Ternyata memang benar, orang-orang licik dan jahat tidak bisa dihadapi dengan gegabah. Harus ada strategi yang diatur agar tidak salah melangkah. Nauna mengakui itu sekarang. Perkataan Dinara telah dia buktikan sendiri. Jika saja dia menuruti emosi dan mengamuk karena tidak terima dengan tuduhan para iparnya tadi, Dean pasti akan semakin memandang salah dirinya. Dia bersyukur bisa berpikir cepat dan tidak salah bertindak. Setelah semua kekacauan di lantai selesai dibereskan, semua orang kembali duduk mengelilingi meja makan. Dean melarang Nauna memasak dan memesan makanan di luar untuk makan malam. Sebab, butuh tenaga dan juga waktu yang lama untuk memasak. Semua orang mungkin sudah lapar, terutama anak-anak. Nauna bersyukur tidak perlu melakukannya lagi. Beberapa saat kemudian, semua makanan yang dipesan telah datang. Nauna dengan sigap menyajikannya untuk semua orang. Dean menatapnya dengan perasaan lega. Dia merasa senang melihat Nauna bersikap baik pada para iparnya. Dia semak
Nauna masih menduga-duga apa yang dipikirkan para iparnya sekarang. Dia tahu, mereka tidak akan mempercayainya begitu saja. Karena itu, dia mengendalikan diri agar tetap tenang dan tidak terlihat mencurigakan. Pada saat ini, Dean mengajaknya meninggalkan meja makan, sebab adzan Isya sudah berkumandang. Nauna segera menurut dan mengikuti langkahnya menuju kamar. Begitu Nauna dan Dean pergi, tiga orang yang tertinggal di meja makan segera berunding. “Ini aneh.” Rudy membuka pembicaraan dengan suara setengah berbisik. “Bukankah Nauna sudah tahu rencana kita? Kenapa dia bersikap begitu?”Dia tidak mengerti, mengapa Nauna bersikap baik. Bahkan, ketika mereka menuduhnya sengaja membuat kekacauan di ruang makan, perempuan itu justru mengaku salah dan meminta maaf. Padahal jelas-jelas Tari yang menyandung kakinya dengan sengaja. Rudy merasa ada yang aneh, tapi tidak yakin apakah perempuan itu benar-benar tulus atau sedang berpura-pura. Lusi dan Tari juga punya pikiran yang sama. Tadi sia
Nauna segera duduk dengan tegak. Mendengar nada suara Dinara yang serius, dia bertanya dengan penasaran, “Ada apa, Kak?”Dinara tidak ingin memberitahunya sekarang. Dia berkata dengan misterius, “Kita bertemu saja dulu. Baru aku beritahu.” Nauna berpikir sejenak. Para iparnya sedang megawasi gerak-geriknya. Jika dia pergi ke luar sekarang, mereka mungkin saja akan curiga dan mengikutinya. Dia tidak ingin mengambil resiko dan bertanya untuk memastikan, “Apakah sangat penting?”“Entah ini bisa disebut sangat penting atau nggak, tapi aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Dinara. “Apa?”Dinara sedikit berdecak, “Nggak enak bicara di telepon. Aku nggak bisa menjelaskannya secara detail. Yang pasti ini ada hubungannya dengan strategi kita. Apa kamu nggak bisa pergi sekarang?”Nauna tidak bisa menahan rasa penasarannya. Setelah menimbang selama beberapa saat, dia memutuskan untuk pergi menemui Dinara. “Baiklah. Kita bertemu di mana?”“Aku kirimkan lokasinya, ya!”Setelah telepon terputus,
“Apa?” Dinara terkejut. Dia hampir saja menoleh, tapi segera menahan pergerakannya sendiri. Dia sadar, orang-orang itu akan curiga jika dia tiba-tiba menoleh dan memperhatikan mereka.Dinara menatap Nauna yang masih berusaha menyembunyikan wajah dan bertanya dengan suara pelan, “Apa mereka melihat ke arahmu?”Nauna mengintip perlahan. Dia melihat Rudy—yang duduk menghadap ke arahnya—sedang berbicara dengan laki-laki yang kemarin datang ke rumah. Sepertinya, iparnya itu sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Jadi, dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Dinara. “Kalau begitu, kita harus pergi dari sini sekarang. Sebelum mereka menyadari keberadaanmu.” Dinara berkata dengan tegas. Nauna setuju. Dia sadar dirinya terlihat aneh dan mencurigakan, karena terus menutupi wajah dengan buku menu. Jika dia tetap di sini, Rudy dan laki-laki itu bisa saja melihatnya dan menaruh curiga.Kemungkinan terburuk adalah mereka memergokinya dan berpikir bahwa dia telah memata-matai mereka. D
Mobil berhenti sedikit jauh dari pintu gerbang. Dinara menatap rumah bercat putih di depan sana. Terlihat besar dan mewah. Dia belum pernah berkunjung ke rumah itu, tapi segera paham mengapa para ipar Nauna sangat ingin menjualnya. Harganya bisa mencapai milyaran, orang-orang serakah pasti tergiur. Dinara tiba-tiba teringat, Nauna telah dijadikan pembantu oleh para iparnya. Dia membayangkan, betapa melelahkannya mengurus rumah sebesar itu sendirian. “Nau, rumah itu terlalu besar untuk diurus sendirian. Seharusnya, ada satu atau dua pembantu.” Dinara berkata. “Ya, tapi selama ini para iparku tinggal di sana tanpa pembantu. Hanya ada tukang kebun. Dan sekarang mereka punya satu pembantu, yaitu aku.” Nauna berkata dengan getir. Dinara merasa prihatin. “Aku harap, rencana mereka segera terbongkar dan situasi ini segera berakhir.” Dia berkata dengan tulus. Nauna tersenyum dan berterima kasih. Dia juga mengharapkan hal yang sama. Setelah rencana para iparnya terbongkar dan gagal, dia
Rey ternyata tahu benda apa yang dipegangnya. Nauna bingung harus bereaksi bagaimana. Jadi, dia hanya diam dan berharap anak ini hanya sekedar bertanya tanpa memiliki tujuan lain. Melihat Nauna diam dan berusaha menyembunyikan ekspresi bingung di wajahnya, Rey kembali melontarkan pertanyaan yang lebih menohok, “Tante ingin menyadap pembicaraan siapa dengan alat ini?”Nauna tersentak. Sekarang, dia tidak bisa lagi menganggap Rey hanya sekedar bertanya. Sebab, pertanyaan kali ini diiringi dengan tatapan tajam yang menyorot wajahnya. “Ah...itu...” Nauna terbata-bata. Seperti sudah menjadi kebiasan, dia selalu kehilangan kata-kata setiap kali harus menghadapi Rey dalam kondisi seperti ini. Dia sendiri tidak mengerti alasannya. Apakah karena dirinya memang tidak bisa berbohong, ataukah karena aura anak ini yang begitu dingin? Nauna berusaha mengatur suaranya. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan gugup, “Kamu...nggak perlu tahu.”Seharusnya memang begitu, kan? Rey adalah tipikal or
Dean tidak langsung memberitahukannya. Dia menyimpan kabar baik itu dan mengajak Nauna makan terlebih dahulu. Nauna tidak memaksa dan menanti dengan sabar. Selesai makan malam, dia menunggu Dean mandi, lalu menunaikan sholat Isya. Baru setelah itu, dia bertanya, “Ada kabar baik apa, Mas?” Dean tersenyum. Dia duduk di tepi tempat tidur dan berkata dengan sumringah, “Aku dipromosikan untuk naik jabatan. Sebagai manager.” Nauna tercengang dan menatapnya tak percaya. Dia tahu kinerja Dean sangat bagus di kantor, tapi dia tidak menyangka suaminya itu akan dipromosikan menjadi manager. Ini benar-benar kabar baik yang patut disyukuri. “Alhamdulillah.” Nauna segera mengucap syukur. Dia menatap Dean yang terlihat begitu senang, lalu memberinya sebuah pelukan. “Aku ikut senang, Mas. Semoga kamu bisa segera menempati posisi manager di kantor.”“Aamiin.” Dean mengusap puncak kepala Nauna dengan lembut. “Nanti, setelah aku naik jabatan, kita pindah dari sini, ya?”“Hah?” Nauna tersentak dan s
Setelah pembicaraan mereka berakhir, Dean pergi ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Pada saat ini, Nauna segera menyambar ponselnya. Lalu, mencari-cari handsfree di dalam laci nakas. Setelah ditemukan, dia segera menyambungkannya dengan ponsel dan memasangnya di telinga. Jantungnya berdebar keras. Dia berharap, dirinya belum terlambat mencuri dengar pembicaraan Rudy dan Lusi malam ini. “...Lima milyar!”Itu adalah dua kata pertama yang Nauna dengar dari handsfree di telinganya. Dan itu adalah suara Rudy. Dia menajamkan pendengaran dan berharap bisa mendengar lebih banyak pembicaraan mereka. “Itu angka yang besar sekali, Mas! Dia benar-benar mau membayar dengan harga lima milyar?” Suara Lusi terdengar pelan, tapi sangat antusias. “Ya. Dia itu sangat kaya. Jadi, lima milyar bukan apa-apa baginya.” Rudy berkata dengan sombong. “Memang nggak salah aku menawarkan rumah ini padanya.”Nauna segera paham, mereka sedang membicarakan harga jual rumah ini. Sepertinya,
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka