Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam lamanya. Akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat pada sebuah bandara di kota kecil bagian barat Arizona, USA. Dengan membawa koper berisikan penuh dengan senjata, mereka tetap berjalan dengan santai bak penumpang lainnya. Mereka telah diberi izin penuh oleh pemerintah Amerika Serikat dalam menjalankan misi ini.
Sebelum beranjak ke apartemen yang telah disediakan, Cailey dan Julian mengecek data-data penumpang yang dicurigai oleh MI6. Hasil CCTV menunjukkan bahwa tersangka dengan berpakaian serba hitam yang akhirnya diketahui identitasnya telah meninggalkan bandara sejak 14 jam yang lalu. Cailey membuka sebuah kertas, berisikan catatan yang ditulis dalam tinta biru.
Gyula Roberto
Cailey menghembuskan napas kasar dan meremas kertas tersebut, bersamaan dengan maniknya yang mulai menajam.
Julian menarik lengan Cailey dan membawanya ke bagian ruangan di dalam bandara. Mereka bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat, yang salah satunya dengan menyediakan seluruh kebutuhannya. Sebuah mobil disiapkan dihadapan mereka, lengkap dengan fasilitas keamanan dalam kesatuannya. Julian menarik salah satu sudut bibirnya saat petugas berseragam melemparkan kunci mobil itu kepadanya.
Mereka mengendarai mobil tersebut dengan Julian yang berkuasa penuh atas setir kemudi. Cailey mengedarkan pandangannya saat mereka melewati pemandangan hijau di sekelilingnya, maniknya menelisik pepohonan pinus di kedua sisi jalan. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, luas kota ini tak seberapa dibandingkan dengan luas hutan yang mengelilinginya.
Cailey membiarkan angin siang yang menerpa wajahnya. Sesekali ia melirik samping kirinya, mendapati wajah serius Julian yang tengah menyetir dengan tenang. Angin yang terus meniupi rambut keperakkan Julian, serta senyum yang terus terpatri di wajahnya seakan tak pernah hilang. Mata birunya seperti laut, yang dapat menenggelamkan setiap wanita ke dalam pesonanya. Tanpa sadar bibirnya tersenyum, ia baru menyadarinya bahwa Julian sangatlah tampan. Julian menoleh ke arahnya, tak lupa dengan senyuman manisnya. Buru-buru Cailey mengalihkan pandangannya ke depan.
Beberapa menit kemudian Julian berdehem, “Kita sudah sampai, sweetheart.”
Mereka terhenti pada sebuah apartemen sederhana bercat putih, dengan dihiasi tanaman janda merana yang merambat dengan tumbuh menjuntai ke bawah pada beberapa sisinya. Di bagian pojok langit-langit, Cailey dapat melihat noda hitam yang terjadi karena kebocoran saat hujan. Kaki Cailey beranjak menelusuri apartemen mereka yang dapat dikatakan tidak semewah flat miliknya di London. Ruangan apartemen yang mereka tempati hanya seluas 25 meter persegi. Tidak seperti biasanya, entah MI6 sedang merugi atau apa. Cailey berharap mendapat bonus yang besar jika pada akhirnya mereka berhasil menyelesaikan misi ini. Kamar yang tersedia pun hanya satu, yang berarti Cailey dan Julian harus tidur dalam satu kamar yang sama. Bukan hal yang tidak biasa sebenarnya, beberapa kali dalam mengerjakan kasus mereka selalu tidur bersama. Hanya tidur tentunya, tidak melakukan hal-hal aneh seperti yang kalian pikirkan.
Cailey beranjak untuk mulai membereskan barang-barangnya, selagi Julian membuka koper hitam berukuran besar.
“Hey, aku punya sesuatu untukmu,” kata Julian.
Cailey mengangkat wajahnya. Julian menarik tangan Cailey dan menyerahkan sebuah kotak beludru hitam berukuran sedang.
“Kau tidak sedang melamarku, bukan?” tanya Cailey sambil tertawa geli.
“Bukalah,” pintanya dengan lembut.
Menganggukan kepala, masih dengan tertawa geli Cailey membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya Cailey melihat sebuah kalung perak yang cantik dengan bentuk liontin yang unik, liontin berinisialkan namanya, CR. Cailey menyentuh liontin itu dengan hati-hati dan tersenyum.
“Mau ku pasangkan pada lehermu?” tanya Julian menawarkan. Cailey mengangguk.
Julian bergeser untuk mengangkat surai kecokelatan Cailey dari depan, kemudian mengaitkan kalung itu pada leher Cailey yang jenjang. Cailey sempat menahan nafasnya saat melihat wajah Julian dari dekat. Julian memundurkan tubuh untuk melihatnya. Julian tersenyum hangat sambil terus menatap wajah Cailey cukup lama.
“Kau cantik,” pujinya dengan lirih.
Cailey mengangkat satu alisnya, sebelum tiba-tiba Julian mendekatkan wajahnya kembali pada Cailey. Manik kecokelatan itu melebar, posisi itu berlangsung selama sepuluh detik, sampai pada akhirnya Julian mengakhiri dengan acakan pada rambut Cailey. Kemudian Julian pergi dengan santainya, setelah membuat jantungnya berdegup tak karuan. Meninggalkannya yang hanya dapat mematung di tempat.
****
In Ranch House Restaurant
Cailey menunduk lesu seraya meyesap coffee latte dengan asap yang masih mengepul. Sesekali ia tiup hingga aromanya menyeruak memasuki indra penciumannya. Cailey melirik arloji yang sudah ia ubah dalam mode normal. Julian benar-benar belum kembali setelah kejadian sore tadi. Hatinya tidak tenang memilikirkannya. Julian, cinta pertamanya, untuk pertama kalinya ia berhasil membuat detak jantung Cailey menggila hanya karena kalimat singkat. Cailey merasa pipinya panas dengan hanya memikirkannya.
Cailey mengalihkan pikirannya dengan memandang keluar jendela, menikmati indahnya bintang-bintang. Melihat orang-orang berlalu lalang di luar sana sambil menyesap coffee latte dan biskuit yang akan habis sebentar lagi. Maniknya mengawasi sekitar, restoran yang didatanginya ini cukup sepi, hanya terdapat 3 meja yang terisi. Cailey menempati meja di sebelah jendela, 1 orang duduk di tengah restoran sambil membaca sebuah buku, sedangkan 2 orang lainnya duduk paling jauh dari bar dan tempat duduknya berada. Sebuah kebiasaan bagi Cailey untuk menghitung orang di dalam ruangan dan melihat pakaian yang mereka pakai.
Dengan sebuah buku catatan kecil dan pena di hadapannya, Cailey memulai untuk menyusun rencana atas misi yang ditugaskannya.
"Wah suatu kebetulan kita bertemu disini Mr. Roberto, apa kau membawa uangnya?" tanya seseorang pria di seberang sana.
“Tunggu, Mr, Roberto?” batin Cailey.
Manik Cailey menatap lurus cangkir kopi di mejanya, telinga menajam, berusaha keras mendengarkan percakapan 2 orang itu.
"Tidak, kau harus menyerahkan barangnya terlebih dahulu," kata seorang pria lainnya dengan topi hitam di kepalanya.
"Baiklah, kita akan bertemu lagi pada waktu yang ditetapkan, dengan bom-ku serta uangmu," katanya dengan menyeringai.
Apa? Bom?!
Berbagai jenis petanyaan muncul di benak Cailey. Setelah membunuh perdana menteri Inggris, sepertinya pria itu merencanakan sesuai yang lain. Cailey menjadi was-was, sepertinya kasus yang dihadapinya ini lebih rumit dari yang dipikirkannya.
Ah, Cailey rasa ia benar-benar berhadapan dengan teroris.
Lelaki yang ia duga bernama 'Mr. Roberto' itu beranjak keluar dari restoran. Dengan segera Cailey membayar semua pesanannya dan bergerak mengikutinya.
Cailey mengikuti Gyula yang berjalan dengan santainya melewati sebuah lorong dengan penerangan yang minim. Sesekali ia menoleh ke belakang merasa sesuatu mengikutinya. Cailey terperanjat saat seekor kucing hitam dengan matanya yang menyala melintas di depannya. Saat ia gerakkan maniknya kedepan, Bingo! Gyula telah menghilang.
“Kucing sialan!” umpatnya.
Ia menjadi kehilangan jejaknya. Cailey mengedarkan pandangannya ke sekeliling, hingga terhenti pada seorang lelaki yang tersender pada sebuah lampu jalan.
Gyula?
"Mencariku huh?" Tanya Gyula dengan seringainya. Cailey hanya dapat terdiam, ini adalah pertama kalinya ia tertangkap basah oleh buronannya.
"Lihatlah satu lagi Agen MI6, kau mau kuhabisi seperti dua Agen sebelumnya huh?" Gyula melanjutkan, "dengan senang hati."
Gyula menyeringai, lagi. Cailey mengepalkan kedua tangannya. Dengan gerakan cepat, Cailey memukul Gyula tepat di pipinya, sebelum Gyula berjalan lebih dekat. Tubuh Gyula terdorong ke belakang, tidak menduga Cailey memberinya serangan dadakan. Sebelum Cailey melayangkan tangannya kembali, seseorang menahannya sehingga tangannya menggantung di udara.
Seorang satpam yang bekerja pada gedung perusahaan terdekatlah yang menahannya. "Jika ingin berkelahi jangan disini nona," katanya dengan tegas.
Cailey mendengus dan mendapati Gyula telah lari menjauh darinya.
Dengan segera ia tepis tangan satpam itu dan berlari mengejar si teroris, Gyula. Sial sekali, Gyula berlari dengan kecepatan tinggi. Cailey berusaha mempercepat langkah kaki dalam mengejarnya, hingga Gyula berada beberapa meter dari arahnya. Tanpa ia sadari bahwa ini sudah terlalu jauh, manik Cailey melihat sekeliling dengan cepat, mereka berada sampai pada perbatasan hutan dengan kota. Gyula berhenti mendadak dan meliriknya sekilas sebelum akhirnya Gyula melompat memasuki hutan.
Damn it!
Cailey tidak mungkin mengikutinya ke hutan dalam keadaan gelap seperti ini. Ditambah lagi, Cailey tidak membawa senjata. Cailey tidak memiliki persiapan apapun. Cailey merutuki dirinya dan dengan terpaksa ia harus kembali lagi besok.
To be continued
Sebuah suara terpaksa membuyarkan mimpi Cailey kecil yang tidur dengan piyama kebesarannya. Cailey mengucek kedua matanya, pupilnya mencoba menyesuaikan cahaya di kamarnya.Suara geraman bersamaan dengan teriakan kembali terdengar.PRANGGCailey menuruni ranjangnya begitu mendengar suara seperti barang pecah belah yang dilempar paksa. Cailey berjalan perlahan mengikuti arah datangnya suara. Ia memekik tertahan saat mendapati kedua orang tuanya bertekuk lutut kepada seekor serigala hitam dengan manik merah menyala.“Kumohon jangan bunuh kami,” kata mama. Serigala tersebut menggeram, diikuti oleh kelima serigala di belakangnya.Serigala itu mengeluarkan cakarnya yang tajam. Wajah bengisnya menghadap orang tua Cailey dengan tatapan penuh intimidasi.Perlahan papa mengorek sakunya, mengeluarkan sebuah besi seukuran 15 cm dengan ujungnya yang runcing. Dengan sekali gerakan, pap
Matahari masih bersembunyi dibalik awan. Digantikan oleh hujan yang tak pernah bosan meninggalkan jejaknya di bumi. Lengkap dengan pertichor yang menenangkan indra penciuman setiap makhluk yang ada. Termasuk Zachary yang tak ingin tidur hanya untuk melihat wanita yang terlelap di hadapannya. Memastikan wanita itu untuk tetap hangat. Mencoba menggabungkan aroma petrichor dan aroma cherry blossom milik wanita itu yang sangat harum. Zachary menghela napas untuk kesekalian kalinya. Melihat wanita dihadapannya dengan kondisi mengenaskan dengan banyak luka yang telah dibalut perban. Hatinya terasa sakit hanya dengan melihatnya. Sungguh perasaan yang aneh. Seharusnya ia tak terlambat, berharap perasaan aneh pada hatinya itu menghilang. Zachary benar-benar menghabisi para rogue itu dengan brutal, hingga memisahkan bagian bagian anggota tubuhnya menjadi potongan-potongan. Rogue pengganggu memang sangat pantas untuk dibunuh. Zachary memberanikan diri untuk mengelus pipi wanita itu dengan lemb
“Aku membenci serigala.” “Aku membenci serigala.” “Aku membenci serigala.” Kata-kata itu terngiang berulang kali di kepala Zachary. Bagai petir yang ditusukkan oleh Zeus hingga mampu menembus hatinya, saat mate-nya menyatakan satu kalimat yang menimbulkan gejolak api pada tubuh Zachary. Itu aneh, Zachary merasakan sakit pada hatinya hanya karena itu. Zachary hanya bisa mematung, jantungnya seakan tertohok dengan mulut sedikit terbuka. Ia sangat bersyukur kepada Moon Goddess saat melihat wajah mate-nya untuk pertama kali, meskipun wanita itu seorang manusia. Zachary menertawakannya kekonyolannya sendiri, dirinya bahkan tidak tahu mengapa ia begitu bersyukur. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ada perasaan aneh yang menggelitik saat mengetahui, dengan hanya melihat wajah mate-nya, hatinya menjadi lebih tenang. Seolah wanita itu berhasil mengeluarkannya dari dasar Samudera yang kelam. Tetapi apa? bahkan ia baru saja berunding dengan Parker, serigala dalam tubuhnya, mengenai apakah ia
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali Helen dan Sidney datang ke istana Zachary. Setelah medengarkan kabar bahwa anak laki-lakinya sudah menemui takdirnya, Helen bergegas untuk mengunjungi, bersama dengan adik perempuan Zachary. Sidney membawakan keranjang penuh dengan buah stroberi. Gadis kecil itu tak sabar ingin bertemu kakak iparnya dan mendahului ibunya untuk bertemu Cailey. Helen masih saja sibuk berbicara dengan kakaknya di ruang utama. Cailey meregangkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka pada tubuhnya sudah sembuh total sejak kemarin. Akan tetapi, yang membuatnya heran adalah para pelayan menginstruksikan untuk tidak membuka perbanya sampai seminggu. Bahkan, Cailey dilarang untuk mengintip lukanya. Itu aneh, Cailey benar-benar sudah tidak merasakan sakit dan kasa-kasa itu membuatnya risi. Selama dua hari ini Zachary selalu mengunjunginya, mereka jadi lumayan dekat karena itu. Terkadang, ia datang malam-malam hanya untuk menatap Cailey dalam waktu yang lama. Cailey yang masih te
Bulan perbani akhir mengintip di balik awan malam ini. Hutan tempat makhluk magis berlindung itu masih basah karena hujan. Terlalu tenang, karena tidak semua makhluk menyukai lengas. Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian malam. BrakkPintu kamar Zachary terbuka dengan keras membuat Cailey yang tertidur langsung terlonjak kaget dengan membelalakan matanya. Ia menyingkap selimutnya melihat Zachary yang tiba-tiba masuk dengan tatapan tajam serta rahang yang mengeras.Zachary menghembuskan napas tak beraturan melihat wajah polos Cailey setelah mengetahui kenyataan pahit dalam diri Cailey.PrangCailey terlonjak, Zachary melempar seluruh senjata Cailey ke hadapannya. Cailey mengernyitkan dahinya bingung. Dalam hati ia sedikit lega, mengetahui Zachary yang masih berbaik hati mengembalikan senjata-senjatanya, tetapi tidak dengan ekspresi yang pria itu lemparkan kepadanya.Zachary berjalan kearah Cailey dengan tatapan menusuk, “Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Zachary meninggikan su
Cailey berjalan sedikit berlari, mengabaikan panggilan Luna para penghuni istana yang terus menerus memanggilnya. Rahangnya mengeras. Bingung, takut, dan marah bercampur menjadi satu. Hatinya terasa sesak dan Cailey tidak menyukainya.Penjaga istana pun dibuat kebingungan oleh Alphanya yang tiba-tiba me-mindlink untuk dibukakan kembali akses pintu keluar istana. Mereka juga tidak mendengar perintah Alphanya untuk mengejar Luna yang lari begitu saja. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan para Omega yang memecah keheningan istana. Cailey tak peduli, ia hanya terus berlari dan berlari.Maniknya sekilas melihat sekitar, Cailey keluar dari sebuah istana yang sangat indah. Pilar-pilar besar di beberapa sudutnya membuat istana itu terlihat semakin kokoh. Ukiran yang tercetak di pilar-pilar dan beberapa bagian lainnya hampir membuatnya berhenti untuk mengagumi, hanya saja jika ia tidak sedang dalam kondisi seperti ini. Di sekeliling istana terdapat rumah-rumah kecil yang banyak. Ada banyak seka
Cailey menatap senja, yang kala itu tampak sang matahari dengan egoisnya enggan mengantikan singgasananya pada sang bulan. Burung-burung mulai kembali ke peraduannya. Mencari kehangatan akan angka celcius yang semakin turun. Udara dingin mulai menimbulkan gelayar menusuk pada tulang-tulang Cailey. Meninggalkan jejak pada kulitnya yang penuh luka. Cailey berdesis sembari merapatkan jaket ke tubuhnya. Sesekali menyesap kopi yang telah kehilangan asapnya.Maniknya menerawang menangkap sekelebat ingatan yang berhasil membuat kantung tebal pada matanya. Sudah satu hari berlalu, namun otaknya masih menyangkal atas apa yang telah maniknya lihat.WerewolfHal konyol yang membuat Cailey berperang dengan otaknya. Cailey terkekeh ringan, yang pada akhirnya mengalah pada otaknya. Tetapi hatinya gusar, seakan berbicara bahwa ia salah, ia salah menyangkalnya. Bukti? Ia bahkan melihatnya dengan jelas, lantas apa yang harus disangkal.Tangannya bergerak membuka macbook bermotif kayunya. Jemarinya men
Suara alarm yang keras berhasil membangunkan Cailey. Itu adalah alarm keenamnya. Cailey mengerang, merasakan tidurnya terganggu, bahkan ia tak segan-segan untuk melempar jam weker itu hingga hancur ke dinding.Cailey mengerang kembali saat merasakan wajahnya yang panas. Matahari menyoroti tepat di atas wajahnya, padahal matanya belum terbuka dengan sempurna. Seakan-akan matahari itu turut andil bekerja sama dengan alarm itu.“Arrgh, aku ingin menyumpahi Dewa Ra!” Umpatnya, meskipun ia yakin bahwa Dewa Mesir itu juga mitos.Cailey akhirnya mengizinkan maniknya untuk melihat Arizona lagi. Ck, Arizona. Cailey hampir tertawa gila karena masalah yang lebih banyak dihadapinya di sini. Cailey menggelengkan kepalanya geli. Kemudian, Cailey beranjak dari kasur menuju dapur, mengambil segelas air dan meminumnya dengan rakus, seolah dirinya tengah berada di padang pasir selama tiga hari tanpa asupan lambung. Rupanya hanya berperang dengan otak dapat membuatnya sehaus itu.Maniknya bergerak melih