Arsa menunggu Nira kembali dengan penuh kesabaran, selain itu juga penuh kedutan di keningnya. Laki-laki itu tak ingin melepaskan gadis yang baru saja ia nikahi.Apalagi kata Nira tadi ia ingin pergi. Seorang penjaga neraka jika katanya ingin pergi tentu tempatnya tak lain tak bukan adalah yang penuh api. “Sial! Kenapa pikiranku? Susah sekali menghadapi zodiak aries satu ini,” ucap Arsa sambil memutar lehernya ke kiri dan kanan. Watak pecahan arwah Hara itu pada dasarnya sama. Tak suka melihat orang lain menderita karenanya. Pintu rumah terbuka dan Nira muncul. Arsa menarik gadis itu dan memeluknya sangat erat. “Kupikir kau pergi tadi,” ucapnya tanpa mau melepas pelukan. Nira merasa heran. Biasanya dewa tidak pernah labil pikiran dan hatinya. Juga, Arsa, kan, bisa mencarinya kalau lama tak kembali. “Aku memang berniat pergi, karena itu aku ingin berpamitan padamu,” jawab Nira karena merasa pemburu dari neraka sudah sangat dekat. “Aku tak akan membiarkanmu pergi dari sini, Nira.
Arsa membawa Dira kembali ke rumahnya. Tempat itu agak kacau sedikit karena kedatangan pemburu dari neraka. Setelah meletakkan tabib di ranjang, ia merapikan apa-apa yang rusak dan hangus terkena percikan api. Dahsyat memang pemburu dari neraka. Karena itu ia maklum kalau Nira lambat menerima kehadirannya. Namun, Arsa tak bisa berlama-lama, dihitung dari lama hari bersama, tak lama lagi panggilan dari zodiak keempat pasti akan datang. Seorang perempuan memeluknya dari belakang. Baju berwarna merah menjadi pertanda kalau Dira sudah sadar.“Tuan Arsa, kau kembali juga akhirnya. Kau pasti yang menolongku, kan, dua makhluk tadi benar-benar menyeramkan.” Dira melepas pelukannya, ia menatap lelaki yang terlihat bingung. “Aku memang kembali, Dira, tapi aku hanya bisa sebentar saja.” “Selalu seperti itu, ya. Sampai kapan aku harus menunggumu, Tuan. Kau tahu ada banyak bangsawan yang datang melamarku. Aku katakan kalau aku janda ditinggal mati suami, tapi mereka tidak peduli. Haruskah aku
Hujan turun di pulau terpencil tempat Arsa menyembunyikan Nira. Gadis itu bersorak kegirangan. Air hujan membasahi baju dan tubuhnya. Arsa membiarkan sang penjaga menikmati harinya di bumi.“Sepertinya kau sangat tertekan tingal di neraka. Memang karena seharusnya kau tinggal di langit. Percayalah aku tak akan lama mengumpulkan kalian.” Dewa perang itu bahagia melihat Nira tersenyum lebar. Keadaan berubah, turun hujan bersamaan dengan petir, guntur, langit memerah. Dan Arsa sudah sangat tahu kalau di atas sana sedang tidak baik-baik saja. Arsa kemudian membawa Nira ke dalam. Ada sebuah gua di dalam tebing. Tempat bersembunyi yang sangat nyaman, hangat, dan banyak bahan makanan. “Dingin.” Nira mengigigil. Sejak batu neraka hilang dari dadanya ia tak sekuat dulu lagi. Meski kalau dibandingkan dengan manusia biasa ia masih hebat. “Sini mendekatlah.” Dewa perang itu mengulurkan tangannya. Nira menggeleng, tapi lama kelamaan dingin menyergap seluruh tubuhnya. Lelaki di dalam gua jadi
Dewa Arsa berlari lebih cepat tanpa harus menggunakan kuda. Ia mengejar pecahan keempat arwah Hara yang tampak belakang membawa senapan laras panjang. “Aku jatuh di mana sebenarnya? Gaya hidup orang-orangnya barbar seperti Adara. Jangan bilang bertemu lagi dengan si kapten?” Arsa berhenti mendadak ketika kuda yang ditunggangi oleh pecahan keempat arwah Hara berhenti. Anggap saja yang ini juga masih gadis—turun dari tunggangan dan mengarahkan senapan ke segala arah. Rogu muncul tepat di sebelah Arsa. Dua orang dewa itu sama-sama risih menggunakan celana ketat, tiap sebentar di tarik di bagian pesaknya (tempat retsleting). “Kau masih di sini?” tanya Arsa. “Kau mau aku ke mana? Nanti aku ditangkap oleh manusia serigala.” “Kau itu dewa. Berubah sana jadi elang dan terbang, wuuus!” Arsa memperagakan dengan tangannya. “Oh, iya, ya, kenapa aku bisa lupa. Selamat berjuang sampai kalian bisa tidur bersama.” Rogu berubah menjadi seekor burung dan terbang di dalam hutan yang gelap karena
“Nira, eh, Dira, astaga salah lagi, maksudku Lira tunggu aku.” Arsa menyusul gadi berambut plontos yang berjalan kaki di gelapnya malam. “Aku bukan Lira, panggilanku Karl, aku ini laki-laki bukan perempuan,” jawab gadis itu sambil berdehem berkali-kali. Baik, kali ini Arsa akan mengikuti drama apa lagi yang disuguhkan oleh pecahan arwah Dewi Hara. “Iya, terserah, Kalira.” Jelas sekali di mata Arsa, pemburu itu berbohong. Mana ada lelaki yang tak punya jakun walau ada bekas luka sekali pun pasti akan kelihatan. Lira mengambil syal dan menutupi lehernya, begitulah cara ia menyamar dan mengaku sebagai lelaki. Nasib perempuan cantik tidak ada yang bagus di era pemerintahan Pangeran Charles, kalau tak berakhir sebagai pelayan, gundik, atau pemuas nafsu saja. “Kau punya rumah?” tanya Lira. Ia menaikkan lampu minyak dan melihat jalan mana yang harus ditempuh untuk pulang. Rasanya kiri dan kanan sama saja terlihat dari tadi. “Lewat sana saja, Kalira,” tunjuk lelaki berpakaian ala koboi
Pangeran Charles sampai di dalam kamarnya ketika baru saja pulang dari hutan. Ini merupakan kutukan yang ia terima dari makhluk terkutuk juga.Sang pangeran sebentar lagi akan dinobatkan menjadi raja. Namun, ia masih suka bermain-main. Lalu demi mengisi kekosongan waktu, lelaki berambut pirang itu terkadang berburu ke dalam hutan. Seperti kejadian beberapa bulan yang lalu. Ia membawa anjing ikut serta bersama dengan Kalira juga yang menjadi pelayannnya di luar istana. Saat itu anjingnya tak becus menjejak binatang buruan."Pangeran, jangan, dia sudah banyak membantu kita ketika tersesat," ucap Karl yang menghalangi tangan Charles menembak anjing itu."Dia itu anjing, sama sepertimu, paham?" hina bangsawan angkuh dan kaya raya."Iya, aku dan anjing memang sama-sama kau beri makan. Tapi kami juga membantumu, setidaknya pikirkan yang baik-baik." Kalira membawa anjingnya pergi dan mencari buruan lain. Pada saat yang sama anjing peliharaan milik raja iblis mendengar hinaan Pangeran Char
Pangeran Charles berubah menjadi manusia di pagi hari ketika bulan tak terlalu benderang purnamanya. Namun, ia tak menggunakan baju sehelai benang pun. Berjalan di muka umum ia tentu akan diteriaki orang gila.Beruntung Kalira datang dengan beberapa prajurit dan menemukan sang pangeran yang tubuhnya bermandikan keringat. “Ke mana saja kau?” tanya lelaki berambut pirang itu dengan nada tinggi. “Maaf, Pangeran, tapi aku tak tahu kenapa bisa tersasar.” Saat bangun tadi Kalira sudah ada di rumahnya. Terakhir ia ingat berjalan dengan seekor anjing. Pecahan arwah Dewi Hara kemudian berpaling ketika tahu bangsawan itu tak mengenakan baju. Ia memberikan kode pada prajurit bahwa yang bersangkutan butuh pertolongan. “Bawa dia ikut ke istana, dia meninggalkanku sendirian,” tunjuk Charles pada Kalira. Kemudian dua prajurit memegang paksa tangan dan meminta Lira berlari sepanjang kereta berjalan. Kuwara yang melihat hal tak senonoh, kembali membuat kereta hancur lebur. “Bersikap baiklah deng
Reksi datang dengan wujud anjing besar dan menabrak tubuh werewolf itu hingga sang manusia serigala terpental jauh sekali. Pangeran Charles menghantam pohon dan tulang belakangnya serasa patah. Tapi ia manusia jadi-jadian yang hanya bisa mati atas kehendak Kuwara. Binatang berbulu hitam itu berdiri, melolong sangat tinggi sembari menatap rembulan dan berhadapan dengan Reksi satu lawan satu. Reksi bukan anjing biasa, ia merupakan hewan kepercayaan Raja Iblis Kuwara yang cukup sakti. Anjing dan serigala itu saling bergelut, menggigit, dan mencakar di atas tanah. Sedangkan di lain kesempatan, Kuwara turun dari langit dan lekas menolong Dewi Hara yang lehernya tergores. “Maafkan, Dewi Hara. Kau harus menderita hidup di dunia ini.” Kuwara menghentikan jalan darah di leher Kalira. Beberapa saat kemudian luka itu tertutup rapat. Andai Lira adalah dewi tentu saja lukanya tak berbekas. Sayangnya dia masih manusia biasa yang bisa terluka. Reksi datang dengan wujud manusia dengan beberapa l
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling