"Nggak usah ikut campur urusan orang lain. Ayo, ikut saya ke rumah. Soalnya Ibu nggak ada di rumah!""Ibu kan memang pergi sama teman-temannya. Untuk apa dicariin?" "Ibu pergi?""Iya. Katanya dia dapet arisan dan pengen jalan-jalan. Makanya dia langsung ngajak teman-temannya nginep di puncak. Memangnya Mas nggak tau?"Aku nenyentak napas kasar.Ibu. Anaknya sedang terlilit banyak hutang dan punya banyak masalah. Bukannya bantu bayarin, malah punya uang buat jalan-jalan. Benar-benar tidak punya perasaan."Mau ke mana, Mas?" tanya Bang Sanip ketika melihatku melenggang pergi meninggalkan pos.Aku terus saja berjalan tanpa menoleh, malas berbicara dengan dia lama-lama. Bikin tambah pening.Sesampainya di rumah. Lekas merebahkan bobot di atas kasur, menatap langit-langit kamar membayangkan apa yang sudah aku lakukan kepada Nirmala.Menyesal. Itu yang aku rasakan saat ini.
Setelah beberapa hari tidak merasakan nyeri di area intim, hari ini tiba-tiba rasa itu kembali datang dan sakitnya terasa lebih dahsyat dari kemarin. Bahkan banyak sekali nanah yang keluar, dan ujung pistolku memerah keunguan serta membengkak.Jangan ditanya rasanya. Hanya tersenggol sedikit saja rasanya nyeri luar biasa, apalagi jika sedang buang air kecil. Aku saja sampai menggigil dan menitikkan air mata karena rasa sakit yang begitu menyiksa.Sepertinya aku harus menemui dokter spesialis kalau terus menerus seperti ini, supaya penyakitku cepat tertangani dan tidak semakin parah. Aku takut jika nanti seperti yang diceritakan Bang Sanip kemarin. Terkena penyakit kelamin dan harus diamputasi hingga habis tidak tersisa.Bergidik ngeri sendiri kalau membayangkan jika semua itu sampai terjadi.Ragu-ragu memesan taksi online untuk mengantarku ke rumah sakit. Menghubungi Pak Irsyad meminta izin tidak bekerja hari ini, sebab kalaupu
Lekas kubersihkan cairan kental berwarna kuning kehijauan itu, sambil memejamkan mata menahan nyeri luar biasa.“Ar, kamu kenapa, sih? Kok wajahnya keliatan pucet dan lemes gitu? Sakit?” Ibu kembali bertanya ketika aku keluar dari kamar dan berpapasan dengannya di dekat meja makan.“Badan aku meriang, Bu. Tubuh rasanya sakit semua. Tenggorokan juga sakit!” jawabnya seraya mengenyakkan bokong dengan hati-hati, karena kali ini bagian belakang juga mulai ikut nyeri.Wanita berkulit putih itu menempelkan punggung tangan di dahi, menautkan kedua alis ketika memeriksa suhu tubuh dan ternyata tidak demam.“Nggak panas, Ar?” ucapnya kemudian.“Sakit itu tidak harus demam, Bu. Karena yang sakit itu...” Menggantung kalimat, malu rasanya jika harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada diri ini.Takut dikucilkan lalu ditinggalkan. Apalagi yang aku tahu, Ibu itu tipe perempuan yang nggak mau repot. Pasti dia langsung menj
"Tapi, Pak? Masa hanya gara-gara masalah seperti ini saya harus dipecat? Rasanya nggak adil banget deh! Saya sudah berusaha bekerja dengan baik. Ikut memajukan perusahaan Bapak tapi, hanya karena masalah sepele Bapak memecat saya?" protesku tidak terima."Keputusan saya sudah final, Arya. Soalnya semakin ke sini pekerjaan kamu juga nggak ada yang beres. Semuanya kacau berantakan. Kalau kamu masih mau bekerja di perusahaan ini, saya bisa pindahkan kamu di bagian cleaning servis. Apa kamu bersedia?" Mata bulat dengan iris pekat itu terus saja memindai dengan tajam serta mencemooh.Enak saja mau memindahkan aku di bagian bersih-bersih. Itu mah, sama saja mempermainkan aku di depan teman-teman sejawat. Apalagi jika nanti Nirmala tiba-tiba datang dan melihatku berprofesi sebagai office boy. Pasti dia akan menertawakan diriku juga mengejek, karena setelah berpisah dengannya hidupku malah hancur berantakan seperti ini. Aku tidak mau."Maaf, Pak. Kalau di ba
Beranjak dari kursi, aku melangkah lebar-lebar meninggalkan kafe tersebut karena semuanya terasa sia-sia. Waktuku terbuang percuma hanya untuk menunggu orang yang sudah tidak mau lagi bersua denganku.Sudahlah. Sepertinya mengikhlaskan adalah jalan yang terbaik, meskipun rasanya teramat sakit.Tapi, akankah aku sanggup menjalani hari-hari dengan perasaan rindu yang terus saja membelenggu? Begitu mendamba cinta dari Nirmala, berharap ada keajaiban dari Tuhan, dan cinta kami kembali dipersatukan oleh takdir.Bruk!Saking seriusnya berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang perempuan berhijab panjang menjuntai. Wanita cantik dengan bibir tipis itu meringis kesakitan, berusaha berdiri sendiri walaupun aku mengulurkan tangan."Kamu adeknya Rangga 'kan?" sapaku ramah, sambil menatap lamat-lamat wajah ayunya."I--iya, Mas. Saya Rani, adeknya Bang Rangga. Mas temen kerjanya Abang kan?" Dia balik bertanya.Aku han
"Tidak. Aku tidak percaya. Dia pasti anak orang lain. Kamu sudah hampir dua bulan tidak pulang, dan sekarang tiba-tiba kembali dan mengaku-ngaku sedang hamil!""Mas!" Dia semakin tersedu. Dadanya berguncang sementara air mata berlomba-lomba jatuh membasahi pipinya."Sekarang kamu keluar dari kamar ini, Siska. Aku jijik melihat wajah kamu yang buruk rupa itu!" Mengusirnya secara kasar, karena merasa begitu muak kepada wanita itu, juga sakit hati karena dia telah menipu mentah-mentah dengan mengaku sebagai seorang gadis suci, ternyata malah seorang wanita tuna susila."Oke. Aku keluar dari sini. Tapi kamu ingat. Rumah ini sudah kamu gadaikan ke Pak Handoyo 'kan? Kalau kamu berani macam-macam, aku akan mengambil alih rumah ini dengan cara menebus sertifikat yang ada sama dia. Kamu berani mengusir aku dari sini, maka rumah ini juga akan menjadi milik aku, dan aku pastikan kalian yang akan keluar dari sini!" ancamnya dengan seringai yang menakutkan.
"Ini, perempuan yang membuat kamu berpaling dari anak saya?!" Ayah tersenyum miring, menatap mencemooh ke arahku sambil mengenyakkan bokong di sofa, padahal belum dipersialakan duduk. "Dia memang cocok sama kamu, Ar. Serasi sekali. Kalau diibaratkan itu, seperti tong sampah dan tutupnya. Klop. Pas.""Jaga bicara kamu, Bapak Tua. Kalau bertamu itu yang sopan!" sentak Siska tidak terima."Waw...Kamu bilang saya sedang bertamu? Ini rumah saya sendiri lho." ucap ayah terdengar enteng. Enak saja mengaku-ngaku."Panggil ibu kamu. Saya mau bicara!" perintahnya sudah seperti bos besar."Ada apa, pak Wildan?" Belum dipanggil ibu sudah datang dan menyalami tangan ayah mertua."Saya mau mengambil rumah ini, Bu. Karena rumah ini dulu saya yang bangun!""Apa? Mau ambil rumah ini? Bapak nggak salah bicara? Ini rumah saya, karena dibangun di atas lahan saya.""Kalau begitu, saya akan membayar tanahnya!"
“Nggak, semalam aku tidak melakukannya dengan kamu, tapi sama Lala. Aku nggak mungkin menyatu dengan monster menyeramkan seperti ini!” Menyibak selimut, memungut celana yang teronggok sembarangan lalu memakainya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.Tiba-tiba rasa tidak nyaman di area selangkangan kembali kurasakan. Gatal disertai nyeri kembali kembali terasa, membuat diri ini gelisah takut apa yang dikatakan dokter beberapa pekan yang lalu itu benar.Lagi dan lagi, merakasan panas seperti terbakar ketika buang air kecil, dan ujung senjataku memerah dengan rasa begitu menyiksa.Memang saat memeriksakan diri ke dokter. Aku tidak sampai mengambil surat hasil laboratorium, karena aku pikir dokter hanya mengada-ada tentang penyakitku. Makanya aku biarkan, ditambah lagi saat itu memang sudah menghilang gatal serta nyeri yang tengah dirasakan.“Kamu mau ke mana, Ar? Kok pagi-pagi begini sudah rapi?” tanya Ibu sembari menelisik tampilanku dari
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan