Marshanda pikir setelah Reina amnesia, dia bisa menyetir Reina. Tidak disangka sikap Reina masih sama seperti dulu.Suasana hati Marshanda jadi sangat buruk saat Reina mengusirnya.Dia masuk ke dalam mobil dan hendak minta sopir melaju pergi saat dilihatnya Syena berdiri tidak jauh dari situ.Marshanda mengenakan kacamata hitam dan maskernya, lalu berjalan menghampiri Syena."Nona Syena, kok kamu di sini sendirian?"Syena sampai gemetar ketakutan karena terkejut.Syena menoleh dan memelototi Marshanda, "Aku mau di mana kek ya bukan urusanmu. Kamu ngapain juga ada di sini?"Marshanda tidak bisa lagi menahan amarahnya.Dia memberi tahu Syena tentang kesepakatan kerjasama yang dia terima, tapi dibatalkan.Dia pikir Syena akan menghiburnya, ternyata tidak.Syena berkata padanya dengan sinis, "Kamu benar-benar nggak berguna. Kalau aku jadi kamu, nggak mungkin jadi seperti ini."Sesabar apa pun Marshanda, dia sudah tidak bisa terima lagi."Cih! Yah, seenggak bergunanya aku, aku nggak pernah
"Oke, ayo pulang," ucap Marshanda pada sopir.Dalam perjalanan, asisten Marshanda mengernyit bingung, "Kak Marsha, yang tadi di luar itu Nona Syena?"Marshanda menatapnya, "Pura-pura aja nggak lihat apa pun dan nggak usah ngomong apa-apa ya."Asisten Marshanda menjadi semakin bingung.Bukannya mereka baru melihat Syena di luar restoran? Kenapa harus berpura-pura tidak melihat, tidak boleh mengatakan apa pun pula?Marshanda tidak menjelaskan. Meski dia tahu apa yang akan dihadapi Reina, dia tidak berencana memberi tahu siapa pun.Karena di lubuk hatinya, dia masih berharap Reina akan mati!Dia benci Reina, kenapa Reina bisa mendapatkan segalanya. Kenapa dirinya harus bekerja begitu keras tapi semua usahanya berakhir sia-sia?Kenapa hidup Reina lebih baik darinya?Marshanda tidak terima!Dia baru merasa damai setelah Reina meninggal karena artinya semua sudah benar-benar berakhir.Marshanda pun memejamkan mata dan tertidur....Saat ini di Grup Yinandar.Rizki melewati pintu kantor Reina
Saat ini di sisi Reina. Saat dia bangun, sekitarnya terlihat gelap. Dia hanya bisa samar-samar mendengar seseorang mengobrol."Ini 'kan hidup mati seseorang, masa cuma dibayar beberapa miliar? Nggak cukup lah.""10 miliar?"Terdengar suara pria yang familiar bagi Reina."Salah kali, maksudnya 1,5 triliun?" ucap salah seorang penculik yang sedang tawar-menawar dengan pria paruh baya itu.1,5 triliun?Tanu membelalak tidak percaya, "Kok mahal banget?"Dia mana mungkin punya uang sebanyak itu sekarang?"Lupakan saja, kalau nggak mau bayar, kamu lakukan sendiri saja." Penculik itu berkata, "Kita semua ngambil resiko yang besar. Setelah ini, kita nggak bisa tinggal di sini lagi, nggak tahu harus ke mana. Jangan pikir kami nggak tahu ya siapa dia, dia itu 'kan bos Grup Yinandar? Coba, kalau aku minta uang tebusan 1,5 triliun sama mereka, memang mereka bakal keberatan?""Jangankan 1.5 triliun, 15 triliun pun mereka pasti mau bayar," ucap si penculik.Tanu menyesal, kenapa dia mencari orang-or
"Terus gimana dong? Kita sudah terlanjur menculik dia, masa kita lepas gitu saja?" Salah satu penculik tidak rela melepaskan Reina yang bernilai 1,5 triliun.Ketua penculik menyalakan sebatang rokok, "Ya nggak, tapi kita nggak boleh sentuh dia. Kita langsung lepas setelah kita dapat uangnya.""Hah?" Bawahan penculik tidak menyangka bosnya akan berpikir seperti itu.Reina yang bisa mendengar jelas percakapan penculik pun merasa tenang.Untung para penculik ini takut pada Maxime, kalau tidak, nyawa Reina pasti melayang.Tapi, siapa orang yang mau mencelakainya?Sekarang Reina masih merasa pusing.Dia berbaring di lantai yang dingin, mendengarkan setiap gerakan di luar.Setelah sekian lama, terdengar suara mobil mendekat.Beberapa orang turun dari mobil.Tanu bergegas, "Uangnya sudah siap, cepat bunuh dia."Tanu barusan menghubungi Syena.Syena menggertakkan gigi dan meminta para penculik bertindak.Asal Reina mati, Syena tidak keberatan membayar harga semahal apa pun.Penculik itu tersen
Reina berbalik dan menatapnya dengan bingung, "Ada apa lagi?""Aku hampir lupa, kita bikin video pembunuhanmu dulu."Reina tidak ragu, dia bekerja sama dengan para penculik untuk membuat video pembunuhannya sendiri.Setelah selesai, penculik pun berkata, "Oke beres, pergilah."Reina hendak pergi, tapi dia teringat sesuatu dan bertanya, "Mana sekretaris dan pengawalku?""Oh, mereka cuma kami tawan sebentar. Tenang saja, mereka nggak akan diapa-apain," jawab penculik.Setelah benar-benar lega, Reina langsung pergi tanpa menoleh.Begitu keluar rumah, Reina melihat dirinya berada di gunung tidak berpenghuni.Reina menuruti ucapan penculik. dia menemukan jalan setapak di sebelah kanan dan berjalan dengan cepat menyusuri jalan itu.Reina takut penculik akan berubah pikiran.Hari sudah agak gelap dan jalanan penuh tanaman berduri. Meski lengan dan kaki Reina tergores, dia menahan rasa sakit dan terus melangkah.Sebenarnya Reina bisa berjalan di jalan besar, tapi kata penculik ada orang lain y
Rizki langsung memapah Liane dan membawanya keluar.Ketika mereka keluar, Syena sedang berdiri di depan mobil, menatap Liane sambil menangis."Ibu ... Ah, maksudku Bu Liane, aku dikirim sebuah video."Liane menatap Syena dengan cemas, "Video apa? Kamu tahu Nana di mana?"Syena mengangguk pelan, lalu berkata."Bu Liane harus tabah ya setelah lihat video ini."Hati Liane terasa dingin saat mendengar ucapan Syena. Dia memaksakan dirinya untuk bertahan, "Sini kasih aku!"Syena mengeluarkan ponselnya dan memainkan video itu untuk Liane.Liane hampir pingsan.Syena menghiburnya, "Kayaknya ini ulah musuhmu atau musuh Reina, mungkin karena Bu Liane bilang akan mewariskan Grup Yinandar ke Reina, jadi mereka mulai bertindak."Ucapan Syena benar-benar masuk akal.Namun Liane benar-benar tidak bisa berpikir.Sebaliknya, Rizki malah relatif tenang."Nona Syena, kenapa orang itu mengirimkan video ke kamu?"Syena ragu sesaat sebelum menjawab, "Aku juga nggak tahu."Rizki tidak bertanya lagi, tetapi m
Jarak mereka terlalu jauh sehingga Reina tidak tahu dari mana mobil-mobil ini berasal.Dia tidak berani lengah dan menunggu sampai mobil-mobil itu pergi sebelum dia berjalan lagi.Dia akan melakukan segalanya untuk bertahan hidup.Untung saja Reina tidak menyerah dan minta bantuan, karena yang barusan lewat adalah mobil bawahan Tanu.Tiba-tiba Tanu meminta sopir melipir karena dia ingin buang air kecil.Tanu turun dari mobil.Dengan pencahayaan dari lampu mobil, Reina sekilas bisa langsung mengenalinya.Tanu bahkan berani bicara dengan lantang, "Aduh bau banget tempat ini! Sialan!"Suara inilah yang mau mencelakai Reina.Kepala Reina terasa pusing dan nyeri."Ternyata Syena yang mau membunuhku!" Reina mengepalkan kedua tinjunya.Entah mengapa, momen ini terasa begitu familiar.Reina samar-samar mengingat sesuatu, sepertinya sekitar setahun lalu dia juga diculik.Reina mencoba untuk mengingat, tapi kepalanya terasa makin sakit.Reina berhenti mengkhawatirkan hal ini dan menunggu mobil T
Liane mencengkeram ponselnya erat-erat dan hampir menangis, "Na, Nana sudah ketemu."Syena juga tidak tidur sepanjang malam. Ketika dia mendengar kabar ini, tiba-tiba menjadi bersemangat."Di mana?""Dia sudah dibawa ke rumah sakit. Sepertinya nggak ada yang serius." Liane berkata sambil tersenyum, lalu memanggil Rizki, "Ayo cepat kita balik ke rumah sakit, anak itu pasti ketakutan.""Oke." Beban di benak Rizki akhirnya terangkat.Mereka sangat bahagia sampai tidak ada yang sadar wajah Syena yang pucat pasi.Mana mungkin?Kenapa dia bisa ditemukan?Tubuh Syena gemetar dan kakinya terasa tidak ada tenaga.Liane dan rombongannya pun berangkat.Asisten Syena bertanya, "Nona Syena, kita ikuti mereka lagi?"Syena mengangguk dengan kaku, "Ya iyalah!"Dia mau melihat apa Reina benar-benar hidup atau kabar tadi hanya kabar palsu.Syena masuk ke mobilnya sendiri, tangan yang memegang telepon masih gemetar.Di dalam rumah sakit.Reina melakukan pemeriksaan keseluruhan dan tidak ada luka serius.
Entah kebetulan atau tidak, Jess yang saat itu berada jauh di Kota Simaliki juga bermimpi.Dalam mimpi itu, dia benar-benar menikah dengan Morgan dan memiliki seorang anak.Ketika terbangun dari mimpi itu, entah kenapa hati Jess terasa kosong. Dia tidak tahu kenapa ada emosi rumit di dalam hatinya.Dia menoleh ke samping, melihat seorang anak kecil yang sedang tidur di sampingnya.Di sisi anak itu ada suaminya, Erik.Wajah pria itu terlihat tampan saat tidur. Saat sinar matahari menyinarinya, dia terlihat makin memukau.Sudut mulut Jess tanpa sadar terangkat. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh putranya yang menggemaskan, sebelum meletakkan tangannya di sisi wajah Erik dan menyentuhnya.Erik merasakan sentuhan di wajahnya. Dengan mata terpejam, dia mengangkat tangannya dan meraih tangan Jess, menariknya ke pelukannya."Tanganmu dingin? Sini aku hangatkan." Dia bahkan tidak membuka matanya dan apa yang dia lakukan tampak natural.Jess memperhatikan tindakannya dan hatinya menjadi hanga
Mata sipit Maxime sedikit menyipit. "Apa itu?"Sulit untuk menyembunyikan ketegangan di wajah Morgan."Itu cuma koran. Aku bosan dan mau mengisi waktu luang. Jangan diambil, ya?"Melihat raut wajahnya, Maxime tahu bahwa itu jelas bukan koran biasa.Maxime kembali menepis Morgan, berjalan dengan cepat untuk mengambil koran itu.Maxime membukanya dan isinya penuh dengan informasi tentang Jess.Morgan menerjang ke arah Maxime, seolah-olah rahasianya telah terbongkar.Namun, dengan kondisi fisiknya saat ini, Maxime bisa menghindar dengan mudah.Suara Morgan terdengar serak, "Kembalikan, ini milikku!"Maxime menatapnya dengan acuh."Sepertinya kamu lebih peduli sama asistenmu itu daripada Nana."Morgan tersipu malu."Apa kamu bercanda? Siapa juga yang suka sama dia. Aku nggak tertarik sedikit pun sama dia."Dia masih bersikap keras kepala.Maxime bisa melihatnya. Aktingnya benar-benar sangat kentara."Kalau begitu akan aku bawakan koran lain biar kamu bisa baca."Setelah mengatakan itu, Max
"Sekarang, semuanya sudah jelas, jadi mulai sekarang kamu nggak perlu menjagaku lagi. Aku baik-baik saja," kata Reina.Namun, Maxime menggelengkan kepalanya. "Nggak, sekarang aku nggak terbiasa."Dia mengikuti Reina setiap hari, jadi tidak terbiasa jika harus terpisah darinya.Reina tidak berdaya ketika melihat ini."Baiklah, tapi kamu harus berubah secara perlahan."Terus menempel pada orang lain juga cukup merepotkan.Dia juga menginginkan waktu untuk dirinya sendiri.Maxime mengiakan, "Ya, terserah kamu saja."Keesokan harinya.Maxime benar-benar tidak mengikuti Reina ke tempat kerja. Dia mengutus seseorang untuk menjaganya, sementara dia sendiri kembali ke IM Group untuk bekerja.Ketika Gaby dan Sisil mengetahui bahwa Maxime telah kembali ke IM Group, mereka semua terlihat terkejut."Kenapa Pak Maxime tiba-tiba berubah pikiran?" Gaby terkejut.Sisil berbisik, "Bos, apa kalian bertengkar?"Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, hubungan kami baik-baik saja. Aku mencoba bicara ba
