Muslimin tengah bersenandung di area pantry ketika Olivia masuk ke ruang kerjanya. “Pagi, Mbak Via ....” sapa laki-laki yang berusia tidak jauh dari Olivia itu. Muslimin membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja Olivia. “Hari ini bahkan jauh lebih pagi dari hari biasanya ya, Mbak,” sahut Muslimin membuka obrolan sambil sesekali mengelap meja kerja Olivia.
“Iya nih. Kerjaanku sedang banyak.” Olivia mengeluarkan notebook dari dalam tas miliknya, dan memulai pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. “Ruanganku biar nanti aku bersihkan sendiri saja, Mas Mus,” tambahnya saat melihat Muslimin mondar-mandir di depannya.
“Ok siap, Mbak. Saya permisi kalau begitu.”
Olivia mengangguk sembari tidak lupa memberikan senyum semangat pada Muslimin. Olivia membaca ulang hasil notulen rapat yang sempat Lana kirimkan lewat email beberapa waktu lalu. Ada banyak marking sebagai bahan revisi untuk projek yang sedang berjalan. Olivia memang tidak sepenuhnya mengerti, tapi paling tidak ia bisa memberikan pendapat jikalau suatu ketika dimintai saran oleh atasannya itu.
Pukul delapan kantor mulai dipadati oleh beberapa staf yang berdatangan. Olivia merapikan letak setelan blazernya sembari membersihkan meja yang belum sempat ia bersihkan sejak tadi. Sapaan demi sapaan Olivia terima pagi itu, termasuk juga dari Lana. Tatapannya seolah menembus ke uluh hati Olivia yang terdalam dan dalam waktu singkat Olivia sudah dibawa ke ruangan kaca kedap suara bersama Lana.
“Sori nih, Mbak. Tapi Mbak Lana tahu sendiri kan situasinya kemarin itu gimana,” kata Olivia membuka obrolan.
Olivia tahu kalau tujuan Lana membawanya ke dalam ruangan kerjanya pasti karena perihal Si Bos tukang seenaknya itu.
Lana menggeleng pelan menanggapi perkataan Olivia.
“Kalau aku masih nggak bisa mencerna apa yang terjadi kemarin itu artinya aku benar-benar buta, Via. Dilihat dari sisi manapun Si Yusa suka sama kamu. Aku memang naksir sama Si Bos tapi mengejar sesuatu yang jelas-jelas nggak bisa kuraih itu sama saja aku halu,” papar Lana menjelaskan dan sontak membuat Olivia tertawa karena mendengar kata halu dari mulut Lana.
Lana meregangkan tubuh sembari bersandar pada punggung kursi kebesarannya.
“Ini laporan keuangan tiga tahun terakhir yang diminta Mas Yusa kemarin. Katanya untuk bahan meeting dengan investor dari Kalimantan. Siapa sih? Kok aku baru dengar.”
“Investor dari Kalimantan itu banyak, Mbak. Cuma setahuku ada satu perusahaan yang akan meninjau kantor cabang kita saat opening ceremony nanti. Ada kemungkinan pihak investor yang dimaksudkan ya itu tadi,” jawab Olivia panjang lebar.
Lana mengangguk pertanda mengerti sambil sesekali menyeruput segelas kopi yang sempat dibawanya dari ruang pantry. “Ngomong-ngomong nanti siang kamu ada janji nggak?”
“Schedule hari ini aku di kantor saja sih, Mbak. Kenapa?”
“Nanti kita makan siang diluar ya. Aku perlu saran dari kalian bertiga. Bisa?”
“Ok ....”
Ketukan pintu yang cukup kuat menggema ruangan Lana. Olivia yang belum menyelesaikan perkataannya memandang ke arah Lana dengan penuh keheranan. Kemudian pintu terbuka lebar dan menampakkan sosok Yusa dengan peluh membanjiri pelipisnya.
“Pagi, Mbak Lana. Maaf ya kalau aku nggak sopan,” kata Yusa memulai obrolan. “Apa Olivia bisa aku pinjam sekarang?” katanya lagi.
Kembali Olivia dan Lana saling berpandangan.
“Urgent nih, Mbak. Via, aku tunggu di ruanganku sekarang ya.”
Kemudian Yusa pun berlalu diikuti oleh senyuman Lana yang menahan tawa.
“Si Yusa benar-benar tukang seenaknya ya, Via” kata Lana disela-sela tertawanya. “Ini masih pagi loh. Tanpa sadar aku jadi paham kenapa kamu sering sekali berkeliaran di dekatnya.”
Olivia menghela napas beratnya. “Syukur deh kalau Mbak Lana paham. Aku permisi dulu ya, Mbak. I’ll see you at lunch,” balas Olivia.
***
"Permintaan maaf diterima, Pak. Jadi biasakah saya melanjutkan pekerjaan saya sekarang?”
Yusa menggeleng pelan lalu mengubah posisi duduknya tiba-tiba dan meraih tangan Olivia yang bebas.
“Kita sudah sepakat kemarin, Via. Tidak ada bahasa formal kalau kita sedang berduaan saja. Tolong hentikan, ok?”
Olivia mengangguk. “Jadinya kapan aku bisa bertemu keluargamu?” tanya Yusa lagi.
Olivia melebarkan matanya. “Secepat itu? Tapi ak—“
“Nggak ada istilah cepat, Via. Kita sudah lama saling kenal, mau menunggu apalagi?”
“Iya, tapi apa nggak bisa kamu kasih aku waktu untuk berpikir dulu? Menikah bukan sesuatu yang bisa kita putuskan dalam waktu semalam saja, Yusa,” protes Olivia.
Dia pikir dia siapa? Kenapa terkesan memaksa sekali? Batin Olivia.
Tampaknya Yusa tidak bisa menerima tanggapan Olivia barusan. Buktinya saja Yusa bahkan dengan segera meluncurkan sanggahan yang membuat Olivia seketika kehabisan kata-kata.
“Apa karena aku dua tahun lebih muda darimu makanya kamu perlu berpikir ulang? Kamu pasti menganggapku main-main, kan?”
“Nggak. Bukan itu,” sanggah Olivia. “Aku nggak pernah mempermasalahkan perbedaan usia. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Hanya itu saja. Paling nggak dari hatiku dulu.”
Yusa kembali tidak bergeming. Terlihat sekali jika laki-laki itu masih tidak menerima alasan yang ia berikan. “Kamu nggak berencana menghindariku, kan?”
“Maksud kamu?”
Yusa mengerutkan dahi. “Kalau gitu sekarang kamu ikut aku. Kita perjelas semuanya.”
“Eh, apa? Ke mana?” tanya Olivia.
“Nanti kamu akan tahu.”
Yusa menggandeng tangan Olivia keluar dari ruangannya detik itu juga. Derap langkah kaki Yusa yang terkesan terburu-buru membuat siapapun yang saat itu tengah berada di dalam radius terdekatnya menoleh seketika.
“Tung ... Yusa, kita mau ke mana?” tanya Olivia yang semakin terlihat panik karena mereka berdua pergi menuju ke arah di mana lift berada.
Yusa tidak menjawab kecuali membalas anggukan salah satu staf yang mempersilahkan mereka untuk lewat dan menggunakan lift terlebih dahulu. Beberapa pasang mata menatap penuh keanehan ke arah Olivia sambil berbisik-bisik. Suatu tindakan paling memalukan yang dialami seorang Olivia sepagi ini. Apalagi ketika mereka melintasi ruangan kaca Lana yang membuat penghuninya yang berada di dalam sana terbelalak kaget. Olivia benar-benar malu setengah mati dibuatnya. Ingin rasanya ia segera hengkang dari kantor ini secepatnya.
Tidak cukup hanya Lana yang Olivia temui. Ada Adel beserta Listya juga di sana. Dan sudah bisa Olivia pastikan bagaimana respon mereka berdua saat melihatnya bersama dengan bos kesayangan dengan tangan saling bertautan. Yusa sungguh berhasil membuat Olivia hilang muka di seluruh kantor.
Yusa mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan terlibat obrolan singkat dengan orang seberang. Gandengan tangan Yusa dijemari Olivia sama sekali tidak ada tanda-tanda akan dilepaskan laki-laki itu. Padahal Olivia yakin jika laki-laki itu tahu jika tangannya berkeringat.
“Yusa ....“ kata Olivia pelan.
Lagi-lagi Yusa tidak menggubrisnya. Selang beberapa saat kemudian Olivia telah berada di dalam mobil milik Yusa dan pasrah ke mana mobil itu pergi membawanya.
Yusa melarikan mobilnya menuju ke salah satu hotel bintang lima yang terletak di daerah kawasan Jalan Embong Malang. Seorang bellboy membukakan pintu dan tersenyum dengan ramah ke arah Olivia dan Yusa. Yusa mengangguk pelan sebagai balasan lalu mengikuti ke mana bellboy itu membawanya.
“Mau ngapain kita ke sini, Yusa?” tanya Olivia akhirnya ketika mendaratkan sebagian beban ditubuhnya di sofa empuk. “Kamu mungkin atasanku, tapi kamu sama sekali nggak berhak menyeretku seperti ini. Kalau memang kita mau bertemu klien nggak perlu harus membuat gaduh seperti itu di kanto,” lanjut Olivia.
Yusa tersenyum menanggapi. “Aku mencoba menggunakan hak prerogatifku sebagai atasan sekaligus calon suamimu, Via.”
“Sejak kapan? Siapa yang bilang?!” kata Olivia agak meninggikan nada suaranya.
“Aku belum menerima lamaranmu, Yusa.”
“It will happen soon, Baby.”
Olivia mengamati sosok Yusa dalam diamnya. Laki-laki itu memang telah berubah aneh sejak kemarin. Segala perkataan yang diucapkan sungguh di luar batas kewajaran di antara atasan dan bawahan. Yusa benar-benar sudah ke luar jalur. Masalah satu belum selesai sudah ada masalah baru yang datang menghampirinya. Jujur saja Olivia bahagia atas lamaran Yusa. Perempuan mana sih yang tidak ingin menikahi laki-laki nyaris sempurna seperti Yusa? Tapi tidak bagi Olivia. Perlakuan Yusa padanya bahkan terbilang aneh. Apa benar tidak ada alasan lain dibalik semuanya itu? Atau apakah pantas jika Olivia menolaknya?
Ya Tuhan ... Apa yang harus kulakukan? Batin Olivia.Kemudian seorang perempuan berusia pertengahan empat puluhan bersama dengan rekan kerjanya datang menyapa Yusa dan menjabat tangannya.
“Apa kabar, Pak Yusa? Maaf jadi menunggu saya lama,” sapa perempuan itu.
Perempuan paruh baya itu bernama Retno. Retno adalah marketing eksekutif yang akan membantu Yusa dalam hal pengurusan dokumen perijinan penyewaan ballroom hotel untuk acara opening ceremony dalam waktu dekat. Dan tampaknya Yusa mengenal Retno dengan sangat baik. Laki-laki itu terlihat luwes sekali berbicara dengannya.
“Tidak masalah, Bu. Saya juga baru sampai kok,” balas Yusa tidak kalah sopan. “Just in case.Saya datang tidak sendiri.”
Bahu Olivia ditepuk pelan oleh Yusa. Memberi isyarat agar Olivia memperkenalkan dirinya.
“Apa kabar, Bu Retno. Saya Olivia, sekretaris Bapak Yusa,” sahut Olivia memperkenalkan diri dan disertai senyuman bisnis yang telah dipelajarinya beberapa bulan belakangan bersama dengan Lana.
“Tidak hanya cantik, tapi juga sigap,” puji Retno sambil sesekali melirik ke arah Yusa. “Saya tidak meragukan lagi kemampuan Anda, Pak Yusa kalau urusan yang cantik-cantik begini.”
Yusa hanya tertawa menimpali. Pembicaraan basa-basi pun berakhir ketika Retno beserta rekannya menyalakan notebook sembari mengeluarkan beberapa map dari dalam tas jinjing yang sedari tadi dibawanya. Semuanya tampak sibuk, tanpa terkecuali Olivia. Ya, Olivia sama sekali tidak ada persiapan meeting kali ini. Tidak ada konfirmasi apapun dari Yusa bahkan notebook sebagai alat kerja pun juga tidak Olivia bawa. Olivia ingin sekali meledak rasanya. Tidak hanya sekali, tapi dua kali Yusa telah mempermalukannya. Sekretaris macam apa yang bertindak serba tidak tahu begini?
“Kayaknya lebih baik aku resign saja deh dari posisi ini,” kata Olivia setelah meeting dengan Retno berakhir. “Kerjaku nggak becus begini.”
“Kenapa?” balas Yusa kemudian membuka pintu depan untuknya. “You did a great job, Via. What’s make you unsatisfy, hm?”
Olivia menghela napas beratnya sembari melingkarkan seat belt ditubuhnya.
“Kamu nggak akan mengerti kalau aku jelaskan. Peranku di sini itu nggak berguna sama sekali.”
Wajar kalau Olivia kesal. Tidak hanya merasa dipermalukan, Yusa malah membuat dirinya bahkan terlihat bodoh.
“Siapa yang bilang?” tanya Yusa disela-sela mengemudinya. “Bu Retno nggak komplain apa-apa tuh. Kamu cukup profesional kok. Bu Retno itu tipe orang yang akan langsung menegur kalau memang beliau nggak suka.”
“Ya, baiklah. Habis ini kita ke mana? Balik ke kantor, kan?”
Yusa menggeleng cepat. “No. I’ll drive you home.”
Olivia terbelalak kaget. “Jangan gila! Jam kantor masih lama. Kamu menyimak nggak sih apa yang kubilang kemarin. Tolong peka sedikit dong, Yusa,” kata Olivia keberatan.
“Kamu ribet, Via. Pokoknya sekali aku bilang pulang ya pulang. Nanti biar mobil dan barang-barangmu yang tertinggal di kantor diurus sama sopirku. Problem solve, right?”
Dear God. I may kill this man for real, batin Olivia.
Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor. “Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa. Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”
Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan. “You so look happy today,
“Terpaksa??!!” Nada bicara Dante tiba-tiba berubah meninggi ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal dari mulut Lussi. Untung saja kedua bocah kembar mereka tidak terganggu dengan nada bicaranya barusan. “Om Dante jangan mala-mala.”
Keputusan Olivia meninggalkan kantor ditengah-tengah jalannya rapat dan berdiam diri di kediaman Elok tampaknya bukan suatu keputusan yang tepat. Tiga jam lalu adalah saat-saat di mana dirinya merasakan yang namanya kebebasan. Bahkan sambutan dari Si Kembar ketika mobil miliknya memasuki pekarangan rumah juga penuh kegembiraan. Lussi dan Elok selaku pemilik rumah pun juga ikut merasakan kegembiraan itu selama tiga jam. Ditambah lagi karena kehadiran tamu yang sama sekali tidak Olivia sangka-sangka akan menampakkan sosoknya lagi dihadapannya.Dante berjalan menghampiri Elok guna mencium pungg
Menjelang hari H acara opening ceremony peresmian kantor di cabang Surabaya, Olivia disibukkan dengan berbagai hal. Bersama dengan Lana, Olivia memastikan bahwa tidak akan ada hal-hal yang terlewatkan nantinya. “Ngomong-ngomong kamu lagi perang dingin ya sama Bos Ganteng?” Lana memulai obrolan siang itu dengan antusias. “Maksud, Mbak?” Olivia balas bertanya.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Rasanya berlalu begitu cepat. Olivia menengadah menatap langit biru dengan pemandangan laut disekelilingnya. Sepuluh tahun belakangan ini berlalu penuh dengan emosi dan airmata. Begitu banyak yang Olivia curahkan, begitu banyak pula yang Olivia tinggalkan, termasuk hubungannya dengan Dante. Olivia seketika teringat bagaimana dulu pertemuannya dengan Dante dan bagaimana mereka akhirnya menjalin kasih yang berlanjut pada sebuah perpisahan. Berat sekali rasanya sampai-sampai Olivia tidak ingin merasakannya lagi. Olivia mendadak tersenyum ketika merasakan ada sepasang tangan yang terulur memegangi sebelah pahanya yang telanjang tanpa penutup apa-apa. Olivia menurunkan pandangan lalu beradu pandang pada sosok mungil yang menengadah menatapnya. “Kok sendirian? Papa mana?” tanya Olivia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang gadis kecil dengan wajah bak pinang dibelah dua oleh laki-laki yang Olivia panggil denga
Dante marah besar saat tahu Yusa kembali menghubungi Olivia. Emosinya yang meluap-luap membuat Olivia harus memberikan pengertian pada suaminya itu. “Nggak. Aku nggak mau dengar apapun, Via. Dan jangan pernah memaksaku untuk bersikap tenang disaat aku tahu Yusa kembali mendekatimu. Apa perlu aku menghajarnya sampai mati dulu baru dia mau melepaskanmu? Fine! Akan aku kabulkan.” See? Kecemburuan Dante membutakan mata sekaligus hatinya. Belum ada sepatah kata yang Olivia lontarkan untuk pembelaan, Dante sudah membombardirnya dengan setuja serangan. “Yusa nggak mencoba mendekatiku lagi, Dante. Dia hanya ingin bicara. Lagipula dia bersedia kemari kalau aku memang mengizinkannya.” Dante melebarkan matanya. “Kamu memberitahunya kalau kita di Bali?! Buat apa?” Kecemburuan Dante sudah membuatnya menjadi tidak waras. Semua seolah menjadi hitam dihadapannya. “Via—” “Yusa ingin bicara sesuatu yang penting. Aku nggak tahu itu apa, tapi dia
“Sekarang?!” Olivia mengerjapkan matanya berulang kali. Pasalnya baru tiga hari ke depan Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dante mengulas senyuman ketika melihat ekspresi terkejut Olivia. Wajar saja! Belum ada satu hari Dante mengungkapkan keinginannya pada Reihan untuk berlibur, tapi hari ini laki-laki itu telah benar-benar melaksanakannya. Reihan yang kebetulan ikut berkunjung mengantarkan kue kiriman Lussi untuk Olivia pun juga terngaga tak percaya. “Bro, baru juga kemarin siang lo bilang rencana ini ke gue, kenapa jadi gini?” protes Reihan. “Lo yang bilang akan handle semuanya. Kenapa sekarang malah protes?” Dante membalas. “Iya sih, tapi nggak hari ini juga. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Ini nih yang nggak gue suka dari lo. Suka meledak-ledak kayak ABG.” “Sialan, lo!” umpat Dante tidak terima. “Pokoknya semua file yang perlu lo handle sudah gue kirim by email. Lo tinggal cek dan hubungi klien kita kalau semisal ada komp
Silaunya lampu membuat Olivia memicingkan matanya. Olivia tahu dirinya di mana saat ini. Selimut yang menyelimuti tubuhnya, perban dikepala yang Olivia rasakan, dan juga siapa laki-laki yang tengah tertidur dengan menangkupkan kepalanya dikedua lengan, semuanya dapat menjadi petunjuk bahwa saat ini ia telah berada di salah satu kamar di rumah sakit. Punggung tangan Olivia terulur, mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang terlelap dengan perlahan. Dante mengeliat sesaat karena sentuhannya, berharap supaya laki-laki itu terbangun namun malah membuat laki-laki itu semakin tenggelam ke alam mimpi. Olivia kembali memejamkan matanya. Sangat sulit melupakan kejadian mengerikan itu. Apalagi … astaga! Olivia ingat akan satu hal yang hampir saja ia lupakan. Bagaimana keadaan bayinya? “Hei!” Olivia menoleh saat tahu siapa yang tengah menyapanya. Bahkan dengan wajah bangun tidur pun Dante terlihat sangat menawan. Dante beranjak dari kursi yang ia duduki lalu beralih ke bibir
“Pak Dante, kita harus segera menolong Ibu Via sebelum terlambat.” Dante mengeraskan rahangnya ketika mendengar Olivia juga disekap oleh orang yang sama. Orang yang sama juga pernah meneror mereka beberapa hari yang lalu dengan bangkai tikus. Sejenak Dante terdiam. Teror bangkai tikus itu adalah peringatan yang diperuntukkan untuk kedua keponakannya. Betapa bodohnya Dante tidak bisa membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. “Sekarang katakan padaku, Sumi. Gimana keadaan Via di sana?” Mendadak Sumi menangis karena teringat apa yang telah Olivia lakukan untuknya supaya bisa kabur. “Mereka menjambak rambut Ibu Via, Pak. Bahkan terkadang mereka juga menamparnya.” Darah Dante langsung mendidih mendengarnya. Olivianya disiksa. Dan itu sudah cukup Dante jadikan alasan untuk segera menghabisi komplotan itu dengan tangannya sendiri. “Apalagi yang kamu tahu, Sumi? Apalagi yang telah mereka lakukan pada Via? Ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Percikan air membangunkan Olivia dari pingsannya. Olivia menyipitkan mata karena silaunya lampu yang menerangi ruangan yang terbilang asing untuknya itu. Rasa sesak mulai dirasakan Olivia akibat debu dan minimnya sirkulasi udara. Olivia memeriksa sekeliling dengan matanya. Ia mencoba menerka serta mencari tahu di mana lokasinya saat ini. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa Olivia dapatkan. Kalau begini caranya akan sulit bagi Olivia menyelinap dan meminta bantuan orang sekitar. Pintu besi yang sedari tadi tertutup terbuka lebar. Seringai menjijikkan milik laki-laki brengsek itu mendadak membuat Olivia ingin muntah dihadapannya. Yogan berjongkok, menarik dagu Olivia mendekat. Kemudian tanpa Olivia sadari Yogan sudah melumat bibir Olivia begitu rakus seolah bibir Olivia adalah oase di padang pasir. Olivia memberontak, tapi tangan yang beralih fungsi mencengkram tengkuk Olivia saat ini amat begitu kuat. Yogan menjelajah begitu dalam sehingga mengambil kesempatan Olivia untuk m
Tangan yang menggenggam tangan Olivia berkeringat ketika Dante menceritakan semuanya pada Lussi dan Reihan. Olivia tidak peduli aibnya terbongkar dihadapan kedua sahabatnya itu. Di dalam pikiran Olivia saat ini hanyalah keselamatan Devandro dan Deliandra semata. Kedua bocah gembul itu sama sekali tidak pantas menerima perlakuan karena ulahnya terdahulu. Lussi memutar posisi duduknya menghadap Olivia. Genangan airmata terlihat di sana. “Kenapa kamu nggak bilang, Via? Kenapa kamu bungkam padaku selama ini.” Olivia menepuk punggung tangan Lussi. “Sudah berlalu, Lu. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang yang terpenting anak-anakmu. Yogan sudah mengenali Si Kembar dua kali.” “Kalau gitu untuk sementara Si Kembar nggak usah ke sekolah dulu.” Reihan mengambil alih topik obrolan. “Aku pikir itu adalah solusi paling aman.” “Nggak, Rei. Kalau Si Kembar nggak ke sekolah seperti biasanya, maka Mama Elok akan curiga. Mama sudah tua dan aku nggak mau k
Terjadi. Ancaman Yogan pada Olivia benar-benar terjadi. Sebuah paket diperuntukkan untuk Olivia datang bertubi-tubi. Lima paket yang sama di lima hari yang berbeda datang untuknya. Dengan gemetaran Olivia menerima paket dari seorang tangan kurir suruhan Yogan. Anehnya lagi Olivia tidak pernah merasa pernah memberikan alamat tinggalnya pada laki-laki gila itu. Dan hari ini adalah puncak dari kiriman paket yang tidak pernah Olivia buka sama sekali. Kali ini sebuah nomor tidak dikenal mengirim Olivia sebuah pesan singkat dan memintanya untuk melihat isi dari kotak yang dikemas rapi itu. Olivia menjerit lalu terduduk lemas di lantai ketika membuka isi kotak yang ternyata adalah dua ekor bangkai tikus. Sejenak Olivia teringat akan sesuatu. Mungkinkah tikus ini melambangkan Si Kembar? Batin Olivia. Olivia memberingsut menjauh. Olivia ketakutan ditengah sepinya rumah. Hingga tiba-tiba saja Dante muncul dari pintu depan dan tampak kaget dengan apa yang ditem
Wajah Olivia yang memucat jelas mengundang segudang pertanyaan untuk Lussi. Tidak ada yang bisa Olivia katakan untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Olivia cuma ingin tiba di rumah secepatnya dan bertemu Dante. “Via, kamu nggak apa-apa?” Lussi tiba-tiba bertanya. Sayangnya niat Olivia untuk menjawab benar-benar sirna. Olivia tidak ingin membuka mulutnya sampai tiba di rumah. “Via, please bilang sama aku. Aku bisa dimarahi Dante kalau memulangkanmu dalam keadaan seperti ini.” Kembali Olivia tidak menggubris. Tatapannya menerawang jauh tak terselami. Olivia sejenak larut kembali dalam lamunan tidak menyenangkan. Olivia masih tidak bisa melupakan wajah dan senyum seringai milik Yogan. Tidak ada yang berubah, hanya guratan luka di pipinya saja yang berbeda. Ah … masa bodoh! Bukan itu yang Olivia risaukan. Olivia takut kehadiran Yogan malah justru akan mengusik kebahagiaannya atau bahkan menghancurkannya lagi. Mobil Olivia masuk ke pekarangan rumah. De