"Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu
Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber
Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat
"Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa
Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb
Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to
"Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau
Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat
Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap
Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat
"Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau
Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to
Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb
"Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa
Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat
Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber
"Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu