Matahari masih bersembunyi dibalik awan. Digantikan oleh hujan yang tak pernah bosan meninggalkan jejaknya di bumi. Lengkap dengan pertichor yang menenangkan indra penciuman setiap makhluk yang ada. Termasuk Zachary yang tak ingin tidur hanya untuk melihat wanita yang terlelap di hadapannya. Memastikan wanita itu untuk tetap hangat. Mencoba menggabungkan aroma petrichor dan aroma cherry blossom milik wanita itu yang sangat harum.
Zachary menghela napas untuk kesekalian kalinya. Melihat wanita dihadapannya dengan kondisi mengenaskan dengan banyak luka yang telah dibalut perban. Hatinya terasa sakit hanya dengan melihatnya. Sungguh perasaan yang aneh. Seharusnya ia tak terlambat, berharap perasaan aneh pada hatinya itu menghilang.
Zachary benar-benar menghabisi para rogue itu dengan brutal, hingga memisahkan bagian bagian anggota tubuhnya menjadi potongan-potongan. Rogue pengganggu memang sangat pantas untuk dibunuh.
Zachary memberanikan diri untuk mengelus pipi wanita itu dengan lembut, takut melukai kulitnya yang tampak mudah rapuh. Meski kenyataannya wanita itu tak serapuh yang ia bayangkan. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa wanita dihadapannya adalah werewolf, yang berarti wanita itu tak lain adalah seorang manusia.
Cailey menggeliat, mencoba membuka matanya begitu merasakan sesuatu bergerak pada permukaan pipinya. Terasa nyaman, hingga membuat dirinya malas untuk sekedar membiarkan rentinanya menangkap cahaya. Buru-buru Zachary menarik tangannya.
Saat membuka maniknya, ia terbelalak, maniknya bertabrakan dengan manik sewarna abu yang menawan. Cailey tertegun saat memperhatikan maniknya yang begitu indah, hidung yang mancung, rahang tegas dengan garis sempurna, serta bibir tebalnya yang tampak menggoda setiap kaum hawa. Semua itu tercetak sempurna pada kulit wajahnya yang rupawan.
“Kau sudah bangun,” kata seseorang dihadapannya dengan wajah yang datar.
Cailey terkejut sekali lagi begitu sadar seorang dihadapannya adalah seorang pria. Well, tentu saja, suara berat miliknya itu jelas milik seorang pria dewasa. Dengan refleks, Cailey mendorong pria itu dengan keras, hingga pria itu jatuh ke lantai.
Bugh
Cailey meraba pakaiannya untuk mencari senjatanya, tetapi ia tidak menemukan apapun disana. Cailey menilik tubuhnya, memastikan apakah bajunya benar-benar masih utuh. Oh astaga, Cailey menghela napas lega sekaligus terkejut melihat bajunya yang masih utuh tetapi tidak untuk tubuhnya. Begitu banyak tambahan kasa-kasa putih yang terbalut di beberapa bagian tubuhnya.
“Astaga dimana aku?” tanya Cailey saat mengamati kamar ini yang tampak asing.
Pria yang ia dorong tadi menyembulkan kepalanya dan melihat kearah Cailey, “kau berada di kamarku,” jawabnya, masih dengan ekspresi datar yang terkesan dingin.
“Ah maaf, apakah kau baik-baik saja? Tunggu, bagaimana bisa aku di kamarmu?” tanya Cailey merasa tidak enak telah membuat pria yang ia yakini sebagai penyelamatnya itu terjatuh, meskipun sebenarnya ia cukup terkejut mendapati pria asing dihadapannya. Zachary menghela nafas dan menjawab, “apa kau benar-benar tak ingat apa yang terjadi semalam? Sepertinya kepalamu tidak terluka.”
Cailey mencoba memaksa otaknya untuk mengingat, hingga otaknya menangkap lintasan memori tentang serigala-serigala yang menyerangnya saat ia mencari keberadaan Gyula Roberto. Cailey mengingat hewan terkutuk itu, Cailey pastikan ia akan membunuh mereka dengan sadis saat berjumpa kembali.
“Akh,” rintihnya saat Cailey menggerakan tubuhnya ke samping. Zachary mendekatinya.
“Kau tak apa?” tanya Zachary, masih dengan nada bicaranya yang dingin.
“Kau bisa melihat jika aku sedang tidak baik-baik saja,” Zachary tidak merespon, hanya menatap Cailey dan luka-luka di sekujur tubuhnya, sampai akhirnya Cailey membuka mulutnya kembali, “Omong-omong terima kasih sudah menyelamatkanku Tuan..?”
“Zachary, Zachary Colbert.”
Cailey tersenyum, “Baiklah, terima kasih Zachary.”
“Kau?” tanyanya.
“Maaf?”
“Namamu?”
“Ash...kau bisa memanggilku Ashley,” Jawab Cailey sambil merutuki mulutnya, tidak seharusnya Cailey menggunakan kode nama organisasinya. Cailey tidak sengaja mengucapkan nama Ash dan ia tidak punya pilihan lain untuk memanjangkan namanya menjadi Ashley.
Sekilas, raut wajah Zachary menjadi aneh, Cailey yang cepat membaca ekspresi orang lain tentu saja menyadarinya, meskipun hanya sedetikpun.
“Baiklah, tunggu disini, para Omega akan mengambilkan makananmu. Aku akan keluar.”
Cailey mengangguk, meskipun tidak mengerti apa yang Zachary katakan.
Beberapa menit kemudian, sesorang mengetuk pintu kamar. Dengan perlahan ia memutar kenop pintunya karena tak kunjung mendapat jawaban. “Permisi Luna, saya kemari membawakan makanan,” katanya dengan sopan. Dari apa yang dikatakannya dapat Cailey pastikan, ia orang yang Zachary maksud.
Cailey masih terdiam, kemudian tersenyum, “Terima kasih, kau bisa meletakkannya di meja,” tuturnya sambil menunjuk meja nakas disampingnya. Omega itu meletakkan nampan berisi bubur, kue, dan beberapa buah beserta jus.
"Baik Luna, saya permisi," katanya sambil membungkuk sopan dan keluar kamar. Cailey mengangguk dan tersenyum.
Cailey mengernyit heran, saat mengingat bahwa Omega tadi menyebut namanya menjadi Luna. Pikirnya, mungkin saja Zachary salah menyebutkan namanya.
Beberapa saat kemudian Zachary membuka pintu kamarnya dan melihat Cailey yang sedang bersusah payah mengambil makanan dengan sendoknya. Cailey terlihat begitu sibuk, hingga tak menyadari keberadaan Zachary. Lengannya yang terluka membuatnya gagal beberapa kali menyuapkan makanan itu ke mulutnya.
Klang
Zachary tersadar begitu melihat sendok pada tangan Cailey terjatuh. Dengan segera ia me-mindlink Omega untuk mengambil sendok baru.
Setelah seorang Omega mengantarkan sendok baru, Zachary langsung bergerak menghampiri Cailey. "Butuh bantuan?" tanya Zachary merendahkan suaranya. Sangat konyol, Zachary bertanya-tanya pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia dengan mudahnya menjadi selembut ini.
Butuh beberapa saat sampai akhirnya Cailey mengangguk, “Terima kasih,” ucapnya.
Sudah beberapa menit berlalu, tetapi tidak ada yang memulai percakapan. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkok di telinga mereka. Cailey cukup lelah dengan kecanggungan ini, meskipun biasanya ia tak begitu banyak bicara dengan orang asing.
Selagi Zachary mengangkat makanannya ke sendok, Cailey bertanya dengan hati-hati, “Apakah ada yang bisa kulakukan untuk membalasmu? Maksudku…kau sudah menolongku. Setelah makan aku akan pergi, maaf aku pasti sangat merepotkanmu.”
Zachary meletakan sendoknya kembali ke mangkuk, cukup keras sampai isi sendoknya tumpah sebagian. Cailey dapat mendengarkan geraman tipis, manik abunya menatap Cailey, “Pergi? Kau bercanda?”
“Maaf?”
“Setelah sekian lamanya kau datang dan kau bilang mau pergi?”
Nada suaranya entah mengapa membuat Cailey merinding. Seringai di akhir kalimatnya tidak terlihat ramah. Instingnya mengatakan pria dihadapannya ini berbahaya. Cailey bersumpah, situasi ini lebih menyeramkan dibandingkan saat ia menonton film horror. Cailey berusaha keras menetralkan ekspresinya. Saat Cailey akan membuka mulutnya untuk menjawab, Zachary memotong, “aku tidak bisa menyuapimu lagi,” katanya kemudian pergi diakhiri dengan suara pintu yang dibanting dengan keras.
Cailey memijit pelipisnya perlahan, mengingat banyaknya masalah yang menimpanya akhir-akhir ini. Dari Gyula Roberto, menghilangnya Julian, bertemu serigala, dan sekarang penolongnya marah hanya karena ia ingin pulang. Cailey tidak dapat berpikir jernih, semuanya terasa tak masuk akal, seolah saat ini ketidakberuntungan terporos kepadanya. Bahkan kepala Cailey dipenuhi pikiran negatif tentang pria penolongnya, yang seakan tidak akan pernah membiarkan Cailey pergi selamanya, seolah Zachary akan menyekap dan membunuhnya. Kepalanya semakin pusing memikirkan itu semua. Pikirannya terbuyarkan saat Cailey mendengar suara ketukan di pintu.
"Masuklah," katanya masih memijit pelipisnya.
Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, Cailey yakin dia adalah seorang pelayan. Menggunakan seragam yang sama dengan wanita bernama Omega sebelumnya.
"Permisi Luna, saya membawakan air mata phoenix untuk mempercepat penyembuhan. Minumlah," katanya.
“Air mata phoenix? Apakah ini sebuah merk baru? Hebat, merk yang panjang!” batin Cailey.
Cailey menatap botol kecil berisi cairan tersebut, kemudian dengan ragu Cailey mengangkatnya untuk dibawa ke bibirnya. Cailey terhenti, pikiran negatifnya membuat dirinya semakin waspada, bisa saja cairan bening dihadapannya itu adalah racun.
“Kau tidak perlu khawatir, aku berjanji itu akan menyembuhkanmu,” kata pelayan itu yang seakan memahami raut wajah Cailey.
Butuh beberapa detik, sampai akhirnya Cailey mencoba mendekatkan botol kecil itu ke bibirnya. Cailey mengernyitkan wajahnya saat menyecap rasa aneh obat itu walau hanya setetes. Kemudian ia kembalikan botol kecil ini kepada pelayan.
“Kau baik-baik saja, Luna? Sepertinya aku melihat Alpha marah saat keluar dari kamar ini?” tanyanya dengan takut.
Cailey menoleh, “maksudmu Zachary?”
Pelayan itu mengangguk dengan raut wajah khawatir seolah akan terjadi hal buruk setelah ini.
“Aku hanya mengatakan jika aku akan pergi setelah aku makan dan aku berterima kasih kepadanya. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya mar--,” ucapan Cailey terhenti saat melihat pelayan itu terkejut.
"Kau bisa pergi Omega," potong Zachary yang datang tiba-tiba.
Cailey mengernitkan dahinya saat mendengar kata Omega itu lagi. Ia menyimpulkan, mungkin saja Omega adalah sebutan lain untuk palayan.
"Baik Alpha," Omega itu menunduk lalu keluar dari kamar. Sebelum Omega itu keluar, ia melirik sekilas, mendapati noda darah pada baju yang Zachary kenakan. Omega itu dapat menebak, Alphanya itu pasti membunuh tawanan penjara bawah tanah hanya untuk melampiaskan amarahnya.
Cailey menatap Zachary dengan waspada saat pria itu berjalan ke arahnya. Zachary menghembuskan napasnya kasar, “Maaf,” ucapnya singkat.
Masih menahan rasa takut, Cailey mencoba untuk tersenyum, “Kau bisa melupakannya, lagipula aku sangat berterima kasih kau sudah menolongku.”
Zachary hanya diam saja menatapnya. Cailey gugup, pria itu seolah dapat menelannya habis hanya dengan tatapan itu. Cailey mencoba membuka percakapan kembali, “Apakah kau menyimpan peralatanku?”
“Maksudmu senjatamu?”
Cailey memikirkan berbagai alasan jikalau Zachary akan menanyainya perihal alasan dirinya membawa senjata, sebelum akhirnya Cailey mengiyakan pertanyaan Zachary. Dengan aksen british-nya, Cailey mulai khawatir akan dimintai kartu tanda pengenal juga.
"Lalu bagaimana dengan serigala-serigala yang menyerang?" tanya Cailey kembali, berusaha mengalihkan pertanyaan.
"Aku membunuhnya," jawabnya singkat, manik Cailey melebar. Zachary melanjutkan, “kau gunakan untuk apa senjata sebanyak itu?”
Sial sekali, Zachary mengungkitnya.
“Untuk membunuh serigala?” Candanya dengan tertawa yang dipaksakan, meskipun sejujurnya jantungnya berdegup kencang karena takut. Tak mungkin dirinya mengatakan padanya bahwa ia adalah seorang Agen Rahasia MI6 dan mencari Gyula Roberto seperti orang gila ke tengah hutan. Tentu saja ini rahasia negara.
"Apa?!" tanyanya setengah membentak. Entah apa itu benar, tetapi Cailey merasa Zachary menatapnya tajam seakan tak suka dengan pernyataannya.
“Bukan begitu maksudku. Itu hanya bercanda, aku hanya membawanya untuk berjaga-jaga saja. Meskipun aku benar-benar ingin membunuh serigala,” jelasnya. Zachary memicingkan matanya, lalu menatapnya datar.
"Mengapa?" tanyanya.
"Tentu saja, kriminalitas dimana-mana. Aku hanya menjaga diriku," jawab Cailey mencoba mencari alasan yang tepat.
"Bukan itu maksudku. Mengapa kau sangat ingin membunuh serigala?" tanyanya, sedikit meninggikan suara, dengan maniknya yang seakan menusuknya dalam.
"Karena aku membencinya," jawab Cailey singkat.
"Apa maksudmu?" tanyanya lagi.
"Aku membenci serigala."
To be continued
“Aku membenci serigala.” “Aku membenci serigala.” “Aku membenci serigala.” Kata-kata itu terngiang berulang kali di kepala Zachary. Bagai petir yang ditusukkan oleh Zeus hingga mampu menembus hatinya, saat mate-nya menyatakan satu kalimat yang menimbulkan gejolak api pada tubuh Zachary. Itu aneh, Zachary merasakan sakit pada hatinya hanya karena itu. Zachary hanya bisa mematung, jantungnya seakan tertohok dengan mulut sedikit terbuka. Ia sangat bersyukur kepada Moon Goddess saat melihat wajah mate-nya untuk pertama kali, meskipun wanita itu seorang manusia. Zachary menertawakannya kekonyolannya sendiri, dirinya bahkan tidak tahu mengapa ia begitu bersyukur. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ada perasaan aneh yang menggelitik saat mengetahui, dengan hanya melihat wajah mate-nya, hatinya menjadi lebih tenang. Seolah wanita itu berhasil mengeluarkannya dari dasar Samudera yang kelam. Tetapi apa? bahkan ia baru saja berunding dengan Parker, serigala dalam tubuhnya, mengenai apakah ia
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali Helen dan Sidney datang ke istana Zachary. Setelah medengarkan kabar bahwa anak laki-lakinya sudah menemui takdirnya, Helen bergegas untuk mengunjungi, bersama dengan adik perempuan Zachary. Sidney membawakan keranjang penuh dengan buah stroberi. Gadis kecil itu tak sabar ingin bertemu kakak iparnya dan mendahului ibunya untuk bertemu Cailey. Helen masih saja sibuk berbicara dengan kakaknya di ruang utama. Cailey meregangkan tubuhnya, ia merasakan luka-luka pada tubuhnya sudah sembuh total sejak kemarin. Akan tetapi, yang membuatnya heran adalah para pelayan menginstruksikan untuk tidak membuka perbanya sampai seminggu. Bahkan, Cailey dilarang untuk mengintip lukanya. Itu aneh, Cailey benar-benar sudah tidak merasakan sakit dan kasa-kasa itu membuatnya risi. Selama dua hari ini Zachary selalu mengunjunginya, mereka jadi lumayan dekat karena itu. Terkadang, ia datang malam-malam hanya untuk menatap Cailey dalam waktu yang lama. Cailey yang masih te
Bulan perbani akhir mengintip di balik awan malam ini. Hutan tempat makhluk magis berlindung itu masih basah karena hujan. Terlalu tenang, karena tidak semua makhluk menyukai lengas. Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian malam. BrakkPintu kamar Zachary terbuka dengan keras membuat Cailey yang tertidur langsung terlonjak kaget dengan membelalakan matanya. Ia menyingkap selimutnya melihat Zachary yang tiba-tiba masuk dengan tatapan tajam serta rahang yang mengeras.Zachary menghembuskan napas tak beraturan melihat wajah polos Cailey setelah mengetahui kenyataan pahit dalam diri Cailey.PrangCailey terlonjak, Zachary melempar seluruh senjata Cailey ke hadapannya. Cailey mengernyitkan dahinya bingung. Dalam hati ia sedikit lega, mengetahui Zachary yang masih berbaik hati mengembalikan senjata-senjatanya, tetapi tidak dengan ekspresi yang pria itu lemparkan kepadanya.Zachary berjalan kearah Cailey dengan tatapan menusuk, “Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Zachary meninggikan su
Cailey berjalan sedikit berlari, mengabaikan panggilan Luna para penghuni istana yang terus menerus memanggilnya. Rahangnya mengeras. Bingung, takut, dan marah bercampur menjadi satu. Hatinya terasa sesak dan Cailey tidak menyukainya.Penjaga istana pun dibuat kebingungan oleh Alphanya yang tiba-tiba me-mindlink untuk dibukakan kembali akses pintu keluar istana. Mereka juga tidak mendengar perintah Alphanya untuk mengejar Luna yang lari begitu saja. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan para Omega yang memecah keheningan istana. Cailey tak peduli, ia hanya terus berlari dan berlari.Maniknya sekilas melihat sekitar, Cailey keluar dari sebuah istana yang sangat indah. Pilar-pilar besar di beberapa sudutnya membuat istana itu terlihat semakin kokoh. Ukiran yang tercetak di pilar-pilar dan beberapa bagian lainnya hampir membuatnya berhenti untuk mengagumi, hanya saja jika ia tidak sedang dalam kondisi seperti ini. Di sekeliling istana terdapat rumah-rumah kecil yang banyak. Ada banyak seka
Cailey menatap senja, yang kala itu tampak sang matahari dengan egoisnya enggan mengantikan singgasananya pada sang bulan. Burung-burung mulai kembali ke peraduannya. Mencari kehangatan akan angka celcius yang semakin turun. Udara dingin mulai menimbulkan gelayar menusuk pada tulang-tulang Cailey. Meninggalkan jejak pada kulitnya yang penuh luka. Cailey berdesis sembari merapatkan jaket ke tubuhnya. Sesekali menyesap kopi yang telah kehilangan asapnya.Maniknya menerawang menangkap sekelebat ingatan yang berhasil membuat kantung tebal pada matanya. Sudah satu hari berlalu, namun otaknya masih menyangkal atas apa yang telah maniknya lihat.WerewolfHal konyol yang membuat Cailey berperang dengan otaknya. Cailey terkekeh ringan, yang pada akhirnya mengalah pada otaknya. Tetapi hatinya gusar, seakan berbicara bahwa ia salah, ia salah menyangkalnya. Bukti? Ia bahkan melihatnya dengan jelas, lantas apa yang harus disangkal.Tangannya bergerak membuka macbook bermotif kayunya. Jemarinya men
Suara alarm yang keras berhasil membangunkan Cailey. Itu adalah alarm keenamnya. Cailey mengerang, merasakan tidurnya terganggu, bahkan ia tak segan-segan untuk melempar jam weker itu hingga hancur ke dinding.Cailey mengerang kembali saat merasakan wajahnya yang panas. Matahari menyoroti tepat di atas wajahnya, padahal matanya belum terbuka dengan sempurna. Seakan-akan matahari itu turut andil bekerja sama dengan alarm itu.“Arrgh, aku ingin menyumpahi Dewa Ra!” Umpatnya, meskipun ia yakin bahwa Dewa Mesir itu juga mitos.Cailey akhirnya mengizinkan maniknya untuk melihat Arizona lagi. Ck, Arizona. Cailey hampir tertawa gila karena masalah yang lebih banyak dihadapinya di sini. Cailey menggelengkan kepalanya geli. Kemudian, Cailey beranjak dari kasur menuju dapur, mengambil segelas air dan meminumnya dengan rakus, seolah dirinya tengah berada di padang pasir selama tiga hari tanpa asupan lambung. Rupanya hanya berperang dengan otak dapat membuatnya sehaus itu.Maniknya bergerak melih
Cailey menepuk pipi Zachary berulang kali sambil terus menyebutkan namanya. “Ashley...,” racau Zachary dengan mata sayunya sebelum benar-benar menutup sempurna."Hei bangunlah! Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?”Tubuhnya tak bergerak, hanya hembusan napas teratur yang terlepas ke udara. Tubuhnya begitu lemas. Tetapi tetap terlihat kokoh, sehingga terpaksa Cailey harus menyeretnya ke mobil.Cailey mengurungkan niatnya untuk pergi ke toko senjata dan mencari jejak Julian, kemudian ia berbalik arah menuju rumah sakit.Rumah sakit? Oh tidak, Cailey benci bau obat-obatan. Cailey tidak ingin kesana. Cailey memutuskan untuk membawanya ke apartement saja. Cailey meringis saat melirik wajah tampan Zachary yang kini terlihat mengenaskan dengan memar dan luka di beberapa bagian. Rasa iba dan sedikit rasa nyeri melingkupi hatinya.Sebenarnya Cailey tidak ingin berurusan dengan Zachary lagi, tetapi mau bagaimana lagi, Cailey bukan orang jahat yang tega meninggalkan orang sekarat di tepi jalan.C
Seorang pria seumur Leonardo DiCaprio tergeletak di ubin dengan darah yang mengucur pada pelipis kanannya. Pria paruh baya lainnya mengamit tangannya dengan air mata yang turun ke wajah. Terlihat frustasi, meraung-raung menyebutkan namanya.Cailey mendekatinya perlahan, “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya. Pria itu mendongkak menatap Cailey dengan mata sembabnya. “Kau lihat bukan? dia tertembak!” Jawabnya ketus.Cailey mendengus lalu mengambil tangannya dan memeriksa nadinya. Tak ada denyutan layaknya manusia hidup, jantungnya telah berhenti. Cailey menggelengkan kepalanya ke arah pria di hadapannya sehingga memperparah raungannya. Segera Cailey berteriak untuk menelpon 911.Pria dihadapannya panik dan gelagapan mencari ponselnya, sampai Cailey gemas dan mengambil ponsel miliknya pada saku celananya sendiri.Cailey menekan 9-1-1 hingga operator tersambung,“911, ada yang bisa saya bantu?”Cailey menjelaskan rincian seadanya. Diliriknya pria dihadapannya yang masih menangis tersedu-se