Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali Helen dan Sidney datang ke istana Zachary. Setelah medengarkan kabar bahwa anak laki-lakinya sudah menemui takdirnya, Helen bergegas untuk mengunjungi, bersama dengan adik perempuan Zachary. Sidney membawakan keranjang penuh dengan buah stroberi. Gadis kecil itu tak sabar ingin bertemu kakak iparnya dan mendahului ibunya untuk bertemu Cailey. Helen masih saja sibuk berbicara dengan kakaknya di ruang utama. Cailey meregangkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka pada tubuhnya sudah sembuh total sejak kemarin. Akan tetapi, yang membuatnya heran adalah para pelayan menginstruksikan untuk tidak membuka perbanya sampai seminggu. Bahkan, Cailey dilarang untuk mengintip lukanya. Itu aneh, Cailey benar-benar sudah tidak merasakan sakit dan kasa-kasa itu membuatnya risi. Selama dua hari ini Zachary selalu mengunjunginya, mereka jadi lumayan dekat karena itu. Terkadang, ia datang malam-malam hanya untuk menatap Cailey dalam waktu yang lama. Cailey yang masih te
Bulan perbani akhir mengintip di balik awan malam ini. Hutan tempat makhluk magis berlindung itu masih basah karena hujan. Terlalu tenang, karena tidak semua makhluk menyukai lengas. Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian malam. BrakkPintu kamar Zachary terbuka dengan keras membuat Cailey yang tertidur langsung terlonjak kaget dengan membelalakan matanya. Ia menyingkap selimutnya melihat Zachary yang tiba-tiba masuk dengan tatapan tajam serta rahang yang mengeras.Zachary menghembuskan napas tak beraturan melihat wajah polos Cailey setelah mengetahui kenyataan pahit dalam diri Cailey.PrangCailey terlonjak, Zachary melempar seluruh senjata Cailey ke hadapannya. Cailey mengernyitkan dahinya bingung. Dalam hati ia sedikit lega, mengetahui Zachary yang masih berbaik hati mengembalikan senjata-senjatanya, tetapi tidak dengan ekspresi yang pria itu lemparkan kepadanya.Zachary berjalan kearah Cailey dengan tatapan menusuk, “Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Zachary meninggikan su
Cailey berjalan sedikit berlari, mengabaikan panggilan Luna para penghuni istana yang terus menerus memanggilnya. Rahangnya mengeras. Bingung, takut, dan marah bercampur menjadi satu. Hatinya terasa sesak dan Cailey tidak menyukainya.Penjaga istana pun dibuat kebingungan oleh Alphanya yang tiba-tiba me-mindlink untuk dibukakan kembali akses pintu keluar istana. Mereka juga tidak mendengar perintah Alphanya untuk mengejar Luna yang lari begitu saja. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan para Omega yang memecah keheningan istana. Cailey tak peduli, ia hanya terus berlari dan berlari.Maniknya sekilas melihat sekitar, Cailey keluar dari sebuah istana yang sangat indah. Pilar-pilar besar di beberapa sudutnya membuat istana itu terlihat semakin kokoh. Ukiran yang tercetak di pilar-pilar dan beberapa bagian lainnya hampir membuatnya berhenti untuk mengagumi, hanya saja jika ia tidak sedang dalam kondisi seperti ini. Di sekeliling istana terdapat rumah-rumah kecil yang banyak. Ada banyak seka
Cailey menatap senja, yang kala itu tampak sang matahari dengan egoisnya enggan mengantikan singgasananya pada sang bulan. Burung-burung mulai kembali ke peraduannya. Mencari kehangatan akan angka celcius yang semakin turun. Udara dingin mulai menimbulkan gelayar menusuk pada tulang-tulang Cailey. Meninggalkan jejak pada kulitnya yang penuh luka. Cailey berdesis sembari merapatkan jaket ke tubuhnya. Sesekali menyesap kopi yang telah kehilangan asapnya.Maniknya menerawang menangkap sekelebat ingatan yang berhasil membuat kantung tebal pada matanya. Sudah satu hari berlalu, namun otaknya masih menyangkal atas apa yang telah maniknya lihat.WerewolfHal konyol yang membuat Cailey berperang dengan otaknya. Cailey terkekeh ringan, yang pada akhirnya mengalah pada otaknya. Tetapi hatinya gusar, seakan berbicara bahwa ia salah, ia salah menyangkalnya. Bukti? Ia bahkan melihatnya dengan jelas, lantas apa yang harus disangkal.Tangannya bergerak membuka macbook bermotif kayunya. Jemarinya men
Suara alarm yang keras berhasil membangunkan Cailey. Itu adalah alarm keenamnya. Cailey mengerang, merasakan tidurnya terganggu, bahkan ia tak segan-segan untuk melempar jam weker itu hingga hancur ke dinding.Cailey mengerang kembali saat merasakan wajahnya yang panas. Matahari menyoroti tepat di atas wajahnya, padahal matanya belum terbuka dengan sempurna. Seakan-akan matahari itu turut andil bekerja sama dengan alarm itu.“Arrgh, aku ingin menyumpahi Dewa Ra!” Umpatnya, meskipun ia yakin bahwa Dewa Mesir itu juga mitos.Cailey akhirnya mengizinkan maniknya untuk melihat Arizona lagi. Ck, Arizona. Cailey hampir tertawa gila karena masalah yang lebih banyak dihadapinya di sini. Cailey menggelengkan kepalanya geli. Kemudian, Cailey beranjak dari kasur menuju dapur, mengambil segelas air dan meminumnya dengan rakus, seolah dirinya tengah berada di padang pasir selama tiga hari tanpa asupan lambung. Rupanya hanya berperang dengan otak dapat membuatnya sehaus itu.Maniknya bergerak melih
Cailey menepuk pipi Zachary berulang kali sambil terus menyebutkan namanya. “Ashley...,” racau Zachary dengan mata sayunya sebelum benar-benar menutup sempurna."Hei bangunlah! Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?”Tubuhnya tak bergerak, hanya hembusan napas teratur yang terlepas ke udara. Tubuhnya begitu lemas. Tetapi tetap terlihat kokoh, sehingga terpaksa Cailey harus menyeretnya ke mobil.Cailey mengurungkan niatnya untuk pergi ke toko senjata dan mencari jejak Julian, kemudian ia berbalik arah menuju rumah sakit.Rumah sakit? Oh tidak, Cailey benci bau obat-obatan. Cailey tidak ingin kesana. Cailey memutuskan untuk membawanya ke apartement saja. Cailey meringis saat melirik wajah tampan Zachary yang kini terlihat mengenaskan dengan memar dan luka di beberapa bagian. Rasa iba dan sedikit rasa nyeri melingkupi hatinya.Sebenarnya Cailey tidak ingin berurusan dengan Zachary lagi, tetapi mau bagaimana lagi, Cailey bukan orang jahat yang tega meninggalkan orang sekarat di tepi jalan.C
Seorang pria seumur Leonardo DiCaprio tergeletak di ubin dengan darah yang mengucur pada pelipis kanannya. Pria paruh baya lainnya mengamit tangannya dengan air mata yang turun ke wajah. Terlihat frustasi, meraung-raung menyebutkan namanya.Cailey mendekatinya perlahan, “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya. Pria itu mendongkak menatap Cailey dengan mata sembabnya. “Kau lihat bukan? dia tertembak!” Jawabnya ketus.Cailey mendengus lalu mengambil tangannya dan memeriksa nadinya. Tak ada denyutan layaknya manusia hidup, jantungnya telah berhenti. Cailey menggelengkan kepalanya ke arah pria di hadapannya sehingga memperparah raungannya. Segera Cailey berteriak untuk menelpon 911.Pria dihadapannya panik dan gelagapan mencari ponselnya, sampai Cailey gemas dan mengambil ponsel miliknya pada saku celananya sendiri.Cailey menekan 9-1-1 hingga operator tersambung,“911, ada yang bisa saya bantu?”Cailey menjelaskan rincian seadanya. Diliriknya pria dihadapannya yang masih menangis tersedu-se
Cailey melirik sebuah botol kecil di meja nakas. Botol yang sama seperti apa yang dibawakan oleh Omega saat Cailey berada di istana Zachary. Air mata phoenix, kini Cailey mengingat namanya. Zachary meninggalkan obat itu untuknya, sebelum Zachary pamit keluar untuk menenangkan diri.Tubuhnya masih sakit, luka-luka di tubuhnya belum juga kering. Cailey memutuskan untuk mengambil botol kecil itu dan meminum isinya. Kemudian ia bangkit dari kasur dan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air, meminumnya dengan sekali tegukan, membiarkan air itu mengalir membasahi kerongkongannya yang pahit.Cailey masih ingat percakapannya dengan Zachary pagi ini. Hatinya gusar, Cailey benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Andai Julian berada di sisinya saat ini. Sahabatnya itu selalu mendengarkan masalahnya dan memberikan solusi yang ampuh.Cailey butuh pengalih perhatian, sepertinya tubuhnya tidak stabil akhir-akhir ini. Perasaanya menjadi lebih kompleks semejak ia bertemu dengan Zachary.