"Eum.. Namanya bagus. Sekeren orangnya menurutku." Deira mengedipkan matanya pada Daninda. "Walau pun nama dan orangnya ketjeh belum tentu sifatnya juga baguskan," timpal Daninda mengingat bagaimana cara pria itu melihatnya, sinis. "Yee, kamu kan belum kenal dia. Jangan menilai orang lain sebelum kamu mengenalinya lebih jauh. Kadang yang kita anggap baik aja ternyata jahat." "Udah ah, ngapain kita ngomongin dia sih. Kenal juga nggak. Aku kan ke sini mau curhat sama kamu!" Daninda mendesah lalu menyenderkan punggungnya ke sofa dan menegakkan kepalanya ke atas menatap langit-langit ruang TV. "Aku lelah, De. Kalau kayak gini terus. Apa Damar nggak peka ya? Apa dia nggak tau apa yang aku rasain sekarang?" keluhnya. Deira melihat sahabatnya yang sedang galau. Ini bukanlah sifat Daninda. Biasanya wanita itu ceria dan juga gila sepertinya.
Daninda membuka pintu kamar putrinya. Melihat Fahrania masih terlelap di atas ranjang. Hatinya terluka, Fahrania masih kecil untuk menerima semua ini. Sebagai seorang ibu, Daninda berusaha agar putrinya tidak kekurangan kasih sayang. Namun nyatanya, ia tidak bisa menggantikan figur seorang ayah. Ia berjalan lalu duduk di pinggir ranjang. Mengusap punggung Fahrania. Putrinya menggeliat."Maafin Mama ya, sayang." Suaranya bergetar menahan tangis. "Maafin Mama.."Tanpa di duga Fahrania berbalik dan menatap sang ibu. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Daninda mencoba tersenyum meskipun hatinya menangis."Anak Mama udah bangun ya?" Daninda menciumi wajah Fahrania sampai kegelian. Putrinya tertawa. Air mata Daninda menetes di sela tawanya. Setidaknya ada malaikat kecil yang menemani hidupnya. "Kita mandi dulu yuk. Kamu bau ih,""Mama juga bau," balas Fahrania."Mama udah mandi,
Kusuma pulang ke rumah dengan keadaan seperti orang linglung. Deira sampai heran. Suaminya menjadi pendiam. Tidak seperti biasanya, aneh. Deira sesekali melihat wajah suaminya memastikan tidak ada yang terluka. Tapi semuanya baik-baik saja, masih tampan. Dari pulang, makan malam dan sekarang sedang menonton TV. Kusuma tidak banyak bicara."Hadeuuhh, kenapa sekarang banyak Pelakor ya! Apa itu cewek nggak punya hati! Seenaknya ngerebut suami orang." Deira marah-marah seraya menatap ponselnya.Kusuma sampai menoleh. "Kenapa?" tanyanya"Nih, liat deh." Deira menyodorkan ponselnya. Kusuma mengambilnya dan menonton video seorang wanita yang sedang duduk di sofa yang dilempari uang. "Itu cewek pelakornya. Nggak tau diri banget. Mereka sahabatan taunya malah nusuk dari belakang!" Kusuma menelan ludahnya. Dalam hati mengiyakan sekarang banyak pelakor, perebut suami orang. "Awas aja kalau kamu begitu. Abi
Pria itu berjalan di lorong hendak ke ruangannya. Dengan jas hitam yang pas melekat di tubuhnya. Pria kelahiran Carson City, Michigan, Amerika Serikat berusia 39 tahun. Tinggi 188 cm dan berat badan 81 kg. Ibunya menikah dengan pria berkebangsaan Amerika Serikat. Ia adalah seorang pengusaha di bidang ritel, media dan properti.Perjuangannya untuk sampai sukses seperti saat ini bukan secara instan. Butuh perjuangan dan pengorbanan terutama waktu dan juga menyampingkan urusan pribadi yaitu menikah. Di Amerika saat masih muda. Ia membiayai kuliahnya sendiri dari bekerja di sebuah restoran dan mengantarkan koran. Pekerjaan apapun ia lakukan. Daniel sangat ingin mandiri. Padahal orang tuanya sangat mampu membiayainya.Kini orang tuanya menetap di Amerika. Sedangkan dirinya di Indonesia. Daniel membuka perusahaan di Indonesia karena peluang untuk berbisnis lebih besar. Waktu kuliah dulu ia mempunyai teman orang Indonesia. Sehingg
Daninda mencari tahu ke kantor dan ke rumah mertuanya. Damar sudah beberapa hari tidak kerja. Dan mertuanya pun tidak tahu Damar berada dimana. Mereka mengatakan jika putranya itu tidak pernah datang. Ia bingung harus mencari ke mana lagi. Ponselnya tidak aktif. Ia duduk di sebuah taman seorang diri seperti orang bodoh. Pikirannya ke mana-mana.Wanita itu mengambil ponsel di dalam tasnya untuk menghubungi Deira.Ia tidak habis pikir, bagaimana Kusuma tidak tahu apa yang terjadi pada Damar. Pria itu sahabat sekaligus rekan kerjanya. Pasti Kusuma mengetahui sesuatu, di dalam benaknya. Daninda bergegas ke rumah Deira. Fahrania sejak pagi dititipkan di rumah orang tuanya.Di sanaDeira dan Kusuma diam di hadapannya. Daninda semakin curiga. Ada yang mereka sembunyikan darinya. Dadanya tiba-tiba kenapa begitu sesak.Apakah ini firasat?"Kalian tau sesuatu kan?" tanya Daninda memelas. "Y
Daninda yakin baru saja bermimpi. Tapi saat ia membuka mata memeriksa ponselnya dan melihat lagi. Masih mengenai perpisahannya. Damar telah mengirim pesan bahwa, ia marah karena kelakuan Daninda malam itu. Dan akan menceraikannya. Ia hanya bisa tertawa hampa, menjadi gugup. Memikirkan rumah tangganya. Wajahnya basah dengan air mata yang tertumpah. Dalam hati bertanya, apa yang kamu lakukan padaku? Ini bukan kenyataan, saat ia menutup matanya, itu akan menjadi mimpi. Daninda mencoba menyangkal perpisahannya dengan Damar. Air matanya sudah kering dan hanya menggumamkan namanya. Di dalam kamar ia meringkuk menjadi bola, berteriak menangis. Cinta yang seperti mimpi. Sekali mengucapkannya selamat tinggal, itu menjadi kenyataan. Seperti bangun tanpa alarm.Jika Damar kembali, ia akan memberinya satu kesempatan lagi. Daninda akan bersikap baik padanya. Seperti orang yang begitu bodoh. Semuanya demi Fahrania. Bahkan jika Damar merobek hatinya. B
Tanpa banyak bicara Daniel menggendong Fahrania dan menarik tangan Daninda. Gadis kecil itu tidak takut pada Daniel, malah tangannya merangkul leher pria itu dengan kuat. Daniel membukakan pintu mobil untuk wanita yang terluka itu. Daninda tanpa ragu masuk ke dalam. Daniel memberikan Fahrania. Lalu jalan memutar duduk di kursi pengemudi. Damar menatap marah. Daniel tidak peduli. Ingin rasanya ia menabrak pria jahat itu. Daniel menghembuskan napasnya kasar. Ia masih sangat marah. Ingin rasanya berkata kasar namun ditahannya. Mengingat ada gadis mungil di sebelahnya. Ia menoleh pada Daninda yang diam namun air matanya terus saja mengalir. Sudut bibirnya berdarah sedikit. Fahrania tertidur sambil memeluknya. Gadis kecil itu lelah menangis. "Bisa antar saya ke rumah teman saya aja?" tanya Daninda. "Baik lah," sahut Daniel. Ia membawa Daninda pergi karena takut jika suaminya
Mereka mencari tempat untuk usaha suvenir nanti. Tempat yang strategis dan juga banyak orang yang bisa melihatnya. Dengan setia Deira selalu mengantar Daninda. Sayangnya belum ada tempat yang cocok. "De, kita mampir ke JCO dulu yuk. Aku pengen minum kopi," ucap Daninda.Deira mendelik, "selalu kopi," dumelnya."Kamu ini kayak baru kenal aku aja, ah. Udah yuk," Daninda menarik lengannya masuk ke JCO.Deira mencari tempat duduk yang kosong. Ternyata ia melihat seseorang yang dikenalnya. Matanya langsung bersinar terang. Ia mencolek pinggang Daninda yang sedang berdiri menunggu pesanan di depannya."Apa?""Kamu lihat meja yang di ujung itu," bisik Deira."Daniel?" ucapnya tidak percaya melihat orang yang dikenalnya."Iya, ternyata ada dia di sini."Sahabat
Di bawah hangatnya sinar matahari. Wanita itu sesaat memejamkan mata. Dengan perlahan membuka matanya, memandangi gundukan tanah yang atasnya dipenuhi bunga. Ia tidak tega dan air matanya lolos begitu saja. Menangis tersedu-sedu. Ini adalah hal yang sungguh menyakitkan dalam hidupnya. Ia berusaha untuk tegar tapi nyatanya tidak bisa.Tiba-tiba Daniel merangkul bahu dan mengusapnya lembut. Berusaha menenangkan hati istrinya yang sedih. Iapun merasa sangat kehilangan. Kenapa begitu cepat meninggalkan mereka disaat si kembar baru berusia 6 bulan."Sekarang Mango tidak sakit lagi, dia tenang disana," ucap Daniel. Daninda tidak bisa berhenti menangis. Air matanya bagaikan pancuran."Aku.. Aku belum ngebahagiain Mango Daniel," ucapnya disela isakannya."Mango sudah bahagia tinggal bersama kita. Apalagi saat kamu sudah tidak takut padanya. Dan kamu menyayanginya." Daniel tidak meragukan kasih sayang istrinya pada Mango. Daninda masih belum bisa m
Sinar mentari menerpa jendela dan membangunkan Daninda dari tidurnya. Ia merenggangkan tubuhnya dan duduk sambil menarik napas. Wanita itu bangkit dari ranjang dan merasa agak mual. Ia mengambil segelas air minum. Kemudian mandi.Daniel sedang duduk di meja makan. Ia tampak amat mengantuk. Pria itu mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kemeja putih. Daninda yang melihatnya prihatin sambil menuruni tangga dengan hati-hati. Tidak kerasa kandungannya sudah 39 minggu. Semalam perutnya kontraksi. Daniel begadang menungguinya takut jika istrinya akan melahirkan. Hati pria itu dipenuhi rasa was-was. Ini pengalaman pertama kali baginya.Daninda mencium pipinya disambut senyuman hangat. "Kamu ngantuk ya?""Sedikit," sejujurnya ia memilih tidur jika tidak ada rapat penting."Nggak usah kerja aja ya," pinta Daninda yang duduk di sampingnya. Daniel sudah menyewa pembantu sejak Daninda hamil. Ia tidak mau Daninda kelelahan mengurus rumah dan jug
Pesta ulang tahun Daninda cukup meriah meskipun dihadiri keluarga besar mereka saja. Ia terlihat cantik dengan balutan gaun berwarna putih bercorak bunga hijau. Gaun panjang berbentuk V dibagian dada, yang mengembang dibagian bawahnya. Dengan tali kecil di kedua pundak memamerkan bahunya yang mulus dan putih.Make up-nya dibuat simpel begitu pun dengan rambut yang hanya digelung rapi. Daniel belum melihat penampilannya dengan gaun tersebut."Dan, kamu cantik banget." Deira berbinar-binar memandangi gaun yang melekat pada tubuh Daninda dari bawah sampai ke atas.Sapuanblush onmenyamarkan pipinya yang merona. Memang wanita yang sedang hamil lebih memancarkan aura kecantikannya. Daninda mengakui itu. Ia hampir terpana sendiri saat melihat dirinya di depan cermin. Tangannya mengelus sayang perutnya dengan gerakkan lembut. Gaun itu menutupi perutnya yang mulai membuncit.Saat pintu terbuka, Daniel tertegun di
Daninda masih memikirkan pesta ulang tahunnya. Seperti anak kecil saja, desahnya. Ia tidak bisa memejamkan matanya. Daniel yang berbaring disebelahnya merasakan jika istrinya sedang risau. Ia membalikkan tubuhnya agar menghadap Daninda."Kenapa lagi, eum?" tanya Daniel melihat wajah Daninda.Ia menengok, "batalkan aja acaranya ya."Daniel menautkan kedua alisnya. "Kenapa?""Rasanya konyol, Daniel. Aku udah dua puluh sembilan tahun. Masa iya pake dirayain, aku malu," rengeknya seperti anak kecil."Kamu tidak sayang dengan biaya yang aku keluarkan? Ya walaupun aku tidak masalah untuk membatalkannya. Kalau itu keinginanmu." Daniel memberikan pendapatnya. "Mommy dan Daddy mau datang."Daninda menghembuskan napasnya, "kamu ini ya buat aku galau aja! Ya udah jangan dibatalin." Plin-plan.Bibir Daniel menyunggingkan sebuah senyuman. "Aku hanya ingin membuatmu bahagia dengan caraku," ucap Daniel seraya menc
Hari demi hari rumah tangga Daninda semakin adem ayem. Tidak ada lagi percekcokan diantara mereka. Siapa yang tidak bahagia, memiliki suami yang pengertian. Daniel kini lebih sering menjelaskan ke mana dirinya akan pergi dan dengan siapa. Setiap 1 jam sekali pasti pria itu menelepon. Daninda sampai pusing sendiri. Daniel terlalu berlebihan. Jika tidak diangkat, Daniel akan ngambek. Contohnya pagi ini, Daniel izin untuk main golf beserta teman bisnisnya. Dan ia menjabarkan siapa nama teman-temannya itu sekaligus usianya. Daninda hanya mendengarkan dan mengiyakan. Kadang-kadang suaminya seperti anak kecil permintaannya harus dituruti. Sebenarnya ia ragu saat Daniel ingin main golf. Disana banyakcaddycantik-cantik. Bagaimana jika Daniel tergoda?"Di sana jangan ngegodainCaddyya?" Daninda memperingatkan sambil mempersiapkan apa yang akan dibawa Daniel. Botol air mineral harus selalu ada di dalam tas. Pakaian ganti juga.
Setelah Deira dan Kusuma beserta Salmia Wijaya putri mereka, pulang. Mereka berhasil mendamaikan pertengkaran yang jelas-jelas ada seseorang yang iri dengan kebahagiaan pengantin baru itu. Daninda dan Daniel menjemput Fahrania dan juga Mango di rumah orang tua Daninda. Senyum di bibir wanita itu tidak bisa lepas.Pertengkaran mereka tidak berlangsung lama, syukurlah ada sahabatnya. Mungkin jika tidak ada mereka, entah bagaimana nasibnya. Ia lagi-lagi telah melukai hati Daniel. Suaminya, pria yang sangat sabar. Daninda tidak menyangka Tuhan mengirim seseorang yang begitu baik untuknya. Seseorang yang mencintainya dengan tulus.Daninda menoleh pada Daniel yang sedang menyetir. Bibirnya tersenyum lebar, pria yang kini menemaninya setiap hari begitu tampan apalagi saat memakai kacamata. Meskipun usianya sudah 40 tahun. Perbedaan usia bukan penghalang bagi mereka untuk saling mencintai. Yang terpenting mereka tidak merebut hak orang lain."Aku t
Ting tong ting tongTerdengar bel rumah ditekan oleh seseorang. Daninda tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring sambil melamun. Daninda juga tahu, jika Daniel tidak pergi dari rumah melainkan ada di ruang kerjanya. Semalam pintu ruang kerja itu dibanting dengan keras. Daninda mendengar kembali suara bel. Ia segera bangkit dari ranjang untuk membukakan pintu. Penampilannya sungguh mengenaskan. Rambut acak-acakan, wajah pucat pasi dan mata yang sembab. Ia meringis kenapa harus ada tamu di saat keadaannya buruk seperti ini.Di bukanya pintu tersebut. "Daninda?" Deira terkejut dengan tampang sahabatnya. Daninda tidak menyangka Deira lah yang datang. Ia melihat di samping Deira, ada Kusuma yang menggendong bayi mereka. "Kamu kenapa?" Deira memegang rambutnya. Sontak Daninda merapikannya dengan asal. "Apa terjadi sesuatu?" wanita itu menunduk, bahunya gemetar. "Ya ampun, kita masuk." Deira merangkul dan menggiring Daninda masuk.Mereka duduk di ruang TV. S
Daniel mengusap wajahnya yang lelah. Semalam ia menginap di hotel dan sekarang sedang menunggu pesawat berangkat menuju Singapura. Ingin bibirnya berkata jujur kepada Daninda namun tidak sanggup melukai perasaan istrinya. Ia harus melakukan ini demi kebaikan semuanya. Mungkin nanti jika masalahnya selesai, Daniel akan berterus terang.Di tempat lain Daninda sedang menonton TV bersama Mango. Ia mengusir semua pikiran negatifnya. Daniel memang sedang ada urusan pekerjaan sehingga mengharuskan suaminya pergi. Tidak mungkin melakukan atau menyembunyikan sesuatu yang akan membuat hatinya terluka.Mango tertidur dengan kepala berada di pangkuannya. Entah kenapa Mango senang sekali berada di dekat perut Daninda. Wanita itu tersenyum dengan kemanjaan Mango. Dirumah besar itu ia tidak lagi merasakan kesepian. Ada Mango yang menemaninya. Fahrania lebih sering tinggal di rumah orang tuanya. Disana banyak binatang seperti kelinci, kucing, kura-kura dan hamster. Ia cembur
Daniel merasakan Daninda disampingnya tidak tidur. Kepalanya menoleh, Daninda memunggunginya dengan tubuh bergetar. Ia menghela napas lalu beringsut mendekati. Tangannya memeluk perut Daninda. "Jangan menangis lagi, sayang. Mango baik-baik saja. Besok kita akan menjemputnya," bisik Daniel ditelinganya.Daninda membalikkan tubuhnya, matanya memerah dan sembab. Sedari tadi ia menahan isakannya agar tidak bersuara takut mengganggu Daniel. "Mango baik-baik aja, kan?" lirihnya pelan. Ia menatap Daniel dengan air mata yang merebak."Tentu saja," jawab Daniel. Namun dalam hatinya merasa gamang. Ia tidak bisa memberitahukan kondisi Mango saat ini. Tidak sanggup rasanya. Dipeluknya Daninda dengan erat. "Tidurlah.." Ia berhasil membuat Daninda tidur dipelukkannya.Pagi-pagi Daninda menyiapkan sarapan dan bekal untuk Fahrania. Putrinya menanyakan keberadaan Mango. Daninda membohonginya, jika Mango sedang berada di rumah Romeo. Daniel tidak bekerja karena