"Tidak. Aku tidak percaya. Dia pasti anak orang lain. Kamu sudah hampir dua bulan tidak pulang, dan sekarang tiba-tiba kembali dan mengaku-ngaku sedang hamil!"
"Mas!" Dia semakin tersedu. Dadanya berguncang sementara air mata berlomba-lomba jatuh membasahi pipinya."Sekarang kamu keluar dari kamar ini, Siska. Aku jijik melihat wajah kamu yang buruk rupa itu!" Mengusirnya secara kasar, karena merasa begitu muak kepada wanita itu, juga sakit hati karena dia telah menipu mentah-mentah dengan mengaku sebagai seorang gadis suci, ternyata malah seorang wanita tuna susila."Oke. Aku keluar dari sini. Tapi kamu ingat. Rumah ini sudah kamu gadaikan ke Pak Handoyo 'kan? Kalau kamu berani macam-macam, aku akan mengambil alih rumah ini dengan cara menebus sertifikat yang ada sama dia. Kamu berani mengusir aku dari sini, maka rumah ini juga akan menjadi milik aku, dan aku pastikan kalian yang akan keluar dari sini!" ancamnya dengan seringai yang menakutkan."Ini, perempuan yang membuat kamu berpaling dari anak saya?!" Ayah tersenyum miring, menatap mencemooh ke arahku sambil mengenyakkan bokong di sofa, padahal belum dipersialakan duduk. "Dia memang cocok sama kamu, Ar. Serasi sekali. Kalau diibaratkan itu, seperti tong sampah dan tutupnya. Klop. Pas.""Jaga bicara kamu, Bapak Tua. Kalau bertamu itu yang sopan!" sentak Siska tidak terima."Waw...Kamu bilang saya sedang bertamu? Ini rumah saya sendiri lho." ucap ayah terdengar enteng. Enak saja mengaku-ngaku."Panggil ibu kamu. Saya mau bicara!" perintahnya sudah seperti bos besar."Ada apa, pak Wildan?" Belum dipanggil ibu sudah datang dan menyalami tangan ayah mertua."Saya mau mengambil rumah ini, Bu. Karena rumah ini dulu saya yang bangun!""Apa? Mau ambil rumah ini? Bapak nggak salah bicara? Ini rumah saya, karena dibangun di atas lahan saya.""Kalau begitu, saya akan membayar tanahnya!"
“Nggak, semalam aku tidak melakukannya dengan kamu, tapi sama Lala. Aku nggak mungkin menyatu dengan monster menyeramkan seperti ini!” Menyibak selimut, memungut celana yang teronggok sembarangan lalu memakainya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.Tiba-tiba rasa tidak nyaman di area selangkangan kembali kurasakan. Gatal disertai nyeri kembali kembali terasa, membuat diri ini gelisah takut apa yang dikatakan dokter beberapa pekan yang lalu itu benar.Lagi dan lagi, merakasan panas seperti terbakar ketika buang air kecil, dan ujung senjataku memerah dengan rasa begitu menyiksa.Memang saat memeriksakan diri ke dokter. Aku tidak sampai mengambil surat hasil laboratorium, karena aku pikir dokter hanya mengada-ada tentang penyakitku. Makanya aku biarkan, ditambah lagi saat itu memang sudah menghilang gatal serta nyeri yang tengah dirasakan.“Kamu mau ke mana, Ar? Kok pagi-pagi begini sudah rapi?” tanya Ibu sembari menelisik tampilanku dari
Buru-buru masuk ke dalam rumah, memanggil Ibu, memberitahu kalau ancaman ayah Nirmala memang tidak main-main.“Kamu jangan bercanda, Arya. Nggak lucu!” ketus Ibu sambil tetap menyesap teh di tangannya.“Aku nggak bercanda, Bu. Aku serius. Silakan Ibu keluar dan lihat sendiri sana!” “Ada apa, Mas?” tanya Siska penasaran. Dasar perempuan kepo. Pengen tahu saja urusan orang.“Kamu nggak usah keluar. Di sini saja sampai rumah ini dirobohkan, biar kamu ketimbun sekalian!” Kini emosiku kian meninggi melihat wajah Siska.Mata bulat dengan iris hitam milik Siska melotot hingga hampir lepas dari kelopaknya.Brukk!Terdengar seperti sesuatu sedang dirobohkan, juga deru mesin alat berat mulai bekerja.Aku lekas berlari menuju jendela, menyibak tirai dan terenyak sesaat melihat pagar depan sudah roboh.Kejam. Tidak berperasaan memang ayahnya Nirmala. Padahal dulu aku pikir dia manusia paling baik sedunia, dan sekarang malah menunjukkan sifat aslinya yang jahat luar biasa.“Suara berisik apa, A
Malu rasanya karena semua aibku dibongkar di depan umum, merasa ditelanjangi tanpa ampun. Dibongkar semua tanpa terlewat. Kejam memang si Wildan.Tuhan saja yang maha pencipta masih mengampuni segala kesalahan hamba-Nya, tetapi tidak dengan orang-orang sombong itu. Mereka seolah bangga menunjukkan bahwa mereka semua hebat, dengan cara menjatuhkan keluargaku hingga ke dasar yang paling dalam.“Ternyata begini kelakuan asli Mas Arya. Duh, nyesel udah belaian tadi!” celetuk Bu Hilda akhirnya.“Iya, lagunya doang sok kaya. Ternyata kere. Udah kere sok-sokan nikah lagi. Buang berlian demi mengutip pecahan kaca!” timpal si ibu berkacamata.“Hu’um. Kirain kaya punya sendiri. Nggak taunya punya istri, dan sombongnya juga minta ampun waktu masih jaya. Ambrukin aja rumahnya, Pak. Biar mereka tau rasa dan nggak jumawa!” Beberapa alat berat yang Ayah bawa mulai kembali bergerak. Tangis Ibu semakin terdengar menyayat, sedangkan Wildan beser
Lelaki dengan alis tebal serta bulu mata lentik itu tertawa mendengarnya. Dia kembali menoleh menatapaku, tersenyum manis membuat diri ini menjadi salah tingkah.“Ma—maksud aku, lagi mikirin kamu, karena penasaran siapa kamu sebenarnya, Vir!” ucapku meluruskan, khawatir dia ke-geeran dan berpikir yang tidak-tidak.“Oh... Kirain. Ampe geer aku, La!” Dia menggaruk kepala yang sepertinya tidak gatal. Duh, kasihan.“Vir, aku mau nanya. Tapi tolong jawab dengan jujur. Sebenarnya kamu ini siapa?” “Aku siluman Harimau dari Gunungkidul!” Pria berkulit bersih itu kembali tertawa renyah.Enak banget hidupnya. Semua terasa ringan, dan seperti tidak memiliki beban. Setiap hari bisa tertawa, bercanda ria tanpa harus memikirkan kehidupan yang teramat pelik seperti diriku.“Aku serius, Virgo? Jangan-jangan kamu memang bukan supir atau bodyguard ya? Aku curiga kalau kamu itu sebenarnya anak orang kaya!” “Kalau iya memang
“Bi anterin aku jalan-jalan bisa nggak? Soalnya hari ini Virgo nggak dateng,” ucapku sambil melingkarkan tangan di pinggang Bi Sarni dan menyandarkan kepala di bahunya.“Bisa, dong. Apa sih yang enggak buat Enok. Ya sudah. Buruan mandi, ganti baju, dandan yang cantik habis itu sarapan!” Dia menarik gemas hidungku.“Baik, Komandan!” Turun dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi dan segera mengguyur tubuh.Memantas diri di depan cermin. Menatap pantulan wajahku yang sebenarnya terlihat cantik. Mungkin karena pincang jadi jarang ada laki-laki yang mau mendekati. Bahkan Kak Irsyad yang katanya cinta juga aku tidak begitu percaya, sebab setiap dekat dengan dia, ada saja musibah yang menimpa, seolah kejadian itu disengaja.Aku harus sembuh dan kembali normal. Supaya bisa seperti perempuan lainnya. Hidup bahagia, menemukan pasangan yang memang mencintai dengan setulus hati, bukan karena mencintai uang ayahku.Setelah selesai sarapan Pak sopir segera mengantar ke pusat perbelanjaan. Da
Pintu ruang tindakan terbuka lebar. Seorang pria beralmamater keluar sambil mengulas senyum, dan Mas Arya segera beranjak bangun menghampiri dokter yang aku taksir masih berusia tiga puluh lima tahunan itu.“Bu Siska dan bayinya baik-baik saja, Pak. Hanya saja ada sedikit kabar tidak mengenakan yang ingin saya sampaikan kepada Bapak tentang ibu.” Dokter berujar sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jas yang sedang dia kenakan.“Ada apa, Dokter. Silakan bicarakan saja.”“Mari Bapak ikut ke ruangan saya, karena tidak mungkin saya mengatakannya di tempat umum seperti ini!”Dokter berwajah tampan itu lalu tersenyum ke arahku, mengayunkan kaki meninggal ruang tindakan mengajak Mas Arya entah ke mana. Mungkin ke ruang pribadinya.“Udah, Nok. Kita pulang aja. Mumpung Mas Arya lagi nggak ada!” ajak Bi Sarni.“Enggak, Bi. Kalau kita pulang sekarang, pasti Mas Arya akan tambah besar kepala dan mengira kalau aku yang salah.
Aku menatap benda berbentuk bulat dengan mata berkilau itu, lalu menatap wajah Kak Irsyad yang sedang tersenyum kepadaku.“Maaf, Kak. Aku nggak bisa. Untuk saat ini, aku masih ingin sendiri dulu. Belum memikirkan untuk menikah lagi ataupun terikat dengan siapa pun!” tolakku secara halus, sebab belum yakin juga siap untuk mencari pengganti Mas Arya.Aku pernah dikecewakan oleh pria yang ada di hadapanku ini, karena malu mempunyai calon istri yang tidak sempurna. Sekarang, tiba-tiba dia kembali datang, mengharap cinta itu kembali di saat ada hati lain yang mulai menyemaikan cinta dalam sanubari.“Aku janji tidak akan mengecewakan kamu lagi, La. Aku akan menjadi calon suami yang baik. Percayalah!” Kak Irsyad mengambil tanganku, menggengamnya erat lalu mencium bagian punggungnya.“Tapi aku belum bisa. Aku masih trauma dengan kegagalan!”Terdengar helaan napas berat lelaki dengan wajah penuh kharisma itu. “Maafkan aku, La. Karena sudah melukai hati kamu dulu. Demi Tuhan aku menyesal dan
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan