Hujan turun dengan deras di hari ziarah makam.Saat ini, di pintu masuk rumah sakit.Reina yang bertubuh kurus sedang memegang laporan tes kehamilan dari rumah sakit, di kertas itu tertera sebuah kata yang tercetak tebal."Negatif.""Sudah tiga tahun menikah belum hamil juga?""Astaga, bisa-bisanya ada wanita yang begitu nggak berguna seperti kamu. Kalau nggak cepat hamil, kamu pasti akan didepak keluar dari Keluarga Sunandar, lalu bagaimana dengan Keluarga Andara?"Treya Libera yang berpakaian anggun mengentakkan sepatu hak tingginya. Dia menunjuk Reina dan terlihat sangat kecewa.Reina menatap kosong, begitu banyak kalimat yang ingin dia ungkapkan, tetapi pada akhirnya hanya terucap sebuah kata."Maaf.""Aku nggak butuh maaf. Aku mau kamu hamil anak Maxime, ngerti?"Reina tercekat, tidak tahu harus menjawab apa.Reina dan Maxime sudah menikah selama tiga tahun, tetapi Maxime tidak pernah sekalipun menyentuhnya.Mana mungkin dia bisa hamil?Treya kembali melirik Reina yang terlihat le
Semua orang yang ada di ruangan itu menengok ke arah pintu.Sontak, suasana jadi hening.Reina melirik Maxime, tatapan pria itu begitu jernih, jelas dia sama sekali tidak mabuk.Reina sadar dia sudah ditipu Marshanda.Saat Maxime melihat sosok Reina, bola matanya yang gelap pun menegang.Sedangkan Jovan dan yang lainnya yang barusan mendukung Maxime untuk menerima perasaan Marshanda, semua tersenyum canggung.Harusnya Reina tidak datang."Nana, jangan salah paham. Jovan cuma bercanda, sekarang Max dan aku hanya teman biasa."Marshanda-lah yang pertama kali memecah ketenangan.Sebelum Reina sempat menjawab, Maxime yang kehilangan kesabaran sudah berdiri lebih dulu."Nggak perlu menjelaskan apa pun padanya."Setelah itu, Maxime berjalan ke depan muka Reina dan bertanya, "Mau apa ke sini?""Kupikir kamu mabuk, jadi aku datang untuk menjemputmu pulang," jawab Reina jujur.Maxime mencibir, "Sepertinya kamu nggak ingat sepatah kata pun yang kukatakan, ya."Maxime mengecilkan suaranya sehingg
Suara Reina begitu tenang dan ringan.Seolah perceraian ini hanya hal sepele.Pupil mata Maxime menegang."Apa katamu?"Selama pernikahan mereka, seketerlaluan apa pun perlakuan Maxime padanya, Reina tidak pernah menyebut kata 'cerai'.Sebenarnya Maxime paham betul betapa Reina sangat mencintainya.Tatapan Reina yang awalnya kosong saat ini berubah menjadi sangat tajam."Pak Maxime, selama ini aku sudah menjadi penghalangmu.""Kita cerai saja."Maxime meremas tinjunya kuat-kuat."Kamu dengar pembicaraanku barusan, 'kan? Keluarga Andara sudah berada di ujung jurang, apa bedanya menikah denganku atau menikah dengan orang lain?""Apa tujuanmu bercerai? Kamu mau anak atau mau uang? Atau mau mengancamku supaya aku nggak melakukan apa pun pada Keluarga Andara?" Maxime bertanya dengan dingin."Jangan lupa, aku sama sekali nggak mencintaimu, ancamanmu nggak berguna untukku!"Sosok Maxime di mata Reina tiba-tiba menjadi kabur. Reina merasa tenggorokannya tercekat dan telinganya sakit. Bahkan de
Alat bantu dengarnya terselimuti darah ....Pupil mata Reina bergetar, dia buru-buru menyeka telinganya dengan tisu, melepas seprai dan mencucinya.Reina takut akan ketahuan karena Lyann pasti mengkhawatirkan kondisinya. Jadi, dia diam-diam mengemasi semua barangnya lalu membuat alasan asal dan berpamitan pada Lyann.Sebelum pergi, diam-diam Reina meninggalkan sebagian uang tabungannya di meja di samping tempat tidur.Lyann mengantar Reina ke stasiun sambil melambaikan tangan dengan enggan.Lyann sangat mengkhawatirkan Reina yang sangat kurus, jadi dia menghubungi orang dalam Grup Sunandar.Sekretaris Maxime langsung melapor begitu tahu pengasuh Reina yang menelepon.Hari ini adalah hari ketiga sejak kepergian Reina.Ini juga pertama kalinya Maxime menerima telepon yang berhubungan dengan Reina.Maxime sedang duduk di kantornya dan begitu mendapat kabar ini, dia sangat senang. Benar 'kan perkiraannya, wanita itu tidak akan bertahan lebih dari tiga hari.Suara Lyann pun terdengar dari u
Reina membuka berita dan melihat konferensi yang diadakan Grup Sunandar, beritanya Maxime telah berhasil mengakuisisi Grup Andara.Mulai sekarang, Grup Andara sudah punah dari dunia ini .......Kehidupan Maxime akhir-akhir ini sangat menyenangkan.Setelah berhasil mengakuisisi Grup Andara, balas dendam yang sudah ditunggu-tunggu Maxime pun terbalaskan.Jovan tersenyum seraya berkata, "Akhirnya Keluarga Andara kena karma karena sudah menipumu tiga tahun yang lalu."Jovan mengganti topik pembicaraan dan bertanya pada Maxime yang sedang bekerja, "Kak Max, apa si tuli itu datang memohon padamu?"Tangan Maxime yang sedang menandatangani dokumen berhenti bergerak.Entah mengapa belakangan ini selalu saja ada orang yang menyebut nama Reina."Nggak."Maxime menjawab dengan dingin.Jovan tercengang, setelah masalah sebesar ini terjadi di Keluarga Andara, Reina tetap diam?Dia melanjutkan, "Jangan-jangan dia sudah sadar akan semua perbuatannya?""Katanya ibu dan adiknya sedang mencarinya ke man
Reina mematung dan tidak bisa berkutik, dia tidak percaya semua hal ini terjadi.Reina berusaha meronta dan menolak, tetapi usahanya sia-sia.Maxime baru kembali tenang setelah mencapai puncak kepuasan.Di luar, langit sudah mulai terang.Maxime melirik tubuh Reina yang ringkih, lalu mendapati ada noda merah di kasur. Maxime merasakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa menjelaskannya."Plak!"Reina mengangkat tangannya dan menampar wajah Maxime kuat-kuat.Tamparan ini sekaligus mematahkan semua ilusinya tentang cinta.Telinga Reina kembali berdengung, dia tidak bisa mendengar apa yang Maxime katakan dan langsung membentaknya, "Keluar!"Maxime pun pergi.Adegan semalam terus berputar di benaknya.Maxime kembali ke mobilnya dan berkata pada Ekki, asistennya, "Selidiki pria mana saja yang Reina kenal."Ekki bingung.Mana mungkin ada pria lain? Setelah menikah setiap hari Reina hanya mencintai Pak Maxime, mana mungkin ada pria lain?...Di motel, setelah Maxime pergi.Reina mandi dan menggosok
Saat ini, di Vila Magenta.Waktu pulang, Maxime langsung duduk di sofa di ruang tamu tanpa menyalakan lampu.Saking lelahnya, Maxime memijit pelipisnya lalu tertidur, tetapi tidak berapa lama dia kembali terbangun.Aneh sekali.Lagi-lagi dia mimpi buruk tentang Reina.Dalam mimpinya, dia melihat Reina sudah mati dan hal itu terasa sangat nyata ....Maxime melirik ponselnya, sekarang baru jam empat pagi.Maxime sadar hari ini adalah hari terakhir masa tenang dan mereka sepakat untuk bercerai.Maxime pun tidak menahan diri dan mengirimkan sebuah pesan pada Reina, "Jangan lupa, hari ini kita harus urus perceraian."Reina sudah mulai tidak sadar saat menerima pesan Maxime, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengetik pesan balasan."Maaf ... sepertinya aku nggak bisa datang.""Tapi, kamu nggak usah khawatir. Perceraian kita akan tetap berjalan ...."Kalau Reina meninggal, tentu pernikahan mereka tidak lagi berlaku.Maxime merasa lega setelah mendengarkan pesan suara Reina.Sudah Maxime
"Oke!"Diego berjalan mendekat, bersiap bertarung dengan Revin untuk merebut Reina.Tidak disangka, Diego baru saja menjulurkan tangan, tubuhnya sudah lebih dulu dihajar dan ditendang Revin."Buak!" Diego sampai terlempar beberapa meter ke belakang, dia menangkupi dadanya dan tidak bisa berkata-kata.Treya langsung membantu Diego berdiri, lalu menatap Revin dengan marah, "Berani sekali kamu menendang anakku!"Revin menggendong Reina sambil menatap kedua orang itu dengan dingin.Buliran air hujan menetes dari ujung rambut Revin.Dia berjalan menghampiri Treya dan Diego, selangkah demi selangkah. Sosoknya sangat berbeda, dia terlihat tegas dan garang."Kalian cari mati?"Treya dan Diego ketakutan dengan sosok Revin, seketika mereka diam membisu.Sambil membopong Reina, Revin tidak lupa mengingatkan Treya."Dalam surat wasiatnya, Nana bilang dia punya rekaman di mana kamu berjanji untuk memutuskan hubungan dengannya, kamu nggak lupa, 'kan?"Reina tidak mau jadi putrinya lagi ....Reina ta
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut