Aku senang ternyata janji Resa untuk tidak ember kemana-mana perihal hubunganku dengan Ricky, ia tepati. Jadi, hanya Resa, Mbak Ningsih dan Mas Tama saja yang tahu. Tapi justru sekarang aku harus menyiapkan mental dan hati menjadi bahan kejahilan bagi mereka bertiga.
Seperti saat ini. Aku terpaksa duduk manis bersama Ricky menuju kawasan wisata Dieng, Wonosobo.
Demi apa coba? Kenapa justru aku harus satu bus dengan pengantin baru. Awalnya aku duduk dengan Mbak Ning. Namun, ketika bus baru berjalan sekitar setengah jam, Mbak Ning ijin duduk bersama suami dengan alasan mau bobo manja di bahu suami.
Sungguh, aku tak percaya dengan alasan itu. Kenapa aku merasa, mereka seperti berkomplot dibelakangku?
Kegelapan menyelimuti sepanjang jalan. Dikarenakan kami berangkat pukul 01.00 pagi. Perjalanan menuju Dieng kurang lebih membutuhkan waktu tiga jam.
Selama perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Aku ingin tidur ya Allah, tapi aku takut, kebiasaan jel
“Duh. Yang kemarin kemana-mana selalu berdua. Romantisnya,” ucap Resa dengan nada meledek.“Apa yang romantis? Orang rame-rame kok’,”“Lah ini apa coba?” Resa menunjukkan foto di HP-nya.Mataku membelalak. Ini kan’ foto saat Ricky menggenggam tanganku dan membawanya ke arah dadanya? Huhuhu. Wajahku merona. Ini siapa lagi yang jadi paparazi?“Kamu dapat dari siapa?” tanyaku.“Mbak Ningsih,” Senyum jahilnya masih nampak.“Ish. Kurang kerjaan Mbak Ning,”“Hahaha... Mukanya enggak usah merah kali Non,” Aku malas menanggapi omongan Resa. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan. Ngadem. Mumpung sepi dan jam kosong bagi kami.“Itu kan’ Mutia?” celetuk Resa.Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Resa. Iya itu kan dia? Demi apa coba dia bolak balik kesini? Setahuku memang tidak ada seorang guru atau karyawan pun yang
“Angga, nanti jangan lupa bilang sama anak PMR buat menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan regu pramuka selama kemah.”“Siap, Bu Lily,” sahut Angga.“Bu. Nanti Ibu ikut mendampingi kami kan? Bu Laras kayaknya enggak bisa dampingi regu putri?” tanya Melda salah satu regu putri pramuka.“Kita lihat nanti,” ucapku pendek.Aku pun berpamitan kepada regu pramuka setelah selesai mengecek persiapan perlengkapan pertolongan pertama yang dibutuhkan untuk acara pelantikan pramuka bagi kelas 10. Aku segera bergegas menuju parkiran motor. Rasanya hari ini aku lelah, ingin cepat sampai di rumah, mandi lalu rebahan.Sekolah nampak sepi karena sebagian besar siswa sudah pulang. Hingga saat aku akan menyalakan motorku, seseorang mengambil kuncinya dengan sengaja.“Apa-apaan sih, Pak? Tolong kunci saya. Saya ingin segera pulang!”“Kamu kenapa, Ly? Aku merasa seminggu ini kamu men
Aku meneteskan air mata sedangkan Lala sudah sesenggukan. Kami meratapi, jeerawat.Kami berdua sedang menonton drama Thailand berjudul Kluen Cheewit atau Waves of Life yang dibintangi aktor Print Suparat dan aktris Yaya Urrasaya.Adegan yang kami tonton adalah adegan dimana tokoh Jeerawat atau Jee ditampar oleh ibunya karena mau-maunya tidur bersama Sathit. Adegan ini menguras air mataku.Memang adegannya sedih banget dan disaat yang sama aku juga sedang sedih, jadi menonton drama beginian menjadi alibi untuk menangis. Aku sedang mengingat kejadian yang telah berlalu. Hal itulah yang menyebabkan aku menangis.Lamunanku buyar karena kedatangan Papa. Papa berdecak kemudian berkomentar.“Kenapa pada sesenggukan gitu?” Mama tiba-tiba ikut nimbrung.“Se-Sedih, Ma.” Lala masih sesenggukan.Mama ikut menonton bersama kami. Dan akhirnya tangisnya pun ikut pecah. Kami bertiga ini memang mudah sekali menangis. S
Sepuluh tahun yang lalu, saat itu usiaku masih 15 tahun. Aku baru saja pulang dari les di sekolah karena sebentar lagi ujian nasional. Ketika membuka pintu pagar, aku melihat sebuah mobil terparkir di samping mobil Papa. Mungkin teman Papa datang berkunjung.Aku pun memasuki rumah dengan mengucap salam. Mengulas sebuah senyuman dan menyapa semua orang, menyalami kedua orang tuaku dan pasangan suami istri yang berkunjung. Tak lupa seorang remaja yang masih berseragam SMA disana. Aku pun menyalaminya dan tersenyum padanya.DEG!Ada yang aneh dengan jantungku. Dia berdetak sangat keras terutama saat kulihat sang pemuda mengulas senyum hangatnya. Satu kata untuknya, tampan.“Kenalin, Jeng, anak pertamaku, Lily namanya,” Mama memperkenalkanku pada kedua tamunya.“Ly, ini temen Mama dan Papa. Om Hermawan, rekan seprofesi Papa. Cuma dinasnya di Ajibarang. Baru saja mutasi ke Wangon. Ini istrinya, Tante Rani dan ini anak bungsunya, Ricky,
“Bu Lily. Makin cantik aja deh,” Gema si murid tengil mulai beraksi.“Makasih, Gema. Ibu kan’ cewek ya cantik lah masa ganteng?” Terdengar suara tawa murid lain.Saat ini, kami sedang praktek pemisahan campuran di lab Kimia. Letak lab berada paling ujung timur bersebelahan dengan lab Biologi dan lab Matematika/Fisika.Kami menggambil sub tema kristalisasi. Kristalisasi adalah proses pemisahan campuran dengan cara menguapkan pelarutnya hingga di peroleh kristal-kristal zat padat. Contoh kristalisasi air laut menjadi garam dapur.Namun, kali ini praktik kristalisasi aku modifikasi. Dimana campuran yang digunakan adalah sari buah atau tanaman tertentu seperti jahe, kunyit, asam atau rempah yang lain. Sari tersebut diperoleh dengan cara diblender, saring airnya kemudian panaskan dengan api sedang. Jangan lupa tambahkan gula pada campuran. Selalu diaduk, kondisi api tidak boleh terlalu panas. Aduk terus sampai diperoleh butiran kr
Hari ini kami akan pergi ke Pangandaran buat liburan. Libur semester adalah berkah tersendiri bagi kami sekeluarga.Aku cemberut, mengerucutkan bibirku sebagai bentuk protes. Tapi sepertinya tidak mempan. Sebal.“Ish, enggak usah cemberut gitu. Ntar cantiknya ilang,” ucap Mama sambil berbisik.“Masa’ Mama ngajak dia?” bisikku lirih.“Kamu enggak kasihan sama Papa disuruh nyetir ke Pangandaran sendirian? enggak ada yang gantiin. Kamu kan masih belajar nyetir belum ahli,”“Iya, Mbak. Harusnya kita bersyukur ada sopir sukarelawan. Ganteng lagi,” Lala ikut menimpali.Aku menatap mereka berdua sebal, sedangkan yang ditatap hanya cengengesan jahil.“Udah siap semua. Ayok berangkat,” titah Papa.“Siap!” kompak Mama dan Lala antusias. Sedang aku memilih diam. Moodku sudah ambyar.Kami akhirnya berangkat menuju Pangandaran. Ricky jadi sopir, Pa
“Bikin apa?” bisik suara tepat di samping telingaku.Aku menatapnya sebal. Memilih fokus membuat jus mangga. Kulirik jam di dinding ternyata sudah jam sembilan, pagi sekali udah ngapelin.“Ckckck. Orang nanya itu dijawab, dosa tahu!”“Udah lihat kan’ aku lagi ngapain?”“Lihat. Bikin jus mangga. Pasti pakai bumbu cinta. Jangan lupa bagi ya,” ucapnya dengan seringai menggoda.“Enggak boleh. Sana beli sendiri!”“Pelit. Jangan pelit-pelit kenapa?”“Bodo! Orang mangga aku sendiri kok, kenapa situ sewot?”“Duh. Galaknya calon istriku. Tambah manis aja,” ucapnya sambil menoel daguku. Otomatis aku memukul tangannya.“Udah dibilangin bukan muhrim. Jangan pegang-pegang!”“Makanya mau tak halalin biar akunya bisa sering khilaf,”“Ogah!”“Ckckckck. Masi
Aku melenggang santai dan beberapa kali berhenti untuk mengambil barang belanjaan sesuai daftar, Ricky yang mendorong troli. Aku cek satu persatu daftar dan belanjaan takut ada yang tertinggal.Setelah membayar semuanya, Ricky mendorong troli menuju tempat penitipan barang.“Kok malah dititipin?”“Aku mau ke bagian bookstore dulu, mau beli beberapa buku pendamping buat UN,”Okelah. Lagian aku juga suka ke toko buku. Buat nyari referensi novel maksudnya, hahaha...Sampai dibagian bookstore, aku langsung melenggang ke bagian novel. Aku senang sekali, melihat-lihat novel dan membaca sinopsisnya. Walau aku ini orang eksak tapi jujur, membaca novel adalah hobiku. Aku terlalu asik memilah dan memilih sampai tak mengenal waktu.Saat secara tak sengaja aku melihat pantulan seseorang melewati kaca di depanku. Orang itu tengah bersidekap mengamati sembari tersenyum. Aku menole ke arahnya.