Reina tidak mengerti apa yang terjadi dengan Maxime, kenapa dia terus mengungkit-ungkit soal kegagalannya dalam melindunginya?"Sudah kubilang, kejadian itu bukan apa-apa, bukankah cuma leherku yang terluka? Itu semua sudah berlalu," kata Reina tanpa daya.Ketika Maxime mendengar kata-katanya, sekelebat keterkejutan melintas di matanya.Mendengar apa yang dikatakan Reina, dia menyadari bahwa dia sepertinya sudah salah paham."Nana, kamu cuma terluka di bagian leher, nggak ada yang lain?" tanya Maxime.Reina mengangguk. "Ya, memangnya apa lagi?"Maxime menyadari bahwa dia dipermainkan oleh Morgan.Pantas saja, jika hal seperti itu terjadi kepada Reina, kenapa dia masih begitu santai dan tidak terbebani?Sebelumnya, dia mengira Reina menyembunyikan semuanya karena kenyataan itu terlalu sulit untuk diterima.Saat ini, melihat perubahan ekspresi di wajah Maxime, Reina tersentak mengerti."Jangan bilang kamu mengira aku dilecehkan sama Morgan?" katanya dengan pelan.Sudut mulut Maxime berke
"Oh, kalau begitu dia cukup beruntung, bisa menikah sama pria baik-baik," kata penjaga itu sambil mengeluarkan sebuah apel, lalu menggigitnya.Morgan terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.Dia terus membuka kertas di depannya, yang sebagian besar menceritakan bagaimana Jess dan Erik jatuh cinta.Simpul di tenggorokan Morgan bergulir sedikit saat dia menunjuk Jess dan berkata, "Pria yang dulu dia sukai itu aku."Penjaga sedang memakan apel dan hampir tersedak saat mendengar kata-katanya."Ehem. Lalu, kenapa dia bisa nikah sama orang lain?"Mendengar kata-kata itu, dada Morgan terasa sesak dan dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.Ya, bagaimana bisa wanita yang sangat jelas-jelas begitu mencintainya bisa menikah dengan orang lain?"Aku nggak tahu, tapi itu karena seleranya buruk."Penjaga itu berdecak, "Belum tentu, Erik itu pewaris Keluarga Casco, sementara kamu sekarang ...."Dia menggelengkan kepalanya sambil melangkah pergi.Morgan tinggal sendirian di dalam kamar dan batuknya makin
Suasana di dalam mobil sangat hening, membuat sopir merasa sedikit tidak nyaman.Namun, tepat pada saat itu, ponsel Maxime berdering.Dia mengangkat ponselnya dan mengerutkan kening."Ya?" Dia sengaja mengecilkan suaranya agar Reina yang tertidur di sampingnya tidak terganggu.Pria di seberang sana berkata, "Bos, Morgan ingin bicara denganmu."Maxime melirik Reina, matanya terpejam seolah-olah dia tertidur."Berikan kepadanya.""Ya."Tidak butuh waktu lama sampai panggilan itu berganti dan suara Morgan yang agak lemah terdengar, "Ehem, Kak, berapa lama lagi kamu akan menahanku di sini?"Mendengar itu, Maxime mengeluarkan tawa pelan."Ini baru setahun dan kamu sudah nggak sanggup?"Morgan tidak mengatakan apa-apa.Maxime melanjutkan, "Karena aku mengirimmu ke sana, aku nggak berniat membawamu kembali."Satu kalimat itu seperti memberi Morgan hukuman mati.Mata Morgan langsung memerah."Apa kamu bercanda? Uhuk ... uhuk ... uhuk. Aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi sekarang," katanya.
Keduanya bercanda selama beberapa saat sebelum Reina menutup telepon.Melihat bahwa waktu pulang kerja hampir tiba, Reina berencana mengajak Sisil dan yang lainnya berbelanja dan makan bersama. Namun, dia tidak menyangka Maxime akan bangun dan menghampirinya."Nana, ayo pulang ke rumah."Saat mengatakan itu, matanya berbinar-binar.Selama setahun ini, Maxime sudah betah di Grup Yinandar dan tidak mau pindah.Reina sangat tertekan. "Aku mau jalan-jalan, kamu pulang saja dulu.""Kamu mau jalan-jalan ke mana? Aku temenin, ya?" tanya Maxime.Reina tidak bisa berkata-kata.Maxime selalu seperti ini. Reina bahkan tidak bisa pergi berbelanja dengan teman dan sahabatnya ketika dia ingin."Nggak jadi deh. Kalau kamu ikut, kita nanti jadi nggak nyaman."Maxime mendekatinya dan menggenggam tangannya. "Aku yang akan bayar apa pun yang kalian beli."Bagaimana lagi, demi bisa berada di sisi Reina setiap saat, Maxime harus menyenangkan teman-teman dan sahabat Reina.Sisil membawa banyak dokumen saat
Ekspresi di wajah Reina tidak berubah ketika mendengar Melisha mencurigainya. "Rahasia apa?"Dia tidak bodoh, bagaimana mungkin dia memberitahu Melisha?Jika dia mengatakan tentang hal semacam ini, dia sendiri tidak takut dibalas, tetapi dia tidak ingin mengkhawatirkan hal lainnya.Melisha menatap wajah bingung Reina dan merendahkan suaranya, "Lebih baik bukan kamu, atau aku nggak akan melepaskanmu."Dia mengatakannya dengan penuh ketegasan.Reina tidak peduli dengan apa yang dikatakan Melisha. Rasa tidak peduli ini terlihat jelas di wajahnya.Melisha entah kenapa menjadi sedikit ciut saat melihat mata Reina, lalu menarik tatapannya kembali.Pada saat itu, Riko dan Riki juga keluar dari sekolah dan bergegas menghampiri Reina."Mama."Wajah Reina langsung menunjukkan senyuman lembut, sangat berbeda dengan ekspresi dingin dan tidak tersentuh yang dia tunjukkan barusan."Ayo, kita pulang terus makan."Reina menggandeng keduanya dan menuntun mereka keluar.Tidak jauh dari situ, Maxime berd
Joanna berkata kepada Reina dengan perasaan tidak senang, sambil menguap, "Aku pikir bakal lihat Aarav teriak-teriak. Nggak disangka masalahnya selesai secepat ini."Dia tidak bersimpati pada kedua belah pihak.Lagi pula, Keluarga Madison bukanlah keluarga baik-baik.Reina mengangguk. "Ya, aku nggak menyangka masalah ini diselesaikan dengan mementingkan kepentingan masing-masing."Joanna menepuk bahunya."Ke depannya, kamu harus terbiasa sama situasi seperti ini. Dalam keluarga besar, yang namanya perasaan nggak begitu penting, semuanya tentang kepentingan."Reina memikirkannya dengan bijaksana.Joanna kembali ke kamarnya untuk beristirahat, sementara Reina kembali ke tempatnya dan Maxime.Maxime tidak pergi ke sana hari ini, dia tidak terlalu suka masalah.Saat itu, dia sedang duduk di sofa sambil bermain ponsel.Reina bingung saat melihat dia masih terjaga. "Kenapa masih belum tidur? Ini sudah malam lho?""Terus kamu? Kenapa jam segini baru balik?" Maxime tidak tenang membiarkan Rein