Untuk beberapa saat, Tania terdiam. Keningnya berkerut, tampak sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Bahkan beberapa kali pula, Tania menarik napas dalam.
Seperti merasa berat jika harus melepaskan Suli untuk ikut bersama Gladys, sementara gadis yang sekarang ada di depannya belum lama dikenalnya."Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan asisten pribadi sekarang?" tanya Gladys hati-hati.
"Oh, tentu saja bisa. Bahkan, detik ini pun, dia bisa menjadi asisten pribadi anda. Bukan begitu, Sayang?"
Dirga buru-buru menjawab pertanyaan Gladys, sembari berbasa-basi menanyakan pada Tania.
Dengan wajah kaget, Tania menjawab, "Tentu saja, kami sangat profesional dalam menjalankan usaha."Senyum mengembang di wajah Tania, juga Dirga. Entah apa yang membuat Tania tiba-tiba menyetujui ucapan Dirga. Padahal, sebelumnya, dia begitu ragu untuk membiarkan Suli mejadi asisten pribadi Gladys.
Menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tania dan Dirga, membuat
Mobil yang membawa mereka bertiga sudah memasuki kota, dimana Gladys tinggal.Hari sudah gelap, ketika mobil mewah itu memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rumah tuan muda Steve."Dys, ini rumah siapa? Kita tidak salah masuk rumah orang, kan?" tanya Suli dengan suara lirih, ketika mereka berjalan memasuki rumah megah tersebut."Tentu saja tidak, Suli," jawab Gladys sambil tersenyum tipis.Mereka terus berjalan, hingga memasuki ruangan tengah rumah tersebut."Kalian sudah datang rupanya."Pak Markus yang berjalan menghampiri mereka bertiga, berkata."Iya, Pak." Roy menjawab singkat."Gladys, aku sepertinya pernah melihat orang tua ini. Tapi aku lupa. Dimana pernah melihatnya," bisik Suli."Kamu benar, Suli. Kamu memang pernah bertemu sebelumnya. Di rumah Dirga.""Kamu serius?!"Suli membulatkan kedua matanya, menatap pak Markus dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitu mendengar penjelasan Gladys yang mengatakan k
Tanpa menghiraukan Suli yang masih mematung di depan pintu, Gladys berjalan meningalkan sahabatnya itu. Mengambil cardigan yang tergrletak di atas sofa bed dan memakainya."Kamu tidak ingin turun dan bergabung untuk makan malam?" tanya Gladys saat melihat Suli masih berdiri di sana."Dys, kamu serius, selama ini tinggal serumah dengan Tuan Muda. Bukankah dulu dia pernah ...."Suli menggantung kalimatnya. Ada perasaan tidak enak saat hendak meneruskan kata-katanya. Melihat Suli sedikit salah tingkah karena ucapannya, Gladys justru tersenyum."Iya, aku tinggal dan ditolong olehnya, orang yang pernah membeliku untuk menjadi pelampiasan kelainan sex nya.""Dys, aku ....""Aku tidak apa-apa, Suli. Aku mengerti maksud dari ucapanmu," ujar Gladys.Mendengar jawaban sahabatnya itu, Suli menarik napas lega."Apakah dia masih sering melakukannya denganmu, Dys?"Kembali Suli bertanya, Gladys melipat kedua tangannya di depa
Hari pertama, Suli tinggal di rumah Steve, semua berjalan biasa saja.Suli hanya bertemu Steve ketika mereka makan malam, saat dia baru saja sampai di rumah itu.Pagi itu, Suli bangun lebih dulu daripada Gladys.Dia bergegas turun ke lantai bawah, untuk berjalan-jalan dan melihat sekeliling rumah magah tersebut.Baru saja tangan Suli hendak menyentuh gagang pintu, sebuah panggilan menghentikan tangannya."Kamu sudah bangun sepagi ini?"Suli membalikkan tubuhnya, dan didapati pak Markus tengah berdiri menatap dirinya. Tangannya memegang secangkir kopi. Hal itu bisa diketahui dari aroma yang menguar di seluruh ruangan. Hingga membuat perut Suli berontak, ingin ikut merasakan nikmatnya secangkir kopi panas pagi ini."Iya, Pak. Saya ingin menghirup udara segar di halaman," jawab Suli sopan, matanya menatap lekat cangkir yang dipegang pak Markus."Kamu mau kopi?" tawar pak Markus pada Suli.Mendengar hal itu, Suli terlonjak gembira.
Alex masih menutup kedua matanya, sementara Gladys memainkan pisau yang dipegang di depan wajah Alex, sambil sesekali menempelkan ke pipi pria bertubuh tambun itu."Tunggu, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" tawar Alex, sambil membuka sebelah matanya."Kesepakatan? Aku tidak yakin kamu punya sesuatu yang bisa kau tawarkan padaku. Kamu bangkrut, tidak punya apa-apa lagi, selain kepala botakmu!" desis Gladys, dengan tatapan mengintimidasi.Merasa direndahkan, Alex mendesis, dia begitu marah dan tersinggung. Namun untuk memberi pelajaran pada Gladys, itu sangat tidak mungkin. Gladys bukanlah gadis polos yang pernah dia renggut kesuciannya dan hanya bisa menangis dan meronta sambil memohon seperti saat itu.Wanita yang kini berada di hadapannya, saat ini seperti singa betina yang siap mencabik-cabik tubuhnya, jika dia berani melawan. Bahkan, untuk sekedar menyentuh kulitnya pun, tidak sanggup dia lakukan saat ini."Aku memang sudah tidak mempunyai a
Sepanjang perjalanan pulang, senyum selalu mengembang di bibir Gladys, sesekali terdengar dia bersenandung.Suli beberapa kali melirik ke arah sahabatnya, dia juga merasa senang melihat kebahagiaan di wajah sahabatnya."Dys, apa benar, Alex sekarang benar-benar bangkrut dan tidak mempunyai apa-apa lagi?" tanya Suli membuka percakapan."Iya, benar. Semua asetnya sudah digadaikan, sebagian lagi dijual. Nah, aset yang dia gadaikan itu, di tebus oleh Steve. Jadi otomatis sekarang menjadi milik Steve, dan dengan tanda tangan yang kita peroleh tadi, akan membantu mempercepat proses pengambil alihan semua aset miliknya," tutur Gladys panjang lebar."Wow ... sang Tuan Muda itu pasti sangat kaya raya, Dys. Buktinya, dia bisa membeli semua aset bandot tua itu tanpa berkedip."Suli berdecak kagum, matanya berbinarSeolah melihat sesuatu yang membahagiakan, bayangan sosok muda dengan harta berlimpah membuat mata Suli melebar dan pikirannya melayang."Dys, kam
Rachel.Sebuah nama yang terucap dari bibir Steve meninggalkan rasa sesak di dada Gladys sekaligus sakit yang dia sendiri tidak bisa mengerti, kenapa sakit itu tiba-tiba muncul.Sementara dia sadar, bahwa dirinya tidak lebih dari wanita simpanan karena dia berhutang pada Steve yang telah menyelamatkan nyawanya saat itu.Kini, Gladys mencoba menghalau perasaan yang memenuhi kepala dan hatinya.Ditatapnya wajah pria yang tertidur pulas di depannya. Wajahnya begitu tenang, seolah tanpa beban. Walau tanpa dia sadari, ada hati yang terluka karena ucapan yang tidak disadari keluar dari mulutnya.Gladys mengusap lembut wajah Steve, wajahnya menunduk hingga tak berjarak, namun buru-buru dia mengangkat kepalanya, urung untuk memberikan sebuah kecupan dan memilih untuk bangkit dari tempat tidur untuk kembali ke dalam kamarnya.Dengan tergesa, Gladys mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.Tanpa bersuara, dia menin
Pagi-pagi sekali, Gladys sudah terlihat keluar dari kamarnya.Rupanya dia tidak bisa tidur setelah apa yang dia dengar dari mulut Steve, juga saat dia menemukan foto seorang wanita.Secangkir kopi berada di tangan kirinya, sementara sebelah tangan yang lain memutar kenob pintu.Gladys memilih untuk menghirup udara pagi di bangku taman yang ada di sebelah rumah megah Steve."Boleh aku duduk di sini."Seseorang bertanya dengan suara lembut, Gladys mendongak, melihat ke arah pemilik suara tersebut.Pria yang memakai sweater biru tua tersebut tersenyum ramah, dia juga membawa secangkir kopi di tangannya."Roy ... kamu sudah bangun?"Gladys malah bertanya, namun dia menggeser tubuhnya hingga menyisakan ruang kosong di sebelahnya, Roy perlahan duduk di sebelah Gladys."Iya, tadinya bermaksud untuk pemanasan, berlari di sekeliling komplek, tapi urung, karena melihatmu duduk sambil menikmati kopi sendirian," ujar Roy."Ke
Dirga masih berbicara di telepon, ketika Tania masuk ke dalam ruangan di mana Alex di rawat.Alex memberi isyarat dengan menutup mulut dengan jari, agar Tania tidak membuat keributan.Setelah beberapa saat, Dirga memasukkan ponselnya ke dalan kantong celana.Dia melihat kehadiran Tania, lalu berjalan mendekati wanita yang sekaligus istrinya itu."Ini semua gara-gara kamu, wanita pembawa sial!" bentak Dirga.Merasa tidak melakukan kesalahan apapun, Tania menjadi marah karena dikatakan sebabagi wanita pembawa sial oleh suaminya."Apa-apaan kamu Dirga, jaga ucapanmu!" pekik Tania tidak mau kalah."Nyatanya memang seperti itu. Karena kebodohanmu, usaha kita banyak yang rugi, dan karena ulahmu juga, usaha yang baru kurintis kini berpindah tangan menjadi milik orang lain," ucap Dirga berapi-api."Dirga, kamu ini sebenarnya ngomong apa?" tanya Tania, yang semakin tidak mengerti maksud ucapan Dirga."Gladys, wanita yang kamu bawa pu
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap