Alana merasa ucapan Reina benar.Reina melanjutkan, "Coba lihat aku. Dulu aku pergi pas hamil karena disakiti Maxime. Sekarang lihat, kedua anak itu tetap butuh seorang ayah.""Lagian Jovan nggak seperti Maxime yang dulu kok."Alana mengangguk , "Ya oke aku pikirin dulu. Aku mau tes dulu sikap Jovan dulu sebelum ngasih tahu dia.""Oke."Setelah ngobrol dengan Alana, Reina pergi untuk pemeriksaan.Jovan yang menunggu di luar pun bertanya pada Alana, "Kalian ngomongin apa sih?""Cuma ngobrol biasa, ngapain kamu cowok nanya-nanya?" Alana langsung membungkam Jovan.Jovan menghela napas tidak berdaya, "Belakangan ini kok kamu ketus? Memang aku salah apa?"Alana tersedak, "Nggak, itu cuma perasaanmu."Sebenarnya Alana sadar, sejak hamil, dia benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya."Kalau nggak sehat mendingan cek ke dokter deh," kata Jovan santai.Alana menggeleng, "Nggak perlu."Melihat Alana yang keras kepala, Jovan tidak bisa berkata apa-apa lagi.Dia menghampiri Maxime, "Kak Max."
Siapa yang tidak kecewa mendengarnya?Namun, Maxime tidak menunjukkan kekecewaannya. Dia meminta Jovan membawa Reina memeriksakan kondisi telinga Reina untuk tahu apa Reina bisa dioperasi atau tidak.Reina diperiksa hampir seharian.Untungnya, pemeriksaan telinga Reina berjalan lancar. Jovan bilang ada pasien yang kondisinya sama dengan Reina dan setelah operasi menjadi normal."Nana, selamat ya!" Alana dengan tulus ikut berbahagia dengan Reina.Reina juga sangat senang.Dulu dia tidak disukai oleh orang-orang di sekitarnya, baik teman maupun kerabat karena gangguan pendengarannya. Kini akhirnya dia bisa menjadi seperti orang normal."Coba lihat kapan waktu yang tepat untuk jadwal operasinya," ucap Maxime.Jovan merenung sejenak, "Bulan depan bisa."Bulan depan hanya tinggal beberapa hari lagi. Reina pun berkata, "Apa boleh ditunda sebentar?""Kenapa?" Alana bingung."Masih banyak yang harus kuselesaikan di tempat kerja, kayaknya aku nggak ada waktu," kata Reina.Operasinya sendiri han
Karena tidak punya teman nongkrong, Jovan pun meminta sopir mengantarnya ke mal.Dia mau lihat apa yang dibeli Alana dan Reina.Alana dan Reina sudah sampai di mal. Mereka makan, lalu mulai berbelanja pakaian dan sepatu, menggesek kartu untuk belanja segala macam barang yang mereka suka.Dengan kartu Jovan, mereka adalah pelanggan super VIP di mal. Di setiap toko ada yang membantu mereka membawa barang, bahkan ada yang mengantarkan belanjaan mereka ke rumah."Aduuh senang banget ya kalau bisa belanja nggak mikir uang."Para wanita memang suka belanja, namun kondisi terbaik adalah jika bisa berbelanja dengan uang tak berseri.Reina juga membeli banyak pakaian untuk keempat anaknya.Alana menghela napas melihat baju anak-anak kecil, "Aku juga mau anak perempuan deh supaya bisa belanja banyak baju."Reina juga ingin punya anak perempuan, sayangnya dia terus melahirkan anak laki-laki.Alangkah baiknya kalau bisa punya sepasang."Ma, Tante Alana. Anak laki-laki juga oke kok, kalau sudah bes
Marshanda jelas tidak menyangka Syena akan menyuruhnya. Meski enggan, karena Syena tahu rahasianya, Marshanda pun terpaksa setuju.Jadi, akhirnya Marshanda pun menghampiri Reina."Nana, Alana," panggil Marshanda.Reina dan Alana tertegun dan langsung mengenalinya.Meski Marshanda mengenakan masker dan kacamata hitam, suaranya tetap familiar.Reina dan Alana sama-sama mengenalinya."Kok kamu ada di sini?" Alana langsung bertanya tanpa basa-basi.Marshanda melepas kacamata hitamnya, "Oh, aku lagi jalan-jalan."Tatapan Marshanda terlihat tulus dan tidak berbahaya, tidak seperti sebelumnya."Oh." Alana menyahut singkat, lalu meraih tangan Reina dan memanggil Riko, "Ayo pergi."Mereka tidak perlu memedulikan pengkhianat yang tidak tahu berterima kasih seperti Marshanda.Namun belum beberapa langkah, Marshanda memanggil mereka balik. "Nana, selamat ya sekarang kamu jadi CEO Grup Yinandar. Alana, selamat ya kamu sudah jadi menantu Keluarga Tambolo."Sebelum Reina sempat menyahut, Alana yang t
Akhirnya Marshanda kembali ke sisi Syena.Hatinya yang tegang akhirnya rileks, "Nona Syena."Syena menyilangkan tangan di dada, "Kamu itu nggak berguna ya, masa ketakutan gitu pas lihat Jovan? Kamu takut dia tahu tentang penculikan Alana?"Marshanda diam-diam mengepalkan tangannya dan berkata."Ya iyalah aku takut. Tapi ... kamu 'kan juga terlibat di masalah itu."Syena menguap, "Jangan ngomong sembarangan. Kamu yang iri sama Alana. Aku sih nggak, aku 'kan nggak suka Jovan."Marshanda terlihat ketakutan."Aku tahu Jovan belakangan ini lagi menyelidiki insiden penculikan Alana. Nona Syena, sebaiknya kita berdua nggak usah saling curiga, mendingan saling bantu satu sama lain."Syena pun merasa khawatir, "Serius?""Ya.""Kalau gitu kita memang harus hati-hati. Tapi kita juga nggak bisa terus bersikap pasif. Bukannya sekarang kamu sudah banyak kenalan orang kaya? Kamu nggak bisa minta bantuan mereka?"Marshanda tidak bodoh dan tersenyum pahit, "Mereka itu cuma main-main aja. Kalau ketemu m
Dulu Jovan sama sekali tidak keberatan orang lain memotretnya, tapi sekarang dia sudah menikah. Apalagi Riko, si kecil yang berdiri di sampingnya sekarang adalah putra Reina dan Maxime.Kalau dia diberitakan dengan Reina dan Riko, pasti Jovan yang disalahkan Maxime.Jadi sepanjang jalan, para pengawal memperhatikan sekeliling untuk mencegah orang lalu lalang memotret sembarangan.Reina dan Alana tidak memperhatikan hal ini. Setelah puas belanja dan merasa lelah, Jovan mengantar mereka pulang.Setelah mengantar Reina pulang, Jovan baru membawa Alana dan Riko pulang.Riko melihat foto-foto baju yang baru Reina belikan untuknya.Jovan datang menghampirinya dan berkata, "Baju baru?""Ya." Riko mengangguk sungguh-sungguh, "Mama yang beliin buat aku."Jovan melirik Alana dan berkata, "Alana, kamu beliin apa nggak buat aku?"Seketika, Alana terkesiap."Hah?"Dia tidak berpikir untuk membeli apa pun untuk Jovan.Pertama karena Alana memang tidak peduli, kedua karena merasa Jovan tidak kekurang
Saat ini, di dalam rumah sakit swasta.Maxime sedang berdiri di kamar rawat Liane dan mengatakan bahwa dia sudah tahu akan kondisi Liane.Liane terlihat khawatir dan menatap Maxime dengan penuh harap, "Max, kamu jangan kasih tahu Nana ya soal ini. Aku nggak mau dia khawatir."Maxime terlihat ragu-ragu, "Kamu pernah kepikir nggak betapa sedihnya Reina nanti kalau kamu mati tanpa memberitahunya?"Maxime merasa, dari luar Reina terlihat tidak menerima Liane, tapi dalam hati Reina sudah menerima Liane.Terlebih lagi, Reina selalu mendambakan kasih sayang seorang ibu."Saat itu terjadi, dia mungkin akan membenci diri sendiri kenapa nggak tahu tentang penyakitmu lebih awal, kenapa nggak menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu dan kenapa dia begitu dingin padamu."Maxime menjelaskan.Liane paham cara pikir ini, dia meremas erat selimutnya."Tapi aku nggak mau dia memaafkan aku karena aku sakit. Aku mau pelan-pelan dia maafkan karena usahaku sendiri."Liane tidak mau Reina terbebani.Maxime
"Kemarilah." Liane melambaikan tangannya.Syena langsung mendatangi Liane seperti seekor anjing penjaga, "Bu Liane, ada apa?""Mendekatlah," ucap Liane dengan lemah.Syena mendekatkan wajahnya.Tiba-tiba Liane mengangkat tangannya dan secepat kilat menampar wajah Syena.Syena tertegun dan menatap Liane dengan tidak percaya, "Kamu ... kok kamu mukul aku?"Syena hampir saja jatuh.Barusan Liane sudah menggunakan seluruh kekuatannya untuk menampar Syena. Napas Liane jadi tersengal-sengal dan setelah beristirahat beberapa saat barulah dia berkata, "Jangan mimpi kamu bisa mengubah surat wasiatku. Aku sudah menyuruh Pak Gilbert buat buang surat wasiat yang dulu."Barulah Syena sadar dia telah ketahuan.Dia tidak merasa bersalah sama sekali, malah menyalahkan Gilbert."Jadi dia ngadu? Kurang ajar! Aku nggak akan tinggal diam!""Kalau dia nggak ngasih tahu aku, apa dia harus nurutin kemauanmu?" Liane bertanya.Syena tersedak, "Bu ... Ah maksudku Bu Liane, Anda benar-benar nggak akan ngasih apa
"Sekarang, semuanya sudah jelas, jadi mulai sekarang kamu nggak perlu menjagaku lagi. Aku baik-baik saja," kata Reina.Namun, Maxime menggelengkan kepalanya. "Nggak, sekarang aku nggak terbiasa."Dia mengikuti Reina setiap hari, jadi tidak terbiasa jika harus terpisah darinya.Reina tidak berdaya ketika melihat ini."Baiklah, tapi kamu harus berubah secara perlahan."Terus menempel pada orang lain juga cukup merepotkan.Dia juga menginginkan waktu untuk dirinya sendiri.Maxime mengiakan, "Ya, terserah kamu saja."Keesokan harinya.Maxime benar-benar tidak mengikuti Reina ke tempat kerja. Dia mengutus seseorang untuk menjaganya, sementara dia sendiri kembali ke IM Group untuk bekerja.Ketika Gaby dan Sisil mengetahui bahwa Maxime telah kembali ke IM Group, mereka semua terlihat terkejut."Kenapa Pak Maxime tiba-tiba berubah pikiran?" Gaby terkejut.Sisil berbisik, "Bos, apa kalian bertengkar?"Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, hubungan kami baik-baik saja. Aku mencoba bicara ba
Reina tidak mengerti apa yang terjadi dengan Maxime, kenapa dia terus mengungkit-ungkit soal kegagalannya dalam melindunginya?"Sudah kubilang, kejadian itu bukan apa-apa, bukankah cuma leherku yang terluka? Itu semua sudah berlalu," kata Reina tanpa daya.Ketika Maxime mendengar kata-katanya, sekelebat keterkejutan melintas di matanya.Mendengar apa yang dikatakan Reina, dia menyadari bahwa dia sepertinya sudah salah paham."Nana, kamu cuma terluka di bagian leher, nggak ada yang lain?" tanya Maxime.Reina mengangguk. "Ya, memangnya apa lagi?"Maxime menyadari bahwa dia dipermainkan oleh Morgan.Pantas saja, jika hal seperti itu terjadi kepada Reina, kenapa dia masih begitu santai dan tidak terbebani?Sebelumnya, dia mengira Reina menyembunyikan semuanya karena kenyataan itu terlalu sulit untuk diterima.Saat ini, melihat perubahan ekspresi di wajah Maxime, Reina tersentak mengerti."Jangan bilang kamu mengira aku dilecehkan sama Morgan?" katanya dengan pelan.Sudut mulut Maxime berke
"Oh, kalau begitu dia cukup beruntung, bisa menikah sama pria baik-baik," kata penjaga itu sambil mengeluarkan sebuah apel, lalu menggigitnya.Morgan terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.Dia terus membuka kertas di depannya, yang sebagian besar menceritakan bagaimana Jess dan Erik jatuh cinta.Simpul di tenggorokan Morgan bergulir sedikit saat dia menunjuk Jess dan berkata, "Pria yang dulu dia sukai itu aku."Penjaga sedang memakan apel dan hampir tersedak saat mendengar kata-katanya."Ehem. Lalu, kenapa dia bisa nikah sama orang lain?"Mendengar kata-kata itu, dada Morgan terasa sesak dan dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.Ya, bagaimana bisa wanita yang sangat jelas-jelas begitu mencintainya bisa menikah dengan orang lain?"Aku nggak tahu, tapi itu karena seleranya buruk."Penjaga itu berdecak, "Belum tentu, Erik itu pewaris Keluarga Casco, sementara kamu sekarang ...."Dia menggelengkan kepalanya sambil melangkah pergi.Morgan tinggal sendirian di dalam kamar dan batuknya makin
Suasana di dalam mobil sangat hening, membuat sopir merasa sedikit tidak nyaman.Namun, tepat pada saat itu, ponsel Maxime berdering.Dia mengangkat ponselnya dan mengerutkan kening."Ya?" Dia sengaja mengecilkan suaranya agar Reina yang tertidur di sampingnya tidak terganggu.Pria di seberang sana berkata, "Bos, Morgan ingin bicara denganmu."Maxime melirik Reina, matanya terpejam seolah-olah dia tertidur."Berikan kepadanya.""Ya."Tidak butuh waktu lama sampai panggilan itu berganti dan suara Morgan yang agak lemah terdengar, "Ehem, Kak, berapa lama lagi kamu akan menahanku di sini?"Mendengar itu, Maxime mengeluarkan tawa pelan."Ini baru setahun dan kamu sudah nggak sanggup?"Morgan tidak mengatakan apa-apa.Maxime melanjutkan, "Karena aku mengirimmu ke sana, aku nggak berniat membawamu kembali."Satu kalimat itu seperti memberi Morgan hukuman mati.Mata Morgan langsung memerah."Apa kamu bercanda? Uhuk ... uhuk ... uhuk. Aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi sekarang," katanya.
Keduanya bercanda selama beberapa saat sebelum Reina menutup telepon.Melihat bahwa waktu pulang kerja hampir tiba, Reina berencana mengajak Sisil dan yang lainnya berbelanja dan makan bersama. Namun, dia tidak menyangka Maxime akan bangun dan menghampirinya."Nana, ayo pulang ke rumah."Saat mengatakan itu, matanya berbinar-binar.Selama setahun ini, Maxime sudah betah di Grup Yinandar dan tidak mau pindah.Reina sangat tertekan. "Aku mau jalan-jalan, kamu pulang saja dulu.""Kamu mau jalan-jalan ke mana? Aku temenin, ya?" tanya Maxime.Reina tidak bisa berkata-kata.Maxime selalu seperti ini. Reina bahkan tidak bisa pergi berbelanja dengan teman dan sahabatnya ketika dia ingin."Nggak jadi deh. Kalau kamu ikut, kita nanti jadi nggak nyaman."Maxime mendekatinya dan menggenggam tangannya. "Aku yang akan bayar apa pun yang kalian beli."Bagaimana lagi, demi bisa berada di sisi Reina setiap saat, Maxime harus menyenangkan teman-teman dan sahabat Reina.Sisil membawa banyak dokumen saat
Ekspresi di wajah Reina tidak berubah ketika mendengar Melisha mencurigainya. "Rahasia apa?"Dia tidak bodoh, bagaimana mungkin dia memberitahu Melisha?Jika dia mengatakan tentang hal semacam ini, dia sendiri tidak takut dibalas, tetapi dia tidak ingin mengkhawatirkan hal lainnya.Melisha menatap wajah bingung Reina dan merendahkan suaranya, "Lebih baik bukan kamu, atau aku nggak akan melepaskanmu."Dia mengatakannya dengan penuh ketegasan.Reina tidak peduli dengan apa yang dikatakan Melisha. Rasa tidak peduli ini terlihat jelas di wajahnya.Melisha entah kenapa menjadi sedikit ciut saat melihat mata Reina, lalu menarik tatapannya kembali.Pada saat itu, Riko dan Riki juga keluar dari sekolah dan bergegas menghampiri Reina."Mama."Wajah Reina langsung menunjukkan senyuman lembut, sangat berbeda dengan ekspresi dingin dan tidak tersentuh yang dia tunjukkan barusan."Ayo, kita pulang terus makan."Reina menggandeng keduanya dan menuntun mereka keluar.Tidak jauh dari situ, Maxime berd
Joanna berkata kepada Reina dengan perasaan tidak senang, sambil menguap, "Aku pikir bakal lihat Aarav teriak-teriak. Nggak disangka masalahnya selesai secepat ini."Dia tidak bersimpati pada kedua belah pihak.Lagi pula, Keluarga Madison bukanlah keluarga baik-baik.Reina mengangguk. "Ya, aku nggak menyangka masalah ini diselesaikan dengan mementingkan kepentingan masing-masing."Joanna menepuk bahunya."Ke depannya, kamu harus terbiasa sama situasi seperti ini. Dalam keluarga besar, yang namanya perasaan nggak begitu penting, semuanya tentang kepentingan."Reina memikirkannya dengan bijaksana.Joanna kembali ke kamarnya untuk beristirahat, sementara Reina kembali ke tempatnya dan Maxime.Maxime tidak pergi ke sana hari ini, dia tidak terlalu suka masalah.Saat itu, dia sedang duduk di sofa sambil bermain ponsel.Reina bingung saat melihat dia masih terjaga. "Kenapa masih belum tidur? Ini sudah malam lho?""Terus kamu? Kenapa jam segini baru balik?" Maxime tidak tenang membiarkan Rein
Aarav paham dengan maksud perkataannya dan mengangguk mengerti."Jangan khawatir, aku tahu."Joanna dan Reina saling memandang, sudut mulutnya terangkat. "Aku pikir ada acara besar, ternyata bukan. Ayo kita pergi."Reina mengangguk.Saat itu, beberapa wajah yang lebih familier masuk dari luar.Reina melihat para pengunjung, yang tidak lain keluarga Melisha."Ibu, orang Keluarga Madison datang," kata Reina.Joanna langsung menghentikan langkah kakinya."Kalau begitu kita tunggu sebentar lagi saja.""Ya." Tentu saja Reina mendengarkan apa yang dikatakan Joanna.Keduanya belum keluar dan sempat melihat orang-orang Keluarga Madison terengah-engah dari luar.Melihat mereka, wajah Aarav berubah serius."Kenapa kalian datang?"Rombongan Keluarga Madison yang berada di barisan paling depan adalah ayah Melisha. "Mau apa lagi, aku datang mau jemput putriku.""Ternyata Keluarga Sunandar berani bersikap sekeras ini kepada putriku." Dipta melihat luka-luka di tubuh Melisha dan mengepalkan tinjunya.
"Tuan, Keluarga Tuan Daniel datang," kata pelayan itu.Mendengar kata-kata itu, keheningan seketika menyelimuti ruangan itu.Kekesalan di bawah mata Aarav makin tidak bisa disembunyikan. "Sial! Mau apa mereka ke sini?"Rendy menyela, "Apa lagi, mereka pasti datang karena mau lihat masalah di keluarga kita."Aarav menatapnya dengan tatapan kosong.Kemudian, dia hendak meminta pembantu untuk keluar dan memberitahu mereka bahwa dia tidak ada di rumah.Tidak disangka Daniel dan yang lainnya datang tanpa dipersilakan masuk.Aarav tidak pernah sebenci ini kepada Daniel.Hal pertama yang Reina lihat setelah masuk adalah Melisha, yang diikat dan berlutut, serta pria simpanannya.Keduanya memiliki memar di tubuh mereka, terlihat jelas bahwa mereka habis dipukuli.Reina kemudian melihat Aarav duduk di ujung meja, di sebelahnya ada Rendy yang ditahan oleh beberapa pengawal."Daniel, kenapa kalian datang ke mari selarut ini? Aku bikin kalian melihat lelucon keluarga kami." Setelah itu, Aarav melir