluruh badan, goyang sana-goyang sini. Aseeekkkk. Mama sering menegurku. Katanya ora ilok atau pamali masak sambil nyanyi tapi tak kugubris.Aku pun mematikan kompor setelah yakin rasa masakanku sudah pas, sip. Tinggal eksekusi dan minta saran dari sang koki utama yaitu Mama. Aku pun memasukkan hasil masakanku ke dalam mangkok, berbalik badan dan tara ....