Gladys termenung di dalam kamarnya.
Pikirannya berkelana kemana-mana, banyak sekali yang dia pikirkan.Bayangan kedua orang tuanya, menari-nari di pelupuk mata, namun sekuat tenaga mencoba untuk tidak terlalu hanyut dalam kerinduan, sebelum apa yang menjadi keinginannya tercapai."Bapak, Ibu, apa kabar kalian? Lama sekali aku tidak mendengar kabar tentang kalian. Ingin sekali aku memelukmu, Ibu, Bapak. Aku berjanji, setelah membalas rasa sakit hatiku ini, aku akan menemui kalian, aku janji," lirih Gladys.
"Andai saja aku punya ponsel, mungkin akan lebih bagiku untuk mengetahui keadaan mereka, juga Roy. Dimana dia sekarang?"
Gladys mendesah, menyadari kalau selama ini dirinya tidak mempunyai ponsel. Padahal, dengan benda tersebut, tentu akan lebih memudahkan dirinya untuk berkomunikasi.
Tok tok tok ....
"Gladys, kamu di dalam?" sebuah ketukan di pintu kamarnya, sedetik kemudian, muncul Steve dari balik pintu.
Tampak Steve membawa sesuatu dGladys berdiri memperhatikan Tania yang sibuk melihat sebuah sepatu.Beberapa kali Tania terlihat mencoba sepatu yang dia pegang dan melihat harga yang tertera di sana."Mbak, berapa harga sepatu yang dipegang oleh wanita yang ada di sana?" Gladys bertanya pada karyawan yang mendampinginya."Oh, itu sekitar tiga puluh juta Nona," jawab gadis itu."Hanya tiga puluh juta?" tanya Gladys lagi.Gadis yang berada di sebelahnya mengangguk.Namun dalam hati, Gladys sangat takjup dengan harga sepatu yang dipegang oleh Tania.Akan tetapi, dia tidak akan menunjukkan rasa terkejutnya. Baginya, tiga puluh juga sangat mahal. Terlebih selama ini, dia hanya mampu membeli sepatu seharga puluhan ribu saja. Itupun hanya ketika sepatunya sudah rusak.Gladys menarik napas dalam, lalu berjalan lebih dekat ke arah Tania.Dengan sudut matanya, Gladys melihat wajah angkuh Tania. Wajah yang selalu dia ingat, karena menjadi bagian dari orang-orang yang telah menghancurka
Gladys kembali melihat kartu nama yang baru diberikan oleh Tania, bibirnya tersenyum.Baru saja dia hendak melangkahkan kaki, tampak Steve berjalan tergesa menuju ke arahnya."Wah, cepat sekali dia datang," gumam Gladys."Apa yang terjadi?!" tanya Steve dengan wajah panik.Gladys yang melihat wajah Steve, menyembunyikan senyumnya. Lalu buru-buru dia berkata, sebelum kemarahan Steve meledak."Mana yang bangus menurutmu?" tanya Gladys sambil menunjuk deretan sepatu di atas rak.Wajah Steve berubah merah padam, tangannya mengepal, lalu dia membuang pandangannya keluar dengan kesal."Kamu memanggilku hanya untuk ini?" tanya Steve dengan suara tertahan."Iya. Aku ingat, kamu punya selera bagus. Bukankah waktu itu kamu pernah membelikan aku sepasang sepatu? Itu bagus sekali," jawab Gladys tanpa rasa bersalah.Steve menarik napas, dan membuangnya kasar.Wajahnya yang semula menegang, kini perlahan menjadi rileks."Tentu saja
Drtt ... drttt ....Ponsel Gladys beberapa kali berdering, membuatnya bergegas melangkah menuju meja, dimana ponsel itu berada.Sebuah nomer tidak dikenal melakukan panggilan."Halo ...." sapa Gladys begitu sambungan terhubung."Hai ... ini Tania, aku dengar dari sekretarismu, saat ini kamu sedang mencari apartemen, apa benar?"Sejenak Gladys termangu mendengar ucapan Tania dari ujung telepon, namun beberapa saat kemudian, dia sudah bisa menetralkan keadaan dan mencerna arah pembicaraan Tania.'Wow, cepat sekali,' pikir Gladys sambil tersenyum."Iya, benar. Apakah sekretaris saya sudah menghubungi anda?" tanya Gladys ramah."Iya, benar. Kemarin dia menghubungiku, dan minta rekomendasi sebuah hunian yang nyaman dan berada di pusat kota." Tania menerangkan.Gladys mengernyit, bingung, entah apa yang harus dia ucapkan. Sementara dia sama sekali tidak mengerti masalah properti. Terlebih rumah mewah."Apakah anda punya rekomendasi?
"Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Gendis. Aku pikir, setelah mendengar bunyi letusan pistol waktu itu, kamu telah ....""Ssttt ... sudah, jangan menangis. Sekarang kamu lihat sendiri, bukan? Aku masih hidup."Gladys memeluk Suli, menenangkan sahabatnya serta meyakinkan bahwa dirinya masih hidup dan saat ini berdiri tegak di depannya."Bagaimana kamu bisa berubah seperti ini, Gendis? Ups ... Gladys?" Suli meralat nama baru temannya, baginya, menyebut Gendis lebih mudah dibanding Gladys. Walau hanya beda beberapa huruf saja."Tidak apa-apa, kamu tetap bisa memanggilku Gendis, seperti dulu. Asal tidak ada orang lain diantara kita," seloroh Gladys."Bagaimana dengan bayimu? Pasti sekarang sudah besar?"Kembali Gladys bertanya, kali ini sembari memandang perut Suli yang sudah rata. Hal itu membuat Gladys berpikir kalau sahabatnya itu sudah melahirkan.Namun ekspresi wajah Suli berkata lain, matanya memancarkan kesedihan, sambil
Pagi ini, seperti yang telah direncanakan, Gladys dengan ditemani Roy, akan berangkat menuju rumah Dirga.Pagi-pagi sekali, Roy sudah berada di rumah besar Steve untuk menjemput gadis itu.Ditemani pak Markus, Roy menyesap kopi di ruang tengah."Apa kamu baik-baik saja, Roy?" tanya pak Markus. Dari gerak-geriknya, lelaki tua yang telah mengabdikan seumur hidupnya di keluarga Steve itu, bisa menangkap kekhawatiran di mata Roy."Saya tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit kurang tidur saja," ucap Roy, sambil kembali menyesap kopi yang masih mengepulkan asap."Hmm ... begitu, kah? Karena ini masih terlalu pagi untuk datang bertamu," ucap pak Markus, sambil melihat jam yang ada di lengan kirinya."Iya, saya pikir juga begitu. Namun akan lebih baik jika saya minum kopi berdua dengan Bapak di sini, daripada menikmatinya sendirian di rumah." Roy berkata, sebelah tangannya kembali mengangkat cangkir kopi.Pak Markus tersenyum mendengar ucapan Roy, sambil sesek
Untuk beberapa saat, Tania terdiam. Keningnya berkerut, tampak sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Bahkan beberapa kali pula, Tania menarik napas dalam.Seperti merasa berat jika harus melepaskan Suli untuk ikut bersama Gladys, sementara gadis yang sekarang ada di depannya belum lama dikenalnya."Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan asisten pribadi sekarang?" tanya Gladys hati-hati."Oh, tentu saja bisa. Bahkan, detik ini pun, dia bisa menjadi asisten pribadi anda. Bukan begitu, Sayang?"Dirga buru-buru menjawab pertanyaan Gladys, sembari berbasa-basi menanyakan pada Tania.Dengan wajah kaget, Tania menjawab, "Tentu saja, kami sangat profesional dalam menjalankan usaha."Senyum mengembang di wajah Tania, juga Dirga. Entah apa yang membuat Tania tiba-tiba menyetujui ucapan Dirga. Padahal, sebelumnya, dia begitu ragu untuk membiarkan Suli mejadi asisten pribadi Gladys.Menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tania dan Dirga, membuat
Mobil yang membawa mereka bertiga sudah memasuki kota, dimana Gladys tinggal.Hari sudah gelap, ketika mobil mewah itu memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rumah tuan muda Steve."Dys, ini rumah siapa? Kita tidak salah masuk rumah orang, kan?" tanya Suli dengan suara lirih, ketika mereka berjalan memasuki rumah megah tersebut."Tentu saja tidak, Suli," jawab Gladys sambil tersenyum tipis.Mereka terus berjalan, hingga memasuki ruangan tengah rumah tersebut."Kalian sudah datang rupanya."Pak Markus yang berjalan menghampiri mereka bertiga, berkata."Iya, Pak." Roy menjawab singkat."Gladys, aku sepertinya pernah melihat orang tua ini. Tapi aku lupa. Dimana pernah melihatnya," bisik Suli."Kamu benar, Suli. Kamu memang pernah bertemu sebelumnya. Di rumah Dirga.""Kamu serius?!"Suli membulatkan kedua matanya, menatap pak Markus dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitu mendengar penjelasan Gladys yang mengatakan k
Tanpa menghiraukan Suli yang masih mematung di depan pintu, Gladys berjalan meningalkan sahabatnya itu. Mengambil cardigan yang tergrletak di atas sofa bed dan memakainya."Kamu tidak ingin turun dan bergabung untuk makan malam?" tanya Gladys saat melihat Suli masih berdiri di sana."Dys, kamu serius, selama ini tinggal serumah dengan Tuan Muda. Bukankah dulu dia pernah ...."Suli menggantung kalimatnya. Ada perasaan tidak enak saat hendak meneruskan kata-katanya. Melihat Suli sedikit salah tingkah karena ucapannya, Gladys justru tersenyum."Iya, aku tinggal dan ditolong olehnya, orang yang pernah membeliku untuk menjadi pelampiasan kelainan sex nya.""Dys, aku ....""Aku tidak apa-apa, Suli. Aku mengerti maksud dari ucapanmu," ujar Gladys.Mendengar jawaban sahabatnya itu, Suli menarik napas lega."Apakah dia masih sering melakukannya denganmu, Dys?"Kembali Suli bertanya, Gladys melipat kedua tangannya di depa
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